Jumat, 09 Agustus 2013

MJIB - 29. MAKAM KERAMAT "WALIPITU" DI LOLOAN BARAT, NEGARA (JEMBRANA), BALI



Makam Keramat Habib Ali Bin Umar Bafaqih



Makam ini milik KH Sayyid Habib Ali Bafaqih yang wafat pada tahun 1997. Lokasi makam terletak didalam area Pondok Pesantren “Syamsul Huda” yang didirikannya di Jln. Nangka No. 145 di Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana.
Sejarah Tokoh. KH Sayyid Ali bin Umar Bafaqih dilahirkan di Banyuwangi pada tahun 1890 dari pasangan Habib Umar dan Syarifah Nur. Menjelang usia 20 tahun (sekitar tahun 1910) Sayyid Ali  memperdalam ilmu agama Islam ke tanah suci Mekah atas biaya Haji Sanusi, seorang ulama terkemuka di Banyuwangi. Di tanah suci Makkah, beliau bermukim di kampung Syi’ib Ali selama kurang lebih 7 tahun. Sepulangnya dari Mekah, Sayyid Ali kembali ke tanah air dan meneruskan belajarnya di Pondok pesantren di Jombang di bawah asuhan KH A. Wahab Hasbullah. Selain mendalami ilmu-ilmu agama dan Al Quran di waktu mudanya, beliau ternyata dikenal sebagai pendekar silat yang sangat tangguh.
KH Sayyid Ali Bafaqih mengajar di Madrasah Khairiyah selama setahun di Banyuwangi, kemudian mengembangkan ilmunya di Bali atas permintaan Datuk KH Muhammad Said, seorang ulama besar di Loloan. Dengan begitu, dakwah dan syi’ar Islam di kabupaten Jembrana semakin bersinar. Baru pada tahun 1935 beliau mendirikan Pondok Pesantren “Syamsul Huda” di Loloan Barat yang kini telah melahirkan ribuan ulama, da’i dan ustadz. Para santri datang dari berbagai pelosok desa di tanah air. Mereka belajar dan berbaur dengan masyarakat Loloan.  yang sejak ratusan tahun lalu telah dikunjungi oleh ulama-ulama tangguh dari berbagai daerah. 


KH. Sayyid Ali Bafaqih wafat pada tahun 1997 dalam usia 107 tahun. Oleh karena perjuangan dan kegigihanya dalam  mensyiarkan agama Islam, serta karena ilmunya yang tinggi, maka beliau dipandang sebagai salah satu “Wali Pitu” yang ada di Jembrana Bali.
Karomahnya. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Loloan, diantara karomahnya ialah, bahwa pada suatu hari beliau berdakwah keliling memberikan pengajian di suatu tempat, dan dalam waktu yang bersamaan, orang-orang menyaksikan bahwa beliau juga berdakwah memberikan pengajian di tempat yang berbeda. Seolah-solah dalam waktu yang bersamaan badan beliau dapat bercabang dua.
Proses Penemuan. Usaha penelusuran, penelitian dan penemuan Walipitu Bali memakan waktu kurang lebih 5 tahun, tahun 1991 s/d 1995. Hasil yang diperoleh salama masa tersebut, menurut penggagas dan penemunya, KH Toyib Zaen Arifin, dikelompokkan kedalam tiga bagian, sebagai berikut :
1) Ditemukannya 6 (enam) makam keramat yang masuk kategori Walipitu, yakni makamnya  Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat;  Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al-Hamid; Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus; Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi Al-Maghribi; Habib Umar bin Maulana Yusuf Al-Maghribi; dan  The Kwan Lie alias Syekh Abdul Qodir Muhammad.
2). Ditemukannya 2 (dua) makam yang tidak masuk hitungan Walipitu, yakni makamnya Raden Ayu Siti Khotijah dan Pangeran Sosrodiningrat.
3). Ditemukannya seorang Waliyulloh yang makamnya “Qoblal Wujud”. Artinya makam waliyulloh ini memang belum ada, disebabkan orangnya saat itu (tahun 1995) masih hidup. Makam Waliyulloh ke-7 ini baru terwujud setelah yang bersangkutan wafat pada tahun 1998, yang menurut penggagasnya, KH Toyib Zaen Arifin, bernama KH Sayyid Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih dari Loloan Barat kabupaten Jembrana.

Wallohu A’lam bis-Showab

MJIB - 30. PRO DAN KONTRA SOAL KEBERADAAN WALIPITU DI BALI






Setelah memperhatikan uraian sejarah dan informasi keberadaan Walipitu di atas, ada beberapa temuan yang menarik untuk direnungkan, dikaji dan dikembangkan lebih lanjut dalam kaitannya dengan kemungkinan adanya Waliyulloh selain Walipitu sebagai berikut :
1. Kemungminan Adanya Waliyulloh lain diluar Walipitu
     Istilah “Walipitu” (sab’atul auliya’) yang berarti tujuh orang  Waliyyulloh Bali dan proses penemuan makam mereka adalah didasarkan pada suara hatif, ilham, kontak batiniyah atau semacam inspirasi yang diperoleh dari hasil riyadhoh Bapak KH Toyib Zaen Arifin bersama timnya.
Hal ini melahirkan sikap pro dan kontra di tengah masyarakat, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non muslim. Bagi orang-orang yang tidak setuju dengan penggunaan suara hatif, ilham atau semacamnya sebagai “sumber pengetahuan” atau sebagai alat untuk mendeteksi keberadaan makam seorang waliyulloh, tentu mereka akan menolak dan menentang dengan berbagai alasan, misalnya: tidak ilmiah, irrasional, mengada-mengada, tidak masuk akal dan komentar-komentar miring lainnya.
Namun bagi yang setuju, bisa jadi mereka akan menerima apa adanya tanpa banyak komentar. Apalagi hal itu dilakukan oleh seorang ahli riyadhoh, atau bisa jadi dipandangnya sebagai sesuatu yang sah-sah saja dan dalam hal ini, KH Toyib bukanlah satu-satunya orang yang ahli, karena kenyataannya banyak diantara para ahli riyadhoh yang mampu menemukan makam seorang “Waliyulloh” yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh masyarakat umum, dengan metode dan cara yang berbeda-beda. Sebut saja misalnya KH Hamim Jazuli (Gus Miek dari Ploso Kediri), KH Mas Nur (Branjangan), KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur), KH Ali Muhammad (Pembina semaan Qur’an Al-Ittihad), KH Ahmad Asrori Usman (Al-Khidmah), dan lain-lain. Dengan demikian, di masa-masa mendatang mungkin saja ada ahli-ahli riyadhoh lain yang mengungkap keberadaan Waliyulloh  selain Walipitu tersebut dengan cara atau metode yang berbeda-beda, sehingga jumlahnya tidak sekedar tujuh orang (“Walipitu”), malahan bisa lebih dari itu, misalnya delapan orang (“Waliwolu”), sembilan orang (“Walisongo”), sepuluh (“Walisepuluh”) dan seterusnya. Pendek kata, dipandang dari sudut ini, istilah “Walipitu” bukanlah harga mati, tetapi bisa ditawar (berubah). Apalagi menurut keyakinan di kalangan kaum sufi, bahwa setelah wafatnya seorang Wali tertentu, Alloh akan memunculkan seorang Waliyulloh yang baru untuk menggantikan posisi mereka, sehingga di bumi ini tidak ada kekosongan Wali.
2.  Konsep “Walipitu” di Bali nampaknya lebih dipahami sebagai tujuh orang suci atau orang sholeh yang menjadi kekasih Allah dan dianugerahi karomah tertentu. Pemahaman konsep “Walipitu” seperti ini jelas berbeda dengan pemahaman konsep “Walisongo” di Jawa dalam beberapa hal, diantaranya sebagai berikut :
a.  Konsep “Walisongo” tidak sekedar dipahami sebagai sembilan orang suci/sholeh yang menjadi kekasih Allah dan dianugerahi karomah tertentu, akan tetapi juga sekaligus dipandang sebagai penyebar terpenting agama Islam di daerahnya masing-masing. Misalnya Sunan Giri yang tinggal di perbukitan Giri Gresik dan berdakwah di wilayah sekitarnya; Sunan Kudus tinggal di kota Kudus dan berdakwah di kota Kudus dan sekitarnya, dan seterusnya. Sedangkan konsep “Walipitu” tidak dikaitkan dengan peranan mereka sebagai penyebar agama Islam terpenting di daerahnya masing-masing. Kalaupun ada yang dipercayai sebagai muballigh, itupun terbatas pada beberapa orang seperti Sayyid Ali Bafaqih di Loloan Barat; Habib Ali bin Abu Bakar Al-Hamid; Habib Ali Zainal Abidin Alydrus. Bahkan beberapa tokoh yang dipercayai telah berjasa dalam dakwah Islamiyah di Bali justru tidak dimasukkan dalam hitungan “Walipitu”, sebut saja : Raden Modin dan Kyai Abdul Jalil yang dipandang sebagai cikal bakal keberadaan masyarakat Islam di desa Banjar Lebah dan desa Saren Jawa di Kabupaten Karangasem Bali; Syarif “Tua” Yahya bin Yusuf bin Abu Bakar bin Habib Husain Al-Gadri; dan tokoh-tokoh dari Bugis - Makassar.
b.  Menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA didalam bukunya, Kisah Wali Songo, yang dinukil dari kitab Kanzul Ulum, karya Ibnu Bathuhah, bahwa istilah Walisongo adalah nama dari lembaga Dakwah atau Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan sembilan orang  pengurus, yang didirikan atas inisiatif dan kepedulian Sultan Muhammad I dari kerajaan Turki Usmani terhadap perkembangan dakwah Islamiyah di pulau Jawa. Dengan begitu, istilah ini muncul sejak abad ke-15 masehi. Sementara itu, istilah Walipitu muncul pada era 1990-an yang “ditemukan” dan diperkenalkan pertama oleh KH Toyyib beserta jama’ahnya.
c.   Para anggota yang ditokohkan dalam “Walisongo” sudah jelas sejarah hidupnya dan diakui oleh para ahli sejarah, serta nama mereka dan perannya disebut-sebut dalam literatur atau kepustakaan jawa terutama tulisan orang jaman dahulu seperti buku Babad Tanah Jawa, Suluk Wujil, Het Boek van Bonang, Kitab Walisono,  dan lain-lain. Sementara para anggota Walipitu yang sudah dipopulerkan oleh penemunya ada yang masih samar-samar sejarahnya dan masih terus dilakukan penelusuran sejarahnya sampai saat ini, kecuali beberapa orang Waliyulloh yang sudah jelas. 


Jika istilah Walipitu tersebut seandainya disepakati oleh berbagai kalangan tidak sekedar dipahami sebagai orang suci kekasih Alloh dan memiliki karomah, tetapi juga berperan besar dalam penyebaran Islam di pulau Bali, bisa jadi personalianya akan berubah (tambal sulam) dan bahkan  bertambah lebih dari tujuh orang

Tahlilan di makam Pangeran Mas Sepuh Pante Seseh
Lepas dari pro dan kontra di atas, penemuan istilah  “Walipitu di Bali” yang saat ini sudah kadung (terlanjur) populer ini merupakan langkah positif yang perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak, mengingat dampak positifnya yang begitu besar, terutama bagi  kemajuan dan perkembangan industri pariwisata di pulau Bali. Terbukti bahwa akhir-akhir ini banyak rombongan wisatawan muslim ke Bali dengan tujuan  menziarahi makam Walipitu, sekaligus juga mengunjungi obyek-obyek wisata yang menjadi icon pulau Bali seperti pantai Kuta, pantai Sanur, istana Tampak Siring, dan lain-lain.  Minimal membangun suatu citra bahwa di tengah kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas Hindu ternyata ada Waliyulloh-nya dan juga ada komunitas muslim yang dapat hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi dengan umat Hindu.
Wallohu A’lam bis-showab.



Kamis, 08 Agustus 2013

MJIB - 27. MAKAM KERAMAT KEMBAR "WALIPITU" DI KARANGASEM BALI



Makam Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghrib



Lokasi Makam di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem (Amlapura), Bali.   Di dalam satu cungkup ada dua makam, yakni makam Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus (wft. 1982 M) dan makam kuno yang kemudian diketahui milik, yang masih turunan ke-43 dari Rasulullah.
Kedua makam kembar tersebut dahulunya terletak di pelosok dan belum ada penerangan listrik, serta jauh dari jalan raya dan hampir tidak pernah dijamah oleh peziarah. Beberapa tahun yang lalu, lokasi kedua makam tersebut dipindahkan di dekat jalan Raya, sehingga mudah diziarahi. 
  

Proses penemuan Makam Walipitu Bali ke-4 dan ke-5. Pada awal tahun 1995 KH Toyib Zaen Arifin mendapatkan isyarah dalam riyadhohnya yang isinya agar menemui seorang  lumpuh alias tak dapat berjalan disebabkan usianya yang sangat tua. Karena dialah satu-satunya yang dapat menunjukkan dimana lokasi makam salah satu Walipitu di sekitar wilayah kabupaten Karangasem tersebut. Usaha mencari orang lumpuh dilakukan oleh Kiyai dan timnya selama kurang lebih 6 bulan di wilayah Karangasem, namun tidak ditemukan, sampai pada suatu hari mereka berjum’atan di Masjid desa Subangun. Sehabis jum’atan Kiyai dan tim bertanya kepada jamaah, barangkali ada orang yang mengetahui orang tua lumpuh yang akan menjadi petunjuk keberadaan seorang Waliyulloh. Ternyata tidak seorang pun yang tahu. Namun ada salah seorang jamaah, Bapak Ghufron, menegaskan bahwa orang lumpuh tidak ada di sini, tetapi kalau ingin mencari makam seorang habaib, dia akan sanggup mengantarkannya ke desa Bungaya Kanginan.
Mereka bersama-sama dengan Bapak Ghufron berziarah ke makam Habib Ali bin Zainal Abidin Al-Idrus (wafat pada 9 Ramadhan 1493 H/19 Juni 1982) di desa Bungaya Kanginan, diantar oleh putra almarhum, yakni Habib Muhdhor bin Ali Alydrus yang sekaligus menjadi juru kuncinya. Selesai berdoa dan berdzikir, KH Toyib melihat bahwa di sebelah malam Habib ada makam tua berupa tumpukan batu bata berserakan  dan tak seorang pun yang mengetahui siapa pemiliknya. 

Makam Habib Ali bin Zainal Abidin Alydrus

Makam kuno ini sejak jaman dulu sudah dikeramatkan masyarakat, diperkirakan berusia antara 350—400 tahun. Mengenai nama, sejarah, dan dari mana asalnya, tidak satu pun orang yang tahu, bahkan Habib Mukhdor sebagai juru kunci yang diwarisi dari abahnya (Habib Ali Zainal Abidin Alydrus) juga tidak mengetahui sejarahnya. Adapun tentang sejarah abahnya, yakni Habib Ali Zainal Abidin, Habib Muhdhor menjelaskan bahwa abahnya adalah seorang ulama besar yang arif bijaksana, luas ilmunya dan seorang muballigh yang sangat dihormati masyarakat dan menjadi rujukan dalam soal ilmu agama. Banyak santri yang mengaji kepadanya. Mereka tidak hanya berasal dari beberapa daerah di Bali, tetapi juga dari Lombok dan sekitarnya. Semasa hidupnya, beliau menjadi juru kunci makam kuno itu. Dua-tiga tahun menjelang wafatnya, beliau lumpuh tidak dapat berjalan disebabkan usianya yang sangat tua, dan setelah wafat, beliau dimakamkan di samping makan kuno tersebut.
Diantara Karomah dari pemilik makam tua ialah bahwa pada tahun 1963 M Gunung Agung meletus dan mengeluarkan lahar panas, menyemburkan batu besar dan kecil serta abu yang menjulang tinggi di angkasa, menyebar ke seluruh Pulau Bali, bahkan sampai ke wilayah Jawa Timur. Cuaca menjadi gelap gulita, siang hari berubah menjadi gelap pekat. Ini menunjukkan betapa hebat dan dahsyatnya letusan dan semburan yang dimuntahkan oleh Gunung Agung. Sebagian desa porak poranda, banyak rumah roboh, pohon-pohon besar banyak yang tumbang, hujan pasir dan batu kerikil  menggenangi pulau Bali. Uniknya, Makam tua yang di atasnya tertumpuk susunan batu merah yang ditata begitu saja tanpa diperkuat dengan semen pasir dan kapur, tidak berubah sedikit pun, bahkan tidak sebutir pasir pun yang menyentuhnya.
Dari kisah Habib Muhdhor tersebut, Kiyai Toyib dan timnya menyimpulkan, bahwa teka-teki tentang orang tua lumpuh yang dicari-carinya sudah terjawab, dan orang tua itu ternyata adalah Habib Ali bin Zainal Abidin Alydrus yang sudah wafat. Dengan begitu, makam Habib Ali seolah-olah secara langsung menjadi petunjuk keberadaan makam salah seorang Walipitu Bali di Karangasem, dan ternyata beliau adalah orang yang dikubur didalam makam tua yang letaknya berdampingan dengan makam Habib Ali Zainal Abidin. Oleh kerena itu, kedua makam Waliyulloh Karangasem ini kemudian disebut Makam Keramat Kembar.
Persoalannya, siapa pemilik makam tua tersebut?. Setelah melalui beberapa kali musyawarah dengan ulama’ ahli riyadhoh yang berkompeten di Jawa-Bali, serta penelitian dan riyadhoh maka terungkaplah bahwa pemilik makam kuno tersebut adalah Syekh Maulana Yusuf al-Baghdi al-Maghribi. Adapun tentang sejarahnya dan perannya dalam penyebaran Islam di Bali, masih belum ditemukan jawabannya. Wallohu a’lam bis-showab.