Sunan Muria bernama asli Raden Umar Sa’id
dan nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Tidak ada riwayat yang pasti, kapan
tepatnya ia dilahirkan dan wafat. Yang jelas, makamnya berada di lereng bukit
Muria di daerah Colo Kudus. Ia merupakan putra Sunan Kalijaga dari isteri
pertama, Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Dengan demikian, dari pihak ibunya, ia
adalah keponakan Sunan Giri, yang berarti ia masih keturunan Rasulullah saw.
Setelah Dewasa, ia menikahi Dewi Sujinah binti Sunan Ngudung atau Raden Usman
Haji, yang nantinya melahirkan putra bernama Pangeran Santri alias Sunan
Kadilangu. Dengan perkawinannya ini berarti ia adalah saudara ipar Sunan Kudus.
Sunan Muria adalah seorang Walisongo yang
berjasa dalam mengembangkan agama Islam di pedesaan pulau Jawa. Memang ia suka
berdakwah di desa-desa yang terpencil dari keramaian kota, sesuai dengan
kepribadiannya yang suka menyendiri dan mencari tempat yang tenang atau sepi
sebagai tempat tinggalnya, yakni di lereng bukit Muria. Ia lebih suka berdakwah ke kalangan masyarakat
kecil atau rakyat jelata, dan metode dakwahnya pun cukup luwes, halus dan
lunak. Sikapnya terhadap tradisi dan adat lama yang berkembang di tengah
masyarakat, sama dengan sikap ayahnya, sebagaimana yang diceritakan di atas.
Demikian pula dalam bidang kesenian, ia menyumbangkan karya berupa tembang Sinom
dan Kinanti.
Menurut
cerita babad yang berkembang, Sunan Muria menjalankan Riyadhah atau
“lelakon” sebagaimana yang pernah dijalankan oleh ayahnya, yakni “Topo
Ngeli”, bersemedi dengan cara menghanyutkan diri ke dalam air mengikuti
arus sungai, yang tentu saja bermuara pada satu tujuan, yakni Lautan..
Masyarakat pada umumnya percaya bahwa cerita ini memang benar-benar terjadi
dalam kenyataan. Namun menurut pandangan yang lain, cerita ini lebih bersifat
simbolik atau cerita sandi yang sangat kaya dengan makna. Makna yang terkandung
di-dalamnya adalah, bahwa “ngeli” berarti
menghanyutkan diri; “arus sungai” adalah simbol dari aliran
keyakinan, agama, adat, tradisi yang berkembang di masyarakat; sedangkan “laut”
sebagai lambang agama Islam yang merupakan satu-satunya agama yang benar.
Dengan kata lain, cerita di atas
menggambarkan tentang taktik dan strategi berdakwah Sunan Muria yang suka
terjun langsung dan mampu menghanyutkan diri atau pandai menyesuaikan diri
dengan kehidupan masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, tradisi, adat
istiadat, aliran keyakinan dan keagamaannya. Dengan sikapnya yang toleran,
ramah dan halus, serta berprinsip pada Tut
Wuri Handayani, Sunan Muria mampu membimbing dan
mengarahkan mereka dari belakang kedalam ajaran agama yang benar yakni Islam.
Tradisi dan adat istiadat lama yang berkembang dibiarkan terus berjalan, sambil
dipengaruhi, diadakan perubahan dan dimuati dengan nilai-nilai keislaman,
sehingga tradisi dan adat istiadat yang tadinya berbau syirik dan bid’ah,
kemudian berubah secara perlahan (“Alon-alon wathon kelakon”, sedikit
demi sedikit, tetapi sampai) menjadi suatu tradisi dan adat istiadat baru yang
penuh dengan nilai-nilai keislaman, tanpa menimbulkan kekacauan dan
pertentangan di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar