Sabtu, 18 Mei 2013

MJIB - 12. Asal-Usul & Tradisi Islam di Pegayaman Bali (2)


______________________________
 oleh : Achmad Suchaimi 

I Gusti Ngurah Panji Sakti
 
Asal Usul Penduduk Muslim Pegayaman
Ada beberapa versi. Menurut satu versi, seperti yang diceritakan oleh salah satu tetua desa Pegayaman (Bapak Ibrahim), bahwa umat Islam di Pegayaman sudah ada sejak zaman kekuasaan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Panji Sakti, yang berkuasa pada abad ke-15. Menurut  versi ini, Raja dari Solo pernah menghadiahkan seekor gajah dan 80 prajurit kepada Raja Panji Sakti sebagai tanda persahabatan. Para prajurit dari Solo ini kemudian ditempatkan di Desa Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan raja-raja Bali Selatan, yaitu Raja Mengwi dan Badung. Mereka hidup menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya.  
 Cerita Ibrahim tersebut memang tidak didukung oleh bukti tertulis. Dalam berbagai lontar sejarah Bali yang tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, tidak ada catatan khusus mengenai sejarah Islam Pegayaman. Dalam Babad Dalem, dokumen tentang raja-raja di Bali pun hanya tertulis masuknya Islam ke Bali secara umum, bahwa pada abad ke-15, di masa pemerintahan Raja Gelgel, Klungkung (sekitar 32 km sebelah timur kota Denpasar), Sang Raja  mendapat bantuan 40 prajurit dari Raja Majapahit yang mayoritas muslim, sepulangnya mengikuti konferensi Raja-raja se Nusantara di ibukota Majapahit atas undangan Hayam Wuruk.
Pada masa-masa selanjutnya, kedatangan para prajurit  Majapahit ini lalu diikuti arus migrasi dari Jawa, Madura, Bugis,  Sasak, dan Lombok. Beberapa dari mereka inilah yang kemudian menetap di Pegayaman. 

Ada juga catatan dalam sebuah lontar tentang sekelompok imigran Islam yang datang ke Buleleng pada masa pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik, tahun 1850. Rombongan ini diduga berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Sebab, sampai sekarang beberapa tetua desa Pegayaman masih mengaku keturunan Bugis. Imigran ini menetap di Desa Pegayaman, yang hanya berjarak 9 km di selatan Singaraja, ibu kota Buleleng. Di desa ini mereka kemudian berbaur dan terjadilah kawin campur.

Memeluk agama Islam tidak membuat tata cara kehidupan penduduk Pegayaman harus berbeda  dengan penduduk yang menganut Hindu. Perbedaan mencolok hanya tampak dari hiasan rumah. Umat Islam Pegayaman tidak memakai hiasan ukir-ukiran yang pada bangunan milik warga Bali seakan wajib hukumnya. Juga tidak ada bangunan sanggah, tempat pemujaan keluarga yang umum terdapat di setiap rumah penduduk Hindu Bali.
Penduduk muslim Pegayaman memang penduduk “asli” Bali. Bukan “orang Islam pendatang” yang dikonotasikan sebagai pedagang sate, bakul jamu, atau sejenisnya. Seperti penduduk desa sekitarnya, pekerjaan pokok mereka berkebun dan bertani.
   Perbedaan itu pun tak membuat mereka mengambil jarak, apalagi menjadi eksklusif. Bila warga Hindu menyongsong hari suci Nyepi, warga muslim beramai-ramai membantu mengusung ogoh-ogoh, boneka gergasi yang dibuat sehari menjelang Nyepi.
Mengarak Ogoh-ogoh
  Mereka juga ikut menghentikan kegiatan sehari-harinya dan hanya berdiam di rumah pada hari Nyepi. Pada hari raya  Galungan, umat Hindu juga tetap ngejot, yakni tradisi mengantarkan makanan ke rumah tetangga, meskipun tetangganya muslim.  Sebaliknya, pada Idul Fitri dan Idul Adha, umat Islam Pegayaman ngejot ke para tetangga Hindu.



Penjor
Pada waktu Idul Adha, penduduk yang beragama Islam membuat penjor, yaitu bambu berhias yang ditancapkan di depan rumah. Tentu saja tanpa disertai sesajen. Dalam pembuatannya, warga Hindu ikut membantu menghias sampai menancangkannya. Umat Islam hanya membuat penjor saat Idul Adha yang perayaannya lebih meriah ketimbang Idul Fitri. Mereka menggelar tari-tarian khas daerah itu, memasak makanan lebih banyak, dan anak-anak memakai baju baru. Pada saat Idul Fitri, mereka hanya menjalankan salat id dan bersilaturahim. Tidak ada kemeriahan lainnya.

Ketika memberikan nama, misalnya, mereka tetap mengikuti tradisi. Sebagaimana orang Bali, umat Islam Pegayaman menggunakan nama depan Wayan (anak pertama), Nengah (anak kedua), Nyoman (anak ketiga), dan Ketut (anak keempat). Namun nama belakang mereka biasanya menggunakan nama Islam yang berbahasa Arab. Misalnya Nengah Ulul Azmi, Ketut Sholahuddin, Ketut Asghor Ali, Nengah Maghfiroh dan seterusnya.
Ketika mereka saling memberikan salam, terdengarlah “bunyi” yang unik: “Assalamu’alaikum, Pak Ketut Ibrahim”, kemudian dibalas “Wa’alaikumsalam, Wayan Arafat!”
Ketika datang bulan Ramadhan, menjelang malam, sekitar pukul 6 sore itu, suasana desa mulai terlihat ramai di jalan, terutama oleh anak-anak yang sedang bermain. Mereka menunggu waktu berbuka puasa. Di antara anak-anak tersebut, sebagian anak terlihat berjalan sambil membawa makanan dalam tas plastik. Mereka membawanya ke rumah paman, bibi, atau keluarganya yang lain, dan tetangga dekat. Mereka sedang Ngejot.


Ayo, Ngejot!
 Tradisi Ngejot setiap datangnya bulan Ramadhan adalah salah satu bentuk akulturasi antara tradisi Hindu dan Islam di Desa Pegayaman. Ngejot menunjukkan bahwa umat Islam di Pegayaman masih melakukan tradisi yang sama dengan umat Hindu di Bali. Selama tradisi tidak melanggar batas keyakinan agama (aqidah), hal ini sah-sah saja untuk dilakukan. Apalagi kalau sekedar berbagi dengan orang lain.

Makanan yang diberikan umat Islam saat Ngejot tidak jauh berbeda dengan yang diberikan umat Hindu Bali, antara lain berupa jaja uli, buah, rengginang, dodol, dan semacamnya.
 Tradisi Ngejot tidak hanya dilakukan umat Islam di Pegayaman. Sebagian muslim di daerah lain seperti di Denpasar pun melakukan hal yang sama. Biasanya tradisi Ngejot di daerah yang masyarakatnya plural malah diberikan kepada umat agama lain, termasuk umat Hindu.
Tradisi Ngejot, mengantar makanan
Selain tradisi Ngejot, masih banyak tradisi lain yang menunjukkan bentuk akulturasi antara tradisi-budaya Hindu dan Islam di Bali. Dalam hal ini, umat Hindu dan Islam saling mengisi dan tanpa harus menimbulkan ketegangan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar