Penulis : Achmad Suchaimi
![]() |
Pura Dalem Jawa (Musholla) di Bunutin, Bangli : Bukti Akulturasi budaya Islam-Hindu |
Jumlah penduduk Bali kurang lebih 4 juta jiwa, mayoritas 92,3%
beragama Hindu, sedangkan lainnya beragama Islam, Buddha dan Nasrani. Hampir
semua desa dan kampung di Bali dihuni masyarakat Hindu. Namun ada beberapa desa
/ kampung yang mayoritas penduduknya bergama Islam. Misalnya desa Pegayaman (
Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana), Nyuling, Saren Jawa
(Karangasem), kampung Kepaon (kota Denpasar), Serangan, Tuban, Angnatiga (Badung). Selain di desa-desa tersebut, tempat
tinggal masyarakat Islam tersebar di desa-desa atau kampung yang mayoritas
penduduknya bergama Hindu. Meskipun demikian, umat Islam dapat hidup
berdampingan dengan masyarakat Hindu Bali secara damai dan penuh toleransi. Kehidupan umat Islam di
desa-desa tersebut tak ubahnya seperti masyarakat mayoritas Hindu pada umumnya.
Yang membedakan hanyalah tempat ibadah dan tata cara atau ritual peribadatan.
![]() |
Tempat sesajen |
![]() |
Pintu Gerbang Rumah Bali |
Keberadan komunitas muslim di Bali ditandai dengan adanya mesjid
di lingkungan kampung mereka. Selain itu, rumah-rumah warga muslim tidak
dilengkapi tempat untuk sesaji di depan rumahnya, dan lampu selalu dinyalakan
di malam hari, baik di ruangan dalam, maupun di sekeliling rumah mereka. Hal
ini kebalikan dari keadaan rumah orang-orang Hindu yang selalu ada “pura” atau
tempat sesajen di depan rumah, dan di malam hari kondisi rumah mereka dan
sekitarnya nampak gelap.
![]() |
Rumah gaya Bali, Lengkap dengan pura/sesajen |
Pada bagian ini akan diuraikan tentang berbagai pola hubungan dan
persentuhan tradisi-budaya masyarakat Islam dengan masyarakat Hindu di Bali.
Bali selain sebagai daerah pariwisata,
juga terkenal dengan sebutan God’s Island (pulau Dewata). Di
tengah mayoritas penduduknya yang beragama hindu dan kuatnya tradisi
masyarakat, sering terlontar pertanyaan: bagaimana Islam di Bali?. Apakah Islam
hanya menjadi agama pelengkap, agama kaum pinggiran atau justru menjadi mitra
masyarakat Bali dalam membangun dan mempertahankan identitasnya?.
Muslim menjadi mitra untuk mempertahankan Adat Bali dari
dampak negatif masuknya budaya Barat yang sarat dengan budaya Pamer Aurat,
Sex Bebas, dan Narkoba. Peran agama Islam yang menentang
berbagai budaya negatif ini bisa
memberikan kontribusi untuk mempertahankan budaya BALI.
Masalah kerukunan kehidupan antara umat Islam dan umat agama
lainnya, terutama umat Hindu di Bali selama ini bisa dikatakan sangat mesra dan
harmonis. Keadaan ini akan tetap terus terpelihara dengan baik, asalkan
dilandasi dengan toleransi dan rasa saling menghormati satu sama lain.
![]() |
Akur : Pemuda Hindu & Muslim dalam kegiatan Pawai |
Salah satu contoh yang
menggambarkan adanya kemesraan dan keharmonisan tersebut adalah sikap toleransi
dan saling menghormati yang begitu tinggi di kalangan mereka. Seperti ketika
bulan Ramadhan datang, umat Hindu menghormati orang Islam yang sedang berpuasa,
dan pada saat berbuka puasa umat Hindu ada yang “ngejot” (memberikan kiriman
makanan). Apalagi saat Hari Raya Idul Fitri, umat Hindu memberi buah-buahan
kepada saudaranya yang muslim, sementara pada saat Hari Raya Galungan, umat
Islam memberikan ketupat (minimal anyaman ketupat) kepada saudaranya yang
Hindu. Masyarakat Bali yang 92% beragama Hindu juga telah berperan serta dalam
menyukseskan pelaksanaan Seleksi Tilawatir Qur‘an (STQ) tingkat Nasional pada
tahun 1998 di kota Denpasar Bali.
![]() |
Masyarakat Hindu merayakan Hari Raya Galungan |
Orang Bali secara umum menyebut warga muslim dengan istilah “Selam”.
Istilah ini sudah sangat umum di Bali untuk menjelaskan tentang umat Islam dan
sama sekali tidak ada konotasi negatif, apalagi penghinaan. Justru istilah ini
mempertegas kerukunan, karena dikaitkan dengan ikatan persaudaraan yang di Bali
dikenal dengan istilah “manyama-braya”. Dalam kaitan manyama-braya
ini umat Hindu melahirkan istilah Nyama Selam (saudara Islam) dan Nyama
Kristen (saudara Kristen).
![]() |
Muslim ds Pegayaman Bali merayakan Maulid Nabi |
Jika dirunut dari sejarah, kerukunan antar umat beragama di Bali
sesungguhnya merupakan warisan secara turun temurun sejak abad ke–15 lalu,
ketika 40 pengawal muslim dari Majapahit menjadi pengiring Raja Gelgel dan
diberi kesempatan untuk hidup menetap di Bali.
Contoh kerukunan lainnya, bahwa masyarakat Bali dikenal sangat
toleran terhadap para pendatang dan wisatawan (domistik dan mancanegara) dalam
menikmati liburan di Pulau Dewata dan hampir tidak pernah ada masalah. Bahkan
di Bali satu-satunya di Indonesia yang telah terbentuk persatuan etnis Nusantara.
Mereka satu sama lain telah terjalin kerjasama yang baik, dan bertekad untuk
menjaga keutuhan Bali agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk mengantisipasi terjadinya konflik dan gesekan-gesekan yang
bernuansa SARA (suku, agama, ras, antar– golongan) sebagaimana yang sempat
melanda di beberapa daerah di Indonesia, Pemerintah Propinsi Bali menggagas dan
memfasilitasi terbentuknya “Forum Komunikasi Antar Umat Beragama”. Gagasan yang
mendapat dukungan dari semua pihak ini terbukti mampu menciptakan kehidupan
yang lebih akrab, saling menghormati dan menghargai serta melindungi satu sama
lain.
![]() |
Ritual Hari Raya Nyepi di Bali |
Ujian berat pernah dihadapi umat beragama di Bali
pada tahun 1991, ketika Umat Hindu, Islam dan Kristen pada hari yang sama
merayakan hari raya suci masing–masing dengan tradisi yang berbeda. Umat Hindu
pada Minggu, 17 Maret 1991 merayakan Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1913
yang memerlukan dukungan suasana sepi untuk melaksanakan “tapa brata” empat pantangan yang meliputi : tidak
bekerja, tidak bepergian, tidak mengumbar bahwa nafsu, dan tidak menyalakan
api. Sementara umat Islam melakukan takbiran menyosong Idul Fitri dan umat
Kristen melakukan Kebaktian di Gereja. Berkat saling pengertian, toleransi dan
kerukunan umat yang kental, masing–masing umat beragama dapat merayakan hari
raya suci masing-masing dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar