Masuknya agama
Islam ke pulau Jawa segera diikuti oleh masuknya Kepustakaan Islam, baik
yang berbahasa dan bertulisan Arab maupun Melayu. Kepustakaan tersebut, di
samping memiliki peranan yang besar dalam penyebaran Islam, juga berpengaruh
terhadap perkembangan dan pertumbuhan Kepustakaan Jawa yang dahulunya
bercorak kehinduan, sehingga menjadi sebuah Kepustakaan Jawa yang
diwarnai dengan unsur-unsur Keislaman.
Yang dimaksudkan
dengan Kepustakaan Islam adalah semua kepustakaan yang berisi
aspek-aspek ajaran Islam, baik yang berbahasa dan bertulisan Arab, Melayu, Jawa
maupun yang berbahasa lainnya. Kepustakaan Islam yang berbahasa Arab
disebut Kepustakaan Islam Arab; yang berbahasa Melayu disebut Kepustakaan
Islam Melayu; dan yang berbahasa Jawa disebut Kepustakaan Islam Jawa. Pembagian
dan pembatasan istilah semacam ini tidak mutlak. Hal ini dimaksudkan untuk
menolong dan mempermudah pembahasan terhadap jenis-jenis Kepustakaan Islam yang
berkembang di Jawa.
Menurut Simuh
(1988; 3 dan 21 – 23), bahwa Kepustakaan Islam Jawa masih dapat dibedakan menjadi
dua jenis, yakni Kepustakaan Islam Santri dan Kepustakaan Islam Kejawen. Pembagian ini didasarkan atas isi kandungan masing-masing kepustakaan.
Kepustakaan Islam Santri berisi aspek-aspek ajaran Islam yang lebih
terikat oleh syariat dan tata aturan hukum Islam (fiqih) secara formal,
sebagaimana yang nampak pada kehidupan keagamaan kaum “Santri”. “Santri”
di sini adalah dalam pengertian sebagai orang yang menjalankan syariat islam
dengan ketat dan tekun, khususnya shalat lima waktu, serta menjadikan syariat
tersebut sebagai dasar yang fundamental dalam semua aspek kehidupan
sehari-harinya. Walaupun tidak bersih sama sekali dari unsur-unsur Hindu-Budha
atau kepercayaan lainnya, namun masih tetap dominan dan lebih dekat kepada
dogma-dogma Islam yang sebenarnya. (Koentjaraningrat, 1984; 312).
Sedangkan Kepustakaan
Islam Kejawen adalah berisi aspek-aspek ajaran Islam, khususnya aspek
tasawwuf atau mistik islam, yang disinkretiskan dengan unsur-unsur kepercayaan
dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya. Dengan kata lain, jenis Kepustakaan ini
lebih menekankan pada usaha mempertemukan antara aspek-aspek ajaran Islam
dengan unsur-unsur keperayaan dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya, sebagaimana
yang biasa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari orang “Islam Kejawen”.
“Islam Kejawen” adalah dalam pengertian sebagai orang Islam yang kurang
taat menjalankan syariat, khususnya shalat lima waktu, dan masih teguh
mempertahankan kepercayaan atau tradisi lama (Hindu-Budha) dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka lebih menekankan pada aspek Batiniah atau Mistik
daripada aspek lahiriah atau syariat. (Koentjaraningrat, 1984 ; 310 –
312). Atas dasar pengertian ini, maka
yang mejadi ciri khas Kepustakaan Islam Kejawen adalah lebih banyak
berisi ajaran mistik Islam atau tasawwuf, dan sangat sedikit atau bahkan
mengabaikan ajaran syariat Islam yang sebenarnya. Jenis Kepustakaan ini dapat
juga disebut “Kepustakaan Islam Mistik Kejawen”. (Simuh, 1988 ; 21 –
23).
Pertumbuhan dan
perkembangan Kepustakaan Islam Jawa sering dihubungkan dengan kondisi
kehidupan masyarakat muslim di Jawa. Jenis “Kepustakaan Islam Santri”
lebih berkembang di sekitar daerah pesantren dan daerah pesisir utara Jawa,
dimana mayoritas kaum santri berdomisili di daerah tersebut. Sedangkan jenis “Kepustakaan
Islam Kejawen” lebih berkembang di sekitar istana Kerajaan wilayah
pedalaman, lebih-lebih pada jaman
kerajaan Mataram Islam. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi corak dan watak
kedua jenis Kepustakaan tersebut, yakni
“Gaya Pesisiran” buat Kepustakaan Santri dan “Gaya Mataraman” buat
Kepustakaan Kejawen. Meskipun tidak dapat disangkal adanya kemungkinan
bahwa Kepustakaan Islam Santri terkadang Bergaya Mataraman atau
sebaliknya.
Berikut ini
adalah beberapa Kepustakaan Islam Jawa yang berkembang sekitar abad 16 sampai abad 17
masehi, sekitar jaman munculnya buku Suluk Wujil. Pembahasannya didasarkan atas pembagian waktu atau jaman, yaitu : 1.
Jaman kerajaan Demak; 2. Jaman kerajaan
Pajang dan Mataram.
1. Jaman Kerajaan Demak
Kepustakaan
Islam Jawa yang sangat tua masih dapat diketemukan, yang
diduga berasal dari abad ke-16, yakni jaman kerajaan Demak, berupa dua
manuskrip yang kemudian lebih dikenal nama Het Boek van Bonang (Buku sunan Bonang) dan Een Javanse Primbon Uit de
Zestiende Eeuw (Buku Primbon Jawa Abad Keenambelas), dan
juga kitab Koja Jajahan dan Suluk
Sukarsa. Kedua kitab yang terakhir ini termasuk
kitab tua yang muncul sebelum munculnya kitab Suluk Wujil, yang walaupun
belum diketahui secara pasti waktu penulisannya, namun dapat diperkirakan
muncul pada jaman kerajaan Demak.
a. Kitab Bonang, Het Boek van
Bonang. Naskah kitab ini diketemukan oleh seorang
pedagang dari Amstredam Belanda bernama Van Dulmen di daerah pesisir Sidayu
Gresik. Naskah ini kemudian diserahkan dan disimpan di Perpustakaan Leiden
Belanda pada bulan Nopember 1587 M. (Poesponegoro, M.D.,Dkk., 1993 ; 208).
Naskah ini berasal dari karangan Sunan Bonang yang kegiatannya dapat ditentukan
antara tahun 1475 – 1525 M, yang berarti naskah ini muncul pada masa
pemerintahan Islam di Demak. Isinya menyangkut ajaran Islam, terutama tentang
ilmu Tauhid dan Tasawwuf menurut ajaran Imam Al-Ghazali,
sebagaimana yang dijelaskan pada bagian pertama kitab tersebut :
Teks asli
(Schrieke, 1916 ; 92) :
“Nyan punika
caritanira Shaich al-Bari: Tetkalanira apitutur dateng mitranira kabeh; kang
pinuturaken wirasaning ushul suluk – wedaling carita saking kitab Ihya’
Ulumiddin lan saking Tauhid – antukira Shaich al-Bari ametet I(ng) ti(ng)kahing
sisimpenaning Nabi Wali mukmin kabeh…”
Terjemahan :
“Inilah cerita
Shaich al-Bari tatkala memberi petuah kepada sahabatnya sekalian. Yang
diajarkannya ialah arti dari pada Ushul Suluk, asal cerita dari kitab Ihya’
Ulumiddin (karya Imam Al-Ghazali) dan dari Tauhid yang oleh Shaich al-Bari
diperolehnya dari memetik tingkah laku yang dirahasiakan oleh Nabi Wali mukmin
sekalian …”.
Kutipan di atas
mejelaskan bahwa Buku Bonang berisi ajaran tasawwuf yang diambil dari kitab
Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Ini menunjukkan betapa besar
pengaruh ajaran Al-Ghazali terhadap Sunan Bonang, sebagaimana juga pada
kebanyakan pengarang muslim dan ulama pada jaman itu. Di samping bahwa pengaruh pemikiran tasawwuf Ibnu Arabi juga
besar, khususnya pada pengarang muslim pada jaman-jaman permulaan. (Bruinessen,
M.V., 1993 ; 15).
Keterpengaruhan
Sunan Bonang terhadap ajaran tasawwuf Imam Al-Ghazali ini dapat disaksikan pada
sikapnya yang ortodoks dalam usahanya untuk memadukan antara aspek syariat
dengan tasawwuf, serta sikapnya dalam menentang setiap ajaran mengenai
persoalan Ketuhanan atau Tasawwuf yang dipandangnya sesat,
misalnya ajaran yang dikemukakan oleh aliran Mu’tazilah, Jabbariyah,
Karramiyah, Arabiyyah – aliran Ibnu Arabi. (Schrieke, 1916 ; 88 – 114).
Buku-buku Babad
menggambarkan betapa hebatnya Sunan Bonang menentang ajaran sesat Seh Siti
Jenar. Demikian pula buku Sejarah Nasional Indonesia III, yang ditulis
oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993 ; 208 – 209)
menceritakan usaha Sunan Bonang menentang segala ajaran Ketuhanan kaum sufi
heterodoks pada saat itu. Kaum sufi heterodoks berpandangan, bahwa apa yang “Ada”
adalah Allah, dan apa yang “Tiada” adalah Allah. “Ketiadaan” Allah
adalah pada saat tidak menciptakan, dan hal ini menunjukkan tentang Kemahacucian-Nya,
sebab Dia itu “Sendirian” dan “Kesepian” (Awang-uwung)
yang hanya dapat diketahui oleh “ketiadaan” yang mengitari-Nya.
Menghadapi pandangan sesat seperti ini, Sunan Bonang menyiapkan bantahannya,
bahwa Allah itu Maha Tinggi dan Maha Luhur, Yang tiada didahului, tidak
diiringi dan tidak dikelilingi oleh
“ketiadaan”. (Schrieke, 1916 ; 94 – 96).
Sunan Bonang
sekali lagi memaparkan ajaran mengenai Tuhan sesuai dengan penafsiran ulama sunni
yang ortodoks, berdasarkan faham Al-Ghazali. Dia secara tegas menentukan
batas keberadaan antara “Ada”-Nya Tuhan dan “ada”-nya makhluk,
sebagaimana kutipan dari Kitab Bonang (Schrieke, 1916 ; 103) berikut ini
:
Teks :
“Satuhune
ananing Pangeran kang asifat Saja Langgeng Mahasuci tan Lyan ananira uga, kang
tan bastu-jisim ananira kang purba, andadeken kang asifat sukma jati tan
anuksma tan sinuksma tan awor lan
saliwing (du)madi kabeh, rehing langge(ng) anani(ng) kang purba, mapan ananira
Mahasuci suksmanira wibuh sampurna elok Mahamulya Mahaluhur, utawi ananira tan
ana wikana ing suksmanira tan lyan(ing) piambekira kang wikan ing suksmanira
pribadi”
Terjemahan:
“Sesungguhnya
adanya Tuhan itu bersifat Tunggal, Langgeng dan Mahasuci. Dan itu bukan sesuatu
yang lain daripada Ada-Nya (kodrat-Nya) yang tidak material, yang pada
awal mula memberikan “ada” kepada segala sesuatu. Sesungguhnya Dia tidak
termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan
buah ciptaan-Nya, karena Dia “Tidak ada” sebelum segala sesuatu, dan
bersifat Langgeng dan Mahasuci. Sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi
segala sesuatu, sempurna, elok, Mahamulia, Mahatinggi dan Mahaluhur. Mengenai
hakekat-Nya, tidak seorang pun yang tahu akan sifat-Nya yang lepas dari
kebendaan (suksma). Hanya Dia sendiri yang maklum (mengetahui) akan Jiwa-Nya”.
Melihat isinya
seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa Buku Bonang (Het Boek van
Bonang) tergolong Kepustakaan Islam Santri yang ditulis dalam bentuk “serat
Wirid”.
Menurut
penelitian G.W.J. Drewes, sebenarnya kitab tersebut lebih tepat berjudul “The
Admonition of Seh Al-Bari” (Pitutur Seh Al-Bari), karena cerita Seh Al-Bari
mendominasi bagian isi kitab tersebut. (Simuh, 1988 ; 23).
b. Primbon Jawa Abad Keenam Belas, “Een
Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw”. Kitab ini
ditulis dalam bahasa Jawa yang bergaya jawa tengahan. Isinya berupa
kumpulan doa-doa, jampi-jampi, serbaneka masalah agama Islam, terutama aspek
akhlaknya. Pada bagian akhir kitab tersebut telah diuraikan tentang “Tanda-tanda
orang yang sedang berkedut”, sebagaimana kutipan berikut ini. (Drewes,GWJ,
1954 : 94) :
Teks :
“… lamun
kekeduten sarandune awake, (ngalamate) aningali sarwa endah. Lawan kekeduten
sirahe, ngalamate olih dolalating (daulating) wong agung kalawan kinasihan
dening wong agung. Lawan kekeduten embun-embune, ngalamate dadi mantri. Lawan
kekeduten ing bathuk, ngalamate olih artha kang halal…Lawan kekeduten ing
jijithok, (ngalamate) enteng atine. Lawan kekeduten alise kang tengan,
ngalamate oleh artha akatah. Lawan kekeduten alise kang kiwa, ngalamate atetemu
kalawan kakasih… “
Terjemahan:
“… Jika yang berkedud
itu sekujur tubuhnya, itu pertanda akan melihat semua yang indah. Jika yang
berkedut itu kepalanya, suatu pertanda akan mendapatkan anugerah dari
pembesar/pejabat, juga dikasihi oleh mereka. Berkedud pada ubun-ubun kepalanya
adalah pertanda menjadi Menteri. Berkedud pada dahinya, pertanda akan mendapat
harta yang halal… Berkedud pada tengkuknya, pertanda gelap hatinya. Berkedud
pada alisnya yang kanan, pertanda akan memperoleh harta yang banyak. Dan
berkedud pada alisnya yang kiri, pertanda akan bertemu dengan kekasihnya…”
Penulis kitab
tersebut belum dapat diketahui namanya. Namun demikian, kitab ini diperkirakan
muncul pada paruh kedua abad ke-16 masehi, semasa dengan Buku Bonang.
c. Suluk Sukarsa. Kitab ini tergolong tua usianya, lebih tua daripada Buku Bonang dan
Buku Primbon di atas. Isinya menyangkut ajaran mistik Islam kejawen yang
berfaham heterodoks. Uraian mengenai ajarannya ada kemiripan dengan apa yang
ada pada kitab Dewa Ruci. Hanya saja kitab Suluk Sikarsa ini
diberi baju Islam. (Poerbatjaraka, 1952 ; 100). Kitab tersebut berbahasa Jawa
Tengahan, yang memakai tembang kuno “Sloka”. Dalam salah satu
bagiannya, Suluk Sukarsa terkadang memakai perumpamaan atau kata
simbolis Laut dan Perahu untuk menjelaskan ajaran Manunggaling
kawula-Gusti, yang mirip sekali dengan uraian Hamzah Fansuri dan
murid-muridnya. Berikut ini sebagian kutipan dari kitab tersebut,
(Poerbatjaraka, 1952 ; 102 – 103) :
Teks :
“Ki Sukarsa wus
alayar // ing sakatahing segara // margane tekang ma’rifat // tan aetung urip pejah
// damare murup tan pejah // panganggo mulya tan rusak // asangu tan kena telas
// angungsi ing desa Jimbar // Ki Sukarsa dennya layar // perahu sabar darana
// shalat mangka tiyangira // kinamuden pangawikan // linayaran amangun hak //
winelahan niyat donga // den watangi paneneda // den pulangi lawan tobat // den
labuhi sukurullah // den taleni lan kana’at // den pulangi lan wicara // den
damari ma’rifat // Ki Sukarsa denya layar // wus tekeng segara rahmat // kawasa
denira layar // wus tekeng segara ora …”
Terjemahan :
“Ki Sukarsa
telah berlayar di segala lautan. Jalannya sampai ke ma’rifat, tak menghitung
hidup mati; diannya menyala tiada padam, pakaian mulia tiada rusak; berbekal
tak kunjung habis, mengungsi ke desa luas. Ki Sukarsa layarnya, berperahu
sabar-darana. Shalat akan menjadi tiangnya; berkemudi pangawikan (yang)
dilayari membangun hak, berkayuhkan niat dan doa; bergalahkan permintaan,
dibubuh dengan tobat… Ki Sukarsa berlayarnya telah sampai ke lautan rahmat.
Kuasa pula berlayar, hingga sampai ke lautan Tiada…”
Kemiripan syair
tersebut dengan kidung Hamzah Fansuri terlihat pada kutipan berikut ini :
“Wujud Allah
nama perahunya… iman (kepada) Allah nama kemudinya, yakin akan Allah nama
pawangnya, taharat dan istinjak nama lantainya, kufur dan maksiat air ruangnya,
tawakkal akan Allah juru batinnya, illa akan talinya, Kamal Allah akan
tiangnya…”.
Hal itu
menunjukkan, bahwa pada saat itu pengaruh ajaran Hamzah Fansuri yang berfaham
tasawwuf heterodoks (yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi) diduga telah masuk ke
pulau Jawa.
d. Kitab Kojah Jajahan. Giri Prawata merupakan pusat
pemerintahan Ulama pada waktu sebelum dan sesudah berdirinya kerajaan Demak.
Ditegaskan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 104 – 107), bahwa pada saat itu telah
muncul sebuah kepustakaan yang berjudul Kitab Kojah Jajahan, yang diduga
berasal dari Giri Prawata. Isinya menyangkut ajaran akhlak atau budi pekerti
yang baik, yang digubah dalam bentuk Cerita. Gaya bahasanya sangat
indah, akan tetapi susunan kata-katanya banyak yang rusak. Kerusakan ini
mungkin karena penulisnya berasal dari daerah pesisir utara Jawa yang logat
bahasanya terpengaruh oleh bahasa luar Jawa. Dilihat dari segi isinya, cerita
yang ditampilkan nampaknya masih baru, artinya baru saja masuk ke pulau Jawa,
yang diduga berasal dari negara Arab yang dibawa masuk ke Jawa oleh para
pedagang muslim.
Inti dari cerita
kitab tersebut adalah, bahwa ada seorang Patih yang bernama Kojah Jajahan yang
mempunyai budi pekerti yang sangat baik dan luhur, sangat berbakti kepada Rajanya,
tekun beribadah, sangat adil dan bijaksana. Perangai semacam ini membuat Sang
Raja sangat hormat dan mengasihinya, sehingga menyebabkan para pembesar lain
irihati kepada Patih Kojah Jajahan, maka
timbullah fitnah terhadap dirinya beserta keluarganya yang mengakibatkan
kematiannya.
2. Jaman Pajang dan
Mataram.
a. Kitab Nitisruti. Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa pada jaman
Pajang dapat dikatakan tidak sesubur yang dialami pada jaman sebelumnya (jaman Demak) dan sesudahnya (jaman Mataram).
Kemungkinan hal ini disebabkan pengaruh politik pada saat itu, selain bahwa
usia kerajaan Pajang sendiri hanya berlangsung singkat, yakni antara tahun 1550
– 1588 M, sehingga Sultan Hadiwijaya tidak sempat memikirkan perkembangan
kebudayaan (kesusastraan). Meskipun demikian, ada satu kitab yang diduga muncul
pada jaman ini, yakni kitab Nitisruti yang ditulis
oleh Pangeran Karanggayam dari Pajang.
Menurut
Poerbatjaraka (1952 ; 112 – 114), kitab tersebut meskipun ada pada jaman
Pajang, akan tetapi penulisannya dikerjakan pada jaman Mataram, tepatnya
ditulis pada tahun 1591 M, sebagaimana
kutipan berikut ini :
Teks :
“Punika kakawin Nitisruti anggitanipun Pangeran ing Karanggayam, lenggahipun empu jangga ing
Pajang. Panganggitipun saking karsa dalem Kanjeng Sinuhun ing Pajang. Wiwitan
dumugi ing wekasan sadaya 92 padha.
Sasampunipun
tamat panganggitipun lajeng katedak sinerat dening Arya Dadap-tulis,
lenggahipun panyarikan dalem ing Pajang. Wiwiting panyerat ing malem Rebo
tanggal kaping 14 wulan Asyura ing tahun wawu, windu Sancaya nalika
panganggitipun : Bahni Mahaastra Candra … Dados angkaning warsa 1513”.
Terjemahan :
“Inilah kakawin Nitisruti karangan Pangeran di Karanggayam, kedudukannya sebagai Pujangga di
Pajang. Ia mengarang atas kehendak Sinuhun Pajang, dari mula sampai pada
akhirnya semuanya ada 92 bait.
Sesudah selesai
dikarangnya itu, lalu disalin oleh Arya Dadap-Tulis, kedudukannya sebagai Juru
Tulis Raja di Pajang, Mulai menulisnya pada malam Rabu tanggal 14 bulan Asyura
tahun Wawu, windu Sancaya. Sengkala tatkala mengarangnya adalah Bahni
Mahaastra Candra… Jadi angka tahunnya 1513 Syaka (atau tahun 1591 masehi)…”
Pertumbuhan dan
perkembangan Kepustakaan Islam Jawa semakin subur setelah berdirinya
kerajaan Mataram Islam. Kalangan istana Mataram sendiri kelihatannya sangat
berkepentingan untuk mempertemukan dan memadukan antara Tradisi Jawa dengan
unsur-unsur ajaran Islam, sehingga muncullah beberapa Kepustakaan yang lebih
didominasi oleh corak Kepustakaan Islam Kejawen. Keadaan ini semakin
berkembang dan mencapai puncak kejayaannya pada jaman hidupnya R.Ng.
Ranggawarsita dan Raja Mangkunegara IV. (Simuh, 1988 ; 23 – 25).
b. Kitab Suluk Wujil dan Suluk
Malang Sumirang. Kitab-kitab Suluk yang diduga
muncul pada jaman pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (tahun 1601 – 1613 M),
antara lain adalah Suluk Wujil dan kitab Suluk Malang Sumirang,
yang keduanya sama-sama berisi ajaran tasawwuf.
Kitab Suluk Malang Sumirang merupakan sebuah kitab mistik
islam kejawen yang digubah oleh Sunan Panggung, seorang putra Sunan Kalijaga.
Waktu penulisannya berdekatan dengan penulisan kitab Suluk Wujil. Isi
kandungannya menyangkut ajaran mistik Islam yang berfaham heterodoks,
sebagaimana faham yang dianut oleh Seh Siti Jenar dan murid-muridnya. Kitab ini
kurang menghargai syariat, bahkan menolak ajaran Islam ortodoks. Pada beberapa
bait syairnya, kitab ini menjelaskan bahwa puncak kesempurnaan seseorang adalah
terletak pada ketidakpercayaannya kepada Tuhan (“Kapir-kupur”),
sebagaimana kutipan berikut yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 110 –
111) :
Teks :
“(11). Dosa gung
alit tan den singgahi // ujar kepar kupur kang den ambah // wus luwung pasike
pane // tan adulu dinulu // tan angrasa tan angrasani // wus lan ana pinaran //
pan jatining suwung // ing suwunge iku ana // ing anane iku surasa sejati //
wus tan ana rinasan.”
Terjemahan :
“(11). Segala
dosa besar-kecil tak disingkiri, perkataan kupur kapir yang diturut, telah
mabuk (akan) kelengkapannya, tiada pandang memandang, tiada merasa, tak pula
melepas rasa, tiada lagi yang harus dituju, memang sesungguhnya kejatiannya
ialah kekosongan, dalamkekosongan ada hadir, dan dalam hadir itu (tersimpan)
makna sejati, sudah tiada ADA yang harus dirasakan”.
Sebagaimana isi
kandungan di atas, Tuhan dilukiskan secara negatif, alias “Suwung” (kekosongan).
Ide ini nampaknya dipengaruhi oleh ide-ide yang umum tersebar di pulau Jawa
sebelum datangnya agama Islam, yang merupakan ciri khas kitab Suluk
Islam heterodoks, yakni melukiskan Allah sebagai “Ketiadaan” atau “Suwung”.
Pandangan seperti ini juga diceritakan didalam Buku Bonang, yang
selanjutnya dipertentangkan dengan pandangan bahwa Allah itu lebih dari apa
yang mereka gambarkan sebagai “Ketiadaan” itu. (Schrieke, 1916 ; 94 –
96). Hal ini menunjukkan bahwa pandangan kaum heterodoks tersebut sudah tersebar dengan luasnya di kalangan
masyarakat Jawa, di samping juga pandangan ortodoks.
Teka-teki
mengenai arti “Suwung” atau “Kekosongan” sebagaimana tersebut dalam
kutipan di atas, sering juga dijumpai pada kitab-kitab Islam Kejawen lainnya.
Misalnya pada kitab Gatoloco terdapat sebuah ungkapan dalam salah satu
bagian syairnya : “Kinen sujud Nabi Adam // iku dudu Adam Nabi // Adam iku
suwung wungwang // ingkang langgeng kahanane… “. Dan juga pada kitab Centhini
dan kitab-kitab sejenis lainnya, sehingga sangat sukar menangkap arti “Suwung”
yang sebenarnya, apakah dalam pengertian obyektif ataukah subyektif, dalam
keadaan ekstasis atau Fana’?. (Zoetmulder, 1991 ; 209).