Sabtu, 26 Juli 2014

MJIB - 24. MAKAM KERAMAT SITI KHOTIJAH DAN PANGERAN SOSRODININGRAT DI DENPASAR BALI



Makam Keramat "Siti Khotijah" Pamecutan Denpasar Bali




Setelah ditemukannya makam Walipitu ke-1 di atas, kemudian ditemukan 2 makam keramat lainnya di kota Denpasar, yakni : 1) Makam keramat Pamecutan, milik Gusti Ayu Made Rai, alias Raden Ayu Siti Khotijah di Jln. Batu Karu Pamecutan Kota Denpasar Barat, dan 2) Makam keramat Pangeran Sosorodiningrat dari Mataram Islam di desa Ubung, dekat terminal Bus kota Denpasar. Menurut Tim penelusuran dan penelitian Walipitu, kedua tokoh ini tidak termasuk hitungan Walipitu Bali.

Makam keramat Pangeran Sosrodiningrat, menurut cerita versi ke-1 merupakan makam milik Pangeran Sosrodiningrat, suami Raden Ayu Siti Khotijah. Dia menikai Siti Khodijah karena telah berjasa membantu ayahandanya, Raja I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, ketika berperang melawan Kerajaan Mengwi dan mendapat kemenangan. 

Lokasi makamnya di kampung Ubud dekat terminal bus kota Denpasar. Kini, makam keramat Pangeran Sosrodiningrat dibawah pengawasan dan pemeliharaan Bapak K.H.M. Ishaq, sesepuh Kampung Islam Kepaon Denpasar. 
  
Sedangkan Makam Keramat Pamecutan merupakan makam Islam milik seorang putri kerajaan Badung-Pamecutan yang bernama asli Gustu Ayu Made Rai. Nama lainnya adalah Raden Ayu Anak Agung Rai dan Raden Ayu Siti Khotijah (nama setelah dia masuk Islam). Menurut satu sumber dari keluarga Puri Pamecutan (Lanang Dawan), bahwa Raden Ayu adalah putra Raja Pamecutan III yang bergelar Ida Bhatara Maharaja Sakti, dan adik dari Raja Pemecutan IV, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Sedangkan menurut sumber yang lain (Bpk KH M. Ishak, tetua desa Kepaon), beliau adalah adik dari Raja Cokorda Pamecutan III. 
 
Lolasi makamnya di Jl. Batu Karu kota Denpasar Barat, searah dengan jalan menuju perumnas Monang-maning Denpasar. Makam keramat ini berhadapan dengan sebidang tanah yang cukup luas sebagai tempat “ngaben” (pembakaran mayat umat Hindu).


SEJARAH TOKOH.

Siapa sebenarnya Raden Ayu Siti Khotijah?. Dalam hal ini terdapat dua versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat.
 

Versi  1

Sejarah, cerita, mitos ataupun legenda versi pertama ini bersumber dari buku “Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya’, wali pitu di Bali”, berdasarkan keterangan dari KHM Ishak, tetuta agama Islam di Kampung Islam Kepaon Denpasar yang memiliki hubungan dekat dengan kerabat Puri Pemacutan, sebagai berikut :

Raden Ayu Siti Khodijah adalah nama beliau setelah berikrar masuk agama Islam. Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai. Dia adalah putri Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M (Menurut sumber lain, memerintah tahun 1697 dan wafat tahun 1813 M.).

Raden Ayu  Siti Khotijah dinikahkan dengan Pangeran Sosrodiningrat (alias Raden Ngabei Sosrodiningrat) yang telah berjasa membantu kerajaan Badung (Pamecutan) berperang melawan kerajaan Mengwi pada tahun 1891, sampai membawa kemenangan.

Pada waktu Raja Pamecutan tengah berperang, salah seorang prajuritnya menahan seorang pengelana di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Orang yang ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan kepada Raja Pamecutan untuk diusut. Akhirnya diketahui, ternyata dia adalah Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati dari Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan (pulau Lombok). Namun perahu yang ditumpanginya bersama 11 orang pengiring dihantam badai yang cukup dahsyat sampai kapalnya pecah dan tenggelam. Pangeran Sosrodiningrat berhasil lolos dari kematian dan terdampar di pantai selatan Desa Tuban (kecamatan Kuta, kabupaten Badung), sementara 11 orang pengiringnya tidak diketahui nasibnya.

Setelah mengetahui identitasnya sebagai seorang senopati Mataram, Raja Pamecutan meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja Pamecutan berjanji kepadanya, apabila perang telah usai dan meraih kemenangan, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya.

Pangeran bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang sudah ada di medan perang, tanpa memikirkan janji raja. Dia malah berpikir apakah mungkin dapat menikah dengan seorang putri yang beragama Hindu, sedangkan dirinya beragama Islam. Setelah perang selesai dan dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan, maka Raja memenuhi janjinya dan Pangeran Sosrodiningrat benar-benar dinikahkan dengan putrinya, Ratu Ayu Anak Agung Rai. Setelah dipersunting oleh Pangeran, Raden Ayu kemudian memeluk agama Islam, namanya diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Dia bersungguh-sungguh menekuni, mempelajari dan melaksanakan ajaran Islam secara baik.

 Setelah berlangsung beberapa tahun, musibah datang menimpa Raden Ayu. Pada suatu malam, seperti biasanya dia mengerjakan shalat tahajjud dengan mengenakan mukena / rukuh berwarna putih didalam kamarnya yang gelap di lingkungan komplek keputren Pura Pemecutan. Pintu kamarnya yang biasanya selalu tertutup, saat itu dalam posisi terbuka karena dia lupa tidak menguncinya, sehingga punggawa kerajaan yang sedang berjaga-jaga ketika itu secara tidak sengaja melihat gerakan tangan yang sedang diangkat keatas untuk takbirotul ihrom sambil membaca “Allohu Akbar”, yang menurut pendengaran punggawa tersebut berbunyi “makeber”,yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Seluruh gerak-gerik sholat Raden Ayu tersebut terus diperhatikan oleh punggawa dan dikiranya sebagai pekerjaan leak (orang jadi-jadian yang berbuat jahat). Karena menurut keparcayaan masyarakat Bali, diantara ciri-ciri leak adalah berpakaian putih-putih dan anggota tubuh seperti tangan, kepala dan kaki tertutup rapat, sedangkan gerakan sujud, duduk dan jongkok (rukuk)seolah-olah persiapan leak untuk terbang.

Sang punggawa langsung saja melaporkan kepada Raja, bahwa di kamar Keputren ada leak yang sedang beraksi dan akan terbang. Raja sangat marah setelah mendapatkan laporan tersebut dan tanpa pikir panjang lalu memerintahkan beberapa punggawa lainnya agar segera mendatangi kamar  tersebut dan membunuh apa yang mereka sangka sebagai leak itu.

Para punggawa secara cepat melaksanakan perintah sang Raja. Mereka mendatangi kamar Raden Ayu yang masih dalam keadaan terbuka. Ketika itu Raden Ayu sedang sujud. Tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi, para punggawa menyerbu kedalam kamar dengan senjata terhunus dan langsung menancapkan tombaknya tepat ke punggung Raden Ayu, dan kontan saja darah segar muncrat ke atas disertai suara jeritan “Alloohu Akbar” tiga kali. Bersamaan dengan itu, terjadilah keanehan yang luar biasa, bahwa darah segar yang keluar dari punggung Raden Ayu memancarkan cahaya terang kebiru-biruan ke atas, menembus dinding-dinding atap kamar menyebar ke langit dan menerangi Pura Pamecutan. Bahkan seluruh kota Denpasar pun terlihat terang-benderang seperti keadaan di siang hari. Seluruh penduduk kota Denpasar sangat terkejut dengan kejadian tersebut, terutama keluarga dan Raja Pamecutan sendiri. Selang beberapa saat, para punggawa melaporkan kepada Raja, bahwa yang dibunuhnya ternyata bukan leak, melainkan Raden Ayu Siti Khotijah.

Itulah peristiwa tragis yang terjadi di Pura Pamecutan akibat salah terka dari para punggawa, serta kurangnya kewaspadaan dan tanpa penyelidikan secara cermat oleh baginda Raja, sehingga Raden Ayu menjadi korban pembunuhan atas perintah baginda Raja sendiri. 

Jenazah Raden Ayu yang masih dalam keadaan tertelungkup-sujud dengan tombak yang terhunjam di punggungnya sulit dicabut dan dibujurkan. Keluarga kerajaan berusaha ingin menolong untuk mencabut tombak dari punggung Raden Ayu tidak dapat berbuat apa-apa. Baginda Raja kemudian meminta bantuan umat Islam yang ada di sana (kampung Kepaon) agar merawat jenazah putrinya menurut tata-cara Islam. Umat Islam segera membantu merawat jenazahnya, mulai dari memandikan, mengafani, mensholati, sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Namun ada satu hal yang tak dapat diatasi, yaitu batang tombak yang menghujam di punggungnya tidak dapat dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak, jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang tombak dari kayu tersebut bersemi dan hidup sampai sekarang, menjadi sebuah pohon besar yang berdiri tegak di atas makamnya.



Versi  2

Sejarah, cerita, mitos ataupun legenda menurut versi yang kedua bersumber dari buku “Sejarah Keramat Agung Pamecutan, Makam Raden Ayu Pamecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah”, yang ditulis oleh juru kunci makam keramat Pamecutan, Jro Mangku I Made Puger, sebagai berikut:

Gusti Ayu Made Rai merupakan salah satu putri kesayangan Raja Pamecutan, I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, yang sangat cantik. Ketika menginjak dewasa, Sang putri bertahun-tahun tertimpa penyakit liver (penyakit kuning).. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun tidak sembuh. Sang Raja memutuskan untuk melakukan “tapa semedi” di Pamerajan puri, yaitu suatu tempat suci didalam istana. Dari sana beliau mendapatkan pawisik 16) agar Sang Raja mengadakan sayembara (sabda pandita ratu), yang isinya, bahwa Barang siapa yang berhasil mengobati dan menyembuhkan penyakit putrinya, kalau dia perempuan maka akan diangkat menjadi anak angkatnya. Kalau dia lelaki dan memang jodohnya maka akan dinikahkan dengan putrinya itu.

Sayembara telah tersebar ke seluruh jagat dan sampai ke pulau Jawa. Salah seorang syekh dari Yogyakarta mendengar hal itu. Segeralah ia memanggil dan memerintahkan Pangeran Cakraningrat IV, salah satu murid kesayangannya yang sangat tampan dari Bangkalan Madura, agar bersedia mengikuti sayembara di Puri Pamecutan Bali. Pangeran Cakraningrat IV mentaati perintah gurunya itu, maka berangkatlah ke Bali dengan diiringi oleh 40 orang pengiring. Ia kemudian menemui Raja Pamecutan untuk ikut bersaing dalam sayembara yang juga diikuti oleh banyak pangeran atau putra raja dari berbagai kerajaan di Nusantara, terutama dari Bali sendiri.

Ringkas cerita, ketika sampai pada gilirannya, sang Raja memanggil putri Gusti Ayu Made Rai dan diperkenalkan kepada Pangeran Cakraningrat IV. Perkenalan dan pandangan pertama putri kepada Pangeran ini membuat hati kedunya bergetar, suatu pertanda ada perjodohan. Pengobatan pun dimulai dan dalam waktu singkat penyakit putri dapat disembuhkan secara total.

Sang Raja kemudian memanggil Pangeran ke istana untuk mengucapkan terima kasih dan menanyakan tanggapannya terhadap putrinya. Dijawab oleh Pangeran bahwa sejak perkenalan pertama, dia sudah terpesona dan mencintai sang putri, demikian pula sebaliknya tanggapan sang putri. Sang Raja lalu menikahkan Pangeran Cokroningrat IV dengan putrinya di Puri Pamecutan yang disaksikan oleh 40 pengiring Pengeran dan segenap keluarga Raja. Selang beberapa hari setelah pernikahan tersebut, Pangeran Cokroningrat IV berpamitan dan mohon diri untuk pulang dengan membawa serta isterinya ke Bangkalan Madura.

Sesampainya di Bangkalan Madura, diadakan peresmian pernikahan kedua bangsawan tersebut menurut tradisi Islam. Tak lama berselang, Ratu Ayu Made Rai menyatakan diri masuk Islam dan namanya pun diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah.

Setelah keislamannya itu, Raden Ayu sebagai seorang muslimah yang taat, selalu berusaha menjalankan ajaran agama Islam secara tekun, terutama sholat lima waktu dan tahajud, puasa dam ibadah lainnya, serta selalu berusaha meningkatkan kualitas agamanya dengan aktif mengikuti pengajian-pengajian. Sekalipun sebagai isteri keempat, kehidupan Raden Ayu bersama ketiga isteri Pangeran Cokroningrat IV lainnya terbilang rukun, tentram dan damai.

Raden Ayu Siti Khotijah sudah beberapa tahun tinggal di dekat suaminya. Ia rindu kepada ayah, bunda dan keluarganya di puri Pamecutan. Pangeran Cokroningrat IV sangat mengerti dan memaklumi keinginan isterinya itu. Mengingat kesibukannya yang begitu padat, Pangeran tidak sempat mengantarkannya sendiri ke puri Pemecutan, akan tetapi menugaskan kepada 40 orang yang terdiri dari pengawal dan danyang untuk mengiringi isterinya. Pangeran hanya memberinya bekal berupa guci kuna, keris dan benda pusaka “tusuk konde” yang diselipkan di rambut isteri.

Sesampainya di puri Pemecutan, Raden Ayu beserta rombongan disambut keluarganya dengan suka cita. Raden Ayu tidur di kamar komplek keputren puri Pemecutan, sedangkan rombongannya menginap di Taman Kerajaan di Monang-Maning Denpasar. Ketika tiba waktu sholat maghrib, dia melaksanakan sholat maghrib di Merajan Puri (tempat suci didalam istana).
 
Tahlilan di makam Siti Khotijah

Raden Ayu melaksanakan sholat sambil menghadap ke kiblat (barat) dengan mengenakan mukena (rukuh) berwarna putih. Ketika itu Patih kerajaan secara tidak sengaja melihat gerak-gerik sholatnya seperti berdiri, rukuk, sujud, dan duduk yang menurutnya sangat aneh, karena umat Hindu di Bali melakukan sembahyang sambil menghadap ke arah timur (bukan ke barat). Patih kerajaan memang hampir tidak pernah menyaksikan orang-orang Islam sembahyang menghadap ke barat, sehingga wajar bila ia menganggapnya aneh. Dengan cara sholat seperti itu, Raden Ayu dikira sedang “ngeleak” (mempraktekkan ilmu hitam leak). Ki Patih kemudian memberitahukan hal itu kepada Raja bahwa putrinya sedang mempraktekkan ilmu hitam leak, dan seketika itu Raja sangat murka. Tanpa mengkonfirmasikan hal itu kepada putrinya, sang Raja langsung memerintahkan ki Patih agar membunuh putrinya tersebut.

Ki Patih mengajak Raden Ayu yang diiringi oleh 40 pengawal dan danyangnya menuju ke Setra (pekuburan) di Badung. Sesampainya di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu menegaskan dan berpesan kepada Ki Patih, sebagai berikut:

Paman Patih, aku sudah punya firasat bahwa aku dibawa ke sini akan dibunuh. Oleh karena ini perintah ayahku selaku Raja, silahkan paman Patih laksanakan. Perlu paman Patih ketahui, di “Pemerajan” tadi aku sedang menuju Alloh, melaksanakan sembahyang maghrib sesuai tata cara agama Islam yang aku anut. Tidak ada niat jahat, apalagi ngeleak. Kalau paman Patih ingin membunuh aku, janganlah menggunakan senjata tajam. Percuma, tidak akan mempan. Akan tetapi gunakan cucuk kondeku ini yang digulung dengan daun sirih dan diikat dengan benang tridatu (benang tiga warna : putih, hitam dan merah). Selanjutnya, tusukkan cucuk konde tersebut ke dadaku. Bila aku sudah mati, maka akan keluar asap dari badanku. Jika asap tersebut berbau busuk, kuburlah mayatku di sembarang tempat. Tetapi jika berbau wangi, tolong buatkan aku tempat suci yang disebut keramat (kuburan)”.

Ki Patih melaksanakan apa yang telah disarankan oleh Raden Ayu. Seketika itu, Raden Ayu roboh dan wafat. Dari badannya keluar bau sangat wangi seperti bau kemenyan madu atau menyan arab yang menyebar ke seluruh Setra (pekuburan) yang luasnya 9 Ha. Pengiring Raden Ayu asal Bangkalan, Ki Patih dan pengawal kerajaan yang menyaksikan kejadian tersebut ada yang pingsan dan menangis histeris. Di malam itu juga jenazah Raden Ayu dimakamkan di situ. Selanjutnya, Ki Patih dan pengiring Raden Ayu menemui Raja dan menyampaikan pesan-pesan yang diucapkan oleh putrinya sebelum wafat. Sang Raja sangat terkejut dan menyesal terhadap tindakan dan perintahnya yang gegabah, lalu memerintahkan agar dibuatkan “keramat” buat putrinya dan Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala Istana Pemecutan diangkat sebagai perawat atau juru kunci makam secara turun temurun, sampai keturunannya yang sekarang.

TARU RAMBUT diatas makam Siti Khotijah. Sehari setelah pemakaman, tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan Raden Ayu. Oleh juru kunci, pohon setinggi 50 cm itu dicabutnya. Malamnya tumbuh lagi dan besoknya dicabut lagi. Begitu seterusnya sampai terulang tiga kali. Juru kunci lantas bersemedi atau tirakat di depan makam Raden Ayu dan mendapatkan bisikan ghaib agar pohon tersebut dipelihara dan terus dibiarkan hidup, karena pohon itu diyakini tumbuh dari rambut Raden Ayu, sehingga sampai saat ini pohon tersebut terkenal dengan sebutan “Pohon Rambut”, bahasa Balinya “Taru Rambut”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar