Selasa, 22 September 2020

SEJARAH TRADISI ISLAM DI NUSANTARA

  

A.  MANUSIA ADALAH MAKHLUK BERBUDAYA


Kelebihan manusia diatas makhluk lain terletak pada kemampuannya dalam menciptakan kebudayaan dan perada-bannya.

QS At-Tin ayat 4 dijelaskan, bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik bentuk ciptaannya (Ahsanu Taqwim), baik dari segi fisik (raga) maupun psikhis (jiwa). Secara kejiwaan, Allah me-lengkapi manusia dengan akal dan nafsu secara seimbang, sehingga muncul dari diri manusia tiga daya atau potensi yang meliputi cipta, rasa dan karsa. Dengan ketiga potensi / daya tersebut, manusia mampu melahirkan kebudayaan dan peradabannya, sehingga mengantarkan-nya menjadi makhluk yang terunggul dan terhormat diatas makhluk Allah lainnya.

Jadi, kelebihan manusia atas makhluk lainnya terletak pada ke-mampuannya dalam menciptakan kebudayaannya sendiri, sehingga paslah jika manusia  disebut sebagai makhluk berbudaya.

Allah menyinggung kelebihan manusia atas makhluk lainnya dalam QS Al-Isro’,[17] : 70

Artinya :  Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.

 

Oleh karena itu, kehidupan manusia  tidak  dapat  dilepaskan  dari kebudayaan dan peradabannya.

Kebudayaan dan peradaban manusia berbeda-beda. Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor lingkungan hidup dan agama atau kepercayaan yang dianut. Diantara bentuk kreasi-karya manusia dalam bidang  ini  berupa tradisi-tradisi.

 

Terjadinya Akulturasi Budaya

Sejak dulu, bangsa Indonesia kaya dengan kreasi budaya (tradisi), baik yang berupa karya seni (seni budaya) maupun upacara adat. Agama Islam masuk ke Indonesaia pada akhir abad ke-7 dan pesat berkembang sejak abad ke-13, atas peran para pedagang muslim dan muballigh dari bangsa arab, gujarat dan persia. Sementara itu, budaya dan tradisi lokal bangsa kita tersebut tetap berjalan seiring dengan budaya dan tradisi Islam.  Setidaknya, budaya dan tradisi Islam yang dibawa oleh ketiga bangsa tersebut sedikit banyak turut mewarnai budaya dan tradisi lokal (Indonesia), sehingga terjadinya akulturasi  (pembauran) di bidang budaya dan tradisi ini tidak dapat dihindari. Tidak menutup kemungkinan bahwa budaya dan tradisi yang satu mendominasi (menguasai) yang lain, yang pada akhirnya lahirlah  budaya dan tradisi baru, yakni budaya dan tradisi Islam Indonesia, atau Budaya dan Tradisi Lokal yang Bernafaskan Islam.

 

 

B. SENI BUDAYA LOKAL BERNAFASKAN ISLAM

 

Yang dimaksud dengan Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam ialah  segala bentuk kesenian yang berasal dari dan berkembang di daerah-daerah di Indonesia yang dipengaruhi oleh Islam dan memiliki nilai-nilai keislaman. .

 

1.  Keterkaitan Seni Budaya dengan Islam.

Islam adalah agama yang paling sempurna. Selain mengatur hubungan manusia dengan Alloh swt (Ibadah), Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Muamalat).

Di bidang mu’amalat, Islam mengatur tata kehidupan kaum muslimin dalam berbudaya, baik dalam aspek kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (sosial-politik), berekonomi, berkesenian, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.

 

Kesenian identik dengan keindahan. Sebagai pendorong kaum muslimin dalam aspek kehidupan berkesenian adalah Hadis Nabi saw :

اِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ

Artinya :"Alloh swt itu Maha Indah. Dia menyukai keindahan". (HR Muslim).

Dengan kata lain, orang yang menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya, maka segala aspek kehidupan berbudayanya, tentu akan diwarnai dan dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman yang diyakininya itu. Dengan begitu, seni budaya yang diciptakan kaum muslimin tersebut tentu terkandung nilai-nilai keislaman, di samping juga ada nilai-nilai lokal / kedaerahan, karena kehidupan manusia tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan dimana ia hidup.

 

2.  Berbagai Macam Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam

Seni budaya banyak cabang dan macamnya. Diantaranya adalah seni suara, seni musik, seni tari, seni sastra, pertunjukan, seni lukis, seni pahat dan ukir, seni pakaian,  seni kaligrafi, seni arsitektur-bangunan, dan lain-lain.

 

a. Wayang dan Tembang Mocopat

Asal usul Wayang berasal dari India yang digunakan untuk menceritakan ajaran Hindu yang diambilkan dari kitab Mahabarata. Pada abad -15, seni ini diperbaiki dan dikembangkan dalam bentuk baru oleh Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, untuk dijadikan sebagai metode dakwah yang cukup efektif saat itu. Sumbangan Sunan Kalijaga antara lain menambah perangkat debog (batang pisang), keber, blencong atau dian, dan penyusunan cerita-cerita carangan, dan lain-lain.

Cerita-cerita (lakon) wayang  yang tadinya diambil dari kitab Mahabarata dan Ramayana, lalu diselipi nilai-nilai simbolik yang bernafaskan islam. Bahkan diganti dengan cerita atau lakon carangan buatan sendiri. Misalnya lakon Dewa Ruci, Jimat kalimosodo, Petruk dadi Ratu, Semar ambarang Jantur, Mustaka Weni, Pendowo Limo, dan lainnya. Lima  merupakan simbol dari Rukun Islam. Tokoh Puntadewa (simbol Syahadat), Wrek

5 orang tokoh dalam lakon Pandawa udara atau Bima (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat), dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (simbol Puasa dan Haji).

Lakon wayang Jimat Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan ketauhidan, Kalimat Syahadat.

Para “Dewa” dalam dunia wayang tidak dipandang sebagai Dewa setingkat Tuhan, akan tetapi sebagai “manusia istimewa” yang silsilahnya sampai kepada Nabi Adam.

Nama dan istilah dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman. Misalnya istilah “Dalang” diambil dari bahasa arab “Dalla”, artinya yang menunjukkan. Demikian pula nama “Petruk”, berasal dari kata “Fatruk”, artinya  maka tinggalkan. “Bagong”, dari kata “Baghoo” artinya lacut, durhaka, zhalim. “Semar” dari kata “Syimar”, artinya arif dan waspada.  (Ismunandar, K., 1988 ; 95-103).

 Dalam pementasan wayang, biasanya dselilingi dengan melagukan  Tembang Mocopat.  Seni suara  muncul di Jawa sekitar abad ke-15 dan 16 sebagai kreasi dari Walisongo. Syair yang dilagukan berisi ajaran Islam, terutama tauhid, akhlak dan tasawwuf. Diantaranya: tembang Dandanggula (karya S. Kalijaga), Asmaradana dan Pucung (S. Giri), Durma (S. Bonang), Maskumambang dan Mijil (S. Kudus), Sinom dan Kinanti (S. Muria), Pangkur (S. Drajat).

Selain itu, ada tembang dolanan bocah, yaitu nyanyian untuk anak-anak, diantaranya karya Sunan Giri, seperti tembang Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok, Cublak-cublak Suweng, Gendi Gurit, Jamuran, Jitungan, dll,

 

b.  Gambus, Kasidah, Hadhrah, Al-banjari, dan Qiro’ah

 Musik gambus berasal dari arab. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair-syair arab, terkadang juga syair bahasa Indonesia. Alatnya meliputi : kecapi petik, gambus, rebana kecil, dan marawis.

Qosidah artinya puisi. Dalam hal ini dipahami sebagai seni suara yang bernafaskan Islam yang lagunya diambil dari syair-syair arab, dari kitab qasidah Barzanji, dan kitab qasidah lainnya, terutama yang berisi sholawat Nabi, dan diselipi ajaran moral. Alat musiknya seperti gambus.

Bahkan, group Qosidah Modern seperti  Group Nasida Ria dari Semarang, melengkapi dengan peralatan musik elektronik modern.  Syair lagunya pun bervariasi, selain sholawat Nabi  adalah syair-syair berbahasa Indonesia yang berisi ajaran keislaman, terutama akhlak.

 

Hadhroh dan Al-Banjari sebagian besar alatnya dari rebana. Syairnya diambil dari qasidah barzanji, diba;iy, dan sya'ir sholawat Nabi.

Hadhroh, gambus, qosidah dan Al-Banjari biasa dimainkan dalam acara semecam khitanan, pernikahan, pengajian, dan acara keislaman lainnya.

Di Banyuwangi ada seni Kuntulan: perpaduan antara musik dan tari Banyuwangi dan Hadhroh.

Sedangkan tentang seni melagukan bacaan Al-Qur’an dengan suara merdu atau Qiro’ah, merupakan seni budaya Islam yang memiliki  7 versi lagu sebagai kreasi dari orang Hijaz, Mesir, Persia, Turki, dan arab lainnya, meliputi lagu Bayati,  Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Sikah dan Jiharkah. Seni ini semakin terkenal luas setelah adanya event MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an).

 

c. Tari Zapin dan Tari Sufi Seudati

Tari Zapin diperagakan dengan gerak kaki dan tangan yang indah dan lincah. Tari ini muncul di daerah Riau Sumatera untuk mengiringi irama musik gambus, kasidah dan hadhroh. Penarinya semuanya lelaki.

Tari Sufi Seudati berasal dari tarian para sufi di Aceh. Penarinya semua lelaki. Bunyi musiknya dari tubuh penari sendiri seperti menepuk tangan, dada, dan mengertakkan jari.

 

d.  Lukis, Pahat, Ukir, Batik, Busana

Sebelum datangnya Islam, ketiga seni tadi sudah berkembang, demi kepentingan agama Hindu Budha dan diwarnai dengan corak gambar binatang, manusia, dewa. Diantara hasilnya berupa: Patung dewa, ukiran / patung binatang, relif di candi, ukiran di gapura, dll. 

Setelah Islam masuk, lalu diubah dengan bercorak/motif tetumbuhan, pepohonan, benda mati, dan ukiran kaligrafi arab (ayat Al-Qur’an- Hadis).

Pakaian asli penduduk di Indonesia biasanya membuka aurat, misalnya di Jawa, wanitanya memakai Kemben. Setelah Islam masuk, seni berbusana menjadi terpengaruh, yakni sopan dan menutup aurat. Maka, muncul mode pakaian seperti  Baju Takwa, Baju Teluk Belanga, Kerudung, Jilbab, Songkok atau Kopiah, blangkon, baju surjan, serban  dan lain-lain.

Dari kalangan Walisongo, Sunan Kalijaga cukup kreatif  dalam menciptakan beberapa cabang kebudayaan, terutama bidang kesenian yang sangat kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat kreatif merubah corak dan bentuk seni yang sudah lama berkembang di masyarakat setelah terlebih dahulu dimuati nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir, yang pada jaman pra Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa (manusia dan binatang), kemudian diubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan dan lainnya yang tidak bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan bentuk atau mode baju yang lebih dikenal dengan baju Takwa. Seni batik yang pada jaman pra Islam diwarnai dengan motif illustrasi gambar burung, yang dalam bahasa kawinya disebut kukila, lalu diberi makna sesuai dengan yang dikehendaki Islam. "Ku" berasal dari bahasa arab Qu yang berarti jagalah, dan "kila" dari bahasa arab Qila, berarti yang diucapkan. Dengan demikian, gambar burung "kukila" mengandung pesan, bahwa seseorang hendaklah mampu menjaga lisannya. 

  

e.  Sastra Bercorak Tasawwuf


Di Luar Jawa

Antara abad 15-17, di Sumatra berkembang karya sastra dan ilmiah bercorak tasawwuf dari ulama besar masa kesultanan Aceh Darussalam yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan corak pemikiran keislaman (tasawwuf) di Indonesia.

1). Karya Hamzah Fansuri : Asrorul ‘Arifin fi Bayani as-Suluk wat Tauhid, dan Syair Perahu. Keduanya berisi ajaran ilmu kalam (teologi) dan tasawwuf menurut faham  Wahdatul Wujud. Karya lainnya: Syair Dagang, Syair Jawi, Syarabul ‘Asyikin.

2). Karya Syamsuddin as-Sumatrani: Mir’atul Mu’minin, berisi tanya jawab soal ilmu kalam.

3). Karya Nuruddin ar-Raniri (ulama’ Ahlis-Sunnah abad 17) : As-Shirotul Mustaqim (fiqih), Bustanus-Salatin (politik, tuntunan bagi Raja), Tibyan fi Ma’rifatil Adyan (bantahan terhadap faham Wahdatul Wujud-nya Hamzah Fansuri Cs).

4). Abdurrauf Singkel : pengembang tarekat Syattariyah, ia menghidupkan kembali faham Hamzah Fansuri, terutama teori Martabat Tujuh. Pengaruhnya sampai ke Jawa melalui muridnya, yakni  syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya Jawa Barat. 

Karya dan ajaran keempat ulama tersebut mempengaruhi faham tasawwuf di Jawa, yakni faham ahlussunnah ala  Walisongo, dan faham manunggaling kawulo-gusti ala Sekh Siti Jenar.

 

Di Sulawesi, muncul Syekh Yusuf Makassar (abad 17) dengan 20 buah judul karya tulis bercorak tasawwuf faham Ahlussunnah.

 

Di Kalimantan, muncul syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (abad 19), penulis kitab fiqih : Sabilul Muhtadin.

 

Di Jawa : Suluk, Wirid, Primbon

Dalam bidang sastra, di Jawa pada abad 16-18, muncul tiga kitab karya sastra yang berisi ajaran Islam bercorak tasawuf, yakni  Kitab Suluk, Wirid dan Primbon, yang diduga terkait dengan karya ulama Sumatera.  

Kitab Suluk, yaitu karya tulis  berbentuk puisi, berbahasa jawa-tengahan, berisi ajaran tasawuf, sebagiannya terpengaruh oleh Syair-syair karya Hamzah Fansuri. Misalnya kitab Suluk Wujil, suluk Malang Sumirang, suluk Syekh Malaya, suluk Sukarso, dll.

Kitab Wirid, yaitu karya tulis dalam bentuk ulasan bebas (prosa), berisi ajaran tasawwuf dan akhlak. Misalnya Het Book van Bonang (kitab Sunan Bonang), Serat Wirid Hidayat Jati (karya Ronggowarsito) .

Sedangkan Kitab Primbon yaitu karya tulis berbentuk ulasan bebas (prosa), berisi kumpulan dari berbagai aspek ajaran Islam (tauhid, syariat, akhlak-tasawwuf, pengobatan, ramalan dan lain-lain. Misalnya buku Primbon Abad ke-16 (Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw)  yang diduga peninggalan Sunan Bonang.

Pada perkembangan selanjutnya, di abad 19, muncul Syekh Muhammad Nawawi al-Banteni yang menjadi ulama besar di jazirah Arab saat itu. Karyanya berjumlah 26 buah judul, yang terkenal berjudul Tafsir Al-Munir, ‘Uqudul Lujain, dll. 

 

f. Arsitektur : Bangunan Masjid

 

Bangunan Masjid-masjid khas Indonesia, terutama yang dirancang para Walisongo, merupakan bentuk akulturasi (pembauran) dengan bangunan candi, pura, stupa. Memiliki ciri-ciri dan corak khusus, antara lain :

 

1). Atap Masjid

Atapnya bersusun (tumpang) dan berbentuk ,eruncing ke atas. Ada yang bersusun tiga sebagai simbol tingkatan dalam beragama: Iman, Islam, Ihsan, atau syari'at, thariqot, dan haqiqat. Di atasnya ada mustoko, sebagai simbol Ma’rifat.  Seperti di Masjid Agung Demak, masjid Agung Kraton (Jogjakarta, Surakarta, dll), dan masjid-masjid kuno di Jawa. Ada yang beratap seperti tumpeng, seperti masjid-masjid di daerah Banten.

Masjid beratap Kubah (asal bangunan Arab) tidak ditemukan pada masjid kuno khas Indonesia, tetapi perkembangan modern. Seperti masjid Baiturrahman di kota Banda Aceh, masjid Syuhada’ Jogjakarta, Istiqlal di Jakarta. dll. Tetapi puncaknya tetap berbentuk runcing mengarah ke atas.

Atap atau kubah yang meruncing ke atas terkandung makna mengarah ke satu tujuan. Sebagai simbol bahwa segala bentuk usaha dan ibadah agar diarahkan kepada yang “Tunggal” yang di  atas, yakni Alloh I.

 

2). Mihrob

 Di bagian barat ada bangunan menonjol ke luar mengarah ke kiblat berfungsi sebagai mihrob (pengimaman). Terkandung makna persatuan umat Islam, yakni meskipun berbeda dari  berbagai penjuru, hendaknya tetap berkiblat/berpedoman pada satu akidah Tauhid (dilambangkan Baitulloh). 

 

3). Menara Masjid

Menara berfungsi sebagai tempat mu’adzzin menyuarakan adzan dan iqomat, juga tempat memukul kenthongan dan bedug, pada awalnya tak ditemui di masjid-masjid Jawa, kecuali masjid di Kudus dan di Banten.

Bentuk bangunan Menara Kudus mirip Candi di Jawa Timur dan Pura di Bali.

 

4). Bedug dan Kentongan.

Selain Adzan-Iqomat, Bedug dan Kenthongan dimaksudkan sebagai alat memanggil sholat, terutama bagi yang rumahnya jauh dari masjid. Mengingat saat itu belum ada pengeras suara, speaker.

Menurut kisah, untuk memanggil orang sholat, Sunan Kalijaga memerintah-kan Sunan Pandanarang agar membuat bedug dan kentongan. Kentongan jika ditabuh berbunyi tong tong tong, sebagai lambang "Masjid masih kosong" (bahasa jawanya kothong) dan Bedug berbunyi deng deng deng, sebagai  simbol "Masjid masih muat" (bahasa jawanya sedheng).

 

 5). Lokasi Masjid

Letaknya di ibukota kerajaan atau kadipaten,. Biasanya didirikan sedekat mungkin dengan istana (kantor pemerintahan), menghadap alun-alun Kraton. Makna simbolik (filosofi)-nya : Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan Rajanya, sedangkan Masjid adalah tempat bersatunya rakyat dan Rajanya dengan Tuhannya. Yakni rakyat (makmum) bersama-sama dengan Raja (imam) menghadap kepada Alloh.

 

6). Makam

Bangunan makam biasanya terletak di sebelah barat masjid dan sekitarnya. Fungsinya sebagai Dzikrul maut (mengingatkan bahwa setiap orang hidup pasti akan mati, dan setelah hidup di dunia ini ada kehidupan lagi di akhirat yang lebih langgeng). Untuk itu, perlu  memperbanyak ibadah dan amal sholih, sebagai “Sangu” di alam akhirat.

 

 

C. APRESIASI TERHADAP  UPACARA TRADISI LOKAL

 

1.  Mensuriteladani Dakwah Walisongo

Sebelum Islam datang, berbagai tradisi, upacara dan adat istiadat sebagai pengaruh dari ajaran hindu, buda dan aliran kepercayaan berkembang subur secara turun temurun dan sulit dihilangkan.  Mulai dari urusan kelahiran, aktifitas sehari-hari (usaha, panen, khitanan, perkawinan, pembangunan, dll) sampai urusan kematian, selalu ada upacara dan kenduren-nya, lengkap dengan ubo rampe (sesajen) dan pembacaan mantera-mantera.

Tradisi dan upacara tersebut, jika dipandang dari segi agama Islam, tentu ada yang sesuai dan ada yang bertentangan dengan aqidah Islam. Melihat kenyataan seperti ini, para muballigh Walisongo, terutama kelompok Sunan Kalijaga, sungguh sangat cerdas dan bijaksana. Mereka berdakwah dengan pendekatan budaya. Mereka tidak antipati terhadap tradisi dan adat istiadat lama yang nampak bertentangan dengan aqidah islam dan sudah mendarah daging itu. Jika diberantas, masyarakat akan membenci dan semakin menjauh. 

Tradisi, adat istiadat dan upacara yang nampak bertentangan itu tidak diberantas seketika, tetapi tetap dilestarikan, sambil diubah sedikit-demi sedikit dengan disisipi nilai-nilai keislaman. Misalnya upacara adat atau kenduren istilahnya diganti dengan “Selamatan”; pembacaan mantera diganti dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, kalimat thayyibah (tahlilan) dan doa-doa Islam; sesajen untuk roh halus atau roh nenek moyang diganti dengan makanan atau berkat yang disajikan/disuguhkan sebagai shodaqoh kepada orang hidup yang mengikuti upacara tersebut. Adapun sesajen penting yang berupa aneka ragam  jajan pasar diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem, dengan diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata ketan dari bahasa arab Khatha-an yang berarti kesalahan atau dosa. Kata Kolak dari bahasa arab qaala yang berarti berkata atau berdoa; dan kata Apem  dari kata Afwun yang berarti ampunan. Dari ketiga nama makanan tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan-Nya. 

Dengan metode dakwah seperti itu, maka masyarakat dan budayanya secara tidak sadar dapat diislamkan. Itulah rahasianya, kenapa mayoritas penduduk Jawa, terutama yang tinggal di daerah basis hindu-budha, berduyun-duyun masuk Islam dalam jangka waktu yang sangat singkat.

Atas dasar pengalaman dakwah Walisongo di atas, kita seharusnya mencontoh mereka dalam mensikapi berbagai upacara tradisi dan adat istiadat lokal di daerah kita. Kita tidak boleh langsung bersikap antipati dan berkepala batu, lalu menuduhnya bid’ah, syirik, kafir, haram, masuk neraka, sesat dan sejenisnya, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan dampaknya atau untung-ruginya bagi kesuksesan dakwah Islamiyah jangka panjang. Akan tetapi, kita harus bersikap cerdas dan bijaksana, antara lain dengan pedoman berikut:

a. Jika upacara, tradisi, atau adat istiadat lokal yang nampak tidak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, hendaknya disikapi dengan penuh penghormatan, dan kalau perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai aset budaya bangsa. Bahkan dapat dijadikan sarana berdakwah.

b. Jika hal itu nampak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, hendaknya tidak disikapi secara reaktif, antipati, bertindak destruktif (merusak) dan main hakim sendiri. Akan tetapi tetap bersikap toleran dan simpatik, sambil dicarikan jalan keluarnya agar tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, dengan menggunakan metode, pendekatan dan cara halus seperti yang dilakukan oleh Walisongo. Misalnya dipandang sebagai bagian dari kreasi budaya bangsa dan bukan merupakan bagian dari ajaran Islam, lalu disisipi nilai-nilai keislaman, diubah sedikit demi sedikit, ditafsiri dan dimaknai secara baru, dicarikan dalil-dalil naqli dan aqli, sehingga tradisi tersebut menjadi sebuah tradisi lokal yang bernafaskan Islam

 

 

2.  Beberapa Contoh Tradisi Lokal Yang Bernafaskan Islam

a. Selamatan / Kenduren setiap ada hajat seperti ingin pindah rumah, pembangunan, panenan (sedekah bumi), naik pangkat,  pelantikan, wisuda, serah-terima jabatan, sembuh dari sakit, mengadakan pertunjukan, dan lain-lain. Acaranya antara lain : pembacaan istighotsah, tahlilan, yasinan, dzibaan, khataman Al-Qur’an, dan doa-dzikir lainnya.  

b. Berkaitan dengan kehamilan : upacara hamil 3 bulan; hamil 4 bulan; hamil 7 bulan (mitoni/tingkepan);  hamil 9 bulan (mrocoti). Acaranya antara lain pembacaan surat Yusuf dan Maryam, khataman, tahlilan, pengajian, dan doa-dzikir lainnya.   

c. Berkaitan dengan kelahiran : menanam ari-ari, mengadzani telinga kanan dan meng-iqomati telinga kiri, Brokahan (selamatan kelahiran bayi), sepasaran, selapanan, puputan (copot puser), jagong bayen, pemberian nama, aqiqoh, khitanan, mandap siti (turun tanah).

d. Berkaitan dengan pernikahan: lamaran, peningsetan, midodareni (mandi calon penganten), akad nikah, resepsi, sepasaran (ngunduh mantu).  

e. Berkaitan dengan kematian : tahlilan 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, haul, ziarah kubur, kirim pahala/doa, nyadran bulan ruwah, dll.

f. Berkaitan dengan PHBI : Maulid Nabi, Isro’-Mi’roj, Nuzulul Qur’an, Unjung-unjung (shilaturrahmi hari raya), syawalan, Qurban, Muharrom (syuro), Nisfu Sya’ban, Sekaten, Grebeg (mengarak nasi tumpeng gunungan  dalam rangka maulud Nabi, besar, poso, syawal).

g. Berkaitan dengan Majlis dzikir yang ditradisikan misalnya sholawatan (dzibaan, berjanjen, nariyah), yasinan, istighotsahan, manaqiban, majlis semaan Al-Qur’an, dan sejenisnya.

 

Dan masih banyak tradisi-tradisi lain seperti peringatan ulang tahun, upacara bendera, rebo kasan, dan sejenisnya.