Nama asli Sunan
Bonang adalah Raden Ibrahim. Ia dilahirkan di Tuban dari hasil perkawinan
antara Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila alias Dewi Condrowati binti Aria Teja
III. Sunan Ampel sendiri berasal dari luar Jawa, putera seorang Ratu dari
Champa. Sementara Nyi Ageng Manila adalah puteri seorang Bupati Tuban.
Saudara-saudara
Sunan Bonang, menurut beberapa sumber cerita babad, tarikh atau sejarah,
berjumlah 6 orang, yakni 4 orang merupakan saudara kandung dan 2 orang
saudara seayah. Saudara sekandung yang merupakan hasil perkawinan Sunan Ampel
dengan Nyi Ageng Manila adalah : 1) Siti Syariah; 2) Siti Muthmainnah, isteri Sunan Wilis
Cirebon; 3) Siti Khafshah, isteri sayyid
Ahmad dari Yaman; 4) R. Qosim alias Sunan Drajat Sidayu. Sementara 2 orang
saudara seayah, yang merupakan hasil perkawinan antara Sunan Ampel dengan Dewi
Karimah binti Ki Ageng Supo Bungkul dari Kembangkuning Surabaya adalah : 1)
Dewi Murthasiyah, isteri Sunan Giri; dan
2) Dewi Murtasimah, isteri Raden Patah Sultan Bintara Demak. (Bisyri
Musthafa,KH, 1987; 6. Dan Umar Hasyim,
1983 ; 35).
Menurut sumber yang
lain, Majalah Aula No. 08/tahun XV/Agustus 1993, halaman 33, dikatakan bahwa
Siti Khafshah adalah isteri Sunan Kalijaga, bukannya isteri sayyid Ahmad dari
Yaman. Dengan demikian, Sunan Kalijaga merupakan adik ipar Sunan Bonang. Hal
ini sesuai dengan keterangan didalam kitab Suluk Wujil, bahwa Sunan
Bonang memanggil Sunan Kalijaga atau Seh Malaya dengan panggilan “Adik” atau “Yayi”.
Sunan Bonang
memperistri Dewi Hirah binti Dewi Nawangwulan binti Ki Ageng Tarub, atau Dewi
Hirah bint R. Jakandar (Sunan Malaka) dari Madura. Hasil perkawinannya ini
melahirkan seorang puteri bernama Dewi Ruhil, yang nantinya diperisteri oleh
Sunan Kudus. (Bisri Musthofa, KH., 1987; 8-11).
Dalam cerita-cerita
babad dikatakan, Sunan Kudus menikahi
Dewi Rukhil binti Sunan Bonang. Dengan begitu, silsilahnya bertemu dengan
silsilah isterinya pada datuk yang bernama Ibrahim Asmarakandi. Dari
perkawinannya ini ia mendapatkan seorang putra bernama Amir Hasan.
Lepas dari salah dan
benarnya cerita mengenai silsilah atau hubungan darah di atas, yang terpenting
adalah suatu informasi bahwa Sunan Bonang bukanlah berasal kalangan rakyat
biasa, melainkan ia adalah seorang bangsawan yang mempunyai hubungan darah
dengan pembesar kerajaan Champa, Bupati Tuban dan kerajaan Majapahit, selain
juga keturunan pembesar agama (Walisanga).
Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan jika peranan Sunan Bonang di
bidang Dakwah Islamiyah dapat dikatakan cukup berhasil, karena mendapatkan
dukungan dari pihak penguasa, kaum bangsawan dan para ulama atau Walisanga.
Aktifitas Sunan
Bonang diperkirakan antara tahun 1475 – 1525 M. Selama kurun waktu tersebut,
peranannya cukup besar, baik di bidang Dakwah Islamiyah besama-sama dengan para
Walisanga yang lain, di bidang pengembangan ajaran tasawwuf, sosial
kemasyarakatan, maupun di bidang kenegaraan. (Poesponegoro,M.D., dkk., 1993;
208). Karena peranannya itu, ia mempunyai beberapa nama gelar atau julukan
antara lain : “Maulana Makhdum Ibrahim”, “Sunan Bonang”, dan “Ratu
Wahdat”. Gelar “Maulana Makhdum” berasal dari bahasa arab, yakni
terdiri dari kata “Maulana” yang berarti tuan kami dan kata “Makhdum” yang berarti orang yang dikhidmati, dilayani dan dihormati. Gelar Maulana, seperti juga gelar Sayyid,
sering dihubungkan dengan
kedudukan seseorang sebagai anak keturunan Rasulullah saw dan sebagai pembesar
agama (ulama). Sedangkan gelar Makhdum sering dihubungkan dengan kedudukannya
sebagai ulama dan pembesar kenegaraan, sebagaimana gelar tersebut lazim dipakai
di India dan Pasai pada saat itu sejak masa Raja Malikul Zhahir II (1326-1348
M) dan penerusnya (Daudy,A., 1983 ; 27.
Solichin Salam, 1986 ; 31). Gelar “Sunan Bonang” dihubungkan
dengan kedudukannya sebagai seseorang yang terhormat atau seorang tokoh
masyarakat (Ulama besar) yang berdomisili di daerah Bonang Tuban. Sementara
gelar “Ratu Wahdat”
diberikan kepada Sunan Bonang sehubungan dengan aktifitasnya di bidang
tasawwuf. Suluk Wujil sendiri sering menyebut Sunan Bonang dengan
julukan Ratu Wahdat, misalnya pada bait ke 1, 6, 9, 44, 85 dan
99.
Sunan Bonang ternyata bukan hanya seorang ulama dan muballigh
saja, namun juga seorang sastrawan yang
sangat besar sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan kebudayaan Islam dan
Jawa, terutama pengembangan di bidang Kepustakaan Islam Jawa. Kemudian karya-karyanya di bidang sastra ini juga ia manfaatkan
sebagai sarana pendukung aktifitas dakwahnya. Diantara karya-karyanya adalah Buku Bonang atau Het Boek van Bonang, dan buku Suluk Wujil. Kitab pertama, Buku Bonang, membahas Ilmu
Ketuhanan atau Tauhid menurut faham kaum sunni-ortodoks (Imam Ghazali) yang dihubungkan dengan persoalan Tasawwuf. Tujuan
akhirnya adalah untuk meluruskan kembali faham-faham yang sesat lagi menyimpang
pada saat itu, terutama yang dilakukan oleh kaum sufi heterodoks. Sedangkan
kitab kedua, Suluk Wujil, secara khusus
membahasa tentang ajaran tasawwuf.
Mengenai penulis kitab Suluk Wujil, tidaklah
mudah dilacak, karena kitab ini tidak mencantumkan nama pengarangnya. Hal yang
sama juga terjadi pada kitab-kitab yang muncul semasa Suluk Wujil, seperti kitab Suluk Sukarsa, Primbon abad Enambelas, Kojah Jajahan, dan sejenisnya. Para peneliti hanya
mendasarkan diri pada dugaan ketika menentukan siapa penulis dari kitab-kitab tersebut melalui cara
penelitian mengenai tempat dan waktu penyusunannya, gaya bahasa dan isi
ajarannya, serta tanda-tanda khusus lain yang ada pada kitab-kitab tersebut.
Isi kandungan Suluk Wujil merupakan
wejangan Sunan Bonang. Yang menjadi pertanyaan adalah, mungkinkah Suluk Wujil dikarang dan ditulis oleh Sunan Bonang
sendiri? Ataukah merupakan kitab gubahan
dari orang lain?. Jika dikatakan bahwa kitab tersebut merupakan karangan dan
tulisan Sunan Bonang, hal ini dapat dikatakan kurang benar, karena Suluk Wujil sendiri
diperkirakan muncul pada tahun 1607 M di masa pemerintahan Panembahan Seda
Krapyak (1601 – 1613 M), sesuai bunyi candrasengkala pada bait ke-91 kitab Suluk Wujil : “Panerus tingal tataning Nabi”, yang berarti tahun 1529 Syaka atau 1607
masehi. Sementara itu, aktifitas Sunan Bonang diperkirakan antara tahun 1475 –
1525 M. Jika dikatakan bahwa kitab Suluk Wujil merupakan
gubahan dan tulisan orang lain, atau setidak-tidaknya tulisan para murid Sunan
Bonang, hal ini mungkin benar. Sebab dugaan
ini dihubungkan dengan keadaan para santri pada saat itu yang sering
mengumpulkan catatan-catatan pelajaran dari gurunya, lalu disusun kembali dan dibukukan
dalam bentuk Serat Suluk.
(Koentjaraningrat, 1984 ; 316. Solichin
Salam, 1986 ; 33). Jadi jawaban yang lebih tepat dari permasalahan di atas
adalah bahwa Suluk Wujil bukanlah
karangan dan tulisan Sunan Bonang sendiri, akan tetapi ditulis oleh para
muridnya, meskipun ajaran dari kitab tersebut benar-benar berasal dari Sunan
Bonang.
Dikatakan oleh Poerbatjaraka (1985 ; 10-11), bahwa dipandang dari sudut
gaya bahasa dan pilihan kata-kata yang dipergunakan, paling sedikit ada tiga
penulis Suluk Wujil. Bait ke-1 sampai dengan bait ke-37
menunjukkan hasil karya sastra dari seorang penulis yang sudah mantap,
bahasanya indah. Bait ke-38 sampai dengan bait ke-48, menunjukkan hasil karya
seorang penulis lain yang ditulis kurang jelas, namun dilihat dari sudut isi
kandungannya cukup jelas. Sedangkan bait ke-49 sampai dengan bait ke 55,
menunjukkan bahwa penulisnya berasal dari suku Sunda. Dan bait-bait selebihnya,
yakni bait ke 56 s.d. 104, dikerjakan oleh penulis yang pertama. Mereka bertiga
diduga berasal dari daerah Cirebon, karena ejaan tulisan yang mereka gunakan
banyak keganjilan-keganjilan, seperti kata rekeh, seharusnya
ditulis reke; kata Salayah ditulis Salaya.
2.
Beberapa Naskah
Suluk Wujil
Naskah Suluk Wujil yang asli
dari penulisnya belum dapat diketahui secara pasti. Sementara itu,
naskah-naskah yang beredar di Perpustakaan-perpustakaan dan di tangan para
penyimpannya adalah sekedar turunan atau duplikat dari naskah aslinya. Penyusun
menemukan dua naskah Suluk Wujil, yakni pertama diterbitkan oleh Soemodidjojo
Mahadewa Yogyakarta pada tahun 1957 M, dan yang kedua merupakan Suluk Wujil yang disalin oleh Poerbatjaraka. Kedua
kitab tersebut mempunyai kesamaan dalam isi kandungannya, hanya saja ada
perbedaan dalam cara penulisan, logat yang dipakai dan pilihan kata-katanya.
Meskipun demikian, hal ini tidak sampai merubah atau menghilangkan beberapa
bagian dari isi kandungannya. Misalnya kata “purba”, “anuhun”,
“sakaring” dan sejenisnya pada kitab salinan
Poerbatjaraka, ditulis ‘murba”, anuwun”, “saka ring”, dan sejenisnya pada kitab pertama di atas. Menurut
keterangan Poerbatjaraka (1985 ; 11-12), masih ada beberapa naskah Suluk Wujil selain dua naskah di atas, sebagaimana yang
akan diauraikan nanti.
a.
Suluk Wujil terbitan
“Soemodidjojo Mahadewa” Yogyakarta. Naskah ini diterbitkan pada tahun 1957, yang berisi 104 bait, yang
pada halaman cover depan tertulis kalimat :
“Punika serat kina, mengku piwulang kabatosan kautamaning gesang
ingkang kineker. Pengarangipun sampun boten kasumerepan. Kula babar malih boten
ical tanpa lari, kangge nambahi kathahing serat-serat. Sinten sumerep yen ing
tembe wingking wonten pigunanipun”.
Dan pada beberapa halaman
terakhir, yakni halaman 24 s/d 29 berisi semacam Kamus atau Indeks untuk
kata-kata sulit.
b. Suluk Wujil salinan
Poerbatjaraka. Naskah ini disalin dari naskah yang tersimpan
di Perpustakaan Universitas Leidan Belanda dengan kode Ms. B.G. Nomor 54,
kemudian dia ulas isinya dalam bahasa Belanda dengan judul “Suluk Wujil (De geheime leer van Bonang), yang diterbitkan oleh Redaksi Djawa
Jaargang pada tahun 1938, nomor penerbitan 3-5. Ulasan dan salinan tersebut
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul : “Ajaran Rahasia Sunan Bonang, Suluk Wujil” oleh R. Suyadi Pratomo, yang diterbitkan oleh Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud Jakarta, tahun terbit
1985.
Naskah asli Sulul Wujil pada kode Ms.
B.G. Nomor 54 di atas berukuran tinggi 23 cm, lebar 16 cm dan isi 52 halaman
dengan tulisan tangan. Halaman pertama tidak ditulisi, dan isi Suluk Wujil dimulai dari halaman 2 sampai dengan halaman
22 bagian atas. Sedangkan halaman berikutnya berisi tulisan Suluk Darmana (24 bait syair) dan berisi semacam ulasan
dari buku Nitisastra. (Poerbatjaraka, 1985 ; 9).
Sebagaimana naskah terbitan Yogyakarta di muka, naskah salinan
Poerbatjaraka ini berisi 104 bait syair yang kesemuanya bertembang dandanggula, kecuali bait 55 yang bertembang Aswalalita (metru
Jawa kuna) dan bait 56 yang bertembang Mijil.
c. Naskah Suluk Wujil yang lain. Di antara naskah Suluk Wujil yang lain adalah beberapa naskah yang
terdapat didalam Codex (tulisan tangan) 1795 pada halaman 339, yang
salah satu copiannya ialah berupa Coll.
Brandes nomor 339.II halaman 145.
Naskah Suluk Wujil juga ditemukan
pada tulisan R.Wirawangsa yang berjudul Sarasedya pada halaman 28 dan seterusnya. Hanya saja, nama Wujil diganti dengan “Sendhi” atau “Sumendi”. Penggantian nama tersebut belum diketahui
motifnya. Malahan hal itu dapat menurunkan nilai keotentikan Suluk Wujil dan tentu saja
sama jeleknya dengan apa yang dilakukan didalam Codeks
1795 beserta copiannya, Coll Branders 339.II, yakni
melakukan penggantian dan membaharuan terhadap kata-kata kuno yang tidak
dimengerti oleh penyusun copi, selanjutnya diganti dengan kata-kata menurut
seleranya sendiri. (Poerbatjaraka, 1985 ; 11-12).
Menurut Poerbatjaraka (1985; 12), dari semua naskah-naskah
tersebut di atas, hanya naskah dengan kode Ms.B.G. nomor 54 yang dapat
dipertanggungjawabkan keotentikannya. Ini dapat dibuktikan dengan gaya
bahasanya yang sederhana, masih jelas dan mudah dimengerti. Hal ini juga
berarti bahwa naskah Suluk Wujil yang disalin oleh Poerbatjaraka dari Ms.B.G.
nomor 54 dapat dikatakan mendekati keasliannya, sehingga layak dijadikan
sebagai obyek penelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar