Selasa, 22 September 2020

SEJARAH TRADISI ISLAM DI NUSANTARA

  

A.  MANUSIA ADALAH MAKHLUK BERBUDAYA


Kelebihan manusia diatas makhluk lain terletak pada kemampuannya dalam menciptakan kebudayaan dan perada-bannya.

QS At-Tin ayat 4 dijelaskan, bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik bentuk ciptaannya (Ahsanu Taqwim), baik dari segi fisik (raga) maupun psikhis (jiwa). Secara kejiwaan, Allah me-lengkapi manusia dengan akal dan nafsu secara seimbang, sehingga muncul dari diri manusia tiga daya atau potensi yang meliputi cipta, rasa dan karsa. Dengan ketiga potensi / daya tersebut, manusia mampu melahirkan kebudayaan dan peradabannya, sehingga mengantarkan-nya menjadi makhluk yang terunggul dan terhormat diatas makhluk Allah lainnya.

Jadi, kelebihan manusia atas makhluk lainnya terletak pada ke-mampuannya dalam menciptakan kebudayaannya sendiri, sehingga paslah jika manusia  disebut sebagai makhluk berbudaya.

Allah menyinggung kelebihan manusia atas makhluk lainnya dalam QS Al-Isro’,[17] : 70

Artinya :  Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.

 

Oleh karena itu, kehidupan manusia  tidak  dapat  dilepaskan  dari kebudayaan dan peradabannya.

Kebudayaan dan peradaban manusia berbeda-beda. Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor lingkungan hidup dan agama atau kepercayaan yang dianut. Diantara bentuk kreasi-karya manusia dalam bidang  ini  berupa tradisi-tradisi.

 

Terjadinya Akulturasi Budaya

Sejak dulu, bangsa Indonesia kaya dengan kreasi budaya (tradisi), baik yang berupa karya seni (seni budaya) maupun upacara adat. Agama Islam masuk ke Indonesaia pada akhir abad ke-7 dan pesat berkembang sejak abad ke-13, atas peran para pedagang muslim dan muballigh dari bangsa arab, gujarat dan persia. Sementara itu, budaya dan tradisi lokal bangsa kita tersebut tetap berjalan seiring dengan budaya dan tradisi Islam.  Setidaknya, budaya dan tradisi Islam yang dibawa oleh ketiga bangsa tersebut sedikit banyak turut mewarnai budaya dan tradisi lokal (Indonesia), sehingga terjadinya akulturasi  (pembauran) di bidang budaya dan tradisi ini tidak dapat dihindari. Tidak menutup kemungkinan bahwa budaya dan tradisi yang satu mendominasi (menguasai) yang lain, yang pada akhirnya lahirlah  budaya dan tradisi baru, yakni budaya dan tradisi Islam Indonesia, atau Budaya dan Tradisi Lokal yang Bernafaskan Islam.

 

 

B. SENI BUDAYA LOKAL BERNAFASKAN ISLAM

 

Yang dimaksud dengan Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam ialah  segala bentuk kesenian yang berasal dari dan berkembang di daerah-daerah di Indonesia yang dipengaruhi oleh Islam dan memiliki nilai-nilai keislaman. .

 

1.  Keterkaitan Seni Budaya dengan Islam.

Islam adalah agama yang paling sempurna. Selain mengatur hubungan manusia dengan Alloh swt (Ibadah), Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Muamalat).

Di bidang mu’amalat, Islam mengatur tata kehidupan kaum muslimin dalam berbudaya, baik dalam aspek kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (sosial-politik), berekonomi, berkesenian, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.

 

Kesenian identik dengan keindahan. Sebagai pendorong kaum muslimin dalam aspek kehidupan berkesenian adalah Hadis Nabi saw :

اِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

Artinya :"Alloh swt itu Maha Indah. Dia menyukai keindahan". (HR Muslim).

Dengan kata lain, orang yang menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya, maka segala aspek kehidupan berbudayanya, tentu akan diwarnai dan dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman yang diyakininya itu. Dengan begitu, seni budaya yang diciptakan kaum muslimin tersebut tentu terkandung nilai-nilai keislaman, di samping juga ada nilai-nilai lokal / kedaerahan, karena kehidupan manusia tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan dimana ia hidup.

 

2.  Berbagai Macam Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam

Seni budaya banyak cabang dan macamnya. Diantaranya adalah seni suara, seni musik, seni tari, seni sastra, pertunjukan, seni lukis, seni pahat dan ukir, seni pakaian,  seni kaligrafi, seni arsitektur-bangunan, dan lain-lain.

 

a. Wayang dan Tembang Mocopat

Asal usul Wayang berasal dari India yang digunakan untuk menceritakan ajaran Hindu yang diambilkan dari kitab Mahabarata. Pada abad -15, seni ini diperbaiki dan dikembangkan dalam bentuk baru oleh Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, untuk dijadikan sebagai metode dakwah yang cukup efektif saat itu. Sumbangan Sunan Kalijaga antara lain menambah perangkat debog (batang pisang), keber, blencong atau dian, dan penyusunan cerita-cerita carangan, dan lain-lain.

Cerita-cerita (lakon) wayang  yang tadinya diambil dari kitab Mahabarata dan Ramayana, lalu diselipi nilai-nilai simbolik yang bernafaskan islam. Bahkan diganti dengan cerita atau lakon carangan buatan sendiri. Misalnya lakon Dewa Ruci, Jimat kalimosodo, Petruk dadi Ratu, Semar ambarang Jantur, Mustaka Weni, Pendowo Limo, dan lainnya. Lima  merupakan simbol dari Rukun Islam. Tokoh Puntadewa (simbol Syahadat), Wrek

5 orang tokoh dalam lakon Pandawa udara atau Bima (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat), dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (simbol Puasa dan Haji).

Lakon wayang Jimat Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan ketauhidan, Kalimat Syahadat.

Para “Dewa” dalam dunia wayang tidak dipandang sebagai Dewa setingkat Tuhan, akan tetapi sebagai “manusia istimewa” yang silsilahnya sampai kepada Nabi Adam.

Nama dan istilah dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman. Misalnya istilah “Dalang” diambil dari bahasa arab “Dalla”, artinya yang menunjukkan. Demikian pula nama “Petruk”, berasal dari kata “Fatruk”, artinya  maka tinggalkan. “Bagong”, dari kata “Baghoo” artinya lacut, durhaka, zhalim. “Semar” dari kata “Syimar”, artinya arif dan waspada.  (Ismunandar, K., 1988 ; 95-103).

 Dalam pementasan wayang, biasanya dselilingi dengan melagukan  Tembang Mocopat.  Seni suara  muncul di Jawa sekitar abad ke-15 dan 16 sebagai kreasi dari Walisongo. Syair yang dilagukan berisi ajaran Islam, terutama tauhid, akhlak dan tasawwuf. Diantaranya: tembang Dandanggula (karya S. Kalijaga), Asmaradana dan Pucung (S. Giri), Durma (S. Bonang), Maskumambang dan Mijil (S. Kudus), Sinom dan Kinanti (S. Muria), Pangkur (S. Drajat).

Selain itu, ada tembang dolanan bocah, yaitu nyanyian untuk anak-anak, diantaranya karya Sunan Giri, seperti tembang Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, Gendi Gurit, Jamuran, Jitungan, dll,

 

b.  Gambus, Kasidah, Hadhrah, Al-banjari, dan Qiro’ah

 Musik gambus berasal dari arab. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair-syair arab, terkadang juga syair bahasa Indonesia. Alatnya meliputi : kecapi petik, gambus, rebana kecil, dan marawis.

Qosidah artinya puisi. Dalam hal ini dipahami sebagai seni suara yang bernafaskan Islam yang lagunya diambil dari syair-syair arab, dari kitab qasidah Barzanji, dan kitab qasidah lainnya, terutama yang berisi sholawat Nabi, dan diselipi ajaran moral. Alat musiknya seperti gambus.

Bahkan, group Qosidah Modern seperti  Group Nasida Ria dari Semarang, melengkapi dengan peralatan musik elektronik modern.  Syair lagunya pun bervariasi, selain sholawat Nabi  adalah syair-syair berbahasa Indonesia yang berisi ajaran keislaman, terutama akhlak.

 

Hadhroh dan Al-Banjari sebagian besar alatnya dari rebana. Syairnya diambil dari qasidah barzanji, diba;iy, dan sya'ir sholawat Nabi.

Hadhroh, gambus, qosidah dan Al-Banjari biasa dimainkan dalam acara semecam khitanan, pernikahan, pengajian, dan acara keislaman lainnya.

Di Banyuwangi ada seni Kuntulan: perpaduan antara musik dan tari Banyuwangi dan Hadhroh.

Sedangkan tentang seni melagukan bacaan Al-Qur’an dengan suara merdu atau Qiro’ah, merupakan seni budaya Islam yang memiliki  7 versi lagu sebagai kreasi dari orang Hijaz, Mesir, Persia, Turki, dan arab lainnya, meliputi lagu Bayati,  Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Sikah dan Jiharkah. Seni ini semakin terkenal luas setelah adanya event MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an).

 

c. Tari Zapin dan Tari Sufi Seudati

Tari Zapin diperagakan dengan gerak kaki dan tangan yang indah dan lincah. Tari ini muncul di daerah Riau Sumatera untuk mengiringi irama musik gambus, kasidah dan hadhroh. Penarinya semuanya lelaki.

Tari Sufi Seudati berasal dari tarian para sufi di Aceh. Penarinya semua lelaki. Bunyi musiknya dari tubuh penari sendiri seperti menepuk tangan, dada, dan mengertakkan jari.

 

d.  Lukis, Pahat, Ukir, Batik, Busana

Sebelum datangnya Islam, ketiga seni tadi sudah berkembang, demi kepentingan agama Hindu Budha dan diwarnai dengan corak gambar binatang, manusia, dewa. Diantara hasilnya berupa: Patung dewa, ukiran / patung binatang, relif di candi, ukiran di gapura, dll. 

Setelah Islam masuk, lalu diubah dengan bercorak/motif tetumbuhan, pepohonan, benda mati, dan ukiran kaligrafi arab (ayat Al-Qur’an- Hadis).

Pakaian asli penduduk di Indonesia biasanya membuka aurat, misalnya di Jawa, wanitanya memakai Kemben. Setelah Islam masuk, seni berbusana menjadi terpengaruh, yakni sopan dan menutup aurat. Maka, muncul mode pakaian seperti  Baju Takwa, Baju Teluk Belanga, Kerudung, Jilbab, Songkok atau Kopiah, blangkon, baju surjan, serban  dan lain-lain.

Dari kalangan Walisongo, Sunan Kalijaga cukup kreatif  dalam menciptakan beberapa cabang kebudayaan, terutama bidang kesenian yang sangat kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat kreatif merubah corak dan bentuk seni yang sudah lama berkembang di masyarakat setelah terlebih dahulu dimuati nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir, yang pada jaman pra Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa (manusia dan binatang), kemudian diubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan dan lainnya yang tidak bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan bentuk atau mode baju yang lebih dikenal dengan baju Takwa. Seni batik yang pada jaman pra Islam diwarnai dengan motif illustrasi gambar burung, yang dalam bahasa kawinya disebut kukila, lalu diberi makna sesuai dengan yang dikehendaki Islam. "Ku" berasal dari bahasa arab Qu yang berarti jagalah, dan "kila" dari bahasa arab Qila, berarti yang diucapkan. Dengan demikian, gambar burung "kukila" mengandung pesan, bahwa seseorang hendaklah mampu menjaga lisannya. 

  

e.  Sastra Bercorak Tasawwuf


Di Luar Jawa

Antara abad 15-17, di Sumatra berkembang karya sastra dan ilmiah bercorak tasawwuf dari ulama besar masa kesultanan Aceh Darussalam yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan corak pemikiran keislaman (tasawwuf) di Indonesia.

1). Karya Hamzah Fansuri : Asrorul ‘Arifin fi Bayani as-Suluk wat Tauhid, dan Syair Perahu. Keduanya berisi ajaran ilmu kalam (teologi) dan tasawwuf menurut faham  Wahdatul Wujud. Karya lainnya: Syair Dagang, Syair Jawi, Syarabul ‘Asyikin.

2). Karya Syamsuddin as-Sumatrani: Mir’atul Mu’minin, berisi tanya jawab soal ilmu kalam.

3). Karya Nuruddin ar-Raniri (ulama’ Ahlis-Sunnah abad 17) : As-Shirotul Mustaqim (fiqih), Bustanus-Salatin (politik, tuntunan bagi Raja), Tibyan fi Ma’rifatil Adyan (bantahan terhadap faham Wahdatul Wujud-nya Hamzah Fansuri Cs).

4). Abdurrauf Singkel : pengembang tarekat Syattariyah, ia menghidupkan kembali faham Hamzah Fansuri, terutama teori Martabat Tujuh. Pengaruhnya sampai ke Jawa melalui muridnya, yakni  syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya Jawa Barat. 

Karya dan ajaran keempat ulama tersebut mempengaruhi faham tasawwuf di Jawa, yakni faham ahlussunnah ala  Walisongo, dan faham manunggaling kawulo-gusti ala Sekh Siti Jenar.

 

Di Sulawesi, muncul Syekh Yusuf Makassar (abad 17) dengan 20 buah judul karya tulis bercorak tasawwuf faham Ahlussunnah.

 

Di Kalimantan, muncul syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (abad 19), penulis kitab fiqih : Sabilul Muhtadin.

 

Di Jawa : Suluk, Wirid, Primbon

Dalam bidang sastra, di Jawa pada abad 16-18, muncul tiga kitab karya sastra yang berisi ajaran Islam bercorak tasawuf, yakni  Kitab Suluk, Wirid dan Primbon, yang diduga terkait dengan karya ulama Sumatera.  

Kitab Suluk, yaitu karya tulis  berbentuk puisi, berbahasa jawa-tengahan, berisi ajaran tasawuf, sebagiannya terpengaruh oleh Syair-syair karya Hamzah Fansuri. Misalnya kitab Suluk Wujil, suluk Malang Sumirang, suluk Syekh Malaya, suluk Sukarso, dll.

Kitab Wirid, yaitu karya tulis dalam bentuk ulasan bebas (prosa), berisi ajaran tasawwuf dan akhlak. Misalnya Het Book van Bonang (kitab Sunan Bonang), Serat Wirid Hidayat Jati (karya Ronggowarsito) .

Sedangkan Kitab Primbon yaitu karya tulis berbentuk ulasan bebas (prosa), berisi kumpulan dari berbagai aspek ajaran Islam (tauhid, syariat, akhlak-tasawwuf, pengobatan, ramalan dan lain-lain. Misalnya buku Primbon Abad ke-16 (Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw)  yang diduga peninggalan Sunan Bonang.

Pada perkembangan selanjutnya, di abad 19, muncul Syekh Muhammad Nawawi al-Banteni yang menjadi ulama besar di jazirah Arab saat itu. Karyanya berjumlah 26 buah judul, yang terkenal berjudul Tafsir Al-Munir, ‘Uqudul Lujain, dll. 

 

f. Arsitektur : Bangunan Masjid

 

Bangunan Masjid-masjid khas Indonesia, terutama yang dirancang para Walisongo, merupakan bentuk akulturasi (pembauran) dengan bangunan candi, pura, stupa. Memiliki ciri-ciri dan corak khusus, antara lain :

 

1). Atap Masjid

Atapnya bersusun (tumpang) dan berbentuk ,eruncing ke atas. Ada yang bersusun tiga sebagai simbol tingkatan dalam beragama: Iman, Islam, Ihsan, atau syari'at, thariqot, dan haqiqat. Di atasnya ada mustoko, sebagai simbol Ma’rifat.  Seperti di Masjid Agung Demak, masjid Agung Kraton (Jogjakarta, Surakarta, dll), dan masjid-masjid kuno di Jawa. Ada yang beratap seperti tumpeng, seperti masjid-masjid di daerah Banten.

Masjid beratap Kubah (asal bangunan Arab) tidak ditemukan pada masjid kuno khas Indonesia, tetapi perkembangan modern. Seperti masjid Baiturrahman di kota Banda Aceh, masjid Syuhada’ Jogjakarta, Istiqlal di Jakarta. dll. Tetapi puncaknya tetap berbentuk runcing mengarah ke atas.

Atap atau kubah yang meruncing ke atas terkandung makna mengarah ke satu tujuan. Sebagai simbol bahwa segala bentuk usaha dan ibadah agar diarahkan kepada yang “Tunggal” yang di  atas, yakni Alloh I.

 

2). Mihrob

 Di bagian barat ada bangunan menonjol ke luar mengarah ke kiblat berfungsi sebagai mihrob (pengimaman). Terkandung makna persatuan umat Islam, yakni meskipun berbeda dari  berbagai penjuru, hendaknya tetap berkiblat/berpedoman pada satu akidah Tauhid (dilambangkan Baitulloh). 

 

3). Menara Masjid

Menara berfungsi sebagai tempat mu’adzzin menyuarakan adzan dan iqomat, juga tempat memukul kenthongan dan bedug, pada awalnya tak ditemui di masjid-masjid Jawa, kecuali masjid di Kudus dan di Banten.

Bentuk bangunan Menara Kudus mirip Candi di Jawa Timur dan Pura di Bali.

 

4). Bedug dan Kentongan.

Selain Adzan-Iqomat, Bedug dan Kenthongan dimaksudkan sebagai alat memanggil sholat, terutama bagi yang rumahnya jauh dari masjid. Mengingat saat itu belum ada pengeras suara, speaker.

Menurut kisah, untuk memanggil orang sholat, Sunan Kalijaga memerintah-kan Sunan Pandanarang agar membuat bedug dan kentongan. Kentongan jika ditabuh berbunyi tong tong tong, sebagai lambang "Masjid masih kosong" (bahasa jawanya kothong) dan Bedug berbunyi deng deng deng, sebagai  simbol "Masjid masih muat" (bahasa jawanya sedheng).

 

 5). Lokasi Masjid

Letaknya di ibukota kerajaan atau kadipaten,. Biasanya didirikan sedekat mungkin dengan istana (kantor pemerintahan), menghadap alun-alun Kraton. Makna simbolik (filosofi)-nya : Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan Rajanya, sedangkan Masjid adalah tempat bersatunya rakyat dan Rajanya dengan Tuhannya. Yakni rakyat (makmum) bersama-sama dengan Raja (imam) menghadap kepada Alloh.

 

6). Makam

Bangunan makam biasanya terletak di sebelah barat masjid dan sekitarnya. Fungsinya sebagai Dzikrul maut (mengingatkan bahwa setiap orang hidup pasti akan mati, dan setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lagi di akhirat yang lebih langgeng). Untuk itu, perlu  memperbanyak ibadah dan amal sholih, sebagai “Sangu” di alam akhirat.

 

 

C. APRESIASI TERHADAP  UPACARA TRADISI LOKAL

 

1.  Mensuriteladani Dakwah Walisongo

Sebelum Islam datang, berbagai tradisi, upacara dan adat istiadat sebagai pengaruh dari ajaran hindu, buda dan aliran kepercayaan berkembang subur secara turun temurun dan sulit dihilangkan.  Mulai dari urusan kelahiran, aktifitas sehari-hari (usaha, panen, khitanan, perkawinan, pembangunan, dll) sampai urusan kematian, selalu ada upacara dan kenduren-nya, lengkap dengan ubo rampe (sesajen) dan pembacaan mantera-mantera.

Tradisi dan upacara tersebut, jika dipandang dari segi agama Islam, tentu ada yang sesuai dan ada yang bertentangan dengan aqidah Islam. Melihat kenyataan seperti ini, para muballigh Walisongo, terutama kelompok Sunan Kalijaga, sungguh sangat cerdas dan bijaksana. Mereka berdakwah dengan pendekatan budaya. Mereka tidak antipati terhadap tradisi dan adat istiadat lama yang nampak bertentangan dengan aqidah islam dan sudah mendarah daging itu. Jika diberantas, masyarakat akan membenci dan semakin menjauh. 

Tradisi, adat istiadat dan upacara yang nampak bertentangan itu tidak diberantas seketika, tetapi tetap dilestarikan, sambil diubah sedikit-demi sedikit dengan disisipi nilai-nilai keislaman. Misalnya upacara adat atau kenduren istilahnya diganti dengan “Selamatan”; pembacaan mantera diganti dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, kalimat thayyibah (tahlilan) dan doa-doa Islam; sesajen untuk roh halus atau roh nenek moyang diganti dengan makanan atau berkat yang disajikan/disuguhkan sebagai shodaqoh kepada orang hidup yang mengikuti upacara tersebut. Adapun sesajen penting yang berupa aneka ragam  jajan pasar diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem, dengan diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata ketan dari bahasa arab Khatha-an yang berarti kesalahan atau dosa. Kata Kolak dari bahasa arab qaala yang berarti berkata atau berdoa; dan kata Apem  dari kata Afwun yang berarti ampunan. Dari ketiga nama makanan tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan-Nya. 

Dengan metode dakwah seperti itu, maka masyarakat dan budayanya secara tidak sadar dapat diislamkan. Itulah rahasianya, kenapa mayoritas penduduk Jawa, terutama yang tinggal di daerah basis hindu-budha, berduyun-duyun masuk Islam dalam jangka waktu yang sangat singkat.

Atas dasar pengalaman dakwah Walisongo di atas, kita seharusnya mencontoh mereka dalam mensikapi berbagai upacara tradisi dan adat istiadat lokal di daerah kita. Kita tidak boleh langsung bersikap antipati dan berkepala batu, lalu menuduhnya bid’ah, syirik, kafir, haram, masuk neraka, sesat dan sejenisnya, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan dampaknya atau untung-ruginya bagi kesuksesan dakwah Islamiyah jangka panjang. Akan tetapi, kita harus bersikap cerdas dan bijaksana, antara lain dengan pedoman berikut:

a. Jika upacara, tradisi, atau adat istiadat lokal yang nampak tidak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, hendaknya disikapi dengan penuh penghormatan, dan kalau perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai aset budaya bangsa. Bahkan dapat dijadikan sarana berdakwah.

b. Jika hal itu nampak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, hendaknya tidak disikapi secara reaktif, antipati, bertindak destruktif (merusak) dan main hakim sendiri. Akan tetapi tetap bersikap toleran dan simpatik, sambil dicarikan jalan keluarnya agar tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, dengan menggunakan metode, pendekatan dan cara halus seperti yang dilakukan oleh Walisongo. Misalnya dipandang sebagai bagian dari kreasi budaya bangsa dan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, lalu disisipi nilai-nilai keislaman, diubah sedikit demi sedikit, ditafsiri dan dimaknai secara baru, dicarikan dalil-dalil naqli dan aqli, sehingga tradisi tersebut menjadi sebuah tradisi lokal yang bernafaskan Islam

 

 

2.  Beberapa Contoh Tradisi Lokal Yang Bernafaskan Islam

a. Selamatan / Kenduren setiap ada hajat seperti ingin pindah rumah, pembangunan, panenan (sedekah bumi), naik pangkat,  pelantikan, wisuda, serah-terima jabatan, sembuh dari sakit, mengadakan pertunjukan, dan lain-lain. Acaranya antara lain : pembacaan istighotsah, tahlilan, yasinan, dzibaan, khataman Al-Qur’an, dan doa-dzikir lainnya.  

b. Berkaitan dengan kehamilan : upacara hamil 3 bulan; hamil 4 bulan; hamil 7 bulan (mitoni/tingkepan);  hamil 9 bulan (mrocoti). Acaranya antara lain pembacaan surat Yusuf dan Maryam, khataman, tahlilan, pengajian, dan doa-dzikir lainnya.   

c. Berkaitan dengan kelahiran : menanam ari-ari, mengadzani telinga kanan dan meng-iqomati telinga kiri, Brokahan (selamatan kelahiran bayi), sepasaran, selapanan, puputan (copot puser), jagong bayen, pemberian nama, aqiqoh, khitanan, mandap siti (turun tanah).

d. Berkaitan dengan pernikahan: lamaran, peningsetan, midodareni (mandi calon penganten), akad nikah, resepsi, sepasaran (ngunduh mantu).  

e. Berkaitan dengan kematian : tahlilan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, haul, ziarah kubur, kirim pahala/doa, nyadran bulan ruwah, dll.

f. Berkaitan dengan PHBI : Maulid Nabi, Isro’-Mi’roj, Nuzulul Qur’an, Unjung-unjung (shilaturrahmi hari raya), syawalan, Qurban, Muharrom (syuro), Nisfu Sya’ban, Sekaten, Grebeg (mengarak nasi tumpeng gunungan  dalam rangka maulud Nabi, besar, poso, syawal).

g. Berkaitan dengan Majlis dzikir yang ditradisikan misalnya sholawatan (dzibaan, berjanjen, nariyah), yasinan, istighotsahan, manaqiban, majlis semaan Al-Qur’an, dan sejenisnya.

 

Dan masih banyak tradisi-tradisi lain seperti peringatan ulang tahun, upacara bendera, rebo kasan, dan sejenisnya.

Senin, 22 Mei 2017

Perkembangan Kepustakaan Islam Jawa Sejak jaman Demak sampai Pajang





Masuknya agama Islam ke pulau Jawa segera diikuti oleh masuknya Kepustakaan Islam, baik yang berbahasa dan bertulisan Arab maupun Melayu. Kepustakaan tersebut, di samping memiliki peranan yang besar dalam penyebaran Islam, juga berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan Kepustakaan Jawa yang dahulunya bercorak kehinduan, sehingga menjadi sebuah Kepustakaan Jawa yang diwarnai dengan unsur-unsur Keislaman.
Yang dimaksudkan dengan Kepustakaan Islam adalah semua kepustakaan yang berisi aspek-aspek ajaran Islam, baik yang berbahasa dan bertulisan Arab, Melayu, Jawa maupun yang berbahasa lainnya. Kepustakaan Islam yang berbahasa Arab disebut Kepustakaan Islam Arab; yang berbahasa Melayu disebut Kepustakaan Islam Melayu; dan yang berbahasa Jawa disebut Kepustakaan Islam Jawa. Pembagian dan pembatasan istilah semacam ini tidak mutlak. Hal ini dimaksudkan untuk menolong dan mempermudah pembahasan terhadap jenis-jenis Kepustakaan Islam yang berkembang di Jawa.
Menurut Simuh (1988; 3 dan 21 – 23), bahwa Kepustakaan Islam Jawa  masih dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni Kepustakaan Islam Santri  dan  Kepustakaan Islam Kejawen. Pembagian ini didasarkan atas isi kandungan masing-masing kepustakaan. Kepustakaan Islam Santri berisi aspek-aspek ajaran Islam yang lebih terikat oleh syariat dan tata aturan hukum Islam (fiqih) secara formal, sebagaimana yang nampak pada kehidupan keagamaan kaum “Santri”. “Santri” di sini adalah dalam pengertian sebagai orang yang menjalankan syariat islam dengan ketat dan tekun, khususnya shalat lima waktu, serta menjadikan syariat tersebut sebagai dasar yang fundamental dalam semua aspek kehidupan sehari-harinya. Walaupun tidak bersih sama sekali dari unsur-unsur Hindu-Budha atau kepercayaan lainnya, namun masih tetap dominan dan lebih dekat kepada dogma-dogma Islam yang sebenarnya. (Koentjaraningrat, 1984; 312).
Sedangkan Kepustakaan Islam Kejawen adalah berisi aspek-aspek ajaran Islam, khususnya aspek tasawwuf atau mistik islam, yang disinkretiskan dengan unsur-unsur kepercayaan dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya. Dengan kata lain, jenis Kepustakaan ini lebih menekankan pada usaha mempertemukan antara aspek-aspek ajaran Islam dengan unsur-unsur keperayaan dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya, sebagaimana yang biasa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari orang “Islam Kejawen”. “Islam Kejawen” adalah dalam pengertian sebagai orang Islam yang kurang taat menjalankan syariat, khususnya shalat lima waktu, dan masih teguh mempertahankan kepercayaan atau tradisi lama (Hindu-Budha) dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lebih menekankan pada aspek Batiniah atau Mistik daripada aspek lahiriah atau syariat. (Koentjaraningrat, 1984 ; 310 – 312).  Atas dasar pengertian ini, maka yang mejadi ciri khas Kepustakaan Islam Kejawen adalah lebih banyak berisi ajaran mistik Islam atau tasawwuf, dan sangat sedikit atau bahkan mengabaikan ajaran syariat Islam yang sebenarnya. Jenis Kepustakaan ini dapat juga disebut “Kepustakaan Islam Mistik Kejawen”. (Simuh, 1988 ; 21 – 23).
Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa sering dihubungkan dengan kondisi kehidupan masyarakat muslim di Jawa. Jenis “Kepustakaan Islam Santri” lebih berkembang di sekitar daerah pesantren dan daerah pesisir utara Jawa, dimana mayoritas kaum santri berdomisili di daerah tersebut. Sedangkan jenis “Kepustakaan Islam Kejawen” lebih berkembang di sekitar istana Kerajaan wilayah pedalaman,  lebih-lebih pada jaman kerajaan Mataram Islam. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi corak dan watak kedua jenis Kepustakaan tersebut,  yakni “Gaya Pesisiran” buat Kepustakaan Santri dan “Gaya Mataraman” buat Kepustakaan Kejawen. Meskipun tidak dapat disangkal adanya kemungkinan bahwa Kepustakaan Islam Santri  terkadang Bergaya Mataraman atau sebaliknya.
Berikut ini adalah beberapa Kepustakaan Islam Jawa  yang berkembang sekitar abad 16 sampai abad 17 masehi, sekitar jaman munculnya buku Suluk Wujil. Pembahasannya didasarkan atas pembagian waktu atau jaman, yaitu : 1. Jaman kerajaan Demak;  2. Jaman kerajaan Pajang dan Mataram.

1. Jaman  Kerajaan  Demak

Kepustakaan Islam Jawa  yang sangat tua masih dapat diketemukan, yang diduga berasal dari abad ke-16, yakni jaman kerajaan Demak, berupa dua manuskrip yang kemudian lebih dikenal nama Het Boek van Bonang (Buku sunan Bonang) dan Een Javanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw (Buku Primbon Jawa Abad Keenambelas), dan juga kitab Koja Jajahan dan Suluk Sukarsa. Kedua kitab yang terakhir ini termasuk kitab tua yang muncul sebelum munculnya kitab Suluk Wujil, yang walaupun belum diketahui secara pasti waktu penulisannya, namun dapat diperkirakan muncul pada jaman kerajaan Demak.
a. Kitab Bonang, Het Boek van Bonang.  Naskah kitab ini diketemukan oleh seorang pedagang dari Amstredam Belanda bernama Van Dulmen di daerah pesisir Sidayu Gresik. Naskah ini kemudian diserahkan dan disimpan di Perpustakaan Leiden Belanda pada bulan Nopember 1587 M. (Poesponegoro, M.D.,Dkk., 1993 ; 208). Naskah ini berasal dari karangan Sunan Bonang yang kegiatannya dapat ditentukan antara tahun 1475 – 1525 M, yang berarti naskah ini muncul pada masa pemerintahan Islam di Demak. Isinya menyangkut ajaran Islam, terutama tentang ilmu Tauhid dan Tasawwuf menurut ajaran Imam Al-Ghazali, sebagaimana yang dijelaskan pada bagian pertama kitab tersebut :
Teks asli (Schrieke, 1916 ; 92) :
“Nyan punika caritanira Shaich al-Bari: Tetkalanira apitutur dateng mitranira kabeh; kang pinuturaken wirasaning ushul suluk – wedaling carita saking kitab Ihya’ Ulumiddin lan saking Tauhid – antukira Shaich al-Bari ametet I(ng) ti(ng)kahing sisimpenaning Nabi Wali mukmin kabeh…”

Terjemahan :
“Inilah cerita Shaich al-Bari tatkala memberi petuah kepada sahabatnya sekalian. Yang diajarkannya ialah arti dari pada Ushul Suluk, asal cerita dari kitab Ihya’ Ulumiddin (karya Imam Al-Ghazali) dan dari Tauhid yang oleh Shaich al-Bari diperolehnya dari memetik tingkah laku yang dirahasiakan oleh Nabi Wali mukmin sekalian …”.

Kutipan di atas mejelaskan bahwa Buku Bonang  berisi ajaran tasawwuf yang diambil dari kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh ajaran Al-Ghazali terhadap Sunan Bonang, sebagaimana juga pada kebanyakan pengarang muslim dan ulama pada jaman itu. Di samping bahwa  pengaruh pemikiran tasawwuf Ibnu Arabi juga besar, khususnya pada pengarang muslim pada jaman-jaman permulaan. (Bruinessen, M.V., 1993 ; 15).
Keterpengaruhan Sunan Bonang terhadap ajaran tasawwuf Imam Al-Ghazali ini dapat disaksikan pada sikapnya yang ortodoks dalam usahanya untuk memadukan antara aspek syariat dengan tasawwuf, serta sikapnya dalam menentang setiap ajaran mengenai persoalan Ketuhanan atau Tasawwuf yang dipandangnya sesat, misalnya ajaran yang dikemukakan oleh aliran Mu’tazilah, Jabbariyah, Karramiyah, Arabiyyah – aliran Ibnu Arabi. (Schrieke, 1916 ; 88 – 114).
Buku-buku Babad menggambarkan betapa hebatnya Sunan Bonang menentang ajaran sesat Seh Siti Jenar. Demikian pula buku Sejarah Nasional Indonesia III, yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993 ; 208 – 209) menceritakan usaha Sunan Bonang menentang segala ajaran Ketuhanan kaum sufi heterodoks pada saat itu. Kaum sufi heterodoks berpandangan, bahwa apa yang “Ada” adalah Allah, dan apa yang “Tiada” adalah Allah. “Ketiadaan” Allah adalah pada saat tidak menciptakan, dan hal ini menunjukkan tentang Kemahacucian-Nya, sebab Dia itu “Sendirian” dan “Kesepian” (Awang-uwung) yang hanya dapat diketahui oleh “ketiadaan” yang mengitari-Nya. Menghadapi pandangan sesat seperti ini, Sunan Bonang menyiapkan bantahannya, bahwa Allah itu Maha Tinggi dan Maha Luhur, Yang tiada didahului, tidak diiringi dan tidak dikelilingi  oleh “ketiadaan”. (Schrieke, 1916 ; 94 – 96).
Sunan Bonang sekali lagi memaparkan ajaran mengenai Tuhan sesuai dengan penafsiran ulama sunni yang ortodoks, berdasarkan faham Al-Ghazali. Dia secara tegas menentukan batas keberadaan antara “Ada”-Nya Tuhan dan “ada”-nya makhluk, sebagaimana kutipan dari Kitab Bonang (Schrieke, 1916 ; 103) berikut ini :

Teks :
“Satuhune ananing Pangeran kang asifat Saja Langgeng Mahasuci tan Lyan ananira uga, kang tan bastu-jisim ananira kang purba, andadeken kang asifat sukma jati tan anuksma  tan sinuksma tan awor lan saliwing (du)madi kabeh, rehing langge(ng) anani(ng) kang purba, mapan ananira Mahasuci suksmanira wibuh sampurna elok Mahamulya Mahaluhur, utawi ananira tan ana wikana ing suksmanira tan lyan(ing) piambekira kang wikan ing suksmanira pribadi”

Terjemahan:
“Sesungguhnya adanya Tuhan itu bersifat Tunggal, Langgeng dan Mahasuci. Dan itu bukan sesuatu yang lain daripada Ada-Nya (kodrat-Nya) yang tidak material, yang pada awal mula memberikan “ada” kepada segala sesuatu. Sesungguhnya Dia tidak termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan buah ciptaan-Nya, karena Dia “Tidak ada” sebelum segala sesuatu, dan bersifat Langgeng dan Mahasuci. Sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi segala sesuatu, sempurna, elok, Mahamulia, Mahatinggi dan Mahaluhur. Mengenai hakekat-Nya, tidak seorang pun yang tahu akan sifat-Nya yang lepas dari kebendaan (suksma). Hanya Dia sendiri yang maklum (mengetahui) akan Jiwa-Nya”.

Melihat isinya seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa Buku Bonang (Het Boek van Bonang) tergolong Kepustakaan Islam Santri yang ditulis dalam bentuk “serat Wirid”.
Menurut penelitian G.W.J. Drewes, sebenarnya kitab tersebut lebih tepat berjudul “The Admonition of Seh Al-Bari” (Pitutur Seh Al-Bari), karena cerita Seh Al-Bari mendominasi bagian isi kitab tersebut. (Simuh, 1988 ; 23).

b. Primbon Jawa Abad Keenam Belas, “Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw”. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa yang bergaya jawa tengahan. Isinya berupa kumpulan doa-doa, jampi-jampi, serbaneka masalah agama Islam, terutama aspek akhlaknya. Pada bagian akhir kitab tersebut telah diuraikan tentang “Tanda-tanda orang yang sedang berkedut”, sebagaimana kutipan berikut ini. (Drewes,GWJ, 1954 : 94) :

Teks :
“… lamun kekeduten sarandune awake, (ngalamate) aningali sarwa endah. Lawan kekeduten sirahe, ngalamate olih dolalating (daulating) wong agung kalawan kinasihan dening wong agung. Lawan kekeduten embun-embune, ngalamate dadi mantri. Lawan kekeduten ing bathuk, ngalamate olih artha kang halal…Lawan kekeduten ing jijithok, (ngalamate) enteng atine. Lawan kekeduten alise kang tengan, ngalamate oleh artha akatah. Lawan kekeduten alise kang kiwa, ngalamate atetemu kalawan kakasih… “

Terjemahan:
“… Jika yang berkedud itu sekujur tubuhnya, itu pertanda akan melihat semua yang indah. Jika yang berkedut itu kepalanya, suatu pertanda akan mendapatkan anugerah dari pembesar/pejabat, juga dikasihi oleh mereka. Berkedud pada ubun-ubun kepalanya adalah pertanda menjadi Menteri. Berkedud pada dahinya, pertanda akan mendapat harta yang halal… Berkedud pada tengkuknya, pertanda gelap hatinya. Berkedud pada alisnya yang kanan, pertanda akan memperoleh harta yang banyak. Dan berkedud pada alisnya yang kiri, pertanda akan bertemu dengan kekasihnya…”
Penulis kitab tersebut belum dapat diketahui namanya. Namun demikian, kitab ini diperkirakan muncul pada paruh kedua abad ke-16 masehi, semasa dengan Buku Bonang.

c. Suluk Sukarsa. Kitab ini tergolong tua usianya, lebih tua daripada Buku Bonang dan Buku Primbon di atas. Isinya menyangkut ajaran mistik Islam kejawen yang berfaham heterodoks. Uraian mengenai ajarannya ada kemiripan dengan apa yang ada pada kitab Dewa Ruci. Hanya saja kitab Suluk Sikarsa ini diberi baju Islam. (Poerbatjaraka, 1952 ; 100). Kitab tersebut berbahasa Jawa Tengahan, yang memakai tembang kuno “Sloka”. Dalam salah satu bagiannya, Suluk Sukarsa terkadang memakai perumpamaan atau kata simbolis Laut dan Perahu untuk menjelaskan ajaran Manunggaling kawula-Gusti, yang mirip sekali dengan uraian Hamzah Fansuri dan murid-muridnya. Berikut ini sebagian kutipan dari kitab tersebut, (Poerbatjaraka, 1952 ; 102 – 103) :

Teks :
“Ki Sukarsa wus alayar // ing sakatahing segara // margane tekang ma’rifat // tan aetung urip pejah // damare murup tan pejah // panganggo mulya tan rusak // asangu tan kena telas // angungsi ing desa Jimbar // Ki Sukarsa dennya layar // perahu sabar darana // shalat mangka tiyangira // kinamuden pangawikan // linayaran amangun hak // winelahan niyat donga // den watangi paneneda // den pulangi lawan tobat // den labuhi sukurullah // den taleni lan kana’at // den pulangi lan wicara // den damari ma’rifat // Ki Sukarsa denya layar // wus tekeng segara rahmat // kawasa denira layar // wus tekeng segara ora …”

Terjemahan :
“Ki Sukarsa telah berlayar di segala lautan. Jalannya sampai ke ma’rifat, tak menghitung hidup mati; diannya menyala tiada padam, pakaian mulia tiada rusak; berbekal tak kunjung habis, mengungsi ke desa luas. Ki Sukarsa layarnya, berperahu sabar-darana. Shalat akan menjadi tiangnya; berkemudi pangawikan (yang) dilayari membangun hak, berkayuhkan niat dan doa; bergalahkan permintaan, dibubuh dengan tobat… Ki Sukarsa berlayarnya telah sampai ke lautan rahmat. Kuasa pula berlayar, hingga sampai ke lautan Tiada…”

Kemiripan syair tersebut dengan kidung Hamzah Fansuri terlihat pada kutipan berikut ini :
“Wujud Allah nama perahunya… iman (kepada) Allah nama kemudinya, yakin akan Allah nama pawangnya, taharat dan istinjak nama lantainya, kufur dan maksiat air ruangnya, tawakkal akan Allah juru batinnya, illa akan talinya, Kamal Allah akan tiangnya…”.

Hal itu menunjukkan, bahwa pada saat itu pengaruh ajaran Hamzah Fansuri yang berfaham tasawwuf heterodoks (yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi) diduga telah masuk ke pulau Jawa.

d. Kitab Kojah Jajahan.  Giri Prawata merupakan pusat pemerintahan Ulama pada waktu sebelum dan sesudah berdirinya kerajaan Demak. Ditegaskan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 104 – 107), bahwa pada saat itu telah muncul sebuah kepustakaan yang berjudul Kitab Kojah Jajahan, yang diduga berasal dari Giri Prawata. Isinya menyangkut ajaran akhlak atau budi pekerti yang baik, yang digubah dalam bentuk Cerita. Gaya bahasanya sangat indah, akan tetapi susunan kata-katanya banyak yang rusak. Kerusakan ini mungkin karena penulisnya berasal dari daerah pesisir utara Jawa yang logat bahasanya terpengaruh oleh bahasa luar Jawa. Dilihat dari segi isinya, cerita yang ditampilkan nampaknya masih baru, artinya baru saja masuk ke pulau Jawa, yang diduga berasal dari negara Arab yang dibawa masuk ke Jawa oleh para pedagang muslim.
Inti dari cerita kitab tersebut adalah, bahwa ada seorang Patih yang bernama Kojah Jajahan yang mempunyai budi pekerti yang sangat baik dan luhur, sangat berbakti kepada Rajanya, tekun beribadah, sangat adil dan bijaksana. Perangai semacam ini membuat Sang Raja sangat hormat dan mengasihinya, sehingga menyebabkan para pembesar lain irihati kepada Patih Kojah Jajahan,  maka timbullah fitnah terhadap dirinya beserta keluarganya yang mengakibatkan kematiannya.

2. Jaman  Pajang  dan  Mataram.

a. Kitab Nitisruti. Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa pada jaman Pajang dapat dikatakan tidak sesubur yang dialami pada jaman sebelumnya  (jaman Demak) dan sesudahnya (jaman Mataram). Kemungkinan hal ini disebabkan pengaruh politik pada saat itu, selain bahwa usia kerajaan Pajang sendiri hanya berlangsung singkat, yakni antara tahun 1550 – 1588 M, sehingga Sultan Hadiwijaya tidak sempat memikirkan perkembangan kebudayaan (kesusastraan). Meskipun demikian, ada satu kitab yang diduga muncul pada jaman ini, yakni kitab Nitisruti yang ditulis oleh Pangeran Karanggayam dari Pajang.
Menurut Poerbatjaraka (1952 ; 112 – 114), kitab tersebut meskipun ada pada jaman Pajang, akan tetapi penulisannya dikerjakan pada jaman Mataram, tepatnya ditulis pada  tahun 1591 M, sebagaimana kutipan berikut ini :

Teks :
“Punika kakawin Nitisruti anggitanipun Pangeran ing Karanggayam, lenggahipun empu jangga ing Pajang. Panganggitipun saking karsa dalem Kanjeng Sinuhun ing Pajang. Wiwitan dumugi ing wekasan sadaya 92 padha.
Sasampunipun tamat panganggitipun lajeng katedak sinerat dening Arya Dadap-tulis, lenggahipun panyarikan dalem ing Pajang. Wiwiting panyerat ing malem Rebo tanggal kaping 14 wulan Asyura ing tahun wawu, windu Sancaya nalika panganggitipun : Bahni Mahaastra Candra … Dados angkaning warsa 1513”.

Terjemahan :
“Inilah kakawin Nitisruti karangan Pangeran di Karanggayam, kedudukannya sebagai Pujangga di Pajang. Ia mengarang atas kehendak Sinuhun Pajang, dari mula sampai pada akhirnya semuanya ada 92 bait.
Sesudah selesai dikarangnya itu, lalu disalin oleh Arya Dadap-Tulis, kedudukannya sebagai Juru Tulis Raja di Pajang, Mulai menulisnya pada malam Rabu tanggal 14 bulan Asyura tahun Wawu, windu Sancaya. Sengkala tatkala mengarangnya adalah Bahni Mahaastra Candra… Jadi angka tahunnya 1513 Syaka (atau tahun 1591 masehi)…”

Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa semakin subur setelah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Kalangan istana Mataram sendiri kelihatannya sangat berkepentingan untuk mempertemukan dan memadukan antara Tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam, sehingga muncullah beberapa Kepustakaan yang lebih didominasi oleh corak Kepustakaan Islam Kejawen. Keadaan ini semakin berkembang dan mencapai puncak kejayaannya pada jaman hidupnya R.Ng. Ranggawarsita dan Raja Mangkunegara IV. (Simuh, 1988 ; 23 – 25).

b. Kitab Suluk Wujil dan Suluk Malang Sumirang. Kitab-kitab Suluk yang diduga muncul pada jaman pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (tahun 1601 – 1613 M), antara lain adalah Suluk Wujil dan kitab Suluk Malang Sumirang, yang keduanya sama-sama berisi ajaran tasawwuf.
Kitab Suluk Malang Sumirang merupakan  sebuah kitab mistik islam kejawen yang digubah oleh Sunan Panggung, seorang putra Sunan Kalijaga. Waktu penulisannya berdekatan dengan penulisan kitab Suluk Wujil. Isi kandungannya menyangkut ajaran mistik Islam yang berfaham heterodoks, sebagaimana faham yang dianut oleh Seh Siti Jenar dan murid-muridnya. Kitab ini kurang menghargai syariat, bahkan menolak ajaran Islam ortodoks. Pada beberapa bait syairnya, kitab ini menjelaskan bahwa puncak kesempurnaan seseorang adalah terletak pada ketidakpercayaannya kepada Tuhan (“Kapir-kupur”), sebagaimana kutipan berikut yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 110 – 111) :
Teks :
“(11). Dosa gung alit tan den singgahi // ujar kepar kupur kang den ambah // wus luwung pasike pane // tan adulu dinulu // tan angrasa tan angrasani // wus lan ana pinaran // pan jatining suwung // ing suwunge iku ana // ing anane iku surasa sejati // wus tan ana rinasan.”

Terjemahan :
“(11). Segala dosa besar-kecil tak disingkiri, perkataan kupur kapir yang diturut, telah mabuk (akan) kelengkapannya, tiada pandang memandang, tiada merasa, tak pula melepas rasa, tiada lagi yang harus dituju, memang sesungguhnya kejatiannya ialah kekosongan, dalamkekosongan ada hadir, dan dalam hadir itu (tersimpan) makna sejati, sudah tiada ADA yang harus dirasakan”.

Sebagaimana isi kandungan di atas, Tuhan dilukiskan secara negatif, alias “Suwung” (kekosongan). Ide ini nampaknya dipengaruhi oleh ide-ide yang umum tersebar di pulau Jawa sebelum datangnya agama Islam, yang merupakan ciri khas kitab Suluk Islam heterodoks, yakni melukiskan Allah sebagai “Ketiadaan” atau “Suwung”. Pandangan seperti ini juga diceritakan didalam Buku Bonang, yang selanjutnya dipertentangkan dengan pandangan bahwa Allah itu lebih dari apa yang mereka gambarkan sebagai “Ketiadaan” itu. (Schrieke, 1916 ; 94 – 96). Hal ini menunjukkan bahwa pandangan kaum heterodoks tersebut sudah  tersebar dengan luasnya di kalangan masyarakat Jawa, di samping juga pandangan ortodoks.
Teka-teki mengenai arti “Suwung” atau “Kekosongan” sebagaimana tersebut dalam kutipan di atas, sering juga dijumpai pada kitab-kitab Islam Kejawen lainnya. Misalnya pada kitab Gatoloco terdapat sebuah ungkapan dalam salah satu bagian syairnya : “Kinen sujud Nabi Adam // iku dudu Adam Nabi // Adam iku suwung wungwang // ingkang langgeng kahanane… “. Dan juga pada kitab Centhini dan kitab-kitab sejenis lainnya, sehingga sangat sukar menangkap arti “Suwung” yang sebenarnya, apakah dalam pengertian obyektif ataukah subyektif, dalam keadaan ekstasis atau Fana’?. (Zoetmulder, 1991 ; 209).