Rabu, 15 Mei 2013

MJIB - 7. Kehidupan Umat Islam di Tengah Adat-Tradisi Bali


Penulis : Achmad Suchaimi

Pura Dalem Jawa (Musholla) di Bunutin, Bangli : Bukti Akulturasi budaya Islam-Hindu
 
Jumlah penduduk Bali kurang lebih 4 juta jiwa, mayoritas 92,3% beragama Hindu, sedangkan lainnya beragama Islam, Buddha dan Nasrani. Hampir semua desa dan kampung di Bali dihuni masyarakat Hindu. Namun ada beberapa desa / kampung yang mayoritas penduduknya bergama Islam. Misalnya desa Pegayaman ( Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana), Nyuling, Saren Jawa (Karangasem), kampung Kepaon (kota Denpasar), Serangan, Tuban, Angnatiga (Badung). Selain di desa-desa tersebut, tempat tinggal masyarakat Islam tersebar di desa-desa atau kampung yang mayoritas penduduknya bergama Hindu. Meskipun demikian, umat Islam dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu Bali secara damai  dan penuh toleransi. Kehidupan umat Islam di desa-desa tersebut tak ubahnya seperti masyarakat mayoritas Hindu pada umumnya. Yang membedakan hanyalah tempat ibadah dan tata cara atau ritual peribadatan.
Tempat sesajen
Pintu Gerbang Rumah Bali
Keberadan komunitas muslim di Bali ditandai dengan adanya mesjid di lingkungan kampung mereka. Selain itu, rumah-rumah warga muslim tidak dilengkapi tempat untuk sesaji di depan rumahnya, dan lampu selalu dinyalakan di malam hari, baik di ruangan dalam, maupun di sekeliling rumah mereka. Hal ini kebalikan dari keadaan rumah orang-orang Hindu yang selalu ada “pura” atau tempat sesajen di depan rumah, dan di malam hari kondisi rumah mereka dan sekitarnya nampak gelap.

Rumah gaya Bali, Lengkap dengan pura/sesajen
 Pada bagian ini akan diuraikan tentang berbagai pola hubungan dan persentuhan tradisi-budaya masyarakat Islam dengan masyarakat Hindu di Bali.

Bali selain sebagai daerah pariwisata, juga terkenal dengan sebutan God’s Island (pulau Dewata). Di tengah mayoritas penduduknya yang beragama hindu dan kuatnya tradisi masyarakat, sering terlontar pertanyaan: bagaimana Islam di Bali?. Apakah Islam hanya menjadi agama pelengkap, agama kaum pinggiran atau justru menjadi mitra masyarakat Bali dalam membangun dan mempertahankan identitasnya?.
Muslim  menjadi mitra untuk mempertahankan Adat Bali dari dampak negatif masuknya budaya Barat yang sarat dengan budaya Pamer Aurat, Sex Bebas, dan Narkoba. Peran agama Islam  yang menentang  berbagai  budaya negatif ini bisa memberikan kontribusi untuk mempertahankan budaya BALI.
Masalah kerukunan kehidupan antara umat Islam dan umat agama lainnya, terutama umat Hindu di Bali selama ini bisa dikatakan sangat mesra dan harmonis. Keadaan ini akan tetap terus terpelihara dengan baik, asalkan dilandasi dengan toleransi dan rasa saling menghormati satu sama lain. 

Akur : Pemuda Hindu & Muslim dalam kegiatan Pawai
  Salah satu contoh yang menggambarkan adanya kemesraan dan keharmonisan tersebut adalah sikap toleransi dan saling menghormati yang begitu tinggi di kalangan mereka. Seperti ketika bulan Ramadhan datang, umat Hindu menghormati orang Islam yang sedang berpuasa, dan pada saat berbuka puasa umat Hindu ada yang “ngejot” (memberikan kiriman makanan). Apalagi saat Hari Raya Idul Fitri, umat Hindu memberi buah-buahan kepada saudaranya yang muslim, sementara pada saat Hari Raya Galungan, umat Islam memberikan ketupat (minimal anyaman ketupat) kepada saudaranya yang Hindu. Masyarakat Bali yang 92% beragama Hindu juga telah berperan serta dalam menyukseskan pelaksanaan Seleksi Tilawatir Qur‘an (STQ) tingkat Nasional pada tahun 1998 di kota Denpasar Bali.

Masyarakat Hindu merayakan Hari Raya Galungan
 Orang Bali secara umum menyebut warga muslim dengan istilah “Selam”. Istilah ini sudah sangat umum di Bali untuk menjelaskan tentang umat Islam dan sama sekali tidak ada konotasi negatif, apalagi penghinaan. Justru istilah ini mempertegas kerukunan, karena dikaitkan dengan ikatan persaudaraan yang di Bali dikenal dengan istilah “manyama-braya”. Dalam kaitan manyama-braya ini umat Hindu melahirkan istilah Nyama Selam (saudara Islam) dan Nyama Kristen (saudara Kristen). 

Muslim ds Pegayaman Bali merayakan Maulid Nabi
 Jika dirunut dari sejarah, kerukunan antar umat beragama di Bali sesungguhnya merupakan warisan secara turun temurun sejak abad ke–15 lalu, ketika 40 pengawal muslim dari Majapahit menjadi pengiring Raja Gelgel dan diberi kesempatan untuk hidup menetap di Bali.
Contoh kerukunan lainnya, bahwa masyarakat Bali dikenal sangat toleran terhadap para pendatang dan wisatawan (domistik dan mancanegara) dalam menikmati liburan di Pulau Dewata dan hampir tidak pernah ada masalah. Bahkan di Bali satu-satunya di Indonesia yang telah terbentuk persatuan etnis Nusantara. Mereka satu sama lain telah terjalin kerjasama yang baik, dan bertekad untuk menjaga keutuhan Bali agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk mengantisipasi terjadinya konflik dan gesekan-gesekan yang bernuansa SARA (suku, agama, ras, antar– golongan) sebagaimana yang sempat melanda di beberapa daerah di Indonesia, Pemerintah Propinsi Bali menggagas dan memfasilitasi terbentuknya “Forum Komunikasi Antar Umat Beragama”. Gagasan yang mendapat dukungan dari semua pihak ini terbukti mampu menciptakan kehidupan yang lebih akrab, saling menghormati dan menghargai serta melindungi satu sama lain.

Ritual Hari Raya Nyepi di Bali
 Ujian berat pernah dihadapi umat beragama di Bali pada tahun 1991, ketika Umat Hindu, Islam dan Kristen pada hari yang sama merayakan hari raya suci masing–masing dengan tradisi yang berbeda. Umat Hindu pada Minggu, 17 Maret 1991 merayakan Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1913 yang memerlukan dukungan suasana sepi untuk melaksanakan “tapa brata”  empat pantangan yang meliputi : tidak bekerja, tidak bepergian, tidak mengumbar bahwa nafsu, dan tidak menyalakan api. Sementara umat Islam melakukan takbiran menyosong Idul Fitri dan umat Kristen melakukan Kebaktian di Gereja. Berkat saling pengertian, toleransi dan kerukunan umat yang kental, masing–masing umat beragama dapat merayakan hari raya suci masing-masing dengan baik.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar