Kamis, 16 Mei 2013

MJIB - 9. Profil Perkampungan Muslim Bugis di Pulau Serangan Bali


Penulis : Achmad Suchaimi


Monumen Penyu : Ikon Pulau Serangan Bali.


Orang Bugis mudah ditemukan di mana-mana. Mereka membentuk perkampungan di pesisir pantai, juga menjadi roda penggerak sentra ekonomi di berbagai daerah.

 
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang melarang warga Bugis memiliki kapal berukuran besar, menjadi pemicu banyaknya orang Bugis yang merantau ke pulau Serangan Denpasar. Perantau yang datang ke Serangan ini umumnya berasal dari Bugis Wajo dan ada pula dari Soppeng atau Bone. 


Pulau Serangan adalah sebuah pulau kecil yang terpisah dari daratan Pulau Bali, berjarak sekitar 17 Km arah selatan kota Denpasar. Pada tahun 1995 telah dibangun sebuah dermaga kecil dan jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini.   
Jembatan penghubung P. Serangan dan Denpasar (P. Bali)
Luas Pulau Serangan sebelum direklamasi hanya 101 hektare, sementara setelah direklamasi luasnya menjadi 491 hektar. Dari 491 hektare luas pulau itu, hanya 101 hektar yang menjadi milik masyarakat dan ummat Islam tinggal di areal seluas 2,5 hektare. Pulau ini berjarak sekitar 250 meter dari pantai sebelah tenggara Pulau Bali. Pulau ini tepatnya terletak di sebelah selatan Pantai Sanur. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kota Denpasar dan dihuni oleh sekitar 3 ribu penduduk. 
Penangkaran penyu di P. Serangan
 Menurut penduduknya, asal nama “Serangan” diyakini berasal dari kata “sira angen” yang artinya perasaan sayang atau kangen. Munculnya nama ini didasari oleh sebuah cerita para pelaut Bugis. Ketika mendarat di pulau ini untuk minum, mereka terkena “sira angen”. Mereka merasa betah berada di pulau ini dan tidak mau pergi meninggalkannya. Para pelaut Bugis yang beragama Islam ini bahkan memilih tinggal di pulau ini dan hidup rukun bersama penduduk setempat yang beragama Hindu. 


Selanjutnya, mereka pun membentuk pemukiman yang dikenal dengan Kampung Bugis yang masih ada hingga saat ini. Karena banyak dihuni oleh perantau Bugis yang mayoritas beragama Islam, maka pulau ini kemudian dikenal sebagai kampung Islam Bugis. Konon, asal mula kampung ini hanya dibangun 40 orang perantau Bugis yang dipimpin oleh Syeikh Haji Mu’min akibat tak sefaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya.
Makam Tua H. Mukmin di Serangan
 Pada awal keberadaan mereka di sana justru dicurigai oleh pihak Kerajaan Badung Bali sebagai mata-mata Belanda. Kecurigaan yang wajar tentunya. Selama ditawan, rombongan ini menunjukkan sikap kebencian mereka terhadap Belanda dan mampu meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III. Akhirnya, rombongan itu diberi kebebasan tinggal di istana untuk sementara waktu, kemudian mendiami kampung Gelagi Gendong di sebelah barat Puri (istana) kerajaan Pemecutan.

 
Puri Pemecutan di Denpasar : kediaman Raja Pemecutan


Kebiasaan melaut para perantau Bugis membuat mereka tak betah menetap di tengah daratan. Atas persetujuan Raja Badung yang mengetahui sepenuhnya bahwa perantau Bugis memiliki keahlian di bidang pelayaran, maka mereka diberi tempat di Pulau Serangan yang waktu itu masih berupa hutan. Haji Mu’min dan pengikutnya membuka pemukiman di bagian selatan pulau. Hubungan ini terus terjalin dengan baik. Diceritakan, ketika  Kerajaan Badung merasa terdesak menghadapi Kerajaan Mengwi,  Raja Badung tidak segan-segan minta bantuan kepada para perantau dari Bugis tersebut. 
Pura Sakenan : salah satu Pura Hindu di P. Serangan Bali

Kampung seluas 2,5 hektar ini dihuni oleh sekitar 280 warga muslim dan mereka dikelilingi perkampungan Hindu, dengan sejumlah pura. Kendati demikian, warga di sini hidup rukun dan dapat menjalankan ibadah maupun aktivitas sehari-hari sebagai nelayan. Kampung ini memiliki tradisi unik yang disebut Ngejot, yakni membawa jajanan atau makanan untuk diberikan kepada tetangga non-muslim atau sebaliknya. Adapula tradisi membaca Diba’ dan catatan sejarah kekerabatan Bugis dan Bali setiap selesai shalat Id di Hari Raya Idul Fitri. Tradisi inilah yang memperkuat kerukunan hidup beragama. Dan hingga kini, tradisi tersebut masih dipelihara. Selain pura, di kampung ini terdapat pula Masjid As-Syuhada’ yang diperkirakan didirikan pada abad ke-17 masehi.
Masjid Asy-Syuhada' di kampung Bugis Serangan Bali
 Di Kabupaten Tabanan, kampung Bugis juga bisa ditemukan di pesisir pantai Soka. Di Kabupaten Buleleng, mereka dapat ditemukan di kampung Sumber Kima, Lovina, Grokgak, Singaraja, Celuk Bawang dan Seririt. Di Kabupaten Jembarana, mereka bermukim di kampung Loloan, Cupel, dan Yeh Sumbul. Adapula yang tinggal di pesisir Ujung dan Buitan Karangasem.
Kerukunan Umat Islam dan Hindu di Bali menjadi bukti, bahwa perbedaan agama dan suku bukanlah alasan untuk saling menghindari dan berselisih paham




Tidak ada komentar:

Posting Komentar