Apa Itu Kitab Suluk?
Kata Suluk berasal dari bahasa Arab As-Suluk (السّلُوك ),
merupakan bentuk isim mashdar dari kata
Salaka – Yasluku (سَلَكَ – يَسْلُكُ ),
yang berarti : “bertindak; melalui jalan; kelakuan atau tingkah
laku”. (Warson Munawwir, A., 1984 ; 698). Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 ; 866)
mengartikan kata Suluk sebagai : 1) jalan ke arah kesempurnaan batin,
yang disebut tasawwuf, tarekat atau mistik;
2) khalwat, atau mengasingkan diri.
Pengertian Suluk
menurut A. Warson Munawwir sifatnya lebih umum, yang meliputi semua perbuatan,
tingkah laku dan tindakan manusia, baik perbuatan yang bersifat lahiriah maupun
batiniah. Sedangkan pengertian Suluk menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, sifatnya lebih khusus dan spesifik, yakni meliputi setiap jalan
atau usaha yang berkaitan dengan tasawuf, tarekat, mistik beserta jalan-jalan
dan cara-caranya yang antara lain berupa pengasingan diri (Uzlah). Dalam
hal ini, Suluk lebih dikaitkan dengan tasawuf dan tarekat.
Pengertian Suluk
di atas, baik yang pertama maupun yang kedua, pada hakekatnya sama, yakni
sama-sama merupakan perbuatan atau tingkah laku. Namun perbuatan tersebut
dikhususkan lagi oleh pengertian kedua sebagai perbuatan yang berhubungan
dengan persoalan tasawuf dan tarekat atau mistik Islam. Dengan kata lain, kata Suluk,
menurut arti bahasa adalah segala perbuatan atau tingkah laku, beserta
cara-cara (metode)-nya, yang berkaitan dengan persoalan ketasawufan atau mistik
Islam. Sesuai dengan hal tersebut, para ahli tasawwuf mengartikan kata Suluk
sebagai perjalanan mistik, yakni perjalanan menuju ke Tuhan, yang dimulai
dari tingkatan memasuki perkumpulan semacam tarekat dengan bimbingan seorang
Guru (mursyid), dan akhirnya sampai pada tingkat kejiwaan yang
tertinggi, yakni Ma’rifat, menurut kemampuannya. (Poesponegoro, M.D., dkk.,
1993; 202). Dengan demikian, setiap ilmu yang menggambarkan perjalanan mistik
dinamakan Ilmu Suluk.
Istilah Suluk
sering dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan Dzikir dan Tarekat itu
sendiri. (Poesponegoro, 1993 ; 203). Bahkan istilah Suluk di Indonesia,
khususnya di Jawa, dipakai untuk
menyebutkan karangan-karangan kitab tertentu. Dalam Kepustakaan Jawa,
istilah Suluk dipakai untuk menyebut karangan yang berisi ajaran
tasawwuf atau mistik yang ditulis dalam bentuk “tembang”, misalnya kitab Suluk
Malang Sumirang, Suluk Sukarsa, Suluk Wujil, Suluk Seh Malaya, dan
kitab-kitab suluk sejenis. Jika ajaran tersebut ditulis dalam bentuk
“prosa”, disebut kitab “Wirid”, misalnya kitab Wirid Hidayat Jati.
Buku Serat
Kandhaning Ringgit Purwa, jilid 9
(Lor = Leidse Orietalia 6379, 1988; 139 – 140) menyebut-nyebut nama Wujil. Wujil adalah nama salah satu murid Sunan Bonang yang
diperintahkan agar mengadu Anak Ayam (“kuthuk”, ayam mentas
netes) milik gurunya itu untuk dipertarungkan dengan Ayam Jantan milik
Ki Ajar Blacak Ngilo. Ki Ajar bersumbar, jika Ayam Jantan miliknya nanti kalah
tarung, ia akan segera masuk Islam. Setelah kedua ayam diadu, ternyata “kuthuk”
atau Anak Ayam milik Sunan Bonang menang, lalu Ki Ajar memenuhi janjinya
untuk memeluk agama Islam. Demikian pula nama Wujil juga sering disebut-sebut didalam kitab Suluk Wujil, bahwa ia
adalah seorang bekas budak Raja Majapahit yang berguru kepada Sunan Bonang (Ratu
Wahdat) tentang ilmu Kesempurnaan
atau Mistik Islam.
Berkaitan dengan
uraian di atas, maka yang dimaksud dengan istilah Suluk Wujil
adalah nama sebuah kitab yang berisi wejangan Ratu
Wahdat atau Sunan Bonang kepada muridnya yang bernama Wujil, mengenai
ajaran Tasawuf.
Untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas tentang isi kandungan kitab Suluk Wujil, berikut
ini akan diuraikan mengenai : 1) Riwayat Sunan Bonang dan penulis kitab
tersebut, dan 2) Beberapa naskah Suluk
Wujil.
Riwayat Sunan
Bonang dan Penulis
Suluk Wujil
Nama asli Sunan
Bonang adalah Raden Ibrahim. Ia dilahirkan di Tuban dari hasil perkawinan
antara Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila alias Dewi Condrowati binti Aria Teja
III. Sunan Ampel sendiri berasal dari luar Jawa, putera seorang Ratu dari
Champa. Sementara Nyi Ageng Manila adalah puteri seorang Bupati Tuban.
Saudara-saudara
Sunan Bonang, menurut beberapa sumber cerita babad, tarikh atau sejarah,
berjumlah 6 orang, yakni 4 orang merupakan saudara kandung dan 2 orang
saudara seayah. Saudara sekandung yang merupakan hasil perkawinan Sunan Ampel
dengan Nyi Ageng Manila adalah : 1) Siti Syariah; 2) Siti Muthmainnah, isteri Sunan Wilis
Cirebon; 3) Siti Khafshah, isteri sayyid
Ahmad dari Yaman; 4) R. Qosim alias Sunan Drajat Sidayu. Sementara 2 orang
saudara seayah, yang merupakan hasil perkawinan antara Sunan Ampel dengan Dewi
Karimah binti Ki Ageng Supo Bungkul dari Kembangkuning Surabaya adalah : 1)
Dewi Murthasiyah, isteri Sunan Giri; dan
2) Dewi Murtasimah, isteri Raden Patah Sultan Bintara Demak. (Bisyri
Musthafa,KH, 1987; 6. Dan Umar Hasyim,
1983 ; 35).
Menurut sumber yang
lain, Majalah Aula No. 08/tahun XV/Agustus 1993, halaman 33, dikatakan bahwa
Siti Khafshah adalah isteri Sunan Kalijaga, bukannya isteri sayyid Ahmad dari
Yaman. Dengan demikian, Sunan Kalijaga merupakan adik ipar Sunan Bonang. Hal
ini sesuai dengan keterangan didalam kitab Suluk Wujil, bahwa Sunan
Bonang memanggil Sunan Kalijaga atau Seh Malaya dengan panggilan “Adik” atau “Yayi”.
Sunan Bonang
memperistri Dewi Hirah binti Dewi Nawangwulan binti Ki Ageng Tarub, atau Dewi
Hirah bint R. Jakandar (Sunan Malaka) dari Madura. Hasil perkawinannya ini
melahirkan seorang puteri bernama Dewi Ruhil, yang nantinya diperisteri oleh
Sunan Kudus. (Bisri Musthofa, KH., 1987; 8-11).
Lepas dari salah
dan benarnya cerita mengenai silsilah atau hubungan darah di atas, yang
terpenting adalah suatu informasi bahwa Sunan Bonang bukanlah berasal kalangan
rakyat biasa, melainkan ia adalah seorang bangsawan yang mempunyai hubungan
darah dengan pembesar kerajaan Champa, Bupati Tuban dan kerajaan Majapahit,
selain juga keturunan pembesar agama
(Walisanga). Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan jika peranan
Sunan Bonang di bidang Dakwah Islamiyah dapat dikatakan cukup berhasil, karena
mendapatkan dukungan dari pihak penguasa, kaum bangsawan dan para ulama atau
Walisanga.
Aktifitas Sunan
Bonang diperkirakan antara tahun 1475 – 1525 M. Selama kurun waktu tersebut,
peranannya cukup besar, baik di bidang Dakwah Islamiyah besama-sama dengan para
Walisanga yang lain, di bidang pengembangan ajaran tasawwuf, sosial
kemasyarakatan, maupun di bidang kenegaraan. (Poesponegoro,M.D., dkk., 1993;
208). Karena peranannya itu, ia mempunyai beberapa nama gelar atau julukan
antara lain : “Maulana Makhdum Ibrahim”, “Sunan Bonang”, dan “Ratu
Wahdat”. Gelar “Maulana Makhdum” berasal dari bahasa arab, yakni
terdiri dari kata “Maulana” yang berarti tuan kami dan, kata “Makhdum” yang berarti orang yang dikhidmati, dilayani dan dihormati. Gelar Maulana, seperti juga gelar Sayyid,
sering dihubungkan dengan
kedudukan seseorang sebagai anak keturunan Rasulullah saw dan sebagai pembesar
agama (ulama). Sedangkan gelar Makhdum sering dihubungkan dengan kedudukannya
sebagai ulama dan pembesar kenegaraan, sebagaimana gelar tersebut lazim dipakai
di India dan Pasai pada saat itu sejak masa Raja Malikul Zhahir II (1326-1348
M) dan penerusnya (Daudy,A., 1983 ; 27.
Solichin Salam, 1986 ; 31). Gelar “Sunan Bonang” dihubungkan
dengan kedudukannya sebagai seseorang yang terhormat atau seorang tokoh
masyarakat (Ulama besar) yang berdomisili di daerah Bonang Tuban. Sementara
gelar “Ratu Wahdat”
diberikan kepada Sunan Bonang sehubungan dengan aktifitasnya di bidang
tasawwuf. Suluk Wujil sendiri sering menyebut Sunan Bonang dengan
julukan Ratu Wahdat, misalnya pada bait ke 1, 6, 9, 44, 85 dan
99.
Sunan Bonang ternyata bukan hanya seorang ulama dan muballigh
saja, namun juga seorang sastrawan yang
sangat besar sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan kebudayaan Islam dan
Jawa, terutama pengembangan di bidang Kepustakaan Islam Jawa. Kemudian karya-karyanya di bidang sastra
ini juga ia manfaatkan sebagai sarana pendukung aktifitas dakwahnya. Diantara
karya-karyanya adalah Buku Bonang atau Het Boek van Bonang, dan buku Suluk Wujil. Kitab pertama, Buku Bonang, membahas Ilmu Ketuhanan atau Tauhid menurut faham kaum sunni-ortodoks (Imam Ghazali) yang dihubungkan dengan
persoalan Tasawwuf. Tujuan akhirnya adalah untuk meluruskan kembali faham-faham
yang sesat lagi menyimpang pada saat itu, terutama yang dilakukan oleh kaum
sufi heterodoks. Sedangkan kitab kedua, Suluk Wujil, secara khusus membahasa tentang ajaran tasawwuf.
Mengenai penulis kitab Suluk Wujil,
tidaklah mudah dilacak, karena kitab ini tidak mencantumkan nama pengarangnya.
Hal yang sama juga terjadi pada kitab-kitab yang muncul semasa Suluk Wujil, seperti kitab Suluk Sukarsa, Primbon abad Enambelas, Kojah Jajahan, dan sejenisnya. Para peneliti hanya
mendasarkan diri pada dugaan ketika menentukan siapa penulis dari kitab-kitab tersebut
melalui cara penelitian mengenai tempat dan waktu penyusunannya, gaya bahasa
dan isi ajarannya, serta tanda-tanda khusus lain yang ada pada kitab-kitab
tersebut.
Isi kandungan Suluk Wujil
merupakan wejangan Sunan Bonang. Yang menjadi pertanyaan adalah, mungkinkah Suluk Wujil dikarang dan ditulis oleh Sunan Bonang
sendiri? Ataukah merupakan kitab gubahan
dari orang lain?. Jika dikatakan bahwa kitab tersebut merupakan karangan dan
tulisan Sunan Bonang, hal ini dapat dikatakan kurang benar, karena Suluk Wujil sendiri
diperkirakan muncul pada tahun 1607 M di masa pemerintahan Panembahan Seda
Krapyak (1601 – 1613 M), sesuai bunyi candrasengkala pada bait ke-91 kitab Suluk Wujil : “Panerus tingal tataning Nabi”, yang berarti tahun 1529 Syaka atau 1607
masehi. Sementara itu, aktifitas Sunan Bonang diperkirakan antara tahun 1475 –
1525 M. Jika dikatakan bahwa kitab Suluk Wujil merupakan
gubahan dan tulisan orang lain, atau setidak-tidaknya tulisan para murid Sunan
Bonang, hal ini mungkin benar. Sebab
dugaan ini dihubungkan dengan keadaan para santri pada saat itu yang sering
mengumpulkan catatan-catatan pelajaran dari gurunya, lalu disusun kembali dan
dibukukan dalam bentuk Serat Suluk.
(Koentjaraningrat, 1984 ; 316. Solichin
Salam, 1986 ; 33). Jadi jawaban yang lebih tepat dari permasalahan di atas
adalah bahwa Suluk Wujil bukanlah
karangan dan tulisan Sunan Bonang sendiri, akan tetapi ditulis oleh para
muridnya, meskipun ajaran dari kitab tersebut benar-benar berasal dari Sunan
Bonang.
Dikatakan oleh Poerbatjaraka (1985 ; 10-11), bahwa dipandang dari sudut
gaya bahasa dan pilihan kata-kata yang dipergunakan, paling sedikit ada tiga
penulis Suluk
Wujil. Bait ke-1
sampai dengan bait ke-37 menunjukkan hasil karya sastra dari seorang penulis
yang sudah mantap, bahasanya indah. Bait ke-38 sampai dengan bait ke-48,
menunjukkan hasil karya seorang penulis lain yang ditulis kurang jelas, namun
dilihat dari sudut isi kandungannya cukup jelas. Sedangkan bait ke-49 sampai
dengan bait ke 55, menunjukkan bahwa penulisnya berasal dari suku Sunda. Dan
bait-bait selebihnya, yakni bait ke 56 s.d. 104, dikerjakan oleh penulis yang
pertama. Mereka bertiga diduga berasal dari daerah Cirebon, karena ejaan
tulisan yang mereka gunakan banyak keganjilan-keganjilan, seperti kata rekeh, seharusnya ditulis reke; kata Salayah ditulis Salaya.
Beberapa Naskah
Suluk Wujil
Naskah Suluk Wujil yang
asli dari penulisnya belum dapat diketahui secara pasti. Sementara itu,
naskah-naskah yang beredar di Perpustakaan-perpustakaan dan di tangan para
penyimpannya adalah sekedar turunan atau duplikat dari naskah aslinya. Penyusun
menemukan dua naskah Suluk Wujil, yakni pertama diterbitkan oleh Soemodidjojo
Mahadewa Yogyakarta pada tahun 1957 M, dan yang kedua merupakan Suluk Wujil yang disalin oleh Poerbatjaraka. Kedua
kitab tersebut mempunyai kesamaan dalam isi kandungannya, hanya saja ada
perbedaan dalam cara penulisan, logat yang dipakai dan pilihan kata-katanya.
Meskipun demikian, hal ini tidak sampai merubah atau menghilangkan beberapa
bagian dari isi kandungannya. Misalnya kata “purba”, “anuhun”,
“sakaring” dan sejenisnya pada kitab salinan
Poerbatjaraka, ditulis ‘murba”, anuwun”, “saka ring”, dan sejenisnya pada kitab pertama di
atas. Menurut keterangan Poerbatjaraka (1985 ; 11-12), masih ada beberapa
naskah Suluk
Wujil selain dua
naskah di atas, sebagaimana yang akan diauraikan nanti.
a. Suluk Wujil terbitan “Soemodidjojo Mahadewa” Yogyakarta. Naskah ini diterbitkan pada tahun 1957,
yang berisi 104 bait, yang pada halaman cover depan tertulis kalimat :
“Punika serat kina, mengku piwulang kabatosan kautamaning gesang
ingkang kineker. Pengarangipun sampun boten kasumerepan. Kula babar malih boten
ical tanpa lari, kangge nambahi kathahing serat-serat. Sinten sumerep yen ing
tembe wingking wonten pigunanipun”.
Dan pada
beberapa halaman terakhir, yakni halaman 24 s/d 29 berisi semacam Kamus atau
Indeks untuk kata-kata sulit.
b. Suluk Wujil salinan
Poerbatjaraka. Naskah ini disalin dari naskah yang tersimpan
di Perpustakaan Universitas Leidan Belanda dengan kode Ms. B.G. Nomor 54,
kemudian dia ulas isinya dalam bahasa Belanda dengan judul “Suluk Wujil (De geheime leer van Bonang), yang diterbitkan oleh Redaksi Djawa
Jaargang pada tahun 1938, nomor penerbitan 3-5. Ulasan dan salinan tersebut
kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul : “Ajaran Rahasia Sunan Bonang, Suluk Wujil” oleh R. Suyadi Pratomo, yang diterbitkan oleh
Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud Jakarta, tahun
terbit 1985.
Naskah asli Sulul Wujil pada
kode Ms. B.G. Nomor 54 di atas berukuran tinggi 23 cm, lebar 16 cm dan isi 52
halaman dengan tulisan tangan. Halaman pertama tidak ditulisi, dan isi Suluk Wujil dimulai dari halaman 2 sampai dengan halaman
22 bagian atas. Sedangkan halaman berikutnya berisi tulisan Suluk Darmana (24 bait syair) dan berisi semacam ulasan
dari buku Nitisastra. (Poerbatjaraka, 1985 ; 9).
Sebagaimana naskah terbitan Yogyakarta di muka, naskah salinan
Poerbatjaraka ini berisi 104 bait syair yang kesemuanya bertembang dandanggula, kecuali bait 55 yang bertembang Aswalalita (metru
Jawa kuna) dan bait 56 yang bertembang Mijil.
c.
Naskah Suluk Wujil yang lain. Di
antara naskah Suluk Wujil yang
lain adalah beberapa naskah yang terdapat didalam Codex (tulisan
tangan) 1795 pada halaman 339, yang salah satu copiannya ialah berupa Coll. Brandes nomor
339.II halaman 145.
Naskah Suluk Wujil juga
ditemukan pada tulisan R.Wirawangsa yang berjudul Sarasedya pada halaman 28 dan seterusnya. Hanya saja, nama Wujil diganti dengan “Sendhi” atau “Sumendi”.
Penggantian nama tersebut belum diketahui motifnya. Malahan hal itu dapat
menurunkan nilai keotentikan Suluk Wujil dan tentu saja sama jeleknya dengan apa yang dilakukan
didalam Codeks 1795 beserta copiannya, Coll Branders 339.II, yakni
melakukan penggantian dan membaharuan terhadap kata-kata kuno yang tidak
dimengerti oleh penyusun copi, selanjutnya diganti dengan kata-kata menurut
seleranya sendiri. (Poerbatjaraka, 1985 ; 11-12).
Menurut Poerbatjaraka (1985; 12), dari semua naskah-naskah tersebut di
atas, hanya naskah dengan kode Ms.B.G. nomor 54 yang dapat dipertanggungjawabkan
keotentikannya. Ini dapat dibuktikan dengan gaya bahasanya yang sederhana,
masih jelas dan mudah dimengerti. Hal ini juga berarti bahwa naskah Suluk Wujil yang disalin oleh Poerbatjaraka dari Ms.B.G.
nomor 54 dapat dikatakan mendekati keasliannya, sehingga layak dijadikan
sebagai obyek penelitian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar