Berbagai macam pandangan
dilontarkan untuk menilai sejauh mana faham ketuhanan yang dianut oleh Suluk
Wujil. Pantheisme ataukah monotheisme?. Poerbatjaraka adalah salah
satu dari sekian banyak pakar yang menduga bahwa faham ketuhanan yang diajarkan
Suluk Wujil bercorak pantheistik, dengan alasan bahwa Suluk Wujil mengajarkan
“Ngelmu Kasampurnan” atau mengajarkan “Ajaran Rahasia Manunggaling
kawula-Gusti” yang dianut secara
luas oleh masyarakat Jawa pada saat itu, yang pada umumnya bercorak panteistik.
(Poerbatjaraka, 1985; 50-51).
Sehubungan dengan dugaan
tersebut, tidak dapat disangkal bahwa Suluk Wujil memang mengajarkan
ajaran rahasia Manunggaling kawula-Gusti (Rahasia kebersatuan antara
manusia dengan Tuhan). Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah, apakah
ajaran Suluk Wujil tersebut terkandung faham panteisme yang meniadakan
batas keberadaan antara Tuhan dan makhluk-Nya? Ataukah ia masih mempertahankan
batas keberadaan antara keduanya, sehingga ajarannya dapat dikelompokkan
kedalam faham monoteisme? Hal tersebut perlu diadakan penelitian secara khusus
setiap ajaran Suluk Wujil yang berkaitan dengan persoalan “Manunggaling
kawula-Gusti”. Hanya saja dalam persoalan ini, ada beberapa kesulitan untuk
mengungkapkannya, di antaranya adalah :
1.
Ajaran rahasia “Manunggaling
kawula-Gusti” tersebar didalam beberapa bait syair secara acak. Artinya,
tidak tersusun secara urut dan sistimatis sehingga sering menimbulkan kesulitan
didalam merumuskan kembali ajaran yang dikehendaki oleh Suluk Wujil.
2.
Tidak disebutkannya sumber
pengambilan ajarannya secara jelas, sehingga menimbulkan kesulitan dalam
mengadakan penilaian, perbandingan dan pengelompokan kedalam faham tertentu.
Walaupun telah diyakini dan diduga, bahwa ajaran Suluk Wujil bersumber
dari Sunan Bonang.
3.
Ajaran Suluk Wujil lebih
mencerminkan suatu perasaan keagamaan daripada suatu gagasan pemikiran (sistim
filsafat), sehingga sulit ditemukan suatu sistim pemikiran yang sudah jelas
batas-batasnya, yang tersusun secara logis dan serba menyatu.
Jalan keluar untuk
memecahkan kesulitan dalam membahas persoalan Manunggaling kawula-Gusti ini
adalah dengan cara menampilkan pendapat-pendapat atau pilihan kata-kata (bait
syair) yang diduga megandung ajaran Manunggaling kawula-Gusti. Walaupun
tidak dapat disangkal bahwa cara ini bersiko untuk melakukan penafsiran secara
subyektif, jauh dari pemahaman yang dikehendaki oleh penyusunnya.
Uraian di muka menjelaskan,
bahwa posisi keberadaan Tuhan dan dunia adalah sangat berbeda. “Ada” atau
Wujud Tuhan merupakan “Ada”
yang bersifat hakiki, mutlak lagi mandiri, yang menjadi sumber dari segala
sesuatu yang “ada” (dunia). Sebaliknya, “ada” atau wujud makhluk
merupakan “ada” yang bersifat majazi, yakni “ada” yang bukan sebenarnya,
dan keberadaannya tergantung kepada “Ada” Tuhan. Dengan perbedaan posisi keberadaan tersebut, keduanya,
nampaknya, tidak dapat dipersatukan atau dilebur menjadi satu-kesatuan wujud.
Akan tetapi, jika memperhatikan bait-bait syair Suluk Wujil, maka akan
ditemukan beberapa bait syair yang mengajarkan atau sedikitnya
menyinggung persoalan Manunggaling kawula-Gusti (kebersatuan hamba dan
Tuhan). Persoalannya, kemanunggalan yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh Suluk
Wujil? Apakah kemanunggalan dalam pengertian yang sebenarnya, ataukah dalam
pengertian seolah-olah bersatu ?.
Untuk menjawab persoalan tersebut, menurut hemat penulis, diperlukan adanya
urut-urutan pembahasan sebagai berikut :
1. Kerinduan manusia kepada Tuhan;
2. Ajaran tentang “Persatuan hamba dan Tuhan”
1. Kerinduan Manusia Kepada
Tuhan
Suluk Wujil mengajarkan,
bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah swt dari empat unsur, yakni
tanah, api, angin dan air, yang selanjutnya dilengkapi dengan empat sifat
ketuhanan, sebagaimana yang diungkapkan didalam bait 15 berikut ini :
Teks Suluk
Wujil :
(15).
Catur prakara anasirneki // bumi geni
angin iku toya // samana duk panapele // sipate iku catur // kahar jalal jamal
lan kamil // katrapan sipating Hyang // wowolu kehipun // lampahe punang sarira
// manjing metu yen metu ndi paraneki //
yen manjing ndi pernahnya.
Terjemahan
Suluk Wujil :
(15).
“Empat macam anasir itu adalah tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan
menciptakan Adam, maka digunakanlah empat macam anasir tersebut, kahar, jalal,
jamal dan kamal yang mengandung sifat-sifat Tuhan delapan macam. Hubungannya
dengan jasmani ialah bahwa sifat-sifat itu masuk dan keluar. Jikalau keluar, ke
mana perginya, dan jika masuk, di mana tempatnya?”
Sesuai
bait di atas, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang terdiri dari jasmani
dan rohani. Sebagai makhluk jasmani, manusia diciptakan Allah swt dari empat
unsur yang meliputi tanah, api, angin dan air. Dan sebagai
makhluk rohani, manusia dilengkapi dengan empat sifat ketuhanan, yaitu kahar (kuat, kuasa), jalal
(agung), jamal (elok, indah) dan kamil (sempurna). Perpaduan
antara keempat unsur pembentuk jasmani dan keempat sifat ketuhanan yang
melandasi kejiwaan manusia itu, akan melahirkan delapan sifat yang saling
bertetangan didalam diri-pribadi manusia, sebagaimana yang diungkapkan didalam
bait 16 dan 17 berikut ini :
Teks
Suluk Wujil :
(16).
Tuwa anom kang anasir bumi // lakune puniku kawruhana // yen atuwa ndi enome //
lamun anom puniku // pundi rekeh tuwanireki // anasir geni ika // apes
kuwatipun // yen kuwat endi apesnya // lamun apes pundi nggene kuwatneki // tan
sampun kasapeksa.
(17).
Miwah ta rekeh anasir angin // lakune iku ana lan ora // yen ora pundi anane //
lamun ana puniku // aneng endi oranineki // ingkang anasir toya // pejah
gesangipun // yen urip pundi patinya // lamun mati ndi parane uripneki // sasar
yen ora wruha.
Terjemahan
Suluk Wujil :
(16).
“Anasir tanah menimbulkan adanya kedewasaan dan keremajaan. Sifat-sifatnya harus
kau ketahui. Di manakah adanya keremajaan dalam kedewasaan, dan di manakah
kdewasaan dalam keremajaan. Anasir api
menimbulkan kelemahan dan kekuatan. Di manakah adanya kekuatan dalam kelemahan?
Itu harus kau ketahui”.
(17). “Sifat-sifat
anasir angin mencakup ada dan tiada. Didalam tiada, dimanakah letaknya ada
? Didalam ada, dimanakah letaknya tiada ? Anasir air memiliki
sifat mati dan hidup. Dimanakah adanya mati dalam hidup, dan
kemanakah perginya hidup pada waktu mati? Kamu akan tersesat jika kamu tidak
mengetahuinya”.
Kedelapan sifat yang ada didalam
diri manusia tersebut (lihat bait 16-17 di atas) mencerminkan adanya
sifat-sifat kemanusiaan dan ketuhanan, yang berarti bahwa pada diri manusia itu
terdapat unsur kemanusiaan dan unsur ketuhanan. Kedelapan sifat tersebut saling bertentangan dan saling memihak ke arah
sifat (unsur) kemanusiaan dan ketuhanan. Unsur-unsur jasmani manusia cenderung
ke arah kesenangan duniawi, sementara unsur-unsur rohani manusia (sifat-sifat
ketuhanan) cenderung untuk mengajak kembali dan bersatu dengan Tuhan. Akan tetapi, kesenangan manusia terhadap yang
duniawi (untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya) ini akan menjadi penghalang bagi
rohani atau jiwa manusia untuk kembali bersatu dengan Tuhannya. Agar Rohani dan
jiwanya bebas dari rintangan tersebut, maka seseorang harus mematikan hawa
nafsu dan menjauhi kesenangan duniawi, sehingga usaha dan tugas hidup manusia
untuk rindu dan kembali bersatu dengan Tuhan akan tercapai. Sebagaimana
dijelaskan oleh bait 18-19 berikut ini:
Teks Suluk Wujil :
(18). Kawruhana
tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine //
endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa
//marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati
// uripira neng dunya.
(19). Dipun weruh ing urip sejati // lir kurungan raraga
sadaya // becik den wruhi manuke // rusak yen sira tan wruh // Hih ra Wujil
salakuneki // iku mangsa dadiya // yen sira yun weruh // becikana kang sarira
// awismaa ing enggon punang asepi // sampun kacakrabawa.
Terjemahan Suluk Wujil :
(18). “Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui
diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus
kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh
sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat
mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia
ini”.
(19). “Kau harus mengetahui hidup yang sebenarnya. Tubuh ini seluruhnya bagaikan sangkar. Akan lebih baik
jika kau mengenal burungnya. Oh, Wujil, dengan tindakan-tindakn-Nya, kau akan
jatuh sengsara tanpa hasil jika tak kau ketahui. Dan jika kau ingin mengenal-Nya, kau harus membersihkan dirimu. Tinggallah
di suatu tempat sunyi, sepi dan jangan menghiraukan keramaian dunia ini”
Berangkat dari pandangannya di atas,
Suluk Wujil mendasarkan ajarannya tentang Manunggaling kawula-Gusti
pada “Pengenalan diri sendiri”. Pengenalan diri sendiri akan mendorong
manusia untuk mengenal Tuhannya. Berdasarkan ajaran ini, Suluk Wujil menganggap
penting usaha “pengekangan hawa nafsu” dan “penggairahan cinta” untuk
dijadikan sebagai landasan bagi usaha bersatu dengan Tuhan, sebagaimana fragmen
berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(23). Wujil kawruh ing sariraneki // iya iku nyataning
pangeran // tan angling yen tan ana wadine // dene wasitanipun // ana
malih kang angyakteni // samya luruh sarira // sabdane tanpa sung // amojok
saking susanta // tanpa sung kaliru saking pernah neki // iku kang aran lampah.
(24). Pan nyata
ananing Hyang aneng sih // ening kasucianing pangeran // ana ngaku kang wruh
mangke // laksanane tan anut // raga sastra tan den gugoni // anglalisi subrata
// kang sampun yekti wruh // anangkreti punang raga // paningale den wong-wong
rahina wengi // tanpa sung agulinga.
Terjemahan Suluk Wujil :
(23). “Oh, Wujil! Mengenal diri sendiri berarti mengenal
Tuhan. Dan orang yang mengenal Tuhan, ia tidak sembarang bicara, kecuali jika
kata-katanya mempunyai maksud penting. Ada pula orang
lain yang mengenal-Nya, mereka telah mencari dan menemukan dirinya. Mereka
tahu, bahwa seseorang tidak boleh terpelanting diluar kehalusan, dan bahwa
tidak boleh memilih tempat yang keliru. Demikianlah laku yang benar”.
(24). “Oleh karena
itu jelaslah, bahwa Tuhan beserta kesucian yang murni berada didalam kecintaan.
Ada pula orang yang merasa mengenal Dia. Perilaku orang itu tidak sesuai dengan
kaidah. Ia tidak patuh terhadap ajaran tentang (pengendalian) hawa nafsu dan
mengenyampingkan kehidupan yang saleh. Sesungguhnya orang yang mengenal Dia, ia
akan mampu mengekang hawa nafsunya. Siang malam ia mengatur indera
penglihatannya dan dicegahnya untuk tidur”.
Suluk Wujil secara berulang-ulang menyebutkan pentingnya pengendalian hawa nafsu. Hal ini dapat
disimak antara lain pada bait 19, 22, 24, 25, 32, 43 dan 69. Di samping
menganggap penting sikap Cinta (Mahabbah) kepada Allah swt dalam rangka
meningkatkan gairah beribadah, berdzikir dan mengarahkan setiap gerak
langkahnya untuk menghambakan diri kepada-Nya, sebagaimana yang diungkapkan Suluk
Wujil dalam bait ke 20 dan 24. Dengan kedua dasar tersebut Suluk Wujil mengajarkan
agar manusia menempuh cara-cara tertentu (“thariqat”) didalam usahanya
untuk bersatu dengan Tuhan, baik cara-cara yang bersifat purgatif (penyiksaan
diri), maupun yang bersifat kontemplatif (perenungan). Di antara
cara-cara yang bersifat purgatif (penyiksaan diri) misalnya berupa usaha
mematikan dan mengekang hawa nafsu, mengasingkan diri di tempat yang sepi dan
menjauhkan diri dari keramaian dunia (uzlah), menjaga pembicaraan yang
tidak bermanfaat, sedikit tidur (bait 19
s.d. 23), menghiasi diri dengan akhlak yang mahmudah (terpuji), menjauhi
kesenangan duniawi, mengurangi makan-minum. dan tidak menghiraukan pakaian
(bait 62, 69 dan 70). Sedangkan cara-cara yang bersifat kontemplatif
(perenungan) antara lain misalnya shalat
yang khusyuk, berdzikir (bait 12 s.d. 14, 33 s.d. 36), dan merenungkan kejadian
alam (bait 20). Cara-cara tersebut akan mengantarkan seseorang untuk bersatu
dengan Tuhan, melalui empat pangkat : syari’at, thariqat, hakikat, dan
ma’rifat. (Lihat Bab III, Sub Bab A, tentang Ajaran tentang jalan
kembali kepada Tuhan).
2. Ajaran Tentang
Persatuan Hamba dan Tuhan
Suluk Wujil menampilkan
ajaran tentang Persatuan antara manusia dan Tuhan atau ajaran Manunggaling
kawula-Gusti didalam bait 26 dan 27 berikut ini :
Teks
Suluk Wujil :
(26).
…// mapan wartaning kang utami // yen ta ora enggona // pegat tingalipun //
tingal jati kang sampurna // aningali nakirah yakti dumeling // kang sajatining
rupa.
(27).
Mapan tan ana bedane Wujil // dening kalindhih solahe ika // bedane tan seng
purbane // Wujil sampun tan emut // lamun anggung tinutur Wujil // nora na
kawusannya // siyang lawan dalu // den rasani wong akathah // kitabipun upama perkutut
adi // asring den karya pikat.
(28).
Raosana ing rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na gawene //
lewih wong meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun punapa // pan
saosikipun // ing kalbu nyateng aksinya // wedharing netra sara’ widya nampani
// meneng muni den wikan.
Terjemahan Suluk Wujil :
(26).
…Sesungguhnya menurut orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi orang yang berakhir penglihatannya, tampak sesuatu
yang benar dan agung. Dan ketika dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak
membayang Wujud yang sebenarnya”.
(27). “Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya
tiada berbeda. Hanya Dia tidak tampak oleh karena terdesak oleh gerakan-gerakan
(dari alam semesta). Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada
sumbernya. Jangan kau lupakan selama-lamanya, Wujil. Jika kita bicarakan
tentang hal itu, tidak akan habis. Siang dan malam orang berbicara mengenai
Dia. Kitab-kitab-Nya yang Suci seolah-olah merupakan burung perkutut yang
bersuara merdu, yang kerap kali memikat orang lain kepada-Nya.”
(28). “Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya,
tetapi jika ia belum pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik,
tetap saja tidak ada faedahnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia.
Betapapun orang membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan tentang Dia? Karena
sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya tercermin jelas dalam
matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti pengetahuan.
Maka pahamilah arti diam dan bicara.”
Bait 26 dan 27 di atas menjelaskan tentang keadaan seseorang yang sedang
mengalami “fana’” (“pegat tingalipun”, “berakhir penglihatannya”).
Menurut penglihatannya saat itu, tidak dapat lagi dibedakan antara wujud Tuhan
dan dunia, termasuk dirinya sendiri, dan yang nampak adalah hanya “Wujud
Tuhan”, yakni Wujud yang sebenarnya. Sementara wujud-wujud yang lain
seolah-olah tidak ada. Pada tahap selanjutnya merupakan perasaan “Bersatunya
hamba dan Tuhan”, karena pada saat itu seseorang merasa tidak dapat lagi membedakan
antara yang menyembah (hamba) dan yang disembah (Tuhan).
Menurut Nicholson (didalam Harun Hadiwiyono, 1983 : 59), “Fana’” itu
bermacam-macam pangkatnya. Fana’ adalah perobahan moral pada jiwa dengan
melalui cara mematikan hawa nafsu dan keinginannya. Fana’ juga berarti
penghapusan mental atau pemisahan pikir dari segala sasaran pengamatan,
perbuatan dan perasaan, dengan cara memusatkan pikirannya hanya kepada Allah.
Dan akhirnya, Fana’ tersebut akan tercapai jika seseorang tidk sadar
bahwa dirinya sedang Fana’. Kondisi inilah yang dinamakan Fana’ul
Fana’ oleh kaum sufi.
Tampaknya, apa yang digambarkan oleh bait 26 bagian akhir dan bait 27 yang
sudah disebutkan di atas adalah sesuai dengan uraian Nicholson tentang pangkat Fana’ yang terakhir, yakni hilangnya kesadaran
pikiran pada saat seseorang melihat “Wujud” yang sebenarnya, sehingga ia
tidak dapat lagi membedakan antara “Wujud” Tuhan dan “wujud” dunia,
bahkan terhadap dirinya sendiri. Pada saat itulah seseorang merasa bersatu
dengan Tuhan, atau yang disebut dengan perasaan Manunggaling kawula-Gusti.
Pada bait yang lain didalam Suluk Wujil diungkapkan pengalaman
bersatunya manusia dengan Tuhan secara simbolis (kiasan) sebagai berikut :
Teks Suluk
Wujil :
(62). Nora’na weruh ing Mekah iki // alit mila teka ing
awayah // mangsa tekaeng parane // yen ana sangunipun // tekeng Mekah tur dadi
Wali // sangunipun alarang // dahat dening ewuh // dudu srepi dudu dinar //
sangunipun kang sura legaweng pati // sabar lila ing dunya.
(63). Masjid ing
Mekah tulya ngideri // Ka’batullah punika ‘neng tengah // gumantung
tanpa cecanthel // dinulu sakung ruhur // langit katon ing ngandhap iki //
dinulu saking ngandhap // bumi aneng ruhur // tinon kulon katon wetan // tinon
wetan katon kulon iku singgih // tingalnya awalesan.
(64). Tinon Kidul
katon lor angrawit // tinon lor katon kidul asineng // pepeloking mrak samine
// Ka’batullah puniku // lamun ana sembahyang siji // anging kawrat
satunggal // yen roro tetelu // anging samono ambanya // yadyan wong salaksa
kawrat iku singgih // tungkep rat pan kawawa.
Terjemahan Suluk Wujil :
(62). “Tidak ada orang yang tahu, di mana Mekah yang
sebenarnya. Meskipun mereka memulai perjalanannya sejak muda hingga tua, mereka
tidak akan mencapai tujuannya. Apabila orang mempunyai bekal perjalanan cukup,
ia dapat sampai di Mekah untuk menjadi Wali. Tetapi bekal itu mahal,
besar dan sukar diperoleh. Bekal itu bukan berupa uang rupiah atau dinar. Bekal
itu adalah keberanian dan kesanggupan untuk mati, kehalusan budi dan menjauhi
kesenangan duniawi (zuhud)”.
(63). “Didalam
masjid di Mekah itu terdapat singgasana Tuhan (Ka’bah) yang berada di
tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa kaitan. Dan jika orang
melihatnya dari atas, orang akan melihat langit di bawah. Apabila orang
melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihatnya ke
barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur, maka akan terlihat barat.
Ini sungguh. Di sana pemandangan menjadi terbalik”.
(64). “Jika orang
melihat ke selatan, yang tampak ialah utara, indah. Dan jika melihat ke utara,
nampak selatan, gemerlapan seperti (ekornya) burung merak. Apabila seseorang
yang bersembahyang di Ka’batullah maka hanya ada ruangan cukup untuk
satu orang itu. Jika ada dua atau tiga orang, maka ruangan itu juga hanya cukup
untuk dua atau tiga orang itu. Akan tetapi jika terdapat 10.000 orang yang
bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka itu semua. Itu
sungguh. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan di sana, akan
tertampung juga”.
Bait-bait syair di atas lebih menggambarkan pengalaman (peristiwa)
bersatu dengan Tuhan pada saat seseorang tengah dalam keadaan Fana’ atau terhapusnya kesadaran pribadi. Kata Mekah
didalam bait tersebut merupakan simbol dari persatuan antara hamba dan
Tuhan. Ka’batu’llah adalah simbol dari Allah, dan orang yang berada
didalam Ka’batu’llah merupakan lambang dari orang yang merasa bersatu
dengan Tuhan.
Makna yang terkandung didalam bait 62 s.d. 64 tersebut adalah, bahwa orang
yang sudah mencapai tingkat Manunggaling kawula-Gusti, pandangannya
serba terbalik. Artinya, kesadaran pribadinya atau akal pikirannya saat itu
hilang, sehingga ia tidak dapat lagi membedakan benda-benda yang ada di
hadapannya. Misalnya arah utara dikatakan selatan, melihat ke atas seakan-akan
melihat ke bawah, dan seterusnya (Lihat bait 63). Itulah yang disebut Fana’.
Selain itu dapat diambil suatu pemahaman yang terkandung didalam bait 64, bahwa
pada saat seseorang merasa bersatu dengan Tuhan, maka semua barang yang ada (“yang
jamak”) dipandang bersatu dan terserap (tertampung) kedalam Tuhan (“Yang
Satu”). Hal ini berarti, bahwa Yang Jamak dan Yang Satu telah
lebur menjadi satu kesatuan, sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara
keduanya.
Meskipun demikian, tampaknya masih ada satu persoalan yang penting yang
berkaitan dengan ajaran Manunggaling kawula-Gusti ini, yakni tentang
bagaimana keadaan seseorang pada saat telah mencapai maqam Fana’? Apakah ia selanjutnya akan menempati
kedudukan sebagai Tuhan?
Kalau diungkapkan kembali apa-apa yang sudah dijelaskan di muka, maka
kesimpulan yang bisa kita ambil adalah, bahwa menurut Suluk Wujil, manusia
merasa identik dengan Tuhan pada saat ia sedang mengalami Fana’.
Bukankah Suluk Wujil secara jelas mengatakan didalam bait 23 : “Wujil kawruh
ing sariraneki // iya iku nyataning pangeran //…”. (“Wujil, mengenal diri
sendiri berarti mengenal Tuhan…”). Bukankah Suluk Wujil juga mengatakan
lagi didalam bait 26 dan 27 berikut
ini :
Teks Suluk
Wujil :
(26). …// mapan wartaning kang utami
// yen ta ora enggona // pegat tingalipun // tingal jati kang sampurna //
aningali nakirah yakti dumeling // kang sajatining rupa.
(27). Mapan tan ana bedane Wujil
//….
Terjemahan Suluk Wujil :
(26).
…Sesungguhnya menurut orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu.
Bagi orang yang berakhir penglihatannya, tampak sesuatu yang benar dan agung.
Dan ketika dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak membayang Wujud
yang sebenarnya”.
(27). “Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya
tiada berbeda.
Demikian
juga ungkapan simboliknya pada bait-bait 64, bahwa Ka’batu’llah dapat
menampung satu, dua, tiga atau 10.000 orang banyaknya untuk melakukan shalat
didalamnya; bahkan seluruh dunia ini seandainya dimasukkan kedalamnya akan
tertampung juga. Jika ungkapan tersebut ditafsirkan, maka “yang jamak”
(wujud dunia) ini bersatu dan lebur mejadi satu kesatuan dengan “Yang Satu”
(Tuhan), sehingga tidak ada lagi perbedaan antara “yang jamak” dan “Yang
Satu”, keduanya menjadi identik, sama.
Meskipun
demikian, bukanlah maksud Suluk Wujil
mengajarkan bahwa manusia identik dengan Tuhan, yang berarti manusia dapat
menduduki posisi Tuhan atau ia dapat bersatu padu dengan-Nya dalam pengertian
yang sesungguhnya. Karena jika diteliti secara menyeluruh ajarannya, maka akan
diperoleh suatu pemahaman, kalau Suluk Wujil memang tidak pernah mengajarkan bahwa manusia
itu identik dengan Tuhan, atau ia dapat bersatu dengan-Nya dalam pengertian
yang sebebarnya.
Ada beberapa
alasan yang mengisyaratkan bahwa Suluk Wujil tidak mengajarkan seperti
di atas, antara lain :
Pertama. Pernyataan di atas adalah
diungkapkan pada saat seseorang mengalami Fana’, dimana saat itu
kesadaran akalnya hilang, sehingga ia tidak mampu membedakan antara wujud
dunia dan Wujud Tuhan. Lain halnya jika ia mulai sadar kembali dari kefana’annya,
tentu ia akan menyadari bahwa kedua wujud tersebut memang berbeda, dan ia tidak
akan membuka rahasia pertemuan atau persatuannya dengan Tuhan kepada orang
awam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bait 27 dan 28 berikut ini :
Teks
Suluk Wujil :
(27). Mapan tan ana bedane Wujil // dening kalindhih
solahe ika // bedane tan seng purbane // …
(28). Raosana ing
rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na gawene // lewih wong
meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun punapa // pan saosikipun //
ing kalbu nyateng aksinya // wedharing netra sara’ widya nampani // meneng muni
den wikan.
Terjemahan Suluk Wujil :
(27). “Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya
tiada berbeda. Hanya Dia tidak tampak oleh karena terdesak oleh gerakan-gerakan
(dari alam semesta). Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada sumbernya
…”
(28). “Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya,
tetapi jika ia belum pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik,
tetap saja tidak ada faedahnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia.
Betapapun orang membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan tentang Dia? Karena
sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya tercermin jelas dalam
matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti pengetahuan.
Maka pahamilah arti diam dan bicara.”
Bait ke 27 merupakan komentar Suluk
Wujil pada saat seseorang dalam keadaan sadar, yakni bahwa hakekat
kedua “wujud” (dunia dan Tuhan) tetap berbeda. Perbedaan antara keduanya terletak
pada sumber “wujud”-nya (‘purbane”).
Dipandang dari sudut “Sumber wujud dirinya”, Tuhan merupakan “Wujud”
yang muncul dengan sendirinya dan menjadi Sumber dari semua “wujud” yang
ada. Sebaliknya, dunia merupakan “wujud” yang tergantung kepada “Wujud”
Tuhan. Selain itu, Dzat Tuhan adalah bersifat ghaib, ysng tidak dapat dilihat
dan diketahui oleh siapa saja selain oleh Diri-Nya sendiri. Hal ini berarti,
menurut orang yang sadar penuh, bahwa
kondisi melihat Wujud yang sebenarnya (Dzat Tuhan) dan merasa bersatu
dengan-Nya pada saat Fana’, adalah dalam keadaan seakan-akan atau
seolah-olah, bukan dalam keadaan yang sebenarnya. Karena Dzat Tuhan adalah
bersifat ghaib sehingga mustahil untuk dapat dilihat, dan disamping karena
hakekat kedua “wujud” (dunia dan Tuhan) adalah sangat berbeda, sehingga
mustahil keduanya dapat bersatu atau identik.
Bait 28 merupakan peringatan dari Suluk Wujil kepada kaum sufi yang
telah mencapai Fana’, agar ia tidak membuka rahasia yang baru saja ia
alami kepada orang awam, kecuali kepada beberapa muridnya atau orang yang
selevel dan sama-sama berkecimpung di dunia tasawwuf. Mungkin hal ini
dimaksudkan agar tidak membahayakan kepercayaan dan keyakinan orang awam dan
agar tidak disalahtafsirkan.
Apa yang diungkapkan Suluk Wujil pada bait 27 dan 28 di atas sama
maksudnya dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali didalam bukunya, Misykatul
Anwar (1993 ; 49), sebagai berikut :
“Inilah tujuan dari segala tujuan
dan akhir dari segala pencarian. Diketahui oleh siapa saja yang mengetahuinya
dan diingkari oleh siapa saja yang tidak mengenalnya. Ia termasuk ilmu yang
esensinya tersembunyi dan tersimpan rapat, yang tidak akan mengetahuinya
kecuali kaum ilmuwan yang mendalam keilmuannya tentang Allah (“Al-Ulama-u
Billah”), atas perkenan Allah. Manakala mereka mengungkapnya, tak
mengingkarinya kecuali “Ahlul-ghirrati Billah” (yakni orang-orang yang
terkelabui dan mengira dirinya telah mengenal Allah)…”
Selanjutnya Al-Ghazali (1993 ; 42)
mengatakan :
“Ucapan-ucapan para ‘Asyiq (orang-orang
yang diliputi keasyikan atau kecintaan dan kerinduan) seperti itu, di saat-saat
kemabukannya, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab mereka
sendiri ketika telah mulai sembuh dari keadaan mabuk itu dan telah kembali pula
kekuasaan akal yang merupakan mizan (timbangan, neraca Allah) di atas
bumi-Nya, maka sadarlah mereka bahwa itu bukan Ittihad (keadaan menyatu)
yang sebenarnya dengan Allah swt, tetapi itu hanya menyerupai ittihad…”.
Kedua. Suluk Wujil mengungkapkan pengalaman mistik Manunggaling
kawula-Gusti dalam bait 71 dan 72 berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(71) … yen sira’rsa temu // sirnakena raganira // yen
sira wus atemu akaron kapti // kapti anunggal karsa.
(72). Tunggal rupa
saose namaneki // tunggal rasa saos rupanira // tinunggal sarwi-sarwine //
sampune tunggal iku // saha satya pati saurip // larangane tan ana // sandhang
pangan iku // sakarsane tunggal karsa // wong sinihan tan kena andum amilih //
cihna tinunggal karsa.
Terjemahan Suluk Wujil :
(71). Jika kau
ingin menemukan-Nya, maka kau harus menghancurkan nafsu-nafsumu. Jika kau telah menemukan-Nya, maka kemauanmu akan manunggal dengan kemauan-Nya”
(72). “Engkau akan manunggal dengan Dia; hanya
nama saja yang berlainan. Engkau akan menjadi satu dalam rasa dengan
Dia, dengan berbeda wujud. Dalam segala hal kau akan manunggal dengan
Dia. Setelah manunggal serta kau serahkan mati dan hidupmu kepada-Nya, maka
tidak ada larangan bagimu dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu
menjadi satu dengan kehendak-Nya. Orang yang telah diampuni tidak boleh memilih
atau membagi (yakni membeda-bedakan dalam segala hal), sesuatu tanda tentang manunggalnya
kehendak dengan Dia”.
Ungkapan kedua bait di atas menggambarkan pengalaman
mistik seseorang yang telah mencapai tahap Kelepasan (manusia sempurna),
yakni tahap Manunggaling kawula-Gusti. Pada tahap tersebut, seseorang
begitu lenyap kedalam Tuhan. Ia kehilangan kesadaran diri dan tenggelam kedalam
“ketiadaan”. Apa-apa yang ia rasakan, ia perbuat dan ia kehendaki,
adalah bukan ia yang melakukannya, akan tetapi adalah Tuhan yang melakukannya.
Itulah yang dimaksud dengan Manunggaling kawula-Gusti didalam rasa dan
karsa.
Dalam keadaan psikologis seperti di atas, manusia dapat
diumpamakan sebagai “yang tiada” dan Tuhan dapat diumpamakan sebagai “Yang
Ada”. Ketiadaan manusia bukan berarti kekosongan atau khayalan,
sehingga tinggallah “Ada” Tuhan saja, melainkan diartikan bahwa manusia
yang dalam keadaan tidak sadar tersebut telah lenyap kedalam Tuhan, akan tetapi
perbedaan antara “Ada” Tuhan dan “ada” manusia masih tetap diakui
keberadaannya. Bahkan orang yang mengalami keadaan tersebut justru lebih
memahami perbedaan antara kedua “Ada” tersebut setelah ia sadar kembali,
sebagaimana pernyataan Suluk Wujil yang tersirat didalam bait 27 : “Tunggal
rupa saose namaneki // tunggal rasa saos rupanira … //” (Engkau akan manunggal dengan Dia;
hanya nama saja yang berlainan. Engkau akan menjadi satu dalam rasa dengan
Dia, dengan berbeda wujud.)
Ketiga. Suluk Wujil lebih tegas lagi menyatakan seraya memperingatkan, bahwa
manusia adalah bukan Tuhan dan Tuhan bukanlah manusia, akan tetapi
tanda-tanda Keberadaa-Nya ada pada diri manusia.
Teks Suluk
Wujil :
(11). Pengetisun ing sira ra Wujil // den yatna uripira
neng dunya // ywa sumabaraneng gawe // kawruhana den estu // sariranta pan dudu jati // kang
jati dudu sira // sing sapa puniku // weruh rekeh ing sarira // mangka sasat wruh sira maring
Hyang Widi // iku marga utama.
Terjemahan Suluk Wujil :
“Ingat-ingatlah, Wujil, berhati-hatilah dalam hidup di
dunia ini. Jangan masa bodoh terhadap setiap tindakan. Dan sadarlah serta
yakin, bahwa kau bukanlah Hyang Jati Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Hyang
Jati Tunggal bukanlah engkau. Barangsiapa yang mengenal diri sendiri sekarang,
seakan-akan ia mengenal Tuhan. Itulah jalan yang sebaik-baiknya”.
Memperhatikan ketiga alasan tersebut di atas, Suluk
Wujil mencoba membedakan antara keadaan tidak normal, “Tak sadarkan diri”
(Fana’), dan keadaan normal, yakni sadar kembali dari kefana’annya.
Ajaran Suluk Wujil tentang “Manunggaling kawula-Gusti” agaknya
bukan berarti mengajarkan bahwa manusia benar-benar bersatu padu dengan Tuhan,
yang berarti bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, akan
tetapi kebersatuan tersebut
adalah dalam keadaan seolah-olah bersatu. Dengan demikian, maka ungkapan-ungkapan Suluk Wujil menganai
Manunggaling kawula-Gusti, tampaknya merupakan penggambarannya terhadap
pengalaman mistik yang luar biasa, yang ia ungkapkan kembali dalam bahasa manusia pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar