Senin, 22 Mei 2017

Perkembangan Kepustakaan Islam Jawa Sejak jaman Demak sampai Pajang





Masuknya agama Islam ke pulau Jawa segera diikuti oleh masuknya Kepustakaan Islam, baik yang berbahasa dan bertulisan Arab maupun Melayu. Kepustakaan tersebut, di samping memiliki peranan yang besar dalam penyebaran Islam, juga berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan Kepustakaan Jawa yang dahulunya bercorak kehinduan, sehingga menjadi sebuah Kepustakaan Jawa yang diwarnai dengan unsur-unsur Keislaman.
Yang dimaksudkan dengan Kepustakaan Islam adalah semua kepustakaan yang berisi aspek-aspek ajaran Islam, baik yang berbahasa dan bertulisan Arab, Melayu, Jawa maupun yang berbahasa lainnya. Kepustakaan Islam yang berbahasa Arab disebut Kepustakaan Islam Arab; yang berbahasa Melayu disebut Kepustakaan Islam Melayu; dan yang berbahasa Jawa disebut Kepustakaan Islam Jawa. Pembagian dan pembatasan istilah semacam ini tidak mutlak. Hal ini dimaksudkan untuk menolong dan mempermudah pembahasan terhadap jenis-jenis Kepustakaan Islam yang berkembang di Jawa.
Menurut Simuh (1988; 3 dan 21 – 23), bahwa Kepustakaan Islam Jawa  masih dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni Kepustakaan Islam Santri  dan  Kepustakaan Islam Kejawen. Pembagian ini didasarkan atas isi kandungan masing-masing kepustakaan. Kepustakaan Islam Santri berisi aspek-aspek ajaran Islam yang lebih terikat oleh syariat dan tata aturan hukum Islam (fiqih) secara formal, sebagaimana yang nampak pada kehidupan keagamaan kaum “Santri”. “Santri” di sini adalah dalam pengertian sebagai orang yang menjalankan syariat islam dengan ketat dan tekun, khususnya shalat lima waktu, serta menjadikan syariat tersebut sebagai dasar yang fundamental dalam semua aspek kehidupan sehari-harinya. Walaupun tidak bersih sama sekali dari unsur-unsur Hindu-Budha atau kepercayaan lainnya, namun masih tetap dominan dan lebih dekat kepada dogma-dogma Islam yang sebenarnya. (Koentjaraningrat, 1984; 312).
Sedangkan Kepustakaan Islam Kejawen adalah berisi aspek-aspek ajaran Islam, khususnya aspek tasawwuf atau mistik islam, yang disinkretiskan dengan unsur-unsur kepercayaan dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya. Dengan kata lain, jenis Kepustakaan ini lebih menekankan pada usaha mempertemukan antara aspek-aspek ajaran Islam dengan unsur-unsur keperayaan dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya, sebagaimana yang biasa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari orang “Islam Kejawen”. “Islam Kejawen” adalah dalam pengertian sebagai orang Islam yang kurang taat menjalankan syariat, khususnya shalat lima waktu, dan masih teguh mempertahankan kepercayaan atau tradisi lama (Hindu-Budha) dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lebih menekankan pada aspek Batiniah atau Mistik daripada aspek lahiriah atau syariat. (Koentjaraningrat, 1984 ; 310 – 312).  Atas dasar pengertian ini, maka yang mejadi ciri khas Kepustakaan Islam Kejawen adalah lebih banyak berisi ajaran mistik Islam atau tasawwuf, dan sangat sedikit atau bahkan mengabaikan ajaran syariat Islam yang sebenarnya. Jenis Kepustakaan ini dapat juga disebut “Kepustakaan Islam Mistik Kejawen”. (Simuh, 1988 ; 21 – 23).
Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa sering dihubungkan dengan kondisi kehidupan masyarakat muslim di Jawa. Jenis “Kepustakaan Islam Santri” lebih berkembang di sekitar daerah pesantren dan daerah pesisir utara Jawa, dimana mayoritas kaum santri berdomisili di daerah tersebut. Sedangkan jenis “Kepustakaan Islam Kejawen” lebih berkembang di sekitar istana Kerajaan wilayah pedalaman,  lebih-lebih pada jaman kerajaan Mataram Islam. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi corak dan watak kedua jenis Kepustakaan tersebut,  yakni “Gaya Pesisiran” buat Kepustakaan Santri dan “Gaya Mataraman” buat Kepustakaan Kejawen. Meskipun tidak dapat disangkal adanya kemungkinan bahwa Kepustakaan Islam Santri  terkadang Bergaya Mataraman atau sebaliknya.
Berikut ini adalah beberapa Kepustakaan Islam Jawa  yang berkembang sekitar abad 16 sampai abad 17 masehi, sekitar jaman munculnya buku Suluk Wujil. Pembahasannya didasarkan atas pembagian waktu atau jaman, yaitu : 1. Jaman kerajaan Demak;  2. Jaman kerajaan Pajang dan Mataram.

1. Jaman  Kerajaan  Demak

Kepustakaan Islam Jawa  yang sangat tua masih dapat diketemukan, yang diduga berasal dari abad ke-16, yakni jaman kerajaan Demak, berupa dua manuskrip yang kemudian lebih dikenal nama Het Boek van Bonang (Buku sunan Bonang) dan Een Javanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw (Buku Primbon Jawa Abad Keenambelas), dan juga kitab Koja Jajahan dan Suluk Sukarsa. Kedua kitab yang terakhir ini termasuk kitab tua yang muncul sebelum munculnya kitab Suluk Wujil, yang walaupun belum diketahui secara pasti waktu penulisannya, namun dapat diperkirakan muncul pada jaman kerajaan Demak.
a. Kitab Bonang, Het Boek van Bonang.  Naskah kitab ini diketemukan oleh seorang pedagang dari Amstredam Belanda bernama Van Dulmen di daerah pesisir Sidayu Gresik. Naskah ini kemudian diserahkan dan disimpan di Perpustakaan Leiden Belanda pada bulan Nopember 1587 M. (Poesponegoro, M.D.,Dkk., 1993 ; 208). Naskah ini berasal dari karangan Sunan Bonang yang kegiatannya dapat ditentukan antara tahun 1475 – 1525 M, yang berarti naskah ini muncul pada masa pemerintahan Islam di Demak. Isinya menyangkut ajaran Islam, terutama tentang ilmu Tauhid dan Tasawwuf menurut ajaran Imam Al-Ghazali, sebagaimana yang dijelaskan pada bagian pertama kitab tersebut :
Teks asli (Schrieke, 1916 ; 92) :
“Nyan punika caritanira Shaich al-Bari: Tetkalanira apitutur dateng mitranira kabeh; kang pinuturaken wirasaning ushul suluk – wedaling carita saking kitab Ihya’ Ulumiddin lan saking Tauhid – antukira Shaich al-Bari ametet I(ng) ti(ng)kahing sisimpenaning Nabi Wali mukmin kabeh…”

Terjemahan :
“Inilah cerita Shaich al-Bari tatkala memberi petuah kepada sahabatnya sekalian. Yang diajarkannya ialah arti dari pada Ushul Suluk, asal cerita dari kitab Ihya’ Ulumiddin (karya Imam Al-Ghazali) dan dari Tauhid yang oleh Shaich al-Bari diperolehnya dari memetik tingkah laku yang dirahasiakan oleh Nabi Wali mukmin sekalian …”.

Kutipan di atas mejelaskan bahwa Buku Bonang  berisi ajaran tasawwuf yang diambil dari kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh ajaran Al-Ghazali terhadap Sunan Bonang, sebagaimana juga pada kebanyakan pengarang muslim dan ulama pada jaman itu. Di samping bahwa  pengaruh pemikiran tasawwuf Ibnu Arabi juga besar, khususnya pada pengarang muslim pada jaman-jaman permulaan. (Bruinessen, M.V., 1993 ; 15).
Keterpengaruhan Sunan Bonang terhadap ajaran tasawwuf Imam Al-Ghazali ini dapat disaksikan pada sikapnya yang ortodoks dalam usahanya untuk memadukan antara aspek syariat dengan tasawwuf, serta sikapnya dalam menentang setiap ajaran mengenai persoalan Ketuhanan atau Tasawwuf yang dipandangnya sesat, misalnya ajaran yang dikemukakan oleh aliran Mu’tazilah, Jabbariyah, Karramiyah, Arabiyyah – aliran Ibnu Arabi. (Schrieke, 1916 ; 88 – 114).
Buku-buku Babad menggambarkan betapa hebatnya Sunan Bonang menentang ajaran sesat Seh Siti Jenar. Demikian pula buku Sejarah Nasional Indonesia III, yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993 ; 208 – 209) menceritakan usaha Sunan Bonang menentang segala ajaran Ketuhanan kaum sufi heterodoks pada saat itu. Kaum sufi heterodoks berpandangan, bahwa apa yang “Ada” adalah Allah, dan apa yang “Tiada” adalah Allah. “Ketiadaan” Allah adalah pada saat tidak menciptakan, dan hal ini menunjukkan tentang Kemahacucian-Nya, sebab Dia itu “Sendirian” dan “Kesepian” (Awang-uwung) yang hanya dapat diketahui oleh “ketiadaan” yang mengitari-Nya. Menghadapi pandangan sesat seperti ini, Sunan Bonang menyiapkan bantahannya, bahwa Allah itu Maha Tinggi dan Maha Luhur, Yang tiada didahului, tidak diiringi dan tidak dikelilingi  oleh “ketiadaan”. (Schrieke, 1916 ; 94 – 96).
Sunan Bonang sekali lagi memaparkan ajaran mengenai Tuhan sesuai dengan penafsiran ulama sunni yang ortodoks, berdasarkan faham Al-Ghazali. Dia secara tegas menentukan batas keberadaan antara “Ada”-Nya Tuhan dan “ada”-nya makhluk, sebagaimana kutipan dari Kitab Bonang (Schrieke, 1916 ; 103) berikut ini :

Teks :
“Satuhune ananing Pangeran kang asifat Saja Langgeng Mahasuci tan Lyan ananira uga, kang tan bastu-jisim ananira kang purba, andadeken kang asifat sukma jati tan anuksma  tan sinuksma tan awor lan saliwing (du)madi kabeh, rehing langge(ng) anani(ng) kang purba, mapan ananira Mahasuci suksmanira wibuh sampurna elok Mahamulya Mahaluhur, utawi ananira tan ana wikana ing suksmanira tan lyan(ing) piambekira kang wikan ing suksmanira pribadi”

Terjemahan:
“Sesungguhnya adanya Tuhan itu bersifat Tunggal, Langgeng dan Mahasuci. Dan itu bukan sesuatu yang lain daripada Ada-Nya (kodrat-Nya) yang tidak material, yang pada awal mula memberikan “ada” kepada segala sesuatu. Sesungguhnya Dia tidak termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan buah ciptaan-Nya, karena Dia “Tidak ada” sebelum segala sesuatu, dan bersifat Langgeng dan Mahasuci. Sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi segala sesuatu, sempurna, elok, Mahamulia, Mahatinggi dan Mahaluhur. Mengenai hakekat-Nya, tidak seorang pun yang tahu akan sifat-Nya yang lepas dari kebendaan (suksma). Hanya Dia sendiri yang maklum (mengetahui) akan Jiwa-Nya”.

Melihat isinya seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa Buku Bonang (Het Boek van Bonang) tergolong Kepustakaan Islam Santri yang ditulis dalam bentuk “serat Wirid”.
Menurut penelitian G.W.J. Drewes, sebenarnya kitab tersebut lebih tepat berjudul “The Admonition of Seh Al-Bari” (Pitutur Seh Al-Bari), karena cerita Seh Al-Bari mendominasi bagian isi kitab tersebut. (Simuh, 1988 ; 23).

b. Primbon Jawa Abad Keenam Belas, “Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw”. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa yang bergaya jawa tengahan. Isinya berupa kumpulan doa-doa, jampi-jampi, serbaneka masalah agama Islam, terutama aspek akhlaknya. Pada bagian akhir kitab tersebut telah diuraikan tentang “Tanda-tanda orang yang sedang berkedut”, sebagaimana kutipan berikut ini. (Drewes,GWJ, 1954 : 94) :

Teks :
“… lamun kekeduten sarandune awake, (ngalamate) aningali sarwa endah. Lawan kekeduten sirahe, ngalamate olih dolalating (daulating) wong agung kalawan kinasihan dening wong agung. Lawan kekeduten embun-embune, ngalamate dadi mantri. Lawan kekeduten ing bathuk, ngalamate olih artha kang halal…Lawan kekeduten ing jijithok, (ngalamate) enteng atine. Lawan kekeduten alise kang tengan, ngalamate oleh artha akatah. Lawan kekeduten alise kang kiwa, ngalamate atetemu kalawan kakasih… “

Terjemahan:
“… Jika yang berkedud itu sekujur tubuhnya, itu pertanda akan melihat semua yang indah. Jika yang berkedut itu kepalanya, suatu pertanda akan mendapatkan anugerah dari pembesar/pejabat, juga dikasihi oleh mereka. Berkedud pada ubun-ubun kepalanya adalah pertanda menjadi Menteri. Berkedud pada dahinya, pertanda akan mendapat harta yang halal… Berkedud pada tengkuknya, pertanda gelap hatinya. Berkedud pada alisnya yang kanan, pertanda akan memperoleh harta yang banyak. Dan berkedud pada alisnya yang kiri, pertanda akan bertemu dengan kekasihnya…”
Penulis kitab tersebut belum dapat diketahui namanya. Namun demikian, kitab ini diperkirakan muncul pada paruh kedua abad ke-16 masehi, semasa dengan Buku Bonang.

c. Suluk Sukarsa. Kitab ini tergolong tua usianya, lebih tua daripada Buku Bonang dan Buku Primbon di atas. Isinya menyangkut ajaran mistik Islam kejawen yang berfaham heterodoks. Uraian mengenai ajarannya ada kemiripan dengan apa yang ada pada kitab Dewa Ruci. Hanya saja kitab Suluk Sikarsa ini diberi baju Islam. (Poerbatjaraka, 1952 ; 100). Kitab tersebut berbahasa Jawa Tengahan, yang memakai tembang kuno “Sloka”. Dalam salah satu bagiannya, Suluk Sukarsa terkadang memakai perumpamaan atau kata simbolis Laut dan Perahu untuk menjelaskan ajaran Manunggaling kawula-Gusti, yang mirip sekali dengan uraian Hamzah Fansuri dan murid-muridnya. Berikut ini sebagian kutipan dari kitab tersebut, (Poerbatjaraka, 1952 ; 102 – 103) :

Teks :
“Ki Sukarsa wus alayar // ing sakatahing segara // margane tekang ma’rifat // tan aetung urip pejah // damare murup tan pejah // panganggo mulya tan rusak // asangu tan kena telas // angungsi ing desa Jimbar // Ki Sukarsa dennya layar // perahu sabar darana // shalat mangka tiyangira // kinamuden pangawikan // linayaran amangun hak // winelahan niyat donga // den watangi paneneda // den pulangi lawan tobat // den labuhi sukurullah // den taleni lan kana’at // den pulangi lan wicara // den damari ma’rifat // Ki Sukarsa denya layar // wus tekeng segara rahmat // kawasa denira layar // wus tekeng segara ora …”

Terjemahan :
“Ki Sukarsa telah berlayar di segala lautan. Jalannya sampai ke ma’rifat, tak menghitung hidup mati; diannya menyala tiada padam, pakaian mulia tiada rusak; berbekal tak kunjung habis, mengungsi ke desa luas. Ki Sukarsa layarnya, berperahu sabar-darana. Shalat akan menjadi tiangnya; berkemudi pangawikan (yang) dilayari membangun hak, berkayuhkan niat dan doa; bergalahkan permintaan, dibubuh dengan tobat… Ki Sukarsa berlayarnya telah sampai ke lautan rahmat. Kuasa pula berlayar, hingga sampai ke lautan Tiada…”

Kemiripan syair tersebut dengan kidung Hamzah Fansuri terlihat pada kutipan berikut ini :
“Wujud Allah nama perahunya… iman (kepada) Allah nama kemudinya, yakin akan Allah nama pawangnya, taharat dan istinjak nama lantainya, kufur dan maksiat air ruangnya, tawakkal akan Allah juru batinnya, illa akan talinya, Kamal Allah akan tiangnya…”.

Hal itu menunjukkan, bahwa pada saat itu pengaruh ajaran Hamzah Fansuri yang berfaham tasawwuf heterodoks (yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi) diduga telah masuk ke pulau Jawa.

d. Kitab Kojah Jajahan.  Giri Prawata merupakan pusat pemerintahan Ulama pada waktu sebelum dan sesudah berdirinya kerajaan Demak. Ditegaskan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 104 – 107), bahwa pada saat itu telah muncul sebuah kepustakaan yang berjudul Kitab Kojah Jajahan, yang diduga berasal dari Giri Prawata. Isinya menyangkut ajaran akhlak atau budi pekerti yang baik, yang digubah dalam bentuk Cerita. Gaya bahasanya sangat indah, akan tetapi susunan kata-katanya banyak yang rusak. Kerusakan ini mungkin karena penulisnya berasal dari daerah pesisir utara Jawa yang logat bahasanya terpengaruh oleh bahasa luar Jawa. Dilihat dari segi isinya, cerita yang ditampilkan nampaknya masih baru, artinya baru saja masuk ke pulau Jawa, yang diduga berasal dari negara Arab yang dibawa masuk ke Jawa oleh para pedagang muslim.
Inti dari cerita kitab tersebut adalah, bahwa ada seorang Patih yang bernama Kojah Jajahan yang mempunyai budi pekerti yang sangat baik dan luhur, sangat berbakti kepada Rajanya, tekun beribadah, sangat adil dan bijaksana. Perangai semacam ini membuat Sang Raja sangat hormat dan mengasihinya, sehingga menyebabkan para pembesar lain irihati kepada Patih Kojah Jajahan,  maka timbullah fitnah terhadap dirinya beserta keluarganya yang mengakibatkan kematiannya.

2. Jaman  Pajang  dan  Mataram.

a. Kitab Nitisruti. Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa pada jaman Pajang dapat dikatakan tidak sesubur yang dialami pada jaman sebelumnya  (jaman Demak) dan sesudahnya (jaman Mataram). Kemungkinan hal ini disebabkan pengaruh politik pada saat itu, selain bahwa usia kerajaan Pajang sendiri hanya berlangsung singkat, yakni antara tahun 1550 – 1588 M, sehingga Sultan Hadiwijaya tidak sempat memikirkan perkembangan kebudayaan (kesusastraan). Meskipun demikian, ada satu kitab yang diduga muncul pada jaman ini, yakni kitab Nitisruti yang ditulis oleh Pangeran Karanggayam dari Pajang.
Menurut Poerbatjaraka (1952 ; 112 – 114), kitab tersebut meskipun ada pada jaman Pajang, akan tetapi penulisannya dikerjakan pada jaman Mataram, tepatnya ditulis pada  tahun 1591 M, sebagaimana kutipan berikut ini :

Teks :
“Punika kakawin Nitisruti anggitanipun Pangeran ing Karanggayam, lenggahipun empu jangga ing Pajang. Panganggitipun saking karsa dalem Kanjeng Sinuhun ing Pajang. Wiwitan dumugi ing wekasan sadaya 92 padha.
Sasampunipun tamat panganggitipun lajeng katedak sinerat dening Arya Dadap-tulis, lenggahipun panyarikan dalem ing Pajang. Wiwiting panyerat ing malem Rebo tanggal kaping 14 wulan Asyura ing tahun wawu, windu Sancaya nalika panganggitipun : Bahni Mahaastra Candra … Dados angkaning warsa 1513”.

Terjemahan :
“Inilah kakawin Nitisruti karangan Pangeran di Karanggayam, kedudukannya sebagai Pujangga di Pajang. Ia mengarang atas kehendak Sinuhun Pajang, dari mula sampai pada akhirnya semuanya ada 92 bait.
Sesudah selesai dikarangnya itu, lalu disalin oleh Arya Dadap-Tulis, kedudukannya sebagai Juru Tulis Raja di Pajang, Mulai menulisnya pada malam Rabu tanggal 14 bulan Asyura tahun Wawu, windu Sancaya. Sengkala tatkala mengarangnya adalah Bahni Mahaastra Candra… Jadi angka tahunnya 1513 Syaka (atau tahun 1591 masehi)…”

Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa semakin subur setelah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Kalangan istana Mataram sendiri kelihatannya sangat berkepentingan untuk mempertemukan dan memadukan antara Tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam, sehingga muncullah beberapa Kepustakaan yang lebih didominasi oleh corak Kepustakaan Islam Kejawen. Keadaan ini semakin berkembang dan mencapai puncak kejayaannya pada jaman hidupnya R.Ng. Ranggawarsita dan Raja Mangkunegara IV. (Simuh, 1988 ; 23 – 25).

b. Kitab Suluk Wujil dan Suluk Malang Sumirang. Kitab-kitab Suluk yang diduga muncul pada jaman pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (tahun 1601 – 1613 M), antara lain adalah Suluk Wujil dan kitab Suluk Malang Sumirang, yang keduanya sama-sama berisi ajaran tasawwuf.
Kitab Suluk Malang Sumirang merupakan  sebuah kitab mistik islam kejawen yang digubah oleh Sunan Panggung, seorang putra Sunan Kalijaga. Waktu penulisannya berdekatan dengan penulisan kitab Suluk Wujil. Isi kandungannya menyangkut ajaran mistik Islam yang berfaham heterodoks, sebagaimana faham yang dianut oleh Seh Siti Jenar dan murid-muridnya. Kitab ini kurang menghargai syariat, bahkan menolak ajaran Islam ortodoks. Pada beberapa bait syairnya, kitab ini menjelaskan bahwa puncak kesempurnaan seseorang adalah terletak pada ketidakpercayaannya kepada Tuhan (“Kapir-kupur”), sebagaimana kutipan berikut yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 110 – 111) :
Teks :
“(11). Dosa gung alit tan den singgahi // ujar kepar kupur kang den ambah // wus luwung pasike pane // tan adulu dinulu // tan angrasa tan angrasani // wus lan ana pinaran // pan jatining suwung // ing suwunge iku ana // ing anane iku surasa sejati // wus tan ana rinasan.”

Terjemahan :
“(11). Segala dosa besar-kecil tak disingkiri, perkataan kupur kapir yang diturut, telah mabuk (akan) kelengkapannya, tiada pandang memandang, tiada merasa, tak pula melepas rasa, tiada lagi yang harus dituju, memang sesungguhnya kejatiannya ialah kekosongan, dalamkekosongan ada hadir, dan dalam hadir itu (tersimpan) makna sejati, sudah tiada ADA yang harus dirasakan”.

Sebagaimana isi kandungan di atas, Tuhan dilukiskan secara negatif, alias “Suwung” (kekosongan). Ide ini nampaknya dipengaruhi oleh ide-ide yang umum tersebar di pulau Jawa sebelum datangnya agama Islam, yang merupakan ciri khas kitab Suluk Islam heterodoks, yakni melukiskan Allah sebagai “Ketiadaan” atau “Suwung”. Pandangan seperti ini juga diceritakan didalam Buku Bonang, yang selanjutnya dipertentangkan dengan pandangan bahwa Allah itu lebih dari apa yang mereka gambarkan sebagai “Ketiadaan” itu. (Schrieke, 1916 ; 94 – 96). Hal ini menunjukkan bahwa pandangan kaum heterodoks tersebut sudah  tersebar dengan luasnya di kalangan masyarakat Jawa, di samping juga pandangan ortodoks.
Teka-teki mengenai arti “Suwung” atau “Kekosongan” sebagaimana tersebut dalam kutipan di atas, sering juga dijumpai pada kitab-kitab Islam Kejawen lainnya. Misalnya pada kitab Gatoloco terdapat sebuah ungkapan dalam salah satu bagian syairnya : “Kinen sujud Nabi Adam // iku dudu Adam Nabi // Adam iku suwung wungwang // ingkang langgeng kahanane… “. Dan juga pada kitab Centhini dan kitab-kitab sejenis lainnya, sehingga sangat sukar menangkap arti “Suwung” yang sebenarnya, apakah dalam pengertian obyektif ataukah subyektif, dalam keadaan ekstasis atau Fana’?. (Zoetmulder, 1991 ; 209).


Perkembangan Islam Di Jawa Sampai Jaman Kerajaan Pajang






Agama Islam di Jawa mengalami perkembangan yang unik. Sebelumnya, orang Jawa memuja roh nenek moyang dan percaya terhadap adanya kekuatan daya sakti. Kepercayaan tersebut belum menunjukkan diri sebagai suatu agama secara nyata dan sadar. Pada taraf  keagamaan seperti itu, suku Jawa menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu, sampai pada akhirnya agama tersebut menjadi agama resmi Kerajaan Hindu di Jawa. Pada masa Airlangga, kerajaan menganut agama sinkretis Syiwa-Budha Tantra, yang kemudian diteruskan oleh kerajaan-kerajaan yang muncul belakangan. Agama Syiwa dan Budha Mahayana dapat hidup berdampingan dan menjadi agama resmi kerajaan Majapahit, sampai akhirnya kerajaan tersebut runtuh dan digantikan oleh kerajaan Daha Kediri, lalu oleh kerajaan Demak.
Kedatangan agama Islam di Jawa bersamaan dengan kedatangan para pedagang muslim ke pulau Jawa yang diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Hal ini terbukti dengan ditemukannya kuburan islam tertua, Fathimah binti Maimun, di desa Leran Manyar Gresik Jawa Timur, yang berangka tahun 1082 M. Meskipun demikian, hal ini belumlah berarti telah terjadi adanya proses Islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur.
Sejak akhir abad kesebelas sampai abad ketigabelas masehi, sangat sedikit bukti-bukti sejarah tentang kedatangan agama Islam tersebut. Akan tetapi sejak akhir abad ketigabelas sampai abad-abad berikutnya, terutama saat kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesarannya, telah banyak diketemukan bukti-bukti sejarah, yang antara lain telah diketemukannya beberapa puluh nisan kuburan orang Islam di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Di samping itu terdapat penemuan berita dari Ma Huan, bahwa pada  tahun 1416 M terdapat sekelompok masyarakat muslim yang bertempat tinggal di daerah Gresik. Hal itu menunjukkan, bahwa telah terdapat suatu masyarakat muslim, baik di kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa maupun di sekitar pusat kerajaan Majapahit. (Poesponegoro,M.D., dkk, 1993; 4-5).
Pertumbuhan masyarakat muslim di sekitar beberapa kota pelabuhan erat hubungannya dengan perkembangan jalur pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Islam, yang pada saat itu telah mempunyai kekuatan ekonomi dan politik di kerajaan Samudra Pasai dan Malaka pada abad 14 dan 15 masehi. Pertumbuhan masyarakat muslim tersebut mungkin belum dapat dirasakan akibatnya di bidang politik oleh pihak kerajaan Majapahit. Oleh karena kerajaan ini masih mementingkan usaha untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pertumbuhan masyarakat muslim mencapai bentuk kekuatan politik, seperti munculnya kerajaan Islam Demak, pada saat kerajaan Majapahit mengalami kelemahan di bidang politik akibat terjadinya pertentangan kepentingan di antara keluarga istana, seperti yang ditunjukkan oleh adanya pemberontakan Ranggalawe di Tuban pada tahun 1295 M, pemberontakan Sadeng, dan juga penyerangan terhadap pusat kerajaan Majapahit oleh Raja Girindrawardhana dari kerajaan Kediri. (Poesponegoro,M.D.,dkk. 1993 ; 178-179).

1.      Proses dan Saluran Islamisasi
Adapun mengenai cara proses Islamisasi beserta saluran-salurannya yang dominan sampai terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, diantaranya adalah melalui : 1. Perdagangan;  2. Perkawinan;  3. Pendidikan pesantren;  4. Ajaran-ajaran tasawuf;  dan 5. Kesenian, sebagaimana yang akan diuraikan di bawah.

a. Perdagangan. Saluran Islamisasi pada permulaan adalah melalui perdagangan. Para pedagang muslim mula-mula berdatangan ke kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir utara Jawa. Diantara mereka ada yang bertempat tinggal sementara dan ada yang menetap di suatu perkampungan tersendiri. Mereka setiap hari bergaul dan berbaur dengan para pedagang pribumi dan penduduk di sekitar daerah pelabuhan. Lambat laun pergaulan dan pembauran mereka tentu membawa perubahan dalam bidang kepercayaan atau agama di kalangan penduduk dan pedagang pribumi tersebut. Masyarakat pribumi yang mula-mula menerima Islam, tentu saja, adalah para pedagang yang sering berhubungan dengan mereka, lalu diikuti oleh para pekerja atau pembantu, kemudian para penduduk sekitar daerah pelabuhan, sampai akhirnya melebar ke daerah-daerah sekitarnya. Bahkan diantara penduduk yang masuk Islam tersebut ada yang memiliki status terhormat di tengah-tengah masyarakatnya, seperti para syahbandar, adipati, dan kaum bangsawan, sehingga sangat menguntungkan bagi proses Islamisasi di kalangan masyarakat yang lebih luas lagi. Tersebarnya agama Islam secara cepat agaknya bukan hal yang mustahil, apalagi karena agama Islam merupakan agama Missi yang mendorong para pengikutnya untuk menyebarluaskannya kepada orang lain.

b. Perkawinan.  Para pedagang muslim yang bertempat tinggal di sekitar kota-kota pelabuhan tersebut, tentu ada yang kaya, pandai, bahkan menjadi syahbandar, sehingga mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya. Apalagi mereka biasanya tidak membawa serta isteri dan anak-anaknya, sehingga hal itu mendorong mereka untuk memperistri penduduk pribumi setempat. Para wanita pribumi yang akan diperistiri itu tentu harus disyahadatkan atau diislamkan terlebih dahulu. Sebab tanpa itu, maka perkawinannya dianggap tidak sah; apalagi pengislaman model seperti ini sangat sederhana, sehingga para calon isteri merasakan senang melakukannya. Islamnya isteri, paling tidak, akan diikuti oleh anak-anak keturunannya, yang lambat laun akan diikuti juga oleh keluarga dan kerabat dekat atau jauh.
 Saluran Islamisasi melalui Perkawinan ini akan lebih sukses dan menguntungkan jika dilakukan antara pedagang muslim, ulama, muballigh atau penguasa muslim dengan wanita anak Bangsawan, Bupati, atau Raja. Bukan hanya keuntungan di bidang ekonomi dan strategi dakwah, akan tetapi juga dalam bidang politik. (Poesponegoro,M.D.,dkk., 1993 ; 189-190)).
Cerita-cerita babad, hikayat, dan bahkan sejarah menceritakan tentang adanya perkawinan antara tokoh-tokoh muslim dengan anak bangsawan di Jawa. Misalnya perkawinan antara Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila,  putri Bupati Tuban; Syeh Maulana Ishak mengawini Dewi Sekardadu, puteri Raja Blambangan; Raden Patah, yang putera Raja Brawijaya, diambil menantu oleh Sunan Ampel; Raden Paku Muhammad Ainul Yakin (Sunan Giri) mengawini putri Sunan Ampel; dan lain-lain. Dengan saluran Perkawinan tersebut, akhirnya agama Islam berkembang dengan cepatnya, bahkan sudah mulai menyusup masuk kedalam istana kerajaan Hindu Majapahit.

c.  Pendidikan Pesantren.  Pendidikan pesantren berperan besar dalam mempercepat proses Islamaisasi. Sistim pendidikan pesantren sebenarnya sudah dikenal sejak jaman pra-Islam, yakni yang lebih dikenal dengan lembaga pendidikan Mandhala, yang digunakan untuk mendidik para calon Pendeta Hindu. Siswanya terbatas pada kalangan Brahmana. Lembaga pendidikan model seperti ini kemudian dikembangkan oleh para Wali atau guru pesantren menjadi suatu lembaga pendidikan Islam yang sekarang lebih dikenal dengan nama “Pesantren”, dimana siswanya terbuka untuk umum dari berbagai lapisan masyarakat dan tidak terbatas pada kalangan atau golongan tertentu.
Pesantren bukan hanya sekedar sebagai tempat pendidikan Islam, akan tetapi juga sekaligus menjadi tempat tinggal Guru beserta keluarganya dan para santrinya. Komplek-komplek tempat tinggal mereka tersebut, kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Pondok Pesantren”.
 Tujuan  Pesantren ini, sama halnya juga dengan tujuan Mandhala, adalah untuk mempersiapkan kader-kader ulama dan muballigh yang siap menyebarkan agama Islam kepada masyarakat luas. Disamping juga untuk meningkatkan kualitas pengetahuan agama Islam para santrinya. Para santri setelah pulang diharapkan menjadi penyebar Islam dan atau mendirikan Pesantren-pesantren di sekitar daerah tempat tinggalnya. (Koentjaraningrat, 1984 ; 60, dan Zhafier,Z., 1982 ; 17-18)

d. Ajaran Tasawwuf.  Ajaran tasawwuf merupakan salah satu saluran Islamisasi yang penting di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Melalui ajaran tasawwuf ini, agama Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Karena ajaran tasawwuf memiliki beberapa kesamaan unsur dengan kepercayaan lama (Hindu dan Budha) yang dianut oleh mayoritas masyarakat saat itu, yakni kesamaan dalam hal mementingkan aspek batiniah atau mistik, bahkan memiliki ciri-ciri yang hampir sama dalam hal ajaran Ketuhanannya. (Koentjaraningrat, 1984; 53. Dan juga Poesponegoro,M.D., dkk., 1993; 192).
Menurut Martin van Bruinessen (1993 ; 15), ajaran Islam dan tulisan-tulisan paling awal karya orang Indonesia adalah bercorak tasawwuf. Hal itu tidak musatahil, karena pada saat itu (sekitar abad 13 – 14 masehi), tasawwuf  merupakan corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Ajaran-ajaran kaum sufi yang sangat berpengaruh terhadap para pengarang generasi pertama di Indonesia adalah ajarannya Ibnu Arabi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Sebagaimana dicantumkannya nama kitab Ihya’ Ulumiddin, karya Imam Al-Ghazali, didalam Buku Bonang  (Het Boek van Bonang) dan buku Een Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw (Primbon Jawa Abad Keenambelas).

e. Cabang-cabang Seni dan Aspek-Aspek Budaya Lainnya.  Cabang-cabang seni yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Jawa, misalnya wayang, seni sastra, dan lain-lain, dijadikan sebagai saluran dan cara-cara Islamisasi oleh para muballigh Wali Sanga. Demikian juga berbagai bentuk tradisi dan aspek-aspek budaya lainnya dilestarikan dan dibiarkan tumbuh subur, bahkan dikembangkan menjadi suatu bentuk yang baru, sekaligus dijadikan sebagai sarana dan metode berdakwah, setelah mereka (Wali Sanga) memasukkan unsur-unsur keislaman kedalamnya.
Wali Sanga, khususnya Sunan Kalijaga, sangat berjasa dalam mengembangkan kesenian wayang, dan menjadikannya sebagai metode dakwahnya. Cerita-cerita (lakon) wayang  diambil dari kitab Mahabarata, namun diselipi dengan muatan ajaran islam. Misalnya ajaran Rukun Islam dipersonifikasikan kedalam bentuk  Pandawa Lima, yakni yang terdiri dari Puntadewa (simbol Syahadat), Bima atau Wrekudara (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat) dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (personifikasi dari ajaran Puasa Ramadhan dan Haji).  Lakon Jimat Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan ajaran Tauhid, kalimat Syahadat. Silsilah atau garis keturunan para Dewa dihubungkannya dengan Nabi Adam, yakni bahwa mereka, para Dewa itu, dipahami sebagai anak keturunan Nabi Adam, bukan sebagai Dzat setingkat Tuhan.
Beberapa peralatan wayang diadakan pembaharuan atau diciptakan secara baru sama sekali, seperti Kelir, Blencong, batang pohon pisang / gedebog, Gunungan yang menyerupai mustaka Masjid Demak. Demikian pula beberapa nama dan istilah dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman, baik dari segi bentuk istilahnya, maupun segi pemaknaannya. Misalnya istilah “Dalang” adalah diambil dari kata bahasa arab “Dalla” yang berarti orang yang menunjukkan. Nama “Petruk” diambil dari kata bahasa arab “Fatruk”, yang berarti  tinggalkanlah; nama “Bagong”, berasal dari kata arab “Bagha” yang artinya durhaka, zhalim; nama “Semar”, dari kata arab “Syimr”, artinya yang arif dan waspada.  (Ismunandar,K., 1988 ; 95-103).
Pertunjukan wayang selalu dihubungkan dengan dakwah Islamiyah, seperti Sunan Bonang menanggap wayang, lalu diadakan dialog dengan para muridnya tentang tema yang dilakonkan Sang Dalang (Suluk Wujil bait 89 s.d. 92). Demikian juga setiap datangnya bulan Mulud atau Rabiul awwal, di alun-alun Kraton Demak selalu diadakan acara pertunjukan wayang dan para pengunjungnya tidak ditarik biaya sepeser pun, mereka hanya disuruh membaca kalimat syahadat.
Demikianlah saluran-saluran dan cara-cara Islamisasi yang dilakukan oleh para muballigh yang terdiri dari  ulama, pedagang, guru agama, kaum sufi dan masyarakat muslim pada umumnya. Sehingga atas jasa mereka itu, agama Islam berkembang dangan cepat dan pesat, serta dapat diterima secara luas oleh masyarakat Jawa.


2.      Perkembangan  Agama Islam

Perkembangan agama Islam yang cukup pesat terjadi setelah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa bermunculan, seperti kerajaan Islam di Demak, Pajang, Mataram, Banten, Cirebon dan lain-lain. Agama Islam tidak hanya berkembang di pesisir utara Jawa, malahan berkembang sampai ke daerah-daerah pedalaman Jawa. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga mengalami beberapa hambatan dan perlawanan di sejumlah daerah tertentu, khususnya daerah pedalaman. 

a. Perkembangan Islam pada jaman Kerajaan Demak.  Kerajaan Islam Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M, yang saat itu masih berada didalam naungan kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak menjadi kerajaan yang berdaulat penuh pada tahun 1517 M. Tepatnya setelah kerajaan Majapahit yang saat itu berada didalam kekuasaan Raja Girindrawardhana dari kerajaan Daha Kediri,  diserang dan dapat dikalahkan pasukan Raden Patah. (Poesponegoro,M.D., dkk,  1993 ; 19-21).  Pusat pemerintahan Kerajaan Demak berada di daerah pesisir utara Jawa Tengah, yakni di Bintara Demak. Sepanjang perjalanan hidupnya,  Kerajaan ini hanya mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan, yakni : 1. Raden Patah (tahun 1478 – 1518);  2. Adipati Yunus (1518 – 1521);  3. Sultan Trenggono (1521 – 1550).
 Agama Islam pada masa ini dapat dikatakan tumbuh dan berkembang dengan cukup pesat. Islam ditetapkan sebagai agama resmi kerajaan dan dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dukukangan dari kerajaan ini, agama Islam dapat berkembang dan melebarkan sayapnya di seluruh pulau Jawa, baik di daerah sepanjang pesisir utara, maupun daerah-daerah pedalaman Jawa.
Para Walisanga pada saat itu mempunyai peranan yang cukup besar dalam menentukan kehidupan politik, agama, pendidikan, dan sosial budaya lainnya. Didalam cerita-cerita babad pun sering dikatakan, bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Demak terhadap kerajaan Majapahit, yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Kediri, adalah atas persetujuan dan dukungan para Walisanga yang dikordinir oleh Sunan Giri. (Lor 6379, jilid 9, 1988; 141 – 149). Bahkan mereka juga berperan sebagai penasehat Sultan dalam mengambil setiap kebijakan penting tertentu. Misalnya keputusan tentang eksekusi hukuman mati terhadap beberapa tokoh sufi  penyebar faham Wahdatul Wujud, yang dipandang telah menyimpang dari faham resmi kerajaan dan menyesatkan masyarakat awam, sebagaimana yang terjadi pada kasus Ki Ageng Pengging, Seh Siti Jenar, dan Pangeran Panggung. (LOr 6379 jilid 9, 1988 ; 154, 166 dan 170).
Lepas dari benar dan tidak cerita di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa pada saat itu telah terjadi pertarungan faham tasawwuf, antara faham ortodoks (tasawwuf sunni) dan faham heterodoks (tasawwuf Syi’iy, wahdatul wujud). Faham ortodoks lebih berkembang di sepanjang daerah-daerah pesisir utara Jawa, sedangkan faham heterodoks lebih berkembang di daerah-daerah pedalaman Jawa yang jauh dari pusat kerajaan Demak.. Dengan dukungan Raja Demak, Walisanga dapat menekan dan menghambat perkembangan faham heterodoks. Meskipun faham ini tidak seluruhnya berhasil ditumpas. Keadaan ini menjadi lain pada saat berdirinya kerajaan Islam Pajang dan Mataram Islam, yang pusat kerajaannya berlokasi di wilayah pedalaman Jawa.

b. Perkembangan Islam pada jaman Kerajaan Pajang dan Mataram. Kerajaan Pajang merupakan penerus kerajaan Demak, yang didirikan pada tahun 1550 oleh Mas Karebet, alias Jaka Tingkir, seorang putra dari Ki Ageng Pengging yang diambil menantu oleh Sultran Trenggono. Setelah menjadi Raja, ia memakai nama Sultan Hadiwijaya. Ibu kota kerajaannya dipindahkan dari Demak ke Pajang. Istana Pajang merupakan istana kerajaan  di daerah pedalaman Jawa pertama kali yang menjadi pusat peradaban Islam. Berdasarkan laporan sejarah yang dikuatkan oleh beberapa penemuan arkeologi menunjukkan, bahwa lokasi istana Pajang berada di desa Butuh, dekat Kartasura. (Koentjaraningrat, 1984; 58).
Perpindahan istana kerajaan dari Demak ke Pajang sebagai pertanda bahwa pengaruh Islam dari pantai utara Jawa berhasil masuk ke daerah pedalaman, meskipun agama Islam pada saat itu masih dianggap asing oleh penduduk daerah tersebut. Para penduduk, di satu sisi, tidak mendapat kesempatan untuk mengenal Islam dengan baik, sebagai akibat dari para Walisanga yang banyak berdomisili di pesisir utara Jawa, dan di sisi lain, mereka masih mempertahankan unsur-unsur tradisi Jawa yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha, sehingga timbul usaha mensinkretiskan antara kepercayaan Islam dan tradisi jawa tersebut. (Koentjaraningrat, 2984 ; 59 dan 315.  Hamka, 1986 ; 51).
Kerajaan Mataram Islam. Usia kerajaan Pajang hanya sebentar, berkisar antara tahun 1550 – 1588 M. Selanjutnya digantikan oleh kerajaan Mataram Islam, setelah Sultan Hadiwijaya dapat dikalahkan pada tahun 1588 oleh Sutawijaya, yang kebetuan adalah anak angkatnya sendiri. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Pajang ke wilayah pedalaman Mataram, yakni suatu wilayah yang dulunya pernah ditempati kerajaan Mataram kuno (yang beragama Hindu-Budha), tepatnya di daerah aliran sungai Opak dan Progo, di sebelah selatan gunung Merapi dan Merbabu. 
Sutawijaya wafat pada tahun 1601 M. Kedudukannya lalu diganti oleh anaknya yang Mas Jolang, alias Pangeran Seda Krapyak, yang memerintah antara tahun 1601 –1613 M. Selanjutnya diperintah oleh Mas Rangsang, alias  Sultan Agung antara tahun 1613 – 1645. Pada masanya ini, kerajaan Mataram Islam mengalami puncak kejayaan. Perkembangan agama Islam di daerah pedalaman Mataram tidak berbeda jauh dengan periode kerajaan Pajang, dimana kerajaan ini masih berusaha mensinkretiskan kepercayaan Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama, baik dalam hal kesenian dan kesusastraan, maupun dalam bidang keagamaan. (Koentjaraningrat, 1984 ; 49).
Perkembangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik Mataram itu sendiri. Setelah kerajaan ini berdiri, daerah-daerah persisir utara jawa dan beberapa daerah yang masih mendukung kerajaan Pajang selalu menunjukkan permusuhannya dengan Mataram yang mendapatkan dukungan dari daerah-daerah pedalaman Jawa. Sutawijaya berusaha keras untuk menundukkan daerah-daerah pesisir tersebut, lalu diteruskan oleh putranya, Mas Jolang. Meskipun Mas Jolang dapat menguasai daerah Demak, namun belum sepenuhnya berhasil menguasai daerah-daerah pesisir yang lain, karena ia keburu wafat pada tahun 1613 M. Meskipun demikian, Raja kedua Mataram tersebut sempat mendorong pengembangan kebudayaan Jawa-Islam. Beberapa serat Suluk diperkirakan muncul pada periode Mas Jolang ini, diantaranya adalah Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang hasil gubahan Sunan Panggung, putra Sunan Kalijaga.
Raja ketiga, Sultan Agung, meneruskan usaha Mas Jolang. Ia berhasil menundukkan sebagian besar wilayah kerajaan Demak dan Pajang kedalam pangkuan Mataram. Bersamaan dengan itu, Sultan Agung berusaha meredam pengaruh Islam di kerajaan Mataram di satu sisi, dan mempertahankan unsur-unsur kepercayaan lama di sisi lain, lalu disinkretiskan, yang hasilnya antara lain berupa sistim Penanggalan Jawa, yakni bentuk perpaduan antara Kalender Syaka dan Hijriyah. (Koentjaraningrat, 1984 ; 315-317.  Simuh, 1988; 23 – 24).