Rabu, 30 Juli 2014

MJIB - 43. Mengenal Beberapa Kampung Muslim di Kab. Jembrana Bali

_________________________
Oleh : Dhurorudin Masyhad



Pangeran Wilis dan Cikal Bakal Komunitas Islam Di Jembrana – Bali

Telah sekian hari lamanya,  saya menelusuri bumi Bali,  bumi yang selain kesohor dengan pusat pariwisata juga terkenal dengan sebutan God’s  Island alias pulau Dewata.  Di tengah mayoritas penduduknya yang dominan beragama hindu dan kuatnya tradisi masyarakat, sering terlontar pertanyaan, bagaimana Islam di Bali. Apakah Islam hanya menjadi agama pelengkap, agama kaum pinggiran atau  justru menjadi mitra masyarakat Hindu Bali dalam membangun dan mempertahankan identitasnya.  Rentetan pertanyaan tadi sedikit banyak sudah berusaha saya jawab melalui serangkaian tulisan tentang komunitas Islam Bali yang cikal bakalnya telah ada sejak tahun 1500 an era Dalem Ketut Nglesir. Kali ini saya ingin mengajak untuk mencermati realitas kehidupan kaum Muslim di kabupaten Jembrana yang biasa dikenal pula dengan sebutan Negara.
Komunitas muslim Jembrana alias Negara jika dirunut sebenarnya sudah mulai ada menyusul runtuhnya kerajaan Mojopahit oleh penyerangan Demak Islam di tahun 1518. Seiring dengan peristiwa itu,  berbagai kerajaan vassal Majapahit yang semula Hindu akhirnya kian banyak yang mendeklarasikan diri sebagai penganut Islam. Akibat realitas yang menggejalanya para raja menjadi Muslim terutama di tanah Jawa ini,  para tokoh agama,  pejabat negara,  dan atau pangeran  yang tak mau menerima Islam akhirnya pilih mengungsi ke berbagai wilayah lain.  Roro Anteng dan Joko Seger dengan para pengikutnya,  misalkan,  mengungsi ke lereng gunung Bromo,  sehingga anak keturunan mereka kini lebih dikenal sebagai suku Tengger (singkatan dari kata gabungan :  AnTENG dan SeGER).   Namun,  jumlah yang lebih banyak justru memilih meninggalkan Jawa menuju Bali termasuk diantaranya Pangeran Wilis dan Pangeran Sepuh asal Blambangan.  Peristiwa pengungsian pangeran Wilis inilah yang ternyata sekaligus menjadi tonggak awal eksistenti komunitas muslim di tlatah Jembrana.
Kalimat terakhir (barusan) tadi memang terasa agak ganjil,  tetapi jika dirunut dari sejarah pelarian Pangeran Wilis dan eksistensi Pura Dang Kahyangan Majapahit di Jembrana niscaya akan ditemukan Jawabnya. Pura Dang Kahyangan Majapahit  terletak di barat kota Negara, tepatnya di Desa Baluk (dulu masuk Desa Banyubiru). Semula luas pura hanya beberapa are, namun setelah direnovasi sebanyak dua kali  kini luasnya  sekitar 47 are. Sebelum renovasi di areal Pura Majapahit  terdapat pohon beringin besar tepat di sebelah utara pura. Pelinggih saat itu masih satu dan sangat sederhana tepat di bawah pohon beringin tersebut. Setelah direnovasi, pintu masuk yang semula ada di sebelah timur dipindah ke di sebelah barat, sehingga terlihat lebih luas karena setiap tahun jumlah pemedek semakin bertambah. Pura  yang terletak di jalan poros Jawa-Bali  pertama direnovasi tahun 1965 dengan melakukan penebangan pohon beringin tua karena diperkirakan akan merusak bangunan, sedangkan tahun 2006 pemindahan kori dan perluasan pura.
Pura Dang Kahyangan Majapahit saat ini memiliki beberapa pelinggih di antaranya pelinggih Padmasana, Meru Lumpang Lima (stana Batara Majapahit), Gedong 1 Batara Dalem Blambangan, Panglurah (pecalang), Pepelik, Meru Tumpang Tiga (Rambut  Sedana), pelinggih stana Empu Kuturan (penyebar agama Hindu pertama kali di Bali) dan Taksu. Pengempon pura ini terdiri atas empat desa yakni Kaliakah  Kangin dan Kauh, Banyubiru dan Baluk.
Pura ini tergolong unik,  sebab untuk menjaga toleransi terhadap umat sekitar pura yang justru mayoritas muslim, kaum Hindu tidak menyembelih babi dalam setiap upacara di pura. Peraturan ini sudah berlangsung turun temurun dan tidak lepas dari sejarah berdirinya pura yang  pujawalinya jatuh pada Kajeng Kliwon Tumpek Wayang.
Sejarah keberadaan Pura Majapahit ini terkait dengan sejarah Pangeran Wilis dari Blambangan yang merupakan keturunan Majapahit. Sejak kerajaan Hindu di Jawa mulai terdesak oleh Islam, Blambangan juga ikut terdesak.  Banyak pembesar kerajaan Blambangan masuk Islam, kecuali dua orang yang tidak masuk Islam, yakni: Pangeran Wilis dan Pangeran Sepuh. Merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerajaan yang para pejabatnya kian  dominan Islam,  kedua pangeran ini memilih pindah ke Bali bersama kerabat dan para pengikutnya sekitar 40 orang.
Sesampai di Bali, kedua pangeran ini datang ke Pura Jati dengan membawa patung sakti sebagai oleh-oleh untuk Raja Jembrana. Karena kelelahan memikulnya, maka  patung sakti itu sementara ditaruh di Lateng, lantas ia menghadap Raja Jembrana. Raja menyambut baik mereka dan menitahkan agar oleh-oleh itu ditaruh di Pura Jembrana.
Kedua pangeran lantas melanjutkan perjalanan untuk menghadap raja Mengwi, karena kerajaan Jembrana saat itu memang berada dalam kedaulatan Mengwi.  Sebelum berangkat keduanya diiringkan Raja Jembrana bersama seorang abdi terdekat raja bernama Pan Tabah yang ditugaskan untuk terus mendampingi pangeran. Kepada kedua pangeran itu raja Jembrana berpesan agar segera  lapor bila di Mengwi mengalami masalah.  Ternyata di Mengwi kedua pangeran ini ditangkap, bahkan Pangeran Sepuh dibunuh,  sementara Pangeran Wilis dan Pan Tabah berhasil  lolos dan kembali ke Jembrana.  Mendengar laporan itu, raja merasa malu karena tak bisa melindungi tamu,  sehingga raja  bunuh diri.
Kematian raja ini dikira sebagai kudeta oleh Pan Tabah sebagai orang terdekat raja (parakan sayang).  Pan Tabah dikejar dan ditangkap keluarga kerajaan,  lantas  diikat seperti babi di sebuah desa di wilayah Tegalcangkring. Karena Pan Tabah diperlakukan seperti Babi (celeng) tempat tersebut hingga kini dinamakan Pecelengan. Sementara Pangeran Wilis yang hendak pulang ke Jawa tidak diperkenankan,  dan  kepadanya diberikan sebidang tanah di  Desa Banyubiru (sekarang Baluk) di bawah pohon beringin besar. Di lokasi inilah Pangeran Wilis dan pengikutnya membangun pemukiman serta sebuah pura yang lantas dikenal sebagai Pura Majapahit.
Hal yang cukup unik adalah bahwa diantara pengikut setia Pangeran Wilis ternyata ada yang sudah memeluk agama Islam sejak di Jawa. Meski beda agama,  tetapi abdi yang beragama Islam itu tetap setia mendampingi tuannya.  Walhasil,  untuk menghormati pengiring setianya itu,  pangeran membangunkan pula sebuah masjid di sebelah barat pura. Mereka itulah  yang akhirnya menjadi cikal bakal komunitas Muslim di wilayah Banyubiru. Dus,  melihat sejarah itu berarti keberadaan umat Islam dan Hindu di wilayah Banyubiru  sama tua asal usulnya.
Kala itu pangeran Wilis bahkan membuat perjanjian tentang toleransi antar umat beragama di lokasi barunya itu,  termasuk bahwa: untuk menghormati umat Islam, dalam setiap persembahyangan di pura tidak diperkenankan menggunakan sarana babi dan cukup diganti dengan  itik. Aturan ini terus diikuti secara turun-temurun,  dan tak ada yang berani melanggarnya hingga kini.
Sampai sebelum tahun 1965, bahkan konon kaum tua di kalangan muslim ikut bergabung bila ada upacara umat Hindu di Pura Majapahit, sekedar sebagai penghormatan.  Nah, agar keberadaannya tidak nganggur alias bengong,  kala itu umat Islam ikut dilibatkan melalui acara mekidung  yakni : Kidung Rengganis (dari Jawa).  Sedangkan umat Hindu berme-Kidung Wargasari.  Namun,  seiring dengan merembesnya kesadaran purifikasi Islam termasuk pada komunitas muslim Banyubiru ini,  maka mereka tidak lagi terlibat dalam persembahyangan. Muhammadiah misalnya,  yang masuk Loloan Barat sejak tahun 1936,  merupakan bagian dari gerakan purifikasi Islam di Jembrana. Namun, perlu dicatat bahwa seiring purifikasi ini,  toleransi tetap ada tetapi dilakukan dengan cara tidak merusak kemurnian aqidah mereka lagi. Walhasil,  sejak itulah Kidung Rengganis yang biasa dikumandangkan umat Islam,  akhirnya tidak dipergunakan lagi. ”Namun demikian,  upacara di Pura Majapahit tetap  tidak diperkenankan menggunakan babi dan diganti dengan itik hingga kini ”,  jelas seorang tokoh Hindu setempat kepada kami.
Karena sejak awal pembentukannya  di sekitar wilayah kompleks pura memang ada umat Islamnya,  maka realitas bahwa pura ini sekarang dikelilingi oleh penduduk mayoritas muslim bukanlah hal yang aneh.  Bahkan, beberapa meter terdapat masjid besar yang juga peninggalan era lama. Namun toleransi di antara mereka tetap terjaga hingga  saat ini. Meski masjid dan pura dewasa ini sama-sama menggunakan pengeras suara misalnya, kedua komunitas tidak merasa berpersoalan. Seperti saat odalan, meski warga di sekitar pura adalah umat muslim, namun mereka menghargai dan tidak merasa terganggu oleh para pemedek yang sedang parkir dalam jumlah besar. Umat Islam tetap melakukan aktivitas ke masjid sebelah barat Pura Majapahit.
Dari  penelusuran sejarah itu tampak bahwa cikal bakal komunitas Islam di Jembrana ternyata sudah sangat tua usianya.  Selain komunitas Muslim era lama di Desa Baluk (dulu masuk Desa Banyubiru) ini,  ada pula kampung muslim  era lama namun berusia agak lebih muda dibanding Banyubiru, yakni:  Kampung  Loloan dan Air Kuning  yang akan saya ulas secara khusus pada tulisan berikutnya.
Kampung-kampung Muslim di Jembrana terus berkembang jumlahnya,  terutama  sejak 1970an seiring dengan ”ditetapkannya”  Bali sebagai wilayah Wisata andalan. Karena sejak itu,  gelombang imigrasi ke pulau ini menjadi sangat luar biasa besar.  Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Jawa dan Muslim,  maka  menjadi dengan sendirinya para pendatang baru  mayoritasnya adalah Jawa dan Muslim. Realitas inilah yang menyebabkan pertumbuhan penduduk Bali yang Jawa dan atau Muslim menjadi sangat significan.  Perkembangan terbesar tentu saja terjadi di wilayah-wilayah simpul transportasi.
Jika melalui pintu udara,  Denpasar dan Badung (melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai) menjadi pintu gerbang pulau dewata,  tetapi jira melalui laut  maka Jembrana (melalui Gilimanuk) merupakan pintu gerbang.  Oleh karena itu, dapat dipahami jika pertumbuhan penduduk Jawa dan Muslim di wilayah Denpasar, Badung, dan Jembrana jauh lebih pesat di banding di tempat-tempat lain.
Kantong-kantong pemukiman Muslim di Jembrana memang dapat dikatakan berkembang lebih pesat dibanding beberapa wilayah lainnya.  “Jika komunitas Muslim lama terutama terdapat di Loloan dan Air Kuning  (berada pada wilayah selatan jalan utama Jembrana), belakangan sudah banyak pula comunitas muslim di kecamatan-kecamatan lain,  seperti : desa Medewi, Pululan, Pekutatan (Kecamatan  Pekutatan), desa Yeh Sumbul (Kecamatan Mendoyo),  Pengambengan, Cupel, Pabuaan, beberapa enklave baru di Banyu Biru (Kecamatan Negara), Wewidangan (Kecamatan Melaya). Bahkan,  kini  sebagian telah menyeberangi wilayah utara jalan yang semula eksklusif menjadi wilayah umat Hindu. Eksistensi mereka yang relatif baru itu umumnya berada di berbagai kompleks perumahan  yang dibangun pengembang”,  kata Ilham seorang tokoh muslim Jembrana yang berhasil saya temui di kantornya.
Sebenarnya tidak hanya di beberapa daerah yang telah tersebut tadi komunitas Islam berkembang.  Keberadaan komunitas Islam Bali yang lebih kecil (termasuk di Jembrana) sebenarnya telah menyebar luas diantara banjar-banjar Hindu. Bahkan ada yang letaknya di antara balik balik Bukit yang agak sulit mengetahuinya jika tidak ”memburunya”. Namun saat ini kampung-kampung itu dan masyarakat di dalamnya seolah tenggelam oleh hiruk-pikuk perkembangan jaman. Bahkan tidak ada yang tahu kalau mereka sebenarnya hidup dalam kesederhanaan dan kesepian dari cahaya Islam.
Di Jembrana saat ini cukup banyak perkembangan fisik terkait dengan eksistensi kampung Islam dan atau komunitas Muslim.  “Di Negara ada beberapa Pondok Pesantren, satu Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), 168 tempat ibadah,  54 diantaranya sudah berupa Masjid”,  tambah Ilham yang tak lain Rektor STIT menambahi penjelasan.
Berbekal dari penjelasan pak Ilham tadi,  saya dkk minta diantarkan pak Kadek Syarifudin untuk menelusuri lokasi-lokasi yang dikatakan pak Ilham tadi.  “Orientasi wilayah dulu ya,  pak”,  kata pak Sharif,  “Esuk hari kita baru benar-benar menyinggahi”. ***


Konflik Hindu – Muslim Jembrana Era Kolonial Belanda: Tragedi yang Tak Perlu Terulang

Sore hari.  Mentari telah condong ke arah Barat.  Pak Syarif mengajak kami mengunjungi pelabuhan ikan yang armada kapalnya sebagian besar dimiliki juragan nelayan muslim.  “Kapal-kapal ini harganya satu diatas seratus juta lho”,  kata  nelayan yang sempat saya temui,  “tetapi dalam beberapa pelayaran,  jumlah itu akan segera terbayarkan oleh hasil tangkapan ikan. Sebab,  sekali  melaut selama seminggu, jika sedang beruntung kita bisa mendapat untung 30 jutaaan ”. Para juragan kapal ini bahkan ada yang memiliki beberapa kapal.  Bahkan,  ”H. Dahlan (?),  sampai mewakafkan salah satu kapal agar hasilnya dipakai untuk keperluan operasional masjid di Loloan”,  jelas pengurus masjid di Loloan Timur.    Subhanallah.  Itulah kontribusi ekonomi secara luar biasa bagi Jembrana dari para nelayan yang umumnya memiliki darah Bugis/Makasar ini.
Secara historis komunitas muslim lama memang punya hubungan saling ketergantungan (saling dukung) secara kokoh,  terutama pada era konflik antar  kerajaan Bali di masa silam.  Sejarah klasik hubungan erat antar di keraton Negara (Jembrana) dengan komunitas muslim Loloan dan Air Kuning merupakan contoh harmoni yang luar biasa. Betapapun kecil kuantitas masyarakat Islam Bali, tetapi ralitasnya mereka telah ikut mewarnai khazanah kebudayaan Bali. Bahkan,  dalam wujud agak ekstrim pengakuan eksistensi masyarakat Islam oleh masyarakat Hindu ada yang sampai teraktualisasi dalam wujud pendirian tempat pemujaan (pura) yang melarang disajikannya hal-hal yang dilarang Islam,  seperti : Banten yang mengandung Babi.
Sebaliknya,  kaum Muslim Bali yang berinteraksi dengan Hindu secara mendalam, pada perkembangan dipengaruhi pula oleh unsur-unsur kultur komunitas Hindu. Bagaimana wujud dari unsur ”kaum Hindu” mempengaruhi kultur Muslim Bali ? “Pembauran itu misalnya terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Hindu. Sistem pengairan Subak, pola pengaturan air yang dilakukan petani Hindu misalnya, dilakukan juga oleh petani Muslim, meski cara mensyukuri saat panen berbeda, sesuai kepercayaan dan agama yang dianut”, kata H. Olong Ibrahim,  seorang Muslim asli Banyubiru-Jembrana. Kaum Muslim du daerah ujung barat Pulau Bali itu (seperti Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan, dan Yeh Santang), menerapkan sistem pengairan Subak secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau Dewata.
Di tengah harmoni hubungan Muslim – Hindu di kampung-kampung Islam lama tadi,  Belanda yang telah menguasai Blambangan  berusaha menaklukkan Bali.  Pada 8 Juni 1848 Belanda menyerang Buleleng (Singaraja) yang kala itu menjadi kerajaan “atasan”  Jembrana (Negara) yang memang telah ditaklukkan” patih Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik.  Walhasil, Jembrana (Negara) yang kala itu dipimpin Anak Agung Putu Ngurah tentu saja ikut mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Pan Kelap. Kepala perang Jembrana Anak Agung Made Rai juga memperkuat pertahanan kerajaan Jembrana. Mengwi dan Karangasem ternyata ikut pula mengirimkan bala bantuan, mengingat Belanda dianggap sebagai musuh bersama.  Kaum Muslim Jembrana juga tidak ketinggalan untuk mengirim pasukan. Pasukan-pasukan Islam di benteng Fatimah meski kala itu sedang sibuk membangun masjid pertama di Loloan Timur, namun segenap rakyat Muslim tetap diperintahkan siap untuk perang melawan Belanda.
Walhasil,  dengan bersatunya kekuatan beberapa kerajaan yang juga didukung kekuatan Islam,   pasukan Belanda dapat dipukul mundur dan sisa-sia pasukannya kembali ke kapal. Namun, tahun berikutnya tepatnya April 1849,  Belanda menyerang Buleleng lagi dengan beda strategi.   Pasukan Buleleng banyak korban, dan Patih Gusti Ketut Jelantik  menyuruh mundur pasukannya.  Pasukan Pan Kelap bantuan Jembrana  yang dipusatkan di benteng Jagaraga juga berhasil di kalahkan Belanda. Sejak itulah Bali (Buleleng-Jembrana) takluk pada pemerintahan Hindia Belanda (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali,  Denpasar: MUI, 2002).
Apapun hasil dari peperangan,  yang pasti sejarah telah mencatat bahwa secara historis umat Hindu – Muslim memperlihatkan kerjasama dalam banyak hal,  termasuk ketika melawan penjajah.  Bahkan, selama perang kemerdekaan pun realitas kerjasama tetap tampak kental. Pada masa perjuangan 1945 misalnya,  Desa Air Kuning yang penduduknya Muslim bahkan dijadikan tempat persinggahan pejuang yang tergabung dalam Pasukan Sunda Kecil yang dipimpin Kol (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai.
Memang,  dalam catatan sejarah pernah terjadi konflik antara komunitas muslim Loloan vs. sebagian elit Hindu di Jembrana.  Tetapi jika dicermati hal itu terjadi bukan murni akibat sentimen keagamaan,  tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan politik yang kurang aspiratif pada masyarakat. Terbukti,  sebagian elit kerajaan Jembrana justru bekerjasama dengan umat Islam dalam kemelut ini. Konflik bermula ketika ada ulama Jawa melakukan jasa pengobatan.  Mungkin karena banyaknya warga yang berhasil disembuhkan,   tanpa dipungut biaya pengobatan,  sehingga banyak kaum Hindu tertarik masuk Islam. Kaum mualaf ini terutama banyak dijumpai di pedesaan pantai Ketapang Kombing.  Bahkan,  Ketapang Kombing sendiri diambil dari asal kata orang mebading yang artinya kaum Hindu Bali beralih menjadi Muslim.
Perlu dicatat bahwa pada tahun 1850 Belanda mengadakan sensus. Hasilnya adalah di Jembarana terdapat: 15 desa dengan komunitas Hindu,  sedangkan  6 desa lainnya berpenduduk kaum muslim,  antara lain: Loloan Barat, Loloan Timur,Air kuning, Banyubiru (Yeh Anakan), Cupel, dan Pengambengan.  Mengingat jumlah Muslim ternyata sangat signifikan,  maka pemerintah kolonial Belanda membentuk Raad van Keracht (pengadilan)  khusus di bidang Agama dan Hukum adat yang menyangkut bukan hanya untuk Hindu tetapi juga untuk umat Islam.  Kala itu   diputuskanlah adanya: Ida Pedanda Agung yang menangani umat Hindu Bali dan seorang penghulu untuk menangani Umat Islam.
Di era kolonial ini kerajaan Jembrana  menjadi regenschap di bawah residensi Banyuwangi. Kala itulah  beberapa ulama Jawa datang melakukan pengobatan gratis.  Karena jasa sosial itulah akibatnya banyak rakyat jelata (kalangan sudra atau Jaba) tertarik untuk masuk Islam,  terutama di pedesaan pantai Ketapang Kombing.
Raja Anak Agung Putu Ngurah  (di Puri Agung Negara) secara halus melarang kaum Hindu masuk Islam,  dengan meminjam tangan Ida Pedanda Agung.  Kebetulan pada saat itu,  kerajaan sendiri,  juga sedang mengalami friksi internal akibat Raja memiliki tabiat buruk dan otoriter.  Banyak pejabat kecewa kepada raja, sehingga mereka  kembali ke Puri Gde Jembrana.
Kala itu akhirnya terbangun dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan.  Kubu pertama, Wakil Raja Jembrana , Ida Anak Agung Putu Raka dengan tentara I Gusti Agung Made Rai dan seluruh Ksatrya yang pro raja.  Kubu Kedua, kelompok anti raja,  terdiri  Punggawa Jembrana I Gusti Ngurah Made Pasekan yang sejak lama bersahabat dengan Syarif Abdullah bin Yahya Al Qodry serta Prajurit Pan Kelab. Ketika Made Pasekan (Jembrana) ditanya kenapa kelompoknya pro Muslim dia menjawab:  kami bersepakat bersama ingin hidup damai meski dengan orang Islam.  Pasekan sama sekali tak berhasrat mengubah pemerintahan (menjadi Islam), tetapi menentang kesewenang-wenangan.
Tingkah laku raja yang buruk sebenarnya telah dilapurkan ke Gubernur Jendral melalui surat Gugatan kepada Komisaris Hindia Belanda,  13 Oktober 1855 No. 85 di Residen Banyuwangi.  Karena penguasan Belanda tak kunjung memberikan tanggapan,  akhirnya tanggal 2 Desember 1855 meletus perang antara dua kubu. Meriam-meriam Syarif tua dari benteng Fatimah di Loloan Timur dan meriam-meriam Pan Kelab menyalak.  Sedangkan, pihak kerajaan menyalakkan meriam yang semula milik pasukan Bugis/Makasar yang dahulu telah diserahkan kepada raja.
Meski jumlah pasukan Muslim sangat kecil dengan satu banding tiga dibanding pasukan kerajaan,   tetapi karena mendapat dukungan dari rakyat jelata (termasuk umat Hindu yang muak pada kebijakan arogansi raja) akhirnya kelompok anti raja berhasil unggul.  Adik I Gusti Agung Made Rai tewas. Puri Gde Jembrana berhasil ditaklukkan.  Raja  Anak Agung Putu Raka dan wakil raja yang menjadi pendukungnya mengungsi ke Negara,  bergabung dengan Raja Anak Agug Putu Ngurah. Oleh karena itu,  Negara pun akhirnya dikepung pasukan Islam.
Syarif Tua kala memberi ultimatum. ”Maaf tuanku yang mulia,  anda telah diambang pintu keruntuhan.  Sesungguhnya kami terlarang membunuh orang yang menyerah. Kami mengangkat senjata bukan hendak merebut kekuasaan,  tetapi  kami  akan menyebarkan agama sambil berniaga dan menolak sekeras-kerasnya perbuatan dzalim yang menghambat agama kami”.
Walhasil,  raja akhirnya takluk, lantas dipersilahkan meninggalkan puri Negara menuju Buleleng dan menyusul pula Anak Agung Made Rai. Raja Jembrana lantas menyerahkan diri kepada pemerintah Gubernur Hindia Belanda, sebagaimana tercatat dalam buku Raad van Bestuur Oost Indische Gouverment (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali,  Denpasar: MUI, 2002.). Sedangkan,  Jembrana akhirnya dipimpin  I Gusti Made Pasekan,  dimana masa itu menjadi era keemasan perkembangan Islam dan perniagaan sekitar bandar Loloan. Islam akhirnya meluas hingga ke Tegal Badeng, Rening, dan Pabuahan. Muslim di Air Kuning membuka hutan di Air Sumbul. Juga dibuat jalan menghubungkan Jembrana – Loloan Timur,  sehingga benteng Fatimah terpaksa harus dibongkar karena kena jalur jalan.
Hubungan Muslim – elit Hindu kembali harmonis. Namun, Pasekan sempat juga melakukan kesalahan fatal terhadap umat Islam. Kesalahan itu antara lain : Pertama, Menghancurkan dan merampas isi kapal persahabatan yang diutus Sultan Sumbawa karena raja mengira Putu Ngurah yang masih berkuasa.  Kedua,  raja memerintahkan untuk menghancrukan kapal bahkan membunuh seluruh awak.  Tragedi ini terutama disulut oleh keengganan para utusan yang beragama Islam itu untuk menghaturkan sembah sebagai tanda hormat.
Menyusul pembantaian sadis ini  keluarga raja terserang penyakit, sehingga raja berinisiatif baha: utusan sultan Sumbawa itu dibuatkan rumah keramat di tepi sungai desa Perancak.  Namun,  pembantaian terhadap umat Islam asal Sumbawa atas perintah raja Jembrana ini  tetap menimbulkan rasa terhina bagi umat Islam Jembrana,  karena mereka meski beda daerah tetapi tetap merasa sebagai saudara seagama. Oleh sebab itu, Pemekel Mustika (tokoh Islam suku Bugis) Jembrana kirim surat pengaduan ke residen Belanda di Banyuwangi. Akibat pengaduan itu,  ditambah kesalahan lain dimana  Raja menyewakan tanah 20.000 bau kepada Demay Van Derwen tanpa ijin pemerintah (bahkan punggawanya sendiri)  akhirnya  raja  Pasekan ditangkap lantas diasingkan ke Banyumas.
Di tengah kekosongan kekuasaan ini  wakil rakyat Hindu (I wayan Ucap) dan wakil Islam (Pembekel Mustika)  datang ke Buleleng. Namun, di tengah perjalanan keduanya bertemu I Gusti Agung Made Rai,   yang kepadanya lantas diminta menjadi raja  Jembrana.  Peristiwa ini kembali memberi bukti tentang loyalitas komunitas Islam Jembrana yang tidak menginginkan diri untuk tampil sebagai komunitas terpisah, melainkan tetap berkehendak hidup dalam sebuah pemerintahan yang dipimpin  raja Hindu yang memiliki prinsip keadilan untuk semua. Berbekal pengalaman kelabu masa lalu,  raja baru Rai memerintah Jembrana secara adil hingga 1906 (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali,  Denpasar: MUI, 2002.)..
Itulah sejarah kelabu konflik Hindu – Muslim yang pernah terjadi,  yang sangat tidak diharapkan untuk terjadi kembali di masa lainnya lagi. Kini komunitas Muslim memang tersebar di banyak lokasi di Jembrana dengan segala profesi yang digelutinya.  Di Loloan Timur penduduknya kebanyakan berprofesi sebagai:  nelayan, petani, pedagang,  dan kusir dokar.  Adapun penduduk Loloan Barat umumnya bekerja sebagai: nelayan, pedagang,  pertukangan, pegawai, buruh,  kerajinan tangan, pembuat roti, bengkel,  petani sawah dan  kebon kelapa,  serta penarik dokar.  Sementara itu penduduk Desa Pengambengan  mayoritas bekerja sebagai:  nelayan, petani kelapa, buruh, pedagang.  Penduduk Desa Tegal Badeng Islam umumnya bekerja sebagai: petani kelapa, nelayan.  Sementara penduduk Cupel kebanyakan: petani kelapa dan  nelayan. Untuk kampung Tukadaya penduduk muslimnya : terutama petani kelapa dan sawah.  Sedangkan di Banyubiru kebanyakan:  petani kelapa dan  nelayan. Adapun di Tuwed kebanyakan : petani kelapa, nelayan.  Candi Kusuma-Melaya : nelayan, petani kelapa.  Melaya: nelayan, petani kelapa, pedagang. Untuk Sumbersari penduduk muslim berprofesi petani kelapa, buruh. Sedangkan di Klatakan: petani kelapa, buruh.  Untuk daerah Air Kuning mereka menjadi : petani kelapa, nelayan.  Adapun Sumbul dan Pekutatan umumnya: nelayan, buruh, pedagang.
Terkait dengan sisi historis tadi,  maka dapat dipahami jika hubungan antar dua komunitas  sampai kini terhitung cukup harmoni, terutama dalam soal agama dan budaya. Hanya saja persoalan-persoalan baru bernuansa ekonomi acapkali  bermetamorfosis alias dieksploitasi menjadi problem dalam hubungan sosial budaya. Problem itupun umumnya bukan terjadi antara komunitas muslim lama vs. Hindu,  melainkan dengan muslim pendatang baru (sejak era industrialisasi pariwisata di Bali tahun 1970 an).  Namun,  soal ini acapkali disalahmengertikan juga menjadi problem umum : komunitas Hindu vs. Muslim. Karena pendatang baru muslim mayoritas dari Jawa,  akhirnya semua muslim disebut Nak Jawa.  Walhasil,  sebutan Nak Jawa yang semula eksklusif positif,  belakangan konon telah mengandung nuansa generalisasi negatif.  Sebutan slam (Islam) yang semula bernuansa nyama (persaudaraan) sebagian bergeser ke arah kecurigaan.
Pada tataran tertentu generalisasi negatif atas kaum Muslim melalui sebutan nak Jawe ini bahkan dialami pula oleh komunitas Muslim kuno. Namun,  secara umum kampung lama Islam di Jembrana ini tetap jauh relatif lebih aman,  sebab mereka memang memiliki kaitan genealogis, kaitan kekerabatan,  dengan komunitas Hindu akibat proses kawin-mawin yang berlangsung ratusan tahun. Bravo Bali. ***.


Kitab Al-Qur'an Kuno di Masjid Loloan

Kampung Islam Loloan dan Air Kuning di Jembrana – Bali : Sebuah Entitas Lama

Sejarah keberadaan komunitas muslim Loloan  merupakan keturunan dari tanah Melayu (Kuala Trengganu) dan kaum Bugis yang sudah beberapa abad  lalu masuk Bali.  Eksistensi mereka ini juga menjadi bukti historis bahwa Islam telah lama masuk di wilayah Jembrana ini.  Hingga kini mereka bertahan dengan agama Islam dan adat-istiadat Melayu. Bahkan,  berbeda dengan komunitas muslim yang juga tergolong kuno di lokasi lainnya yang umumnya memakai bahasa Bali sebagai alat komunikasi seharí-hari,  komunitas di tempat ini ternyata tetap menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa keseharian di kalangan mereka.
Daerah Lolohan terbagi menjadi tiga wilayah:  Lolohan Selatan, Timur, dan Barat. Masyarakat setempat biasa menyebut Lolohan Selatan dengan Markesari. Penduduk Markesari 95   persennya  memeluk agama Hindu. Adapun Lolohan Barat dihuni penduduk Muslim dan non Muslim. Dengan perbandingan 50 persen Muslim dan 50 persen lainnya non Muslim, campuran antarai: Hindu, Budha, Kristen dan lainnya
Dengan dibatasi sebuah sungai yang membentang dan atau membelah wilayah,  di sebelah  timur lokasi ini membentang wilayah yang disebut Loloan Timur. “Sungai itu dahulu banyak sekali buayanya”,  kata sesepuh kampung yang sempat kami jumpai. Lolohan Timur adalah sebuah kawasan penduduk di pulau Bali yang hampir 96 persen penduduknya memeluk agama Islam. Lolohan Timur masuk wilayah Negara (baca: Negare), Kabupaten Jembrana, Bali. Tempat ini berada kurang lebih 25 km. dari Pelabuhan Gilimanuk, dan berjarak sekitar 84 km. dari Kota Denpasar. Lolohan Timur merupakan desa yang hijau. Bermacam-macam tanaman tumbuh subur disana.  Penduduk Lolohan Timur sebagian besar bekerja sebagai nelayan yang tidak mencari ikan di laut, tetapi di pengambengan. Pengambengan menyerupai danau kecil yang banyak dihuni ikan.  Pengambengan mungkin lebih tepat disebut rawa.  (Ali Romdhoni,, ”Mengintip Aktifitas Masyarakat Muslim Lolohan Timur Bali”,  AMANAT, Edisi 101/ Agustus 2004).
Di Loloan Timur yang dominan Muslim inilah terdapat beberapa pesantren, termasuk Pondok Pesantren Manbaul Ulum. Usia pesantren ini tergolong paling tua. Pondok ini didirikan KH Ahmad Dahlan (tahun 1935) yang asal-usulnya dari  Semarang. Pondok ini pernah besar dan santrinya mencapai ribuan orang. Namun sejak terjadi gempa tahun 1976, yang meruntuhkan seluruh bangunan pondok, jumlah santri tersisa 11 orang. Selang beberapa waktu dari peristiwa gempa itu,  KH Ahmad Dahlan wafat. Kemudian tampuk pimpinan pondok diteruskan menantunya, KH Zaki Abdurrahman, suami Hj Musyarofah, putri tertua dari istri ke-2 KH Ahmad Dahlan.
Masyarakat Muslim Lolohan timur mendapat perlakukan istimewa termasuk dalam hal mendirikan tempat ibadah. Bagi masyarakat Muslim Bali, mendirikan bangunan rumah ibadah (mushola apalagi masjid) tidaklah mudah. Namun,  khusus untuk Lolohan Timur hal itu tidak lagi menjadi masalah. Khusus daerah ini, mendirikan masjid tidak perlu melalui prosedur yang berbelit-belit sebagai mana yang terjadi di daerah lainnya.
Hingga sekarang, Loloan dikenal sebagai daerah muslim terbesar di Bali. Menariknya, peninggalan Islam tersebut masih terpelihara dengan baik. Seperti prasasti dari ukiran kayu dan Al-Qur’an hasil tulisan tangan yang saat ini disimpan di Masjid Jami’ Baitul Qadim, Loloan Timur. Al Qur’an dan ukiran kayu yang berusia lebih dari dua ratus tahun, berbunyi, Hijrah Nabi S.A.W 1268 tahun Wau (arab) kepada tahun Ha (Arab) sehari bulan Zulhijah hari Senin.  Masjid di Loloan Timur usianya juga sama tuanya dengan keberadaan masyarakatnya.  Hanya saja bangunannya sama sekali sudah tidak meninggalkan bekas-bekas aslinya,  karena semua sudah dirubuhkan diganti total dengan bangunan modern.  ”Namun,  beberapa sisa kayu belandar masih tersimpan di lantai dua”,  kata seorang pengurus masjid yang saya temui,  sekaligus mengantarkan ke atas untuk menunjukkan sisa-sisa kayu blandar yang ada.
”Tapi apalah artinya sisa onggokan kayu yang digeletakkan begitu saja.  Pasti tak akan lama lagi  kayu itu akan terbuang juga”,  kata hatiku menyayangkan pembongkaran ini.  Sekali lagi,  inilah bukti bahwa bangsa kita dimanapun lokasinya, apapun pangkat dan derajadnya,  rakyat ataupun pejabat,  tampak  kurang  menghargai segala hal berbau sejarah. Mereka umumnya silau terhadap imitasi kemodernan termasuk dalam segi bangunan. Hanya ketika mereka melancong ke mancanegara dan memperhatikan bangunan-bangunan kuno yang terawat baik,  mereka berdecak kagum tanpa kesadaran mendalam untuk merawat koleksi sejarah yang ada di negaranya.
Selain Loloan,  saya dkk diantarkan pula ke komunitas Muslim tua lainnya yakni di Desa Air Kuning. Desa Air Kuning ini bersebelahan dengan Desa Yeh Kuning yang juga berarti air kuning.  Bedanya, jika Air Kuning komunitas penghuninya adalah muslim,  maka Yeh Kuning ditempati oleh komunitas Hindu. Pada masa perjuangan 1945 desa Air Kuning ini dijadikan tempat persinggahan pejuang yang tergabung dalam Pasukan Sunda Kecil yang dipimpin Kol (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai, yang sekarang namanya diabadikan sebagai nama Bandara Internasional di Bali.
Komunitas Muslim Loloan dan Air Kuning di Jembrana alias Jimbarwana ini yang pertama ada  berasal dari Bugis. Mereka datang  dalam dua tahap, pertama tahun 1653-1655,  dan kedua tahun 1660-1661 menyusul berakhirnya perang Makasar antara kerajaan Gowa vs.  VOC.  Kaum Bugis/Makasar ini umumnya merupakan pelarian   menyusul perjanjian Bungaya setelah kekalahan Gowa oleh Belanda.  Kaum pelarian ini  sempat beberapa kali pindah tempat,  sebab mereka memang  dikejar-kejar Belanda.  Mereka nomaden di   sekitar  daerah pantai timur dan utara Sumatera, pantai barat dan selatan Kalimantan (disebut orang Bugis Pegatan),  Jawa Barat (Banten),  Pasuruan (Jawa Timur),  dan terakhir Badung  dan Air Kuning -Jembrana (Bali).
Pelarian asal Sulawesi Selatan itu memang terus dikejar-kejar serdadu VOC (pasukan Spelman) dan Arung Palaka karena sebagian perahu sisa sekuadron Bugis/Makassar itu masih memiliki senjata meriam.  Kala itu VOC kepada masyarakat sengaja membangun image negatif bahwa kaum pelarian itu adalah perompak,  karena mereka memang kerap melakukan serangan terhadap kapal-kapal VOC. Bahkan,  setelah Makassar jatuh di tahun 1667 Belanda membuat sayembara bahwa siapapun yang dapat menangkap sekuadron perahu-perahu keturunan sultan Wajo (berjumlah 4 buah) yang disebut Iinun  alias perompak ini akan diberi hadiah sepuluh ribu ringgit.
Sebelum ke Bali pelarian dari Gowa itu sempat bersembunyi di teluk Panggang Blambangan,  dan bertahan hidup sebagai nelayan. Sebagian dari mereka berikutnya kemudian pindah ke Buleleng (pantai Lingga),  namun ada pula yang ke Jembrana. Kala itu, baik Blambangan maupun Jembrana memang berada di bawah pengaruh kekuasaan Buleleng.  Daeng Nachoda  misalnya,  tertarik untuk pindah ke Jembrana tahun 1669.  Semula mereka mendarat di Air Kuning dan memasuki Kuala Perancak,  serta tinggal untuk sementara di lokasi yang disebut kampung Bali. Peninggalannya sampai kini masih ada berupa sumur yang jernih, yang oleh warga disebut sumur Bajo.  Akhirnya mereka diberi ijin penguasa Jembrana, yakni marga Arya Pancoran (Gusti Ngurah Pancoran),  untuk menetap. Tempat  mereka itu kini dikenal sebagai  pelabuhan Bandar Pancoran (pelabuhan lama di Loloan Barat) (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali,  Denpasar: MUI, 2002.)..
Eksistensi kaum pengungsi ini dalam kenyataannya tidak menjadi beban melainkan justru menjadi berkah bagi Jembrana dan wilayah-wilayah Bali lainnya.  Untuk di wilayah lain,  saya telah menguraikan bahwa mereka akhirnya menjadi kekuatan keamanan utama.  Khusus untuk di Jembrana ada manfaat khusus yang didapatkannya, yakni: masyarakat muslim asal Sulawesi Selatan itu akhirnya berhasil membangun simpul ekonomi baru berupa pelabuhan.
Berkat  perahu-perahu pedagang jelmaan sekuadron keturunan Sultan Wajo itu,  Jembrana  akhirnya menjadi wilayah yang tak lagi terisolir dari dunia luar. Realitas ini menyebabkan hubungan antara kaum Bugis/Makasar  dan keraton menjadi akrab.  Apalagi,  Daeng Nachoda dan penembak-penembak meriam Bugis/Makasar ini akhirnya menjadi tulang punggung kekuatan Jembrana,  terutama ketika I Gusti Ngurah Panji Sakti (1660) raja Den Bukit,  Singaraja (Buleleng)  menyerang  Jembrana. Jembrana memang kalah,  dan menjadi kerajaan vasal  Buleleng,  namun dukungan kaum Muslim ini tetap tertancap kuat dalam benak keraton.
Di era penguasaan Buleleng ini,  kaum Muslim memanfaatkan situasi untuk memperlebar jaringan dagang sekaligus penyebaran Islam.  Daeng Nachoda dan anak buahnya misalkan,  utuk memperlebar sayap perniagaan ke Buleleng,  sekaligus untuk menyebarkan Islam.  Perahu-perahu yang mereka miliki dijadikan penghubung logistik (perekononian) yang penting antara Buleleng-Jembrana.  Walhasil, meski secara politik berada di bawah kekuasaan Buleleng,  tetapi Jembrana  kala itu justru berkembang maju terutama dalam konteks pelabuhan dan atau perniagaan.
Ketika  I Gusti Ngurah Panji Sakti (raja Buleleng) melepaskan pengaruh  kekuasaannya atas Blambangan,  sehingga  dilepaskan pula pengaruhnya atas Jembrana yang kala itu di bawah kendali Dhalem Dewa Agung Jambe (yang sangat fanatik Hindu bahkan feodalistik).   Kala itulah raja Mengwi mengambil alih Jembrana,  mengingat Mengwi memang ikut  berjasa dalam penaklukan Blambangan.  Apalagi  raja Mengwi  adalah pula ipar Panji Sakti sendiri.
Tahun 1697 terjadi banjir bandang,  Sungai Ijo Gading meluap,  menghancurkan keraton Brambang (pusat kerajaan Jembrana) termasuk keluarga raja I Gusti Ngurah Putu Tapa dan rakyatnya. Meski ikut keterjang banjir,  tetapi perkampungan Bugis di Bandar Pancoran selamat. Wakil Raja (I Gusti Ngurah Made Yasa)  juga selamat, karena kala banjir bandang ia sedang  berkunjung ke Mengwi untuk mengundang Ngeluwur (Pengabenan Besar).  Mengwi sebagai negara ”atasan” membantu patih untuk membangun kembali kerajaan Jembrana,  yang akhirnya dipindahkan dari Brambang ke Jembrana.  Ketika membangun istana yang diberi nama Jero Andol ini kaum ”pelarian” asal Blambangan yang terdesak oleh perkembangan Islam ikut membantu juga.
I Gusti Ngurah Putu Yasa ”dinilai” tak mampu memimpin negeri, oleh karena itu akhirnya diambilkan raja pengganti, yakni  putra bungsu raja Mengwi I Gusti Agung Alit Takmung dengan gelar Anak Agung Ngurah Jembrana. Namun raja baru ini masih kecil,  sehingga ia  didampingi ibu (I Gusti Ayu Ler Pacekan) dan kakeknya ( I Gusti Ngurah Takmung) sebagai patih yang membangun puri Jeroan Pasekan.  Khusus kepada keluarga Marga Arya Pancoran (penguasa lama) diberi jabatan sebagai kepala pasukan perang dengan dibantu Arya Bengkel dan Arya Kelaladian yang datang dari Mengwi bersama raja.  Umat Islam Jembrana menjadi inti dalam pasukan Marga Arya Pancoran ini.
Kala itu para Arya dan umat Islam hidup rukun,  dan Jembrana mencapai puncak kemasyhuran, terutama berkat  pelayaran perdagangan kaum Bugis hingga ke Palembang. Bandar Pancoran menjadi pelabuhan perniagaan, di tengah realitas Jembrana yang masih tertutup hutan belantara..  Oleh karena itu,  perahu-perahu Bugis pun membawa kuda dari  Sumbawa untuk keperluan transportasi darat di Jembrana.
Di era raja ketiga (Anak Agung Putu Handul),  yakni putra I Gusti Agung Lebar,  kerajaan Jembrana diserang raja Cokorde Tabanan. Namun, serangan ini berhasil dihadang pasukan dan atau para pendekar Islam.  Tahun 1670 Raja Badung, Cokorde Pemecutan juga menyerang dari arah selatan desa Perancak,  tetapi juga gagal karena banyak yang dimakan buaya.
Ketika Anak Agung Putu Handul digantikan  putranya,  Anak Agung Putu Sloka (sebagai raja keempat) dan adiknya Anak Agung Nyoman Madangan (wakil raja)  perlakuan kerajaan terhadap umat Islam kian baik.  Bahkan, untuk kian mendekatkan diri dengan komunitas Islam,  maka di tahun 1798 raja membangun  puri baru di sebelah utara Bandar perkampungan Islam,  di sebelah barat sungai Ijo Gading,  yang diberi nama Negeri (Negara). Di era itulah  datang lagi beberapa perahu dari Sulawesi Selatan serta  minta ijin tinggal di Air Kuning.  Mereka dipimpin para mubaligh seperti : H. Sihabuddin dan  H. Yasin (Bugis asal Buleleng), Tuan Lebai (Melayu asal Serawak) dan Datuk Guru Syekh (0rang arab).
Selain perahu Bugis,  datang juga iring-iringan perahu pimpinan Syarif Abdullah Al Qodri yang tak lain  adik Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qodery.  Kala itu Sultan Pontianak takluk pada Belanda  (1799). Karena,  sang adik  (Syarif Abdullah Al Qodery) tidak terima  realitas itu,  ia meneruskan perlawanan di Lautan,  serta berpetualag dengan membawa sekuadron bersenjata meriam. Satu perahu menetap di Lombok Timur,  sisanya sampai di Air Kuning Jembrana.  Syarif Abdullah Al Qodri mengadakan kesepakatan dengan umat Islam di Jembrana. Ketika menyusuri  Sungai Ijo  Gading ke utara menuju Shah Bandar,  Syarif Abdullah memberi aba-aba pada anak buah dengan bahasa kalimantan Liloan (tikungan),  sehingga kampung di sekitarnya lantas diberi nama Loloan hingga sekarang.
Dua ekspedisi (Bugis dan Pontianak) tadi merupakan gelombang kedua kedatangan Islam di Jembrana. Kedatangan dua kelompok muslim ini disambut baik raja.  Ada alasan mendasar kenapa dua kelompok umat Islam ini diterima dengan tangan terbuka: Pertama,  eksistensi umat Islam di Jembrana yang telah ada ternyata mampu menjalin hubungan baik dengan komunitas Hindu.   Kedua,  umat Islam yang telah ada di Jembrana terbukti mampu menjadi tenaga pasukan yang sangat diandalkan serta mempunyai loyalitas tinggi.  Terbukti,  ketika keraton Jembrana hancur dan keluarga raja tumpas oleh banjir bandang,  komunitas Islam tak lantas membangun sebuah kerajaan tersendiri.  Mereka bahkan membantu pembentukan keraton baru yang dilakukan Patih atas bantuan raja Mengwi. Ketiga,  kenyataannya umat Islam memiliki jasa luar biasa dalam pengembangan pelabuhan perniagaan yang memiliki pengaruh sangat positif bagi kemajuan kerajaan. Keempat, kala itu Blambangan telah dikuasi Belanda,  sehingga dapat mengancam pula keamanan bahkan masa depan Jembrana.  Walhasil,  kehadiran para pelarian asal Kalimantan dan Sulawesi yang semuanya bekas pasukan kerajaan ini tentu dapat menampah kekuatan kerajaan.
Menurut aturan kerajaan seluruh meriam sebenarnya harus diserahkan ke raja,  seperti telah dilakukan kaum Bugis yang telah datang duluan pasca perang Makasar.  Tetapi,  Syarif Abdullah menawarkan  cara lain,  yakni:  meriam tetap dikuasai sendiri, tetapi akan digunakan untuk membela Jembrana. Kesepakatan dicapai dan kepada kaum Islam asal Kalimantan ini dipersilahkan tinggal di kanan kiri tebing sungai Loloan seluas 80 hektar.  Lokasinya ada di sebelah utara Bandar Pancoran.
Syarif Abdullah membuat  perkampungan darurat di sebelah timur sungai yang kini disebut Loloan Timur. Perahu perang yang dimiliki diubah menjadi kapal perniagaan,  bahkan akhirnya menjelajah hingga Singapura. Kala itu Loloan Timur dan Loloan Barat akhirnya menjadi desa administratif konsesi untuk umat Islam di Jembrana. Sedangkan,  desa administratif yang berbentuk desa adat Hindu adalah desa Mertasari, Lelaleng, Banjar Tengah, dan Baler Bale Ageng.  Loloan Barat  dan Timur akhirnya  menarik minat umat Islam dari Jawa dan Madura untuk ikut menetap.
Seiring dengan adanya komunitas Islam yang baru tadi,  Jembrana kian mengalami kemajuan terutama dalam perekonomian.  Raja Buleleng (Anak Agung Gde Karangasem) tertarik pada kemakmuran Jembrana,  sehingga di tahun 1828 Buleleng menyerang:  ingin menaklukkan Jembrana untuk kedua kalinya.   Raja Jembrana, Anak Agung Putu Seloka dan adiknya (yang tak lain wakil raja) diungsikan dengan perahu Bugis ke Banyuwangi. Pada penyerangan pertama,  pasukan Jembrana yang diperkuat pasukan Bugis-Pontianak ini berhasil mengalahkan Buleleng,  bahkan panglima Buleleng Anak Agung Gde Karang tewas.  Namun, pada penyerangan yang kedua,   pasukan Jembrana dapat dikalahkan,  meskipun perang gerilya tetap berlanjut (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali,  Denpasar: MUI, 2002.)..
Umat Islam Jembrana kembali memperlihatkan kesetiaan,  tetap memegang teguh janji persahabatan dengan kerajaan Jembrana. Terbukti, meskipun sampai tahun 1832 selama 4 tahun ada kekosongan  (karena raja dan wakil raja mengungsi),  umat Islam tak lantas melepaskan diri (apalagi mengambil alih kekuasaan)  dari Jembrana.  Mereka bahkan terus membantu rakyat Hindu yang susah karena perang. Baru pada tahun  1835 terjadi kesepakatan damai antara Jembrana – Buleleng,  menyusul penguasaan Buleleng atas Jembrana untuk kedua kalinya. Intinya: raja Jembrana tetap diberi hak memerintah,  tetapi dibawah pengaruh/supremasi Buleleng.
Di era ini hubungan harmonis umat Islam-Hindu (termasuk dengan kerajaan) tetap berlanjut. Itulah realitas seluk beluk Kerajaan Jembrana (Negara) yang sangat erat hubungannya dengan umat Islam. Hingga kini panji-panji Islam bertuliskan kalimat “La Illaha Ilallah” misalnya,  masih disimpan di Puri Negara, sebagai penghargaan atas perjuangan pengikut Syekh Syarif Al Qodri (pemuka Islam) menghadang serangan dari kerajaan lain
Kebersamaan kaum Hindu dengan komunitas lama kampung Islam ini juga terjalin hingga pada sektor sosial dan ekonomi. Orang Islam ada yang menggarap tanah pemeluk agama Hindu, begitu juga sebaliknya. Bahkan,  diantara dua komunitas juga terbangun sebuah akulturasi.  Bentuk lain akulturasi umat Islam dengan masyarakat Hindu  di lokasi ini dapat dilihat melalui kesenian Rebana. Kesenian ini dimainkan oleh beberapa orang yang semuanya mahir memainkan Rebana besar. Lirik dan syairnya bernafaskan Islam menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa Melayu. Namun, agar mudah diterima masyarakat sekitar, para seniman Rebana ini mengaransemen lagu-lagu yang mereka mainkan dengan irama khas Bali. Dengan begitu, masyarakat akan lebih menyukai kesenian ini dan makna syiar yang menjadi tujuan utama dapat tersampaikan dengan efektif. ***

DHURORUDIN MASHAD


---------------------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2013/02/02/pangeran-wilis-dan-cikal-bakal-komunitas-islam-di-jembrana-bali-tulisan
http://dhurorudin.wordpress.com/2013/03/02/kampung-islam-loloan-dan-air-kuning-di-jembrana-bali-sebuah-entitas-lama-tulisan-21/
http://dhurorudin.wordpress.com/2013/04/02/konflik-hindu-muslim-jembrana-era-kolonial-belanda-tragedi-yang-tak-perlu-terulang-tulisan-22/




MJIB - 42. Mengenal Beberapa Kampung Muslim di Kab. Karangasem Bali

______________________
Oleh : Dhurorudin Mashad


Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten Karangasem

 Pagi sekali,  pak Hasan Bick mengajak kami meninggalkan Bangli. Suasana sangat sejuk,  atau bahkan cenderung dingin.  Dedaunan masih menggigil.  Dahan-dahan juga menggigil.  Bahkan,  pepohonan ikut menggigil.  Kedinginan. Maklum,  semalaman hujan mengguyur bumi Bangli. Namun,  saya tidak terperangkap pada situasi serba dingin ini. Hati saya telah menghangat akibat dibakar keinginan untuk segera menapaki bumi Karangasem yang keberadaannya selama ini hanya ku dengar dari berbagai kabar.
Sekitar jam 11 siang,  pak Hasan membelokkan mobil langsung ke lokasi kantor Departemen Agama (KUA Islam dan Penyelenggara Haji) Karangasem. Di tempat inilah  saya dkk mendapatkan informasi awal tentang enclave-enclave komunitas muslim di Kabupaten Karangasem. “Kabupaten Karangasem memiliki penduduk muslim berjumlah 19 ribu Jiwa.  Mereka hidup tersebar di 6 dari 8 kecamatan di seluruh wilayah Karangasem.  Namun, mereka terutama terkonsentrasi di 4 kecamatan, yakni: Kecamatan Karangasem (11.729 jiwa),  kecamatan Bebandem (4.438 jiwa),  kecamatan Sidemen (820 jiwa),  dan Kecamatan manggis (465 jiwa).  Sisanya sekitar 2000 jiwa tersebar, terutama di kecamatan Kubu dan kecamatan Rendang”,   kata pimpinan Depag urusan Islam,  sambil menyodorkan data tertulis kepada kami.
Muslim di Kecamatan Kubu terutama tinggal di wilayah Galian C.  Sedangkan, muslim di Kecamatan Rendang jumlah muslimnya hanya sekitar 13 KK.   Mereka memang memiliki musholla an Nur, yang sempat dipakai presiden SBY sholat ketika ke Karangasem. Namun,  musholla ini tak boleh dipasang papan nama,  dengan alasan  bertentangan dengan aturan adat setempat.
Komunitas muslim terbesar pertama  berada di kecamatan Karangasem,  yang tersebar di wilayah perkotaan dan pegunungan.  Pertama,  Muslim di perkotaan terutaman ada di kelurahan Karangasem, yang tersebar di 13 dusun/kampung,  antara lain : Kampung Telaga Mas (memiliki kepala dusun muslim),  Dusun Ujung Desa,  Dusun Segara Katon, Karang Tohpati, Karang Langkung, Bangras, Grembeng (atas dan bawah),  Karang Ampel, Jeruk Manis (dikenal dengan Jerman), Karang Tebu, Karang Bedil, Tiing Tali, Dangin Sema (komunitas Muslim terbesar setelah Dusun Kecicang Islam).  Selain itu ada pula di Desa Tegal Linggah,  yang memiliki dua kampung muslim yakni: Karang Cengen dan Kampung Nyuling.  Berikutnya di Kelurahan Subagan, terdapat di dua kampung yakni:  kampung Karang Sokong dan Telaga Mas (bahkan kepala kampungnya muslim).  Kedua,  muslim di pegunungan terdapat di sebelah timur  yakni di Kelurahan/Desa Bukit tersebar di 6 dusun/kampung,  yakni: Bukit Tabuan,  kampung  Anyar, Karang Sasak, Tibulaka Sasak, Tiing Jangkrik,  dan Dangin Kebon.  Selain itu di Desa Tumbu juga ada,  tepatnya di Dusun Ujung Pesisi karena letaknya memang di ujung laut.
Kantong Muslim terbesar kedua terdapat di Kecamatan Bebandem,  yakni di dusun Kecicang Islam (kampung Islam terbesar di Karangasem) yang terdapat di Banjar Kangin,  Banjar Lebah  Sari, dan  Dusun Saren Jawa.  Adapun kecamatan dengan komunitas muslim terbesar ketiga ada di Sidemen,  yakni di dusun Sinduwati yang mencakup kampung Sindu, Buu dan Tegal. Selain ketiga kecamatan tadi,  kecamatan Manggis sebagai tempat komunitas muslim terbesar keempat, yang terdapat: di Buitan, Padang Bai,  dan Pertamina Manggis.  Di Buitan meski muslim hanya 27 KK, namun telah memiliki masjid.   Di Padang Bai  ada pula masjid milik pelabuhan,  dan kaum muslimnya pun umumnya para pegawai kapal  (yang transit). Begitu pula di Pertamina Manggis  kaum muslimnya adalah para pekerja dan pemili usaha kecil (warung) di lokasi itu.
Setelah mendapatkan data kuantitatif, pak Hasan Bick mengantarkan saya dkk menemui tokoh-tokoh Islam dan Hindu untuk mendapatkan informasi seputar sejarah dan konteks hubungan sosial komunitas muslim di kabupaten Karangasem ini. Keberadaan Muslim Karangasem mula-mula dibawa oleh raja Bali (era Kerajaan Karangasem) dari daratan Lombok.   Waktu itu Lombok memang berada dibawah pendudukan kerajaan Karangasem.  Secara historis,  penguasaan Bali atas Lombok sebenarnya terjadi jauh sebelum kerajaan Karangasem,  yakni sudah terjadi di sekitar abad 16  oleh kerajaan Gelgel era kepemimpinan Watu Renggong.  Waktu itu Watu Renggong (pasca runtuhnya Majapahit oleh Demak) berhasil menguasai  Blambangan (1512),  bahkan meluas sampai ke Lombok (1520),  Sumbawa.  Tujuan Waturenggong kala itu memang untuk membendung pengaruh Islam Demak memasuki Bali. Logika Waturenggong ini dapat dipahami sebab kala itu Bali memang menjadi tempat pelarian  orang-orang yang pintar dan kuat-kuat akidah kehinduannya. Era keruntuhan Mojopahit memang pangeran-pangeran yang tak mau masuk Islam lari ke Bali.  Sebagian ada juga yang lari ke gunung Bromo yang kala itu rombongan dipimpinan Pangeran Seger dan istrinya Roro Anteng.  Walhasil,  anak keturunan mereka pun akhirnya disebut suku Tengger (baca: Gabungan dari Roro AnTeng dan Joko SeGer).
Lombok memang menjadi target strategis penguasaan Watu Renggong (berkuasa sejak 1460-1550) untuk menghadang Islam Demak,  sebab Lombok kala itu sudah terpengaruh Islam. Artinya,  Islam sudah masuk dan menyebar ke wilayah itu.  Kedatangan Islam ke Lombok terjadi sekitar 450 tahun lalu atau sekitar tahun 1500 an.  Islam semula masuk dari arah utara (baca: Lombok utara),  lantas untuk mengefektifkan pengaruh,  wilayah penyebaran sengaja dibagi dua sesuai dengan dua tokoh utama pelaku penyebaran, yakni: Raden Mas pengging dan Raden Mas Prapen alias Sunan Mas Ratu Pratikel (hidup tahun 1548-1605). Raden Mas Prapen  tidak lain adalah buyut dari Sunan Giri (hidup tahun 1487-1506),  sehingga dia sering disebut sebagai Sunan Giri ke IV. Sedangkan Raden Mas Pengging  atau Ki Ageng Pengging tidak lain adalah Ki Kebo Kenongo (ayah Joko Tingkir alias Mas Karebet). Raden Mas Pengging ini menjadi murid Syekh Siti Jenar. Melalui misi kedua orang itulah akhirnya Lombok menjadi penganut Islam,  meski dengan ciri dan watak yang belum murni.  Istilah Islam Wetu Telu misalnya,  refleksi dari adanya kerancuan Islam itu.
Wilayah Lombok muslim inilah yang berhasil ditaklukkan Gelgel pimpinan Waturenggong.  Namun,  Gelgel pasca Watu Renggong ”berantakan” sendiri terutama akibat konflik internal.  Banyak wilayah akhirnya mendeklarasikan sebagai kerajaan sendiri,  serta menempatkan Gelgel hanya sebagai pusat kultural belaka. Dengan rontoknya kekuatan Gelgel,  Lombok tentu lepas pula dari penguasaan Bali.  Namun,  pada perkembangan waktu Karangasem berhasil menaklukkan dan meluaskan kerajaannya ke Lombok.
Sebelum Karangasem melebarkan kekuasaan ke Lombok, untuk penjajakan raja menjalin lawatan (perkenalan-persahabatan) politik dengan beberapa raja. Di kerajaan Pejanggi Lombok Tengah, raja berkenalan dengan  Datuk Pejanggih yang memiliki anak muda  bernama Mas Pakel.  Sebagai tanda perasudaraan, raja Bali mengundang Mas Pakel datang dan tinggal di Bali alias  diangkat menjadi keluarga kerajaan Karangasem.
Mas Pakel adalah seorang pemuda gagah, ganteng, dan sangat sopan, sehingga para putri raja bahkan istri raja sangat menyukainya.  Akibatnya,  keluarga lingkungan kerajaan banyak yang merasa iri atau sakit hati.  Mereka lantas membuat fitnah bahwa: Mas Pakel merusak pagar ayu, merusak istri raja, merusak putri-putri raja,    yang mestinya dijaga. Gencarnya profokasi menyebabkan raja termakan oleh cerita ini,  sehingga membuat rekayasa untuk menyingkirkan pemuda Pakel. Pakel ditunjuk menjadi panglima,  dan seolah dikirim  untuk melawan musuh.  Namun,  di wilayah yang kini  ada di kawasan  Tohpati Mas Pakel berusaha untuk dibunuh. Mas Pakel sangat sakti,  sehingga tidak bisa mati. Meski demikian,  Pakel yang sendirian juga tidak bisa selamat dari pengeroyokan.  Konon ia lantas mengambil sikap, ”Saya sekarang tahu bahwa saya direkayasa untuk dibunuh. Kalau mau membunuh saya bawalah saya ke Pantai Ujung”. Proses berikutnya ada tiga  versi:Pertama,  Di pantai  Mas Pakel tetap gagal dibunuh, sehingga akhirnya diusir balik ke Lombok dengan memakai perahu kecil (perahu pancing). Adapun makam yang ada di dekat Panjai Ujung, Karangasem itu,  bukan makam Ratu Mas Pakel (yang dikenal dengan sebutan Sunan Mumbul) tetapi makam Raja Pejanggi yang ditawan Raja Karangasem hingga meninggal. Kedua,  ketika patih yang ditugaskan untuk membunuh mengayunkan pedang,  Mas Pakel tiba-tiba menghilang dari pandangan dan berlari di atas air.  Patih lantas membuat rekayasa untuk lapor pada raja,  dengan membunuh seekor anjing dan hatinya diserahkan pada raja sebagai bukti bahwa dia telah menjalankan perintah.  Namun,  beberapa hari setelah peristiwa itu,  tiba-tiba muncul seberkas sinar tempat Mas Pakel menghilang,  dan tanah yang semula rata berubah menjadi gundukan menyerupai kuburan.  Sejak itulah Mas Pakel dijuluki dengan sebutan Sunan Mumbul.  Ketiga,  Pakel akhirnya memang dibunuh,  karena dia telah melepaskan kesaktian. Mayatnya dikubur di Pantai itu.  Namun,  ketika hendak dibunuh dia mengeluarkan kutukan: ”siapapun yang membunuh, semua keturunannya kalau lewat lokasi ini akan sakit jika tak bisa kencing di sekitar sini”.  Perkataan Pakel ini dipercaya menjadi tuah oleh komunitas Hindu setempat. ”Saya kenal I Gede Gusti Putu. Dia nunggu dulu nggak mau lewat kalau belum kencing. Kalau belum kencing ndak berani lewat katanya. Dan itu cerita dari orang itu sendiri”,   kata H. Hasyim seorang tokoh muslim Karangasem yang sudah sepuh  menjelaskan. Makam yang dipercaya sebagai kuburan Mas Pakel ini  kini biasa diziarai terutama pada 15 hari pasca lebaran Iedzul Fitri.
Terkait Mas Pakel dalam konteks sejarah penaklukan Lombok oleh Karangasem,  terdapat dua interpretasi  sejarah.
Pertama,  Pengangkatan Mas Pakel sebagai saudara kerajaan dan dipersilahkan tinggal di Karangasem,  sejak awal telah dirancang untuk wahana penjajakan kekuatan:  Ingin tahu berapa kekutannya, dan berapa prajuritnya. Jadi dengan adanya Datuk Mas Pakel atau disebut juga Datuk Pemuda Mas diambil sebagai saudara,  kerajaan Karangasem bisa  leluasa kesana-kemari untuk menyelidiki kekuatan lawan. Setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan Lombok,  Mas Pakel yang tidak lagi “dibutuhkan” disingkirkan,  sedangkan penaklukan atas Lombok segera dilakukan. Jadi, pengusiran/pembunuhan Pakel dengan alasan ”merusak pagar ayu keraton”,  hakekatnya sengaja direncanakan untuk  mencari alasan permusuhan alias pengabsah bagi Karangasem untuk melakukan penyerangan terhadap Lombok.
Kedua,  kemungkinan lain raja Karangasem memang tidak melakukan rekayasa, tetapi murni ingin membangun persahabatan dengan Lombok termasuk dengan mengangkat saudara Mas Pakel.  Tetapi,  raja akhirnya termakan fitnah  yang dibangun elemen kerajaan yang anti Islam dan anti Mas Pakel .   Akibatnya,  raja Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem benar-benar marah,  mengusir/membunuh Mas Pakel,  bahkan akhirnya melampiaskan kemarahan dengan melakukan perang penaklukan terhadap Lombok (Selaparang dan Pejanggi).
Walhasil,   Lombok akhirnya berhasil ditaklukkan Karangasem (Bali) pada tahun 1692 M,  sebagai tanda penaklukan kedua setelah sebelumnya pernah ditaklukkan Gelgel era Waturenggong. Banyak hal memberi bukti terkait dengan penaklukkan ini.  ”Kampung-kampung di Lombok setelah diduduki Karangasem harus ditambah namanya dengan nama Karang. Makanya kalau ke Lombok nama kampung-kampung (kecuali yang baru) pasti pakai nama Karang. Yang dulu kampung Jangkong menjadi Karang Jangkong. Yang namanya kampong Meranggi menjadi Karang Meranggi. Semua pake Karang, Karang Gentel,  hampir seluruhnya”,    tambah H. Hasyim Ahmad.  Selain itu,  raja Karangasem juga berusaha mempersaudarakan antara Hindu dan Islam dengan cara mengakulturasi bahasa.  Maka diadopsilah bahasa Lombok, Beraye, sementara bahasa Bali yang dibawa adalah Menyame. Maka jadilah Menyame Braye. ”Awalan bahasa Bali pasti Me,  kalau tidak berteman. Sementara Beraye adalah bahasa Lombok, dengan awalan Be. Ketika menjadi bahasa Bali misalnya: Paling tiang Bebatur. Hasil akulturasi itu dijadikan satu bahasa Bali dan Lombok.  Jadi,  awalnya Menyama Braye itu di Puri Karangasem,  lantas menyebar ke seluruh Bali”,  tandas H. Hasyim yang ahli membaca lontar peninggalan generasi lampau.
Selain itu,  setelah penaklukan, orang-orang Lombok yang dianggap sakti lantas dibawa raja ke Karangasem dengan maksud agar membantu keraton.  “Menurut cerita kakek saya, mereka yang didatangkan kebanyakan orang-orang bertuah. Orang-orang yang artinya mempunyai power, tentu sesuai zaman itu. Kalau menurut saya istilahnya ndak sakti, nabi saja dilempar patah giginya. Kalau menurut saya mereka itu orang-orang yang saya anggap mempunyai power dan keberanian, mempunyai pengaruh, mempunyai kepemimpinan karismatik begitulah. Orang-orang seperti itulah yang dibawa kemari”,  tandas H. Hasyim.
Mereka inilah cikal bakal komunitas-komunitas Muslim Karangasem,  yang mayoritas berasal dari Lombok.  Orang-orang sakti ini ditempatkan sepasang-sepang (baca: suami istri) dengan:  memakai strategi mengelilingi Puri Kanginan sebagai tempat raja. Di sebelah selatan  ada Banjar Kodok, di sebelah selatannya lagi kampung Islam Dangin Seme. Di sebelah barat ada desa Hindu, sebelah baratnya lagi Kampung Islam Bangras.  Intinya,  penempatan dilakukan secara selang-seling Islam-Hindu, mengelilingi puri.  ”Itu  strategi raja untuk mempersatukan rakyat Karangasem, sekaligus mengamankan puri”,  tambah H. Hasyim.  Namun,  logika itu juga memberikan arti bahwa puri tampaknya tidak terlalu merasa aman jika hanya dikelilingi rakyat Hindu,  serta memerlukan  pengawalan dari rakyat yang justru beda agama.  Pada kenyataannya memang kalangan Islam dapat dipercaya raja untuk menjadi ”pengawal puri”. Inilah yang menjadi satu sebab kenapa Umat Islam Karangasem dengan Puri menjadi sangat akrab.
Selain Dangin Seme,  kampung-kampung kuno Islam  lain di Karangasem sejarahnya juga sama. Mereka sengaja ditaruh sepasang-sepasang (baca: kira-kira suami istri),  dengan posisi mengelilingi Puri.  Posisi mengelilingi puri dibuat dua lapis. Seperti Dangin Seme termasuk lapisan pertama. Lapisan kedua seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak Kesasak, Bukit Tabuan, dengan formasi juga mengelilingi puri. Lapis kedua bahkan sampai Saren Jawa dan Kecicang.
Adapun muslim yang ditempatkan di Sindu, spesifik untuk menghadang kerajaan Klungkung. Yang ditaruh di Sidemen untuk menghadang dan memata-matai gerak-gerik kerajaan Klungkung.  Dengan kata lain,  komunitas muslim Sindu –yang jaraknya sekitar 30 km dari Dangin Seme– dulunya memang spesial  untuk memata-matai Klungkung.
Selain Shindu ada kampung Islam lain yang kala itu mempunyai posisi super spesial,  sehingga nama kampung pun memiliki nama yang mencerminkan posisi dan fungsi yang super spesial.  Kamunitas Kampung Karang Tohpati,  adalah contohnya.  Toh itu artinya mempertaruhkan, sedangkan pati atinya jiwa.   “Kala itu kaum Muslim sebenarnya bukan tinggal di Karang Tohpati, tetapi mereka memang tinggal di lokasi Tohpati di wilayah Bebandem di Saren Jawa. Di situlah ada namanya Tohpati, di situlah dulunya dia tinggal,  untuk menjaga kalau ada musuh. Di lokasi itu Tohpati mempertaruhkan Jiwa”,  jelas H. Hasyim. “Kasus ini sama dengan orang-orang  Subagan yang asalnya dari Sekar Bela.  Sekar artinya kembang,  bela maknanya membela.  Jadi dia suka membela raja sampai  namanya wangi seperti kembang karena membela”.
”Makanya,  di sini orang-orang Hindu yang ndak tahu, terutama anak-anak muda, ngomong macam-macam: Kami penumpang. Kami pendatang. Saya katakan kami ke sini bukan cari kerja, kami datang bukan mengemis, kami datang dibawa dan  dibutuhkan oleh raja. Kami ditempatkan disini, dan (sejarah serta eksistensi) kami diakui oleh raja sampai detik ini”,  tambah H. Hasyim menandaskan dengan maksud meluruskan pemahaman.***


Membaca Akulturasi Muslim – Hindu di Karangasem


Karangasem saya rasakan panas sekali. Matahari memang sedang menyengat.  Tak ada segumpalpun  awan mau menampakkan diri.  Sesekali angin lirih memang berkelebat lewat.  Meski hanya angin sepoi, tapi keberadaannya sedikit membantu  mensirnakan gerah yang acapkali membikin hati saya gundah.
Pak Hasan Bick  saya lihat tetap lincah mengendalikan stir mobil.  Meski tetap konsentrasi,  sesekali ia menjelaskan kampung-kampung muslim yang sempat kami lewati dan atau kami hampiri.  “Wah,  tampaknya pak Hasan paham betul terhadap komunitas-komunitas Islam di Karangasem”,  kataku dalam hati.   Maklum, pak Hasan ternyata seorang asli Karangasem.  “Istri saya yang asli, lahir dan besar,  di Candi Kuning – Bedugul.  Setelah kami menikah,  kami memutuskan tinggal di kampung istri,  menetap di Candi Kuning”,  kata pak Hasan menjelaskan asal usulnya.  Apa yang dikatakan pak Hasan memang ada buktinya. Saya dkk diajak mampir ke rumah adik pak Hasan,  bahkan sempat bertemu dengan kedua orang tuanya.  Itulah bukti yang meyakinkan saya bahwa pak Hasan ternyata memang asli Karangasem.
“Kaum muslim di Karangasem ini,  umumnya keturunan Lombok,  termasuk kami.  Lombok ditaklukkan,  dan kala itu banyak orang Islam di bawa  dipekerjaan oleh kerajaan. Dan sejak itulah komunitas Muslim mulai berkembang di Karangasem”,  ayah pak Hasan bercerita,  meski singkat saja.  Namun,  jika ditelusuri sebenarnya eksistensi umat Islam dan atau Islam telah ada di Karangasem jauh sebelum era penaklukan Lombok.  Jejak Islam di tempat ini misalnya,  dapat ditelusuri dari adanya makam Syekh Yusuf Kembar atau biasa dikenal dengan Kyai Kembar  yang kini terletak di desa Subagan.  Memang tidak ada informasi tertulis tentang keberadaan riwayat Kyai Kembar. Tetapi,  berdasar cerita rakyat, Kyai Kembar ini konon berasal dari Gujarat dan hidup di abad 16.  Dengan demikian berarti keberadaan Kyai Kembar – berarti pula keberadaan muslim–  di Karangasem  sekitar era kerajaan Gelgel. 
Perlu diketahui bahwa Islam yang berkembang di Lombok saat ditaklukkan oleh kerajaan Karangasem masih berupa Islam Wetu Telu. Oleh sebab itu,   keagamaan yang berkembang di Karangasem-Bali pun kala itu memiliki karakter yang sama,  Wetu Telu,  yang masih penuh dengan  mistik dan  sinkretisme: animisme-hinduisme.  Islam Wetu Telu terbangun sebagai efek dari strategi Islamisasi yang dilakukan Raden Mas Pengging, di Dajen Gunung sampai ke selatan.  Hal ini tidak jauh berbeda dari pola Islamisasi yang dibangun Wali Songo lewat seni pewayangan yang bercampur unsur Hindu,  atau bahkan oleh Syekh Siti Jenar yang pada akhirnya berimplikasi pada berkembangnya paham Kejawen.
Konon, di Dajen Gunung tempat disebarkannya Islam oleh Mas Pengging,  adalah masyarakat petani miskin.  Oleh karena itu,  kepada mereka baru diajarkan syahadat, shalat, dan berpuasa. Adapun berzakat dan naik haji sengaja belum diajarkan,  dengan alasan mereka masih miskin: sehingga belum wajib  berzakat  dan belum mampu berhaji. Berzakat dan pergi haji rencananya diajarkan menyusul,  setelah pemahaman terhadap syahadat-sholat-puasa terbangun secara kokoh.  Setelah mengajarkan tiga rukun Islam, Raden Mas Pengging meninggalkan Dajen Gunung menuju Lombok Tengah dan Lombok Timur. Namun,  informasi alternatif menyebutkan,  bahwa pendakwah yang baru mengajarkan tiga rukun Islam itu adalah Sunan Prapen (hidup tahun 1548-1605).  Sunan itu meninggalkan lokasi,  karena memang dipanggil pulang oleh Raden Patah, penguasa Demak,  karena sesuatu alasan (katanya ada sidang para wali).  ”Sunan Prapen tidak kunjung kembali lagi, padahal rukun Islam yang diajarkan baru tiga saja. Itu masalahnya”,  tegas H. Fauzi, tokoh muda dari Kampung Sindu. Mungkin versi pertama yang benar,  atau versi kedua yang justru benar,  namun bisa pula kedua-duanya benar sebab baik Sunan Prapen maupun Mas Pengging sama-sama menjadi penyebar Islam di Lombok.
Konon,  di tengah “kekosongan” lanjutan ajaran itulah, para pimpinan komunitas Lombok Utara (Dajen Gunung) –apapun motivasinya– melakukan interpretasi sendiri terhadap Islam. Mereka menghitung jari,  bahwa:”Setiap manusia memiliki lima jari,  tetapi yang tinggi hanya tiga.  Dari lima rukun Islam, yang dianggap utama —sehingga diajarkan Raden Mas Pengging — juga tiga.  Oleh karena itu, tokoh-tokoh Dajen Gunung memiliki rembetan interpretasi sendiri,  bahwa sholat yang benar pun bukan lima waktu,  melainkan  Wetu Telu,  yakni:  Shalat Iedzul Fitri, Iedzul Adha dan Shalat Jenazah.  Untuk shalat 5 waktu mereka cukup membayar fidyah kepada kyainya. Jadi Kyainya yang menshalatkan (5 waktu), dan dia dibayar sejumlah uang atau barang. Itulah konon asal-usul Islam Wetu Telu,  meskipun seiring perkembangan waktu ada beberapa versi lain lagi .
Logika Wetu Telu ini juga menjadi corak keagamaan komunitas Lombok yang ditempatkan di karangasem kala itu. Karena karakteristiknya yang masih sangat sinkretis animisme- hinduisme,  maka meskipun beda agama,  tetapi eksistensi mereka diterima dengan baik oleh komunitas Hindu lokal. Apalagi kaum Wetu Telu juga percaya dan atau memiliki pura.  “Ada keluarga kami dari Karang Ciremai memiliki kepercayaan seperti itu. Akhirnya bisalah kita dakwahi sehingga  menjadi masuk Islam secara benar.  Setelah berubah kesadaran dari Wetu Telu menjadi Islam yang benar,  pura yang semula ia miliki lantas diberikan kepada seorang Hindu untuk merawatnya. Nah, itulah bapaknya pak Bagiarte  diserahi (pura) karena dia orang hindu dan diberikan tanah 20 are untuk memelihara pure itu. Dia masih ada rasa waswas, kalau pura dibuang begitu saja,  takut kalau tidak diupacarakan.  Jadi (pura itu) masih diupacarakan oleh  pak Bagiarta sama pak Bagiadada. Peninggalan dari yang Wetu Telu tadi”,  cerita H. Hasyim tentang Islam Wetu Telu.  Karena factor pura ini,  H. Hasyim dengan Baghiarta dan bapaknya (seorang tokoh Hindu)  memiliki hubungan istimewa.
Realitas corak Wetu Telu memang menjadi satu sebab pola hubungan yang akrab dengan komunitas Hindu,  baik di Lombok sendiri maupun di Karangasem.  Bahkan,  rakyat muslim Lombok waktu lampau dapat menerima eksistensi penguasa Hindu yang memiliki kultur tidak jauh beda dari mereka, meski agamanya tak sama. Apalagi  komunitas muslim yang di datangkan ke Karangasem mendapat perlakuan istimewa dari raja,  karena mereka pada umumnya dianggap orang-orang bertuah dengan kesaktian yang dimilikinya. Memang,  terutama karena membawahi juga wilayah Lombok yang berpenduduk Muslim raja Karangasem akhirnya mengembangkan kebijakan multikultur dalam arti memperlakukan Islam dan umat Islam secara “terhormat”.  Bahkan,  Raja Karangasem konon mengijinkan Sunan Mas Prapen melakukan pembinaan kepada komunitas Islam di Karangasem (Bali),  termasuk ide mendirikan masjid Ampel, yang berdiri hanya sekitar 500 meter dari Puri Karangasem Masjid tersebut dibangun di atas tanah seluas 4.500 meter  persegi dengan arsitektur serupa dengan masjid Ampel, di Surabaya Jawa Timur.
Oleh karena itu,  secara histories hubungan antara komunitas kampung-kampung kuno Islam di Karangasem dengan kaum Hindu terjalin harmonis. Kalau pun di era kekinian ada sedikit problema,  biasanya terjadi antara anak-anak muda yang mabuk. “Kita sering diundang dalam upacara-upacara manusa nyadnye. Dan kita memang sudah menyampaikan kalau  kami jangan diundang kalau upacara-upacara dewa nyadnye, berupa sembahyangan, karena akan menjadi salah di dalam ajaran Islam. Kalau ada upacara manusa nyadnye seperti kawin, potong gigi umpamanya,  itu kan keduniaan ndak apa-apa”,  jelas H. Hasyim.
“Jika kita mengundang,  mereka juga datang. Saya menikahkan anak sampai 16 orang,  mereka diundang, ndak pernah ndak datang.   Bupati, camat, puri, semua yang saya undang  pasti datang”,   tambah H. Hasyim memperlihatkan  harmoni hubungan antar dua komunitas. Puri dan masyarakat Hindu Karangasem memahami terkait hal-hal sensitive dalam Islam,  termasuk dalam soal makanan.  Ketika mengundang umat Islam,  mereka biasanya mencari tukang masak muslim. Begitu juga, ketika acara dimulai,  pemilik hajat menyiarkan (melalui pembawa acaranya) kepada undangan muslim bahwa tuan rumah sudah menyediakan makanan prasmanan di posisi tertentu yang diolah seorang muslim bernama bapak atau ibu X. “Saya sendiri sering memasakkan di puri Gede. Pedande Gede Tianyar  mengundang orang Islam, dan saya diminta masak.  Saya mohon pak Haji Hasyim supaya menyiapkan piring, segalanya agar tidak dari saya.  Semuanya,  sampe potong kambing disini. Jadi,  sampai demikian”,  jelas H. Hasyim memberi bukti realitas toleransi.
Sejarah toleransi  di Karangasem ini memang tak diajarkan di sekolah. Namun,  tiap tahun puri Karangasem mengadakan  buka puasa bersama,  dengan mengundang semua kampung  Islam.  Karena kini jumlah Kampung Islam sangat banyak, sekitar 50 kampung, akhirnya diundang secara perwakilan: sekitar lima orang dari tiap kampung, ditambah dari kalangan hindunya. Dalam moment seperti inilah  antar komunitas bisa bertemu, bisa saling menyampaikan informasi dan permasalahan.  “Saya sudah tiga kali diminta memberi tausiah ceramah buka puasa semacam ini”,  kata H. Hasyim lagi.
Dalam acara seperti ini,  tema yang diangkat adalah seputar: mencari persamaan agama dalam konteks hablum minannas (hubungan sosial), yang dalam agama hindu terformulasi dalam Trihitakarana.  Dalam Islam misalnya,  ada ajaran: Segala sesuatu dimulai dengan niat (Innamal a’malu binniyat). Didalam hindu juga ada, yakni:  apa yang dikatakan oleh hati itulah yang dikerjakan. Berbagai realitas persamaan itu yang digali,  dan bukan mencari-cari perbedaan yang dapat mempertentangkan. Tokoh-tokoh Islam (termasuk H. Hasyim) di Karangasem tentu tetap meyakini:  bahwa antar agama tidak ada yang sama,  tetapi tidak otomatis harus membentrokkannya dengan cara mengeksploitasi perbedaan dan pertentangan. Melalui cara inilah,  problema-problema yang dihadapi umat Islam Karangasem dalam konteks posisi minoritasnya terkadang dapat terpecahkan. Ketika ada masalah, komunitas Islam biasanya berinisiatif mengadakan silaturahim  yang dalam bahasa Hindunya sime krame,  dengan mengundang banyak tokoh dari kedua belah pihak.
Terkait arti penting komunikasi untuk menjembatani perbedaan dan mencegah perpecahan, tokoh Islam Karangasem, H. Hasyim memiliki beberapa pengalaman. ”Saya pernah diundang datang ke Denpasar untuk memberikan ceramah khusus pada orang hindu yang melarang mendirikan mesjid, padahal kita sudah beli tanah segala.  Saya cerita tentang masalah Menyama Braya, bahwa : sesungguhnya kita ini bersaudara meski beda agama. Dalam Hindu kita disebut Me Semeton.  Dalam Al Quran juga disebutkan manusia itu pada dasarnya berasal dari satu kemudian dijadikan bersuku dan berbangsa. Ketika komunitas tertentu sudah banyak : Allah menurunkan seorang nabi untuk memberi kabar gembira dan memberikan peringatan kalau mereka melenceng.  Tapi, intinya manusia itu asalnya satu. Ini sama dengan ajaran Hindu,   seperti dalam konsep Me Semeton. Me itu awalan, Se itu satu, metu/meton itu keluar, Wan itu tempat keluar. Jadi satu tempat keluar. Dalam konteks ini,  manusia pada dasarnya sama : dari sana juga.  Biar dia Brahmana, anak agung, raja, raden,  toh semua tetep dari sana. Nah ,  setelah kita kupas akhirnya  diberikan ijin mendirikan mesjid.  Di Denpasar dan Jembrana, itu. Yang mendengarkan ceramah saya bupati, ketua kerukunan antar umat agama, juga ada ribuan yang dengar”.
Hubungan harmonis antar umat ini memang sempat terkendala,  terutama awal pasca bom Bali.  Kala itu muncul “pemboikatan” ekonomi terhadap orang Islam,  apapun etnisnya.  Bakso Pakraman  dan logika Ajeg Bali merupakan realisasi dari pemboikatan itu.  Namun,  dalam perkembangan waktu orang-orang hindu sendiri yang justru merasa keberatan. Ada dua hal kenapa fenomena aneh ini terjadi: Pertama,  mereka sehari-hari memiliki hubungan harmonis dengan kaum muslim,  sehingga perilaku beberapa orang muslim yang keliru, akibatnya tak pantas ditimpakan kepada semua komunitas Muslim Bali.  Kedua, akibat pemboikotan, kaum Hindu juga mengalami kesulitan. Berbagai kebutuhan sehari-hari yang biasa mereka dapatkan dari orang Islam,  dengan pemboikatan mereka sulit mendapatkan gantinya.  Kaum Hindu mau beli bayam atau kebutuhan makan lain kesulitan, karena yang jual orang Lombok, orang Jawa. “Aturan apa ini ?, sing ade nyiwe, sampe jadi ga ada yang nyewa saya punya rumah ini. Gara-gara ini, apalah ini”,  begitulah ungkapan yang muncul dari kalangan Hindu sendiri.   Disharmoni semacam itu berlangsung kira-kira hanya dua tahun,  terutama di Denpasar dan ada pengaruhnya sampai Gianyar. ****


Dangin Sema, Kecicang, dan Saren Jawa : Kampung Lama Islam di Karangasem – Bali

Adalah H. Hasyim, pria sepuh berusia 78 yang sampai kini memiliki kepedulian luar biasa terhadap toleransi dan harmonisasi hubungan antar umat di Karangasem khususnya dan Bali pada umumnya. Dari kakek yang telah memiliki 38 cucu dan 13 cicit inilah saya dan teman-teman mendapatkan banyak sekali informasi tentang apa dan bagaimana muslim dan Islam,  bukan saja di Karangasem tetapi juga di Bali pada umumnya.
Lelaki beranak 16 dari tiga istri ini  mampu membaca lontar sebagai sumber kultural dari kaum Hindu Bali.  Beliau memiliki banyak koleksi lontar, beberapa diantaranya malah sempat dibaca di hadapan saya dkk.  Bahkan,  teman saya, mas Hamdan dan Indri sempat memotret beberapa. Lontar-lontar itu sebagian berbahasa Bali sebagian lagi berbahasa Jawa Kawi.  ”Kakek saya dahulu seorang pujangga.  Dan saya disuruh belajar lontar oleh bapak saya.  Tujuan saya adalah untuk menjembatani pengertian antara kaum Hindu dan Muslim,  melalui sumber-sumber historis ini”,  kata H. Hasyim.   Pria mantan ketua MUI Karangasem ini tinggal di salah satu kampung kuno komunitas Islam peninggalan generasi pertama Muslim Lombok. Kampung Dangin Sema,  itulah tempat tinggal kakek tua tapi masih jauh dari kesan renta.
Dangin berasal dari bahasa Bali, artinya timur.  Sedangkan Sema artinya kuburan.  Lokasi ini dahulunya memang kuburan, tempat orang-orang di hukum mati oleh raja. Setiap orang yang dihukum mati di lokasi ini kepalanya dipenggal. Karena itu,  tidak ada yang berani tinggal di lokasi yang dianggap simbit, angker ini.  ”Kakek moyang saya yang namanya Raden Nangglung Baye, yang mau tinggal di sini.  Dia berkata pada raja:  Ya tuanku,  kalau tidak ada yang berani tinggal di sini biarlah saya  yang  tinggal di sini”,  jelas H. Hasyim menceritakan leluhurnya yang berasal dari Lombok.  H. Hasyim adalah generasi ke delapan, sedangkan dia telah memiliki buyut.  Berarti sampai di tahun 2010 setidaknya muslim Lombok yang tinggal di Karangasem sudah pada generasi kesebelas.
Hal yang unik dari kampung Dangin Seme,   termasuk kampung kuno Islam lainnya,  setiap generasi kepadanya diajarkan garis silsilah leluhur,  sebagai wujud ”kebanggaan” bahwa mereka merupakan keturunan orang-orang bertuah yang keberadaanya di Bali bukan datang (untuk mencari penghidupan) tetapi sengaja di datangkan oleh Raja Karangasem, karena kehebatan mereka memang dibutuhkan. ”Saya diajari bapak saya, bapak saya diajar oleh kakek saya,  begitu seterusnya  untuk menghafal keturunan. Seperti orang Arab kalau ndak hafal sampai 21 keturunan kan ndak diakui. Nama saya Hasyim, orang tua saya Ahmad, makanya Hasyim bin Ahmad, bin H. Tahir, bin Ratnimah, bin Arkane, bin Arkani, bin Artine, bin Nanglung Baye”,  jelas H. Hasyim dengan nada bangga.
Kampung kuno Dangin Seme ini dihuni sekitar 400 KK. Mata pencahariannya dahulu 80 persen adalah penjahit.  namun di era sekarang,  bermacam profesi.  Khusus untuk PNS, terhitung sangat sedikit.  Dari 400 KK yang ada,  jika dikalkulasi secara umum, bahwa satu KK terdiri dari seorang ayah, ibu,  dan dua orang anak maka total penduduknya bisa sekitar 1.600 ribu Jiwa.  Tetapi angka itu sebenarnya hanya kalkulasi minimal,  sebab pada kenyataannya setiap KK memiliki lebih dari dua putra. Bahkan,  H. Hasyim sendiri memilik 16 anak. Dari 16 anak melahirkan 38 cucu, yang berarti rata-ratanya melampaui angka dua.
Satu hal yang menarik perhatian saya selama menuju dan atau menyusuri kampung Dangin Seme ini adalah banyaknya masjid yang berhasil kami temui. Bahkan,  tepat di depan rumah H. Hasyim terdapat masjid yang luar biasa megahnya,  tentu saja untuk ukuran Bali.  Hal ini tentu saja sempat kami tanyakan:  “Pak Hasyim,  disini begitu banyak mesjid. Apa itu tradisi dari Lombok  yang terkenal dengan pulau seribu menara ?
“Ah,  itu yang mau saya ceritakan”, jawab H. Hasyim tangkas.   “Dahulu,  para leluhur kampung muslim ketika awal datang di Karangasem melihat bahwa di setiap rumah ada sangga kecil. Berikutnya, di setiap kampung ada dadya  (pura) yang  besar.  Realitas ini menumbuhkan ghirah alias semangat dari para leluhur muslim Karangasem untuk memperlihatkan identitas aslinya,  agar keberadaan mereka juga mendapat perhatian dari lingkungannya. Walhasil,  walaupun komunitas muslim di setiap kampung kecil saja jumlahnya,  tetapi mereka tetap membangun musholla. Bahkan,  kala itu meski hanya ada lima orang muslim saja,  mereka membikin mushola.  Apalagi,  musholla akhirnya tidak hanya berfungsi untuk shalat saja, tetapi dimanfaatkan untuk silaturrahmi membahas berbagai persoalan secara bersama. Awalnya begitu. Akhirnya setiap kampung ada mushola. Sekarang di Karang Asem ada 60 an”,  tandas  H. Hasyim.  Padahal umat Islam di Karangasem angkanya tidak lebih dari 16.000,   yang hidup secara terpecah-pecah dalam sekitar 50 komunitas.  Dan di setiap kampung hampir pasti dibangun sebuah mushola.
Di Dangin Sema di era sekarang corak keislamannya sudah jauh terpisahkan dari kultur Wetu Telu.  Dapat dikatakan,  meski generasi pertama ada pengaruh Wetu Telu,  tetapi di era kekinian pengaruh itu dapat dikatakan telah terkikis habis. Bahkan,  kultur yang terbangun tampaknya tidak lagi tersekat oleh isu khilafiah,  melainkan semua umat menempatkan diri sebagai orang Islam.  Tak ada NU atau Muhammadiah,  sebagaimana masih tampak dalam komunitas muslim di Sudihati-Kintamini, Kabupaten Bangli. ”(Antar aliran) ndak ada apa-apa. Kita sama-sama Jum’atan. Di sini sudah ndak ada NU –  Muhammadiyah. Siapa yang mau baca qunut,  dia tetep di sini. Jadi ndak ada masalah. Kalau (taraweh) di mesjid kebanyakan 11 rakaat. Tapi ada juga yang 23 rakaat”,  kata H. Hasyim.
Di Dangin Seme dan Karangasem pada umumnya,  pembinaan umat Islam dilakukan oleh masjid-masjid. Di setiap mesjid, setiap ba’da asyar ada yang membacakan satu dua hadits. Selain itu ada pula yang mengadakan pengajian bulanan. Juga ada yang mengajarkan kultum alias kuliah tujuh menit setiap habis maghrib.  Di Karangasem,  termasuk Kampung Dangin Seme juga telah memiliki banyak taman kanak-kanak Islam, taman baca alqur’an alias TPA dan TK Islam, baik yang TK Muhammadiyah maupun  TK NU.
Selain Dangin Sema,   kampung Kecicang juga patut untuk diceritakan eksistensinya.  Sebab,  pertama,  baik Kecicang maupun Dangin Sema sama-sama perwujudan dari kampung kuno Islam di Karangasem.  Kedua,  keduanya saat ini merupakan sentra komunitas Islam terbesar di perkotaan. Asal usul cerita berawal dari salah seorang muslim bertuah asal Lombok yang didatangkan raja Karangasem,  yang bernama Balok Sakti yang memiliki nama asli K.H. Abdul Rahman.  Sampai di Karangasem,  Balok Sakti ditugaskan menjaga perbatasan di wilayah  Karang Tohpati,  tetapnya di perbatsan kecamatan Bebandem dan Selat.  Balok Sakti ini mengambil istri seorang wanita muallaf dari Sibetan dan dikarunia dua orang anak, namun meninggal semua.  Balok Sakti lantas menikah lagi dengan wanita muallaf dari Karang Telu serta mendapatkan 11 orang keturunan.  “Dari kesebelas anak ini beranak pinak yang lantas membentuk kantong-kantong muslim di Karangasem,  seperti Kecicang Islam, Karang Tohpati,  hingga ke Buitan”,  jelas Kasi Urais Depag Kabupaten Karangasem.
Tidak semua komunitas Islam “tua” di Karangasem berasal dari Lombok,  tetapi ada pula yang berasal dari Jawa,  seperti Kampung Saren Jawa. Kisah Saren Jawa ini bermula dari seorang  muslim utusan raja Mataram bernama Raden Kyai Jalil. Ketika  berada di Karangasem,  kebetulan ada seekor sapi  besar (wadak) mengamuk membuat kekacauan kesana-kemari di wilayah Karangasem.  Konon, Kyai Jalil yang berhasil membunuh wadak di lokasi yang bernama Sare (Tidur).  Atas jasanya itu,  wilayah Sare akhirnya dihadiahkan kepada Kyai Kholil sebagai tanah pelungguhan.  Dia kemudian menetap serta beranak cucu di wilayah Sare,  yang karena penghuninya berasal dari Jawa,  maka akhirnya dikenal sebagai Saren Jawa.  Saren Jawa inilah yang di era kekinian telah menjadi salah satu sentra komunitas Muslim disamping Dangin Seme. Di Saren Jawa terdapat sebuah masjid tertua yang disebut santreng oleh warga setempat,  yang dahulu bentuknya konon menyerupai pura dengan meru puncak pitu.  Kini,  santreng yang diberi nama Fathul Jalil ini,  tidak lagi difungsikan.
Selain Lombok dan Jawa,  ada pula komunitas kuno Islam yang berasal dari  pedagang dan hasil pengungsian dari Bugis-Makasar menyusul kekalahan kerajaan Gowa oleh Belanda. Salah satu komunitas ini ada di desa Bungaya Timur, kecamatan Bebandem.  Di tempat itu bahkan ada bukti arkeologis berupa makam perintis Islam bernama Habib Ali bin Zainal Abidin Alaidrus yang berasal dari Sulawesi.  Makam ini berdampingan dengan pemakaman umat Hindu setempat,  sekaligus sebagai bukti telah adanya toleransi Islam-Hindu sejak dahulu.
Sejarah kampung-kampung Islam di Karangasem memang telah lama usianya.  Tapi tak ada satu pun sekolah yang memiliki Kurikulum khusus membahas sejarah ini.  Akibatnya,  baik dari kalangan Islam maupun Hindu di Karangasem banyak yang tidak tahu tentang asal usul Muslim dan sejarah akulturasi yang harmonis antara dua komunitas.  Di kalangan generasi muda Islam,  sejarah Islam Karangasem atau Bali pada khususnya,  menurut H. Hasyim,  biasanya disebarluaskan melalui  ceramah-ceramah dalam berbagai acara bahkan termasuk acara perkawinan. “Kalau kawinan saya pake bahasa Bali Kromo Inggil, sehingga umat Hindu pun lain penerimaannya,  dan menganggap bapak Hasyim (yang muslim) ini adalah orang Bali asli.  Sesungguhnya kami sudah 8 turunan,  sehingga  kami bukan Lombok lagi.  Bagaimana saya bilang saya orang Lombok ?,  padahal bahasa yang saya kuasai bahasa Bali  ?”,   tandas H. Hasyim. Problemnya,  dewasa ini jarang sekali anak-anak muda Muslim –bahkan juga kaum muda Hindu– yang mampu berbahasa Bali halus (kromo Inggil), padahal bahasa itu menjadi salah satu sarana penghubung emosional antara umat Islam dan Hindu di Bali.
Singkat kata,  penguasaan bahasa  Bali halus saat ini sebenarnya menjadi tantangan bagi generasi muda muslim Bali.  Dengan memakai bahasa Bali kromo Inggil  penerimaan umat Hindu atas orang-orang  Islam akan jauh lebih positif.  Apalagi ditambah dengan penguasaan kultural dan sejarah,  bahkan meskipun sejarah kedatangan Islam lengkap dengan pola hubungan muslim – puri, tentu akan membangun penerimaan bahkan penghormatan dari komunitas Hindu.   Hal semacam ini sering dialami H. Hasyim sendiri.  ”Saya bicara di Denpasar,  kurang lebih 450 pendengarnya. Ceramah  saya tentang Bali, sejarah dan kultur Bali. Di Bali kalau tidak kenal Bali dan tidak tahu Bali ndak akan sukses, atau  malah akan dibenci”,  jelas H. Hasyim.  ”Mereka malah heran, kok pak Haji lebih tahu (tentang Bali). Saya ngomong melebihi (waktu),  saya mohon maaf pada panitia karena bicara melebihi ketentuan (waktu).  Tetapi orang-orang Hindu justru bica: Terus pak, terus pak. Saya bertanya: Bagaimana pak panitia ? Akhirnya ditambah 10 menit”.  Pengalaman-pengalaman H. Hasyim ini memberi bukti bahwa bahasa dan pemahaman kultural ternyata dapat membuka pintu penerimaan,  ternyata dapat mempererat tali persaudaraan.
Di kampung Dangin Seme memiliki peninggalan kesenian yang dibawa leluhur dari Lombok, yang sampai kini masih bisa dinikmati bukan saja oleh komunitas Islam tetapi juga kaum Hindu.  Yaitu kesenian Rebana.  Rabbana tetapi lagunya lagu angklung,  perpaduan lagu Islam dan Bali.  Kesenian itu,  di Karangasem biasa dimainkan untuk menghibur dalam acara perkawinan.  Sedangkan, di Kampung Kecicang dan Kampung Sindu  kesenian yang masih hidup adalah rudat. Dahulu kesenian rudat ada pula di Dangin Seme,  tetapi dewasa ini sudah tidak ada. Kesenian itu menghilang sejak  generasi keenam.  « Disini ndak ada (ruddat). Dulu ada,  tapi setelah kakek saya sudah tidak ada »,  jelas H. Hasyim nadanya mencerminkan penyesalan.
Khusus Magibung,  tradisi ini masih bisa ditemui baik di Kampung Dangin Seme,  maupun di Kampung Kecicang.  Tradisi makan bersama ini juga masih bisa ditemukan di Gelgel,  sebagai cikal bakal komunitas muslim tertua di tanah Bali.  « Memang asalnya Tradisi ini lahir dan berkembang di kalangan Hindu.   Magibung itu makan berhadapan. Orang hindu magibung itu, bekas nasinya, bekas suapnya, ndak boleh dibawa (ke nampan lagi, tetapi) harus dibuang”,  jelas H. Hasyim dengan mengibas-ngibaskan tangan kanan ke samping, sebagai tanda mempraktekkan apa yang ia ucapkan. ”Makanya, di sampingnya (orang-orang) banyak nasi dibuang. Kalau (yang nempel di tangan dimasukkan lagi) diketahui,  bisa perang saudara. Karena disebut carekan, disebut sisa,   sehingga  ndak boleh dibawa kesini lagi. Jadi tangan harus bersih”,  jelas H. Hasyim,  lengkap sekali infonya. Menurut H. Hasyim, Magibung seperti itu biasanya terjadi intra umat. Artinya Magigung antara muslim –  hindu tidak pernah ada, khususnya di Kampung Dangin Seme. ***


Kampung Muslim Sindu Sidemen, Karangasem

Pada tulisan sebelumnya telah saya uraikan bahwa seiring dengan penaklukan Lombok oleh kerajaan Karangasem,  raja mengambil orang-orang bertuah di Lombok untuk ditempatkan sebagai pasukan pertahanan di berbagai wilayah Karangasem.  Ada yang ditempatkan mengelilingi Puri Kanginan seperti Kampung Dangin Seme, Kampung Bangras, namun ada yang ditempatkan untuk mematai-matai dan atau menjaga wilayah perbatasan seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak Kesasak, Bukit Tabuan,  Saren Jawa, Kecicang,  serta di Kampung Sindu.
Pada tulisan ini saya ingin menjelaskan tentang apa dan bagaiman sejarah dan eksistensi kampung Islam ini, salah satu dari sekian kampung lama Islam yang sempat saya kunjungi. Ceritanya dimulai, ketika raja Karangasem mengalahkan kerajaan Selaparang,  Lombok, dimana raja Karangasem akhirnya membawa orang-orang sakti Selaparang untuk dijadikan “beteng” kerajaan Karangasem. Sebagian dari mereka di tempatkan di wilayah Sindu-Buu-Tegal,  termasuk yang ada di Kecicang, dan di Ujung,  yang bukti sejarahnya dapat ditelusuri misalnya dari adanya makam-makam kuno di daerah-daerah ini.
Mereka yang ditempatkan di Kampung Sindu, Kampung Bueu, dan Kampung Pidade semula hanya tiga orang,  tanpa istri,  sehingga mereka akhirnya mengambil istri dari lokasi.  Keturunan dari ketiga pasang keluarga itulah itulah yang menjadi cikal bakal komunitas  muslim Sindhu Sidemen. Tanah yang diberikan kepada mereka berasal dari Griya Sindu (Brahmana),  bukan hadiah dari Puri. Kenapa yang memberi Griya dan bukan Puri ? Alasannya, kala itu memang Griya yang memiliki tanah lokasi. Karena itu puri Karangasem lantas kirim surat ke Ida Prada Gede di griya.  Pada saat itu siapapun yang memiliki tanah melebihi aturan yang ditentukan, dimintakan oleh raja untuk sebagian diberikan kepada “kaum muslim”  yang sengaja didatangkan tadi. “Akhirnya,  di kasihlah tanah di kampung sini. Dan itupun tiga orang yang ngasih, yakni dari Griya Sindu, Griya Buu, dan Griya Tegal –kini masuk wilayah Sindu Sidemen– yang masing-masing diberikan kepada satu orang asal Lombok”, jelas  H. Fauzi, Tokoh Muslim Kp. Sindu Sidemen, Karangasem.
Karena itu,  meski Puri yang membawa mereka ke Bali,  tetapi penghormatan kepada Griya juga terbangun,  mengingat mereka yang memberikan tanah. Apalagi dalam keseharian akhirnya tiga orang muslim tadi ngayah ke griya. “Ngayah artinya tiap hari “membantu/beraktivitas” di Griya,  dan kebutuhan sehari-hari termasuk makan juga ditanggung Griya. Ngayah bukan berarti bekerja di griya, sebab tugas utama orang-orang bertuah tadi adalah membentengi Karangasem.  “Nongkrong saja,  tidak ngapa-ngapain juga bisa, karena makan sudah dari griya. Namun, mereka tampaknya ingin memiliki aktivitas lain,  sehingga mereka akhirnya juga menggarap tanah dari Griya”.
Orang Griya yang semua kaya,  juga bersikap sama alias tanpa perhitungan dalam soal materi.  Semula kepada orang Islam diberi tanah di Bueu,  tapi setelah berketurunan ditambah lagi di Sindu,  dan belakangan melebar ke Pidade. Oleh karena itulah, hubungan Muslim – Griya menjadi sangat dekat. Kalau di griya ada upacara, umat Islam diundang.  Umat Islam dikasih dikasih mentahnya, lalu mereka memasak sendiri untuk memastikan kehalalan hidangan.
Dari tiga pasang keluarga akhirnya berkembang menjadi 12 KK. Satu anak bernama Kupi Winarse (Datuk Winarse) tetap tinggal di Sindu Sidemen menjadi cikal bakal komunitas di kampung tersebut. Selain itu ada pula Kupi Parti yang akhirnya oleh raja Karangasem dikirim  ke Bedugul (sekarang masuk kabupaten Tabanan) dengan tujuan untuk memata-matai kerajaan Mengwi. Mereka babat hutan Bedugul serta menjadi cikal bakal komunitas Islam di sana.  Anak yang lain ada yang dikirim ke Kampung Kramas (sekarang masuk kabupaten Gianyar) juga untuk tugas yang sama. Makanya,   ketika gunung Agung meletus di Karangasem tahun 1970 an,   banyak orang Sindu Sidemen mengungsi ke Bedugul dan  keKeramas,  karena di kedua kampung itu mereka memiliki hubungan kekerabatan.
Ditinjau dari garis ibu,  komunitas Sindu Sidemen semua sebagai keturunan wanita Hindu lokal.  Oleh karena itu dapat dipahami jika toleransi antar komunitas keagamaan (terutama dengan Griya) di wilayah itu sangat luar biasa, akibat adanya jalinan genealogis tadi. “Termasuk datuk saya (baca: Datuk Nuruddin) ngawini wanita Hindu juga. Makanya kita punya sepupu di Hindu,  di Brahmana”,  tandas H. Fauzi.
Rumah kaum Griya kala itu umumnya berpagar tembok tinggi.  Anak gadis pedanda pun sangat terhormat, tidak boleh pergi sendirian, bahkan mandi pun harus dikawal. Di kalangan Griya ada kepercayaan,  ketika seorang anak gadis/perawan keluar rumah sendirian –dengan alasan apapun–,  dia dianggap terbuang. Tetapi,  sebagai orang tua para pedanda tadi tentu tetap memperhatikan nasib anak gadisnya yang terbuang tadi.  Mereka berpandangan,  lebih baik menikahkan anak gadisnya yang terusir tadi kepada kaum Muslim dibandingkan membiarkan merana apalagi kawin dengan kaum Sudra. Sebab,  mereka  mengakui agama yang suci,  istilah yang dirujukkan pada agama Islam. Oleh karena itu,  terhadap anak gadis terbuang ini,  bapaknya biasanya  membuat “rekayasa” agar mereka dikawini kaum muslim saja dengan cara “mengarahkan” mereka menuju kampung (Islam). Bahkan, untuk tujuan itu biasanya semua keperluan perkawinan ditanggung pihak Griya. “Kan malu kalau anaknya terbuang tak ada yang mengawini”,  kata H. Fauzi lagi. Walhasil, kawin mawin Islam – Hindu (keturunan Griya) cukup banyak kejadiannya.
Sampai kini kawin lintas komunitas ini juga terjadi,  hanya sebab dan prosesnya yang berbeda.  Umumnya,  dengan cara: pihak pria muslim membiarkan wanita Hindu (yang lagi jatuh cinta) yang datang ke kampung Islam.  Dengan cara itu,  maka pria Islam dan kampung Islam tidak melakukan kesalahan adat, sebab yang datang adalah pihak wanita Hindu.  “Kalau putrinya datang kesini biarkan. Kalau dia  minta kawin, tinggalkan dia sini, biarkan. Ndak salah kita”,  kata H. Fauzi.  Berikutnya, pihak pria datang ke keluarga wanita di desa adat,  memberi tahu soal anak gadisnya. “Kalau ke Griya ngomongnya harus dengan bahasa Bali asli, apalagi Bali halus. Dengan cara itu, biasanya berjalan lancar tanpa persoalan”.  Sampai kini komunitas Kampung Sindu Sidemen memang fasih berbahasa Bali halus,  termasuk anak-anak mudanya. Oleh karena itu,  keberadaan mereka oleh kaum Hindu diakui sebagai orang Bali (asli).  Biasanya,  kalau sudah ada sinyal positif dari  pihak wanita (Hindu),  proses pengislamannya langsung oleh MUI. Kaum mualaf  ini berikutnya dibina di Kampung Lebah,  Klungkung.  Namun,  setelah ada Yayasan Annisa,  mereka cukup dibina di tempat ini.  Pengajian ibu-ibu Annisa,  sebenarnya dilakukan sebulan sekali,  tetapi khusus untuk pembinaan muallaf bisa dilakukan pertemuan tiap hari, sesuai kebutuhan.
Proses perkawinan yang terjadi umumnya tidak menimbulkan persoalan.  Bahkan,  karena banyaknya jalinan genealogis tadi akhirnya membangun sikap toleransi bahkan harmoni. Mereka saling saling undang di acara pernikahan,  atau bahkan kematian. Intinya,  saling datang mendatangi.  Harmoni tersebut terbangun berdasar kesadaran masing-masing pihak. Ketika nyepi misalnya,  lampu di rumah-rumah orang Islam tetep nyala,  tetapi azan di masjid otomatis tidak memakai pengeras suara.  Ketika nyepi bersamaan dengan hari jum’at misalnya,  biasanya pecalang yang justru mengantar umat Islam yang ingin jum’atan. “Kampung Buu kan disini (baca: di Sindu) jum’atannya, sekitar satu setengah kilo jaraknya. Dijemput. Dikawal.  Itu bagusnya. Kalau deket-dekat mesjid masih jum’atan. Ada acara apapun pecalang sangat membantu.  Kasih minum saja. Mereka kalau kasih uang gak mau. Karena sudah merasa pecalang kita (juga).  Sebab, di sini kan kalau ada orang meninggal kita pasti kesana. Kerukunan”,  jelas H. Fauzi.
Harmoni juga terlihat dalam acara hari besar Islam. Ketika Idul Fitri umat Islam biasa melakukan takbir keliling. Ketika Maulid nabi  umat Islam juga melakukan pawai,  dengan arak-arakan rudat dan  hadrah. Beda antara hadrah dan rudat adalah: Kalau hadrah memakai rebana,  sedangkan rudat memakai gendang besar. Kesenian rudat dan hadrah ini memang pernah berhenti,  karena Muhammadiyah pernah mem bid’ahkan. Namun,  sekarang kesenian ini muncul kembali, bahkan akhirnya dilombakan. Rudat di Sindu Sidemen menceritakan sesuatu dengan bahasa hikayat,  dengan cara dilagukan. Pakai lampahan, pakai tari-tarian. Intinya berupa tari-tarian, ada nyanyiannya yang berbahasa  Arab tetapi kebanyakan sudah berbahasa Indonesia. Secara substansi menceritakan Sejarah Hasan dan Husen dalam pertempurannya melawan Yazid, yang ditampilkan dengan iringan rebana. Rudat di Sindu oleh H. Fauzi disebut sebagai kesenian dari Lombok, meski sampai di Sindu lantas dirubah-rubah namun tetap mempertahankan nilai sejarah, yakni: kisah Hasan dan Husen. Mode busananya semula diadop dari Istambul lengkap dengan memakai pedang.  Namun,  di era sekarang pedang tidak lagi digunakan.
Pada setiap pawai takbiran dan maulid Nabi orang-orang Hindu ikut menikmati. “Kalau ndak keliling, marah mereka.  Gak ngundang , marah mereka.  Jadi,  Harus (diarak) kesana. Mereka yang akhirnya jaga jalan,  biar (arakan) sampai selesai itu. Malahan peserta dikasih aqua, minuman. Hanya Idul Fitri sama maulid nabi. Hanya dua itu. “,   jelas H.  Fauzi.
Bahkan,  untuk subak saja kampung Islam Sindu Sidemen tidak dikenai biaya aliat gratis,  bukan saja untuk keperluan masjid,  tetapi juga untuk pengairan sawah.  Memang,  dulu ada inisiatif dari kalangan Hindu agar komunitas dimintai sumbangan adat,  mengingat mereka berada di wilayah desa adat puseh. Berarti  tiap ada acara di puseh, setiap KK muslim juga terkena iuran. Namun,  inisiatif itu tampaknya tidak diteruskan,  sebab H. Fauzi yang kala itu hadir dalam rapat mewakili komunitas Islam juga mengajukan permintaan sebaliknya.Artinya, pada setiap acara hari besar Islam,  setiap KK Hindu ganti memberikan sumbangan.  Padahal,  jumlah warga Hindu jauh lebih besar  (ada 18 banjar dan sekian ratus KK),  oleh karena itu logikanya jumlah sumbangan yang akan diberikan warga Hindu kepada kegiatan umat Islam jauh lebih besar dibanding jumlah sumbangan warga muslim (yang hanya 190 KK) yang akan diberikan pada acara adat Hindu di Pure. “Mungkin karena kalkulasi untung rugi,  maka ide ini akhirnya tidak pernah ditindaklanjuti”,  kenang H. Fauzi.
Memang,  sesekali terjadi konflik kecil,  tetapi umumnya  karena pemuda minum. “Biasanya,  antara mereka yang minum kita ajak keluar kampung, lantas kita adu sekalian: silahkan berkelahi di luar.  Akhirnya mereka tidak jadi berkelahi”,  kata H. Fauzi yang menjadi ustadz di Yayasan La Roiba, Klungkung.  Bahkan, peristiwa bom Bali pun pengaruhnya tidak mampu merasuk ke tempat ini.
Komunitas Islam kampung Sindu saat ini kebanyakan berprofesi sebagai pedagang. Dagang tahu, tempe, atau apapun  dagangan bahan pangan.  Ada pula yang berdagang kain, ayam,  bahkan dagang sapi.  Mereka umumnya berdagang di pasar-pasar Sidemen, di Pecangkram, dan pasar-pasar lain.  Tradisi berdagang ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak terbangunnya komunitas Islam di kampung itu. “Sudah 450 tahun. Tapi memang betul-betul orang sakti para orang tua dulu. Buktinya waktu mau jualan, mereka dirampok, dibacok tembus tapi nggak berdarah.  Makanya perampok-perampok akhirnya gak berani. Itulah saktinya orang dulu”,  terang H. Fauzi dengan nada bangga.
Saat ini,  banyak warga kampung Islam Sindu memiliki sawah.  Namun demikian,  untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tetap beraktivitas sebagai dagang, profesi keturunan. Oleh karena itu,  umumnya penggarap sawah milik kaum muslim Sindu justru dari kalangan Hindu. “Kita tetep dagang. Tanah kita diolah orang hindu.  Artinya terbalik lah (baca: dibanding era dahulu”,  kata H. Fauzi mengakhiri penjelasannya.
Di Kampung Islam Sindu terdapat sebuah masjid kuno, yang dibangun di era generasi pertama Muslim.  Sayang sekali,  sama dengan hampir di semua masjid kuno di kabupaten lain di seluruh Bali,  masjid Sindu pun bangunannya sudah tidak lagi memiliki sisa-sisa kelampauan.  Fisik bangunan,  semuanya  sudah merupakan bangunan baru sama sekali.  Hanya tempat wudlu saja yang masih memperlihatkan nuansa era lama,  tapi itupun dibangun sudah di era tahun 1970an, dan bukan peninggalan leluhur kaum Sindhu.
Satu-satu yang tidak berubah dari lingkungan masjid kuno itu adalah air wudlu yang terus menggelontor tanpa henti,  karena air disuplai dari subak secara gratis tanpa bayar sama sekali. Sebab, pada dasarnya air subak tidak berkurang,  tetapi hanya mampir sejenak ke masjid,  lantas dialirkan kembali.  Sebelum meninggalkan kampung Islam Sindu, saya menyempatkan diri mengambil air wudlu dari tempat ini.  Nyess… dingin sekali,  bahkan rasa sejuknya menjalar sampai ke ulu hati. Subhanallah.***
DHURORUDIN MASHAD


------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/15/asal-usul-kampung-muslim-di-kabupaten-karangasem-bali-tulisan-7/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/25/membaca-akulturasi-muslim-hindu-di-karangasem-bali-tulisan-8/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/05/05/dangin-sema-kecicang-dan-saren-jawa-kampung-lama-islam-di-karangasem-bali-tulisan-9/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/05/15/silaturrahmi-ke-kampung-muslim-sindu-sidemen-karangasem-bali-tulisan-10/