Suluk Wujil mengajarkan
tentang Tuhan yang dihubungkan dengan persoalan tasawwuf. Misalnya ajaran tentang hubungan intim dan timbal-balik antara Tuhan dan
manusia. Pembahasan mengenai Zat, Sifat dan Perbuatan Tuhan
secara mendalam dan khusus, sebagaimana yang diketahui dan dibahas oleh ilmu
Tauhid, tidak akan dijumpai di sini, karena bukanlah maksud Suluk Wujil untuk
membahasnya secara ilmu Tauhid.
Suluk Wujil hanya membahas
masalah Ketuhanan sepanjang ada kaitannya dengan persoalan pergaulan
intim Tuhan dan manusia. Selain itu, Suluk Wujil kurang menampilkan
argumen–argumen untuk memperkuat
ajarannya tentang Tuhan, baik argumen yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis Nabi
dan pendapat para ulama, maupun argumen-argumen rasional lainnya. Mungkin hal itu
didasarkan atas pemahaman Suluk Wujil bahwa adanya Tuhan merupakan suatu
kenyataan iman yang harus diterima, atau mungkin ia lebih mementingkan segi
perasaan keagamaan daripada sekedar ungkapan akal pikiran.
Suluk Wujil mengemukakan
ajarannya tentang Tuhan sebagaimana halnya yang diajarkan oleh para ulama.
Titik tolaknya ialah bahwa Allah swt adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiada tuhan
yang berhak disembah kesuali Allah, Tuhan Pencipta manusia, sebagaimana yang
diungkapkan oleh bait-bait berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(15). Catur prakara anasirneki // bumi geni angin iku
toya // samana duk panapele // sipate iku catur // kahar jalal jamal lan kamil
// katrapan sipating Hyang // wowolu kehipun // ….
(86). Nafi Nakirah lan Nafi Jinis //
mapan iku jinising Pangeran // kang Nafi nyateng Itsbate // Nafi lan Itsbat iku
// nora pisah pan ora tunggil // Nafi kalawan Itsbat // Nafi karoni pun // Nafi
roro winaleran // dining ILLA karone tan kena manjing // maring lafal ILLA’LLAH.
(87). Hih ra Wujil kawruhana malih
// kang Itsbat iku rekeh den nyata // atuduh marang Mutsbate // dalil kalawan
mad-lul // iki rekeh saminireki // ingkang lafal ILLA’LLAH // Mutsbat aranipun
// mutlak iku Ismu’llah // tan kena liyanena Pangeran kalih // anging lafal
ILLA’LLAH.
Terjemahan Suluk Wujil :
(15). “Empat macam anasir itu adalah : tanah,
api, angin dan air. Ketika Tuhan menciptakan Adam, maka digunakanlah empat
macam anasir tersebut, kahar, jalal, jamal dan kamal yang mengandung
sifat-sifat Tuhan delapan macam….”
(86). “Nafi Nakirah dan Nafi Jinis
merupakan Wujud (jenisnya) Tuhan. Nafi (negasi) mengandung Itsbat
(konfirmasi, pengakuan). Nafi dan Itsbat itu tidak terpisah, dan juga tidak
manunggal. Akan tetapi Nafi dan Itsbat, juga kedua macam Nafi (Nafi nakirah dan
Nafi jinis) kedua-duanya dibatasi oleh kata ILLA (pengecualian,
pembatasan), dan tidak boleh (atau tidak dapat) masuk kedalam lafazh ILLA’LLAH”.
(87). “Selanjutnya kau harus tahu, Wujil, bahwa yang namanya Itsbat
(pengakuan : Ke-Ada-anNya) harus memberi petunjuk yang jelas kepada Mutsbat-nya
(segala sesuatu yang dianggap “Ada”), seperti suatu Dalil (petunjuk) terhadap
Madlul-nya (yang ditunjuk). Rumus Illa’allah dinamakan Mutsbat (Yang
dianggap “Ada”), yakni secara mutlak merupakan Ismu’llah (Nama Pribadi
Allah). Tuhan lain tidak boleh ditempatkan di samping-Nya. Hanya Dia Allah-lah
rumus Illa’llah itu layak/tepat”.
Bait 15 di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah Pencipta
manusia (Nabi Adam), sedangkan bait 86-87 menjelaskan bahwa yang berhak disebut
Tuhan yang sebenarnya adalah Allah swt, tiada tuhan selain Allah. Oleh karena
itu, seseorang tidak boleh mensekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Hanya
saja, pandangan Suluk Wujil pada bait-bait tersebut lebih mencerminkan
segi pandangan falsafah daripada segi religiusnya. Misalnya Al-Qur’an
mengajarkan, bahwa manusia diciptakan Allah swt dari “thin” (tanah),
sebagaimana yang disebutkan oleh QS Shad ayat 71 :
إِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
“Dan
ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, “Sesungguhnya Akulah yang
menciptakan manusia dari tanah”.
Sementara Suluk Wujil mengajarkan,
bahwa manusia diciptakan dari empat unsur dunia, yakni tanah, api angin dan
air, yang kemudian dilengkapi dengan empat sifat ketuhanan, yakni kahar,
jalal, jamal dan kamil.
Mengenai keesaan
Allah, Al-Qur’an mengajarkannya secara lugas sebagaimana tersebut dalam QS
Al-Ikhlas : 1-4
قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ(1)اللَّهُ الصَّمَدُ(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ(3)وَلَمْ
يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ(4)
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang
Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia
tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia".
Sementara Suluk
Wujil menerangkan Keesaan Allah dengan berpangkal pada
kalimat tauhid La ilaha illa’llah (Tiada tuhan selain Allah),
yang uraiannya hanya dapat dipahami secara kefilsafatan. (Lihat ungkapan bait
86-87 di muka). Pandangan Suluk Wujil yang terakhir ini akan dibahas
secara tersendiri.
Suluk Wujil mencoba
membedakan antara pemahaman orang biasa (kaum awam) dengan pemahaman orang
utama (kaum sufi) tentang Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan bait 25 s.d. 28
di bawah ini :
Teks Suluk
Wujil :
(25). … // beneh
kang durung wikan.
(26). Kasompokan
denira ningali // karane tan katon pan kaliwat // tanpa rah-arah rupane //
tuwin si ananipun // mapan wartaning kang utami // yen ta ora enggona // pegat
tingalipun // tingal jati kang sampurna // aningali nakirah yakti dumeling //
kang sajatining rupa.
(27). Mapan tan
ana bedane Wujil // dening kalindhih solahe ika // bedane tan seng purbane //
Wujil sampun tan emut // lamun anggung tinutur Wujil // nora na kawusannya //
siyang lawan dalu // den rasani wong akathah // kitabipun upama perkutut adi //
asring den karya pikat.
(28). Raosana ing
rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na gawene // lewih wong
meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun punapa // …
Terjemahan Suluk Wujil :
(25).”… Lain halnya dengan orang yang belum
mengenal-Nya.”
(26). “Pengertian tentang hal ini
sangat terbatas. Dia sama sekali tidak berbentuk, oleh karena Dia tidak
tampak oleh orang biasa, tetapi Dia Ada. Sesungguhnya menurut
orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi orang yang
berakhir penglihatannya, tampak sesuatu yang benar dan agung. Dan ketika
dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak membayang Wujud yang
sebenarnya”.
(27). “Antara Dia dan wujud ini, Oh,
Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. Hanya Dia tidak tampak oleh karena terdesak
oleh gerakan-gerakan (dari alam semesta). Jadi bedanya tidak tampak (terletak)
pada sumbernya. Jangan kau lupakan selama-lamanya Wujil. Jika kita bicarakan
tentang hal itu, tidak akan habis. Siang dan malam orang berbicara mengenai
Dia. Kitab-kitab-Nya yang Suci seolah-olah merupakan burung perkutut yang
bersuara merdu, yang kerap kali memikat orang lain kepada-Nya.”
(28). “Walaupun siang dan malam
orang membicarakan-Nya, tetapi jika orang belum pernah memperoleh Ajaran
Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada faedahnya. Lebih baik kita tutup
mulut tentang Dia. Betapapun orang membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan
tentang Dia?
Adapun yang dimaksudkan dengan Orang yang utama
adalah orang yang mengenal ajaran rahasia alias ilmu tasawwuf, atau kaum sufi
yang dalam kondisi “Fana’” pernah mengalami peristiwa seolah-olah melihat Tuhan melalui hati sanubarinya (“Pegat
tingalipun”). Lihat pertengahan bait 26 sampai awal bait 27.
Menurut Suluk Wujil, bagi orang-orang yang utama
(kaum sufi), Tuhan tidak mempunyai tempat tertentu (Lihat pertengahan bait 26).
Sedangkan bagi orang yang telah sempurna dan berakhir penglihatannya, bahwa di
balik “wujud alam” yang
tampak ini ada “Wujud”
Mutlak Yang Hakiki (Wujud yang sebenarnya), yakni “Wujud” Tuhan itu
sendiri (Lihat akhir bait 26). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tiada
“wujud” yang sebenarnya, kecuali “Wujud”
Tuhan Allah semata. Hal ini berarti, bahwa segala sesuatu yang ada
ini, pada hakekatnya, adalah “Wujud” Tuhan, tidak ada perbedaan antara “Wujud
Tuhan” dan “wujud dunia”, perbedaan kedua “wujud” tersebut hanya
terletak pada sumber-nya masing-masing, yakni hakekat diri
masing-masing.
2. Wujud Dunia dan Wujud Tuhan
Pandangan orang utama (kaum sufi), sebagaimana yang
diuraikan di atas, sulit untuk diuraikan. Telah dikatakan, bahwa tiada
perbedaan antara “Wujud” Tuhan dan dunia. Namun jika dilihat dari sudut
“Purbane” (sumbernya), kedua “wujud” tersebut menunjukkan
perbedaannya. Tampaknya, yang dimaksudkan dengan kata “Purbane” adalah
asal-usul atau hakekat diri dari kedua “wujud” tersebut. Dengan
demikian, perbedaan dan persamaan antara kedua wujud itu dapat diterangkan
sebagai berikut :
a. Perbedaan “wujud dunia” dan “Wujud Tuhan”. Dipandang dari sudut “hakekat dirinya”, Tuhan
merupakan “Wujud” yang sebenarnya dan dunia merupakan “wujud”
yang bukan sebenarnya. Dikatakan “Wujud” yang sebenarnya, karena Wujud
Tuhan menjadi “Ada” dengan sendirinya, tanpa bantuan yang lain.
Sedangkan “wujud” dunia dikatakan “wujud” bukan sebenarnya,
disebabkan keberadaannya itu tergantung atau ditentukan oleh “Ada”
selainnya, yakni “Ada” Tuhan. Untuk itu dapat
diandaikan, jika Tuhan “Tiada”, tentu dunia akan menjadi “tiada”.
Sebaliknya, “tiada”-nya dunia tidak mengharuskan “Tiada”-nya
Tuhan, karena Dia merupakan “Wujud”
yang ada dengan sendirnya dan tidak tergantung kepada adanya “wujud”
dunia. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Hakekat Diri dunia merupakan “ketiadaan”, sedangkan Hakekat
Diri Tuhan merupakan “Ada” atau “Wujud” yang sebenarnya.
b. Persamaan “wujud dunia” dan “Wujud Tuhan”. “Wujud
dunia” adalah identik dengan “Wujud Tuhan”. Hal ini dirumuskan dari
ke-Ada-an Tuhan dan ke-ada-an dunia sebagaimana uraian di muka.
Dunia dikatakan sebagai suatu “ketiadaan” atau “kekosongan” merupakan
sesuatu yang mustahil, karena secara fenomenal, dunia ini memang “ada”,
akan tetapi dilihat dari sudut hakekat diri-nya, dunia ini memang tidak
memiliki sifat “ada” dan yang memiliki sifat “Ada” yang
sebenarnya adalah hanya Tuhan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa
dipandang dari sudut Hakekat Diri, maka yang disebut “Ada” adalah
hanya Tuhan saja, atau dengan kata lain, Tiada “ada” yang sebenarnya (dunia)
kecuali “Ada” Tuhan, yang berarti bahwa semua yang “ada” ini, dipandang
dari segi hakekat diri-nya, adalah serba Tuhan. Dengan demikian, tiada
perbedaan antara dunia dan Tuhan, keduanya identik.
Pandangan Suluk Wujil di atas sekilas pandang
mengarah kepada faham yang pantehistik, karena ia mencoba meniadakan jurang
pemisah antara “Ada” Tuhan dan “ada” dunia. (Lihat pengertian
“pantheisme” pada Bab I Pendahuluan). Akan tetapi, jika dipandang dari
keseluruhan bait ke-26 dan 27, hal itu mengisyaratkan, bahwa pandangan semacam
itu merupakan pemahaman dari orang yang sedang mengalami kondisi “Fana’”
, atau terhapusnya kesadaran pribadi, sehingga pandangan itu tidak bisa
dijadikan sebagai tolok ukur kepanteistikan Suluk Wujil.
Agaknya, dengan isi kandungan bait 26 dan 27 di atas, Suluk
Wujil mulai berbicara mengenai Tuhan dalam kaitannya dengan makhluk-Nya,
sebagaimana hal ini juga dibahas oleh kaum sufi pada umumnya, dimana uraian
mereka tidak mudah difahami oleh orang awam, kecuali oleh orang-orang yang sefaham dengan mereka. Jika
kaum awam berbicara tentang Tuhan berdasarkan argumentasi dan dalil yang
tertulis didalam Kitab Suci Al-Qur’an, maka kaum sufi atau “Orang
Utama” tidak cukup berdasarkan apa yang tertulis didalam Kitab Suci
itu, akan tetapi didukung oleh pembuktian melihat Tuhan melalui mata
batinnya (“Ma’rifat”), sehingga melahirkan suatu pemahaman, bahwa
tiada perbedaan antara wujud dunia dan Wujud Tuhan, sebagaimana yang diuraikan
didalam bait 27 dan 28 di atas.
Jika pemahaman kaum sufi semacam ini diajarkan kepada
kaum awam, mungkin mereka akan beranggapan bahwa kaum sufi atau orang utama
telah menyamakan wujud dunia dengan Wujud Tuhan. Oleh karena itu
sangat wajar, jika Suluk Wujil memperingatkan kepada orang utama atau
kaum sufi agar tidak membicarakan dan mengajarkan pemahamannya tentang Tuhan
tersebut kepada orang awam. :
Teks Suluk Wujil :
(28). Raosana ing rahina wengi //
yen ora lawan wisik utama // mapan ora na gawene // lewih wong meneng iku //
yen kumedal lidhahireki // uninipun punapa // …
Terjemahan Suluk Wujil :
(28). “Walaupun siang dan malam
orang membicarakan-Nya, tetapi jika orang belum pernah memperoleh Ajaran
Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada faedahnya. Lebih baik kita tutup
mulut tentang Dia. Betapapun orang membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan
tentang Dia?…”
Suluk Wujil selanjutnya
mengemukakan konsepsinya tentang “Wujud Tuhan” dan “wujud dunia”. Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menilai faham Ketuhanan Suluk Wujil.
Teks Suluk Wujil:
(84). Pun
Wujil matur asahur bakti // panggrahitaning kawula mindha // tunggaling roro
karsane // orane ananipun // ananipun oranireki // Sang Guru adi lingira //
unggahe lingiku // pun Wujil asahur sembah // tan kena munggah raos kadi uniki
// anuhun pangandika.
(85). Sang Ratu Wahdat lingira aris // hih ra
Wujil bener ujanira // samene iku unggahe // LA ILAHA puniku // amot Itsbat
kalawan Nafi // Jatine ana-ora // iku tegesipun // Pangeran
asipat ora // ing orane samput awit ananeki // anane’ku nakirah.
(86). Nafi Nakirah lan Nafi Jinis // mapan iku
jinising Pangeran // kang Nafi nyateng Itsbate // Nafi lan Itsbat iku // nora
pisah pan ora tunggil // Nafi kalawan Itsbat // Nafi karoni pun // Nafi roro
winaleran // dining ILLA karone tan kena manjing // maring lafal ILLA’LLAH.
(87). Hih ra Wujil kawruhana malih // kang Itsbat
iku rekeh den nyata // atuduh marang Mutsbate // dalil kalawan mad-lul
// iki rekeh saminireki // ingkang lafal ILLA’LLAH // Mutsbat aranipun
// mutlak iku Ismu’llah // tan kena liyanena Pangeran kalih //
anging lafal ILLA’LLAH.
Terjemahan
Suluk Wujil :
(84).
Wujil melanjutkan dengan hormat, “Menurut pendapat seorang dungu seperti hamba,
yang dimaksudkan oleh Gusti ialah Manunggalnya dua unsur : Ke-Tiada-
-annya adalah Ke-Ada-annya,
dan Ke-Ada-annya adalah Ke-Tiada- -annya”. Sang Guru berkata,
“Bagaimana penjelasanmu selanjutnya?”. Wujil sambil berdatang sembah, “Hal ini
tidak dapat dijelaskan lagi. Apa pendapat Gusti?”.
(85). Sang
Ratu Wahdat (Sunan Bonang) berkata perlahan-lahan, “Kau benar Wujil. Hal ini
hanya dapat dibicarakan sampai di sini saja. La Ilaha meliputi Itsbat
(konfirmasi) dan Nafi (negasi, penyangkalan), adalah ke-Ada-an
dan ke-Tiada-an. Artinya : Hakekat dari Tuhan adalah Ketiadaan,
dan didalam Ketiadaan-Nya itu Dia mulai Ada. Dan
ADA-Nya itu disebut Nakirah (Ada Tuhan yang
bersifat umum).
(86). Nafi
Nakirah dan Nafi Jinis merupakan Wujud (jenisnya) Tuhan. Nafi
(negasi) mengandung Itsbat (konfirmasi, pengakuan). Nafi dan Itsbat itu tidak
terpisah, dan juga tidak manunggal. Akan tetapi Nafi dan Itsbat, juga kedua
macam Nafi (Nafi nakirah dan Nafi jinis) kedua-duanya dibatasi oleh kata ILLA
(pengecualian, pembatasan), dan tidak boleh (atau tidak dapat) masuk kedalam
lafazh ILLA’LLAH
(87). “Selanjutnya kau harus tahu, Wujil,
bahwa yang namanya Itsbat (pengakuan : Ke-Ada-anNya) harus
memberi petunjuk yang jelas kepada Mutsbat-nya (segala sesuatu yang
dianggap “Ada”), seperti suatu Dalil (petunjuk) terhadap Madlul-nya
(yang ditunjuk). Rumus Illa’allah dinamakan Mutsbat (Yang
dianggap “Ada”), yakni secara mutlak merupakan Ismu’llah (Nama
Pribadi Allah). Tuhan lain tidak boleh ditempatkan di samping-Nya. Hanya Dia
Allah-lah rumus Illa’llah itu layak/tepat”.
Kalimat tauhid “La
ilaha illa’llah” menurut bait-bait di atas mengandung gagasan pokok tentang
“Ada” Tuhan”dan “ada” dunia. Suluk Wujil mula-mula
membahas lafal “La ilaha ”, yang artinya Tiada tuhan, yang
disebut dengan rumusan Nafi, yang menunjuk kepada “ada” dunia. Kemudian ia membahas lafal “illa’llah”, yang
artinya kecuali Allah, yang disebut dengan rumusan Itsbat, yang
menunjukkan kepada “Ada” Tuhan.
Namun perlu diingat, bahwa bait-bait di atas merupakan
bagian yang sangat sulit untuk diuraikan, karena didalamnya terdapat beberapa
istilah atau padanan kata yang kurang jelas batas-batas pengertiannya. Misalnya
istilah “Itsbat”, “Nafi”, “Nafi Nakirah”, “Nafi Jinis”,
“Dalil”, “Madlul”, dan “Mutsbat”. Karenanya perlu
dijelaskan terlebih dahulu pengertian beberapa istilah penting yang dianggap
sebagai kunci dalam memahamai konsepsi Suluk Wujil tentang konsep
“Yang Ada” atau konsep “Wujud”.
Istilah “Itsbat” dan “Nafi”, keduanya
berasal dari bahasa arab. Kata “Itsbat” berasal dari kata : الاِثْـبَاتُ (Al-Itsbat), yang
berarti peneguhan, pengiyaan atau penetapan. Sedangkan kata “Nafi” berasal
dari kata : الـنَّـفِي (An-Nafi), yang berarti
penyangkalan, peniadaan atau pengingkaran. (Warson,A., 2984 ; 157 dan 1549).
Jika dikaitkan dengan konsep “Yang Ada”, maka istilah “Itsbat”
berarti “peng-Ada-an” (konfirmasi), dan istilah “Nafi” berarti
“pen-Tiada-an” (negasi).
Pengertian yang terkandung didalam istilah “Nafi”
dibedakan menjadi dua macam, yakni “Nafi Jinis” dan “Nafi Nakirah”.
Untuk mengetahui kedua pengertian Nafi tersebut, dapat diperbandingkan
dengan uraian kitab “Suluk Ngasmara” berikut ini, (Zoetmulder, 1991 ;
103-107) :
Teks :
(1). Ngalap pawarta kang ening //
pawartane wong kang mulya // angrasani ing jatine // tapsir ing napi lan itsbat
// kang satuhu ning ora // napi jinis wastanipun // kapindu napi nakirah.
(2). Tegese kang napi jinis //
sejati-jati ning ora // apan tan ana wujute // tegese napi nakirah // ana lawan
pinurba // orane kalawan tuduh // iku jati ning nakirah.
(3). Kang ingaran napi jinis //
atuduh ing dewekira // pan tan ana ing deweke // yogya mami waskitaa // dening
basa nakirah // nora mujud nora makdum // pan tan kena winicara.
(4). Nanging si malih sireki //
sampun boten amicara // ing roro iku raose // iku ingaranan ora // apan tan ana
pisan // iku kajatine suwung // liyep
datanpa tamahan.
(5). Sakatahe kang dumadi // ingaran
napi nakirah // atuduh anane dewe // pan dudu anane dawak // napi jinis ingaran
// tan ana mamada iku // lawan sifat ing Pengeran.
Terjemahan :
(1). Marilah kita ingin memahami
warta orang-orang yang mulia yang berbicara mengenai kebenaran, yaitu
keterangan mengenai napi dan itsbat. “Tiada” yang sebenarnya bernama
napi jinis, yang kedua bernama napi nakirah.
(2). Napi jinis berarti “Tiada”
dalam arti yang sesungguhnya, karena ia memang tiada. Napi nakirah berarti “ada”
sebagai makhluk, “tiada” tetapi dengan mengacu (kepada “Ada” yang
lain). Inilah arti sejati dari kata nakirah.
(3). Yang dinamakan napi jinis hanya
menunjukkan kepada dirinya sendiri. Pada dasarnya
sama dengan “Tiada”. (Di sini Anda harap berhati-hati). Nakirah itu
bukan “ada” atau “tiada”. Sebetulnya ini tidak dapat diungkapkan.
(4). Tetapi kau tokh harus
membicarakan arti kedua itu. Yang satu
disebut “tiada” karena seluruhnya memang “tiada”. Itulah kekosongan,
lenyap tanpa batas.
(5). Tetapi segala sesuatu yang
menjadi “ada” (wujud dunia) disebut napi nakirah. “Ada”-nya yang
khas ialah menunjukkan (kepada “Ada” yang mutlak). Yang sama sekali
tidak memiliki “Ada” disebut napi jinis. Kedua-duanya tidak mempunyai
kemiripan dengan sifat-sifat Tuhan.
Dengan bantuan penjelasan dari Suluk Ngasmara di atas,
maka dapat ditarik satu pengertian, bahwa yang dimaksudkan dengan “Nafi
Jinis” adalah “Tiada” dalam arti yang sesungguhnya, karena dilihat
dari sudut jenis-nya (atau dirinya sendiri) menunjukkan suatu “Ketiadaan”.
Hal ini berarti bahwa Nafi Jinis adalah segala sesuatu yang pada
hakekatnya tidak memiliki “ada”, karena ia memang tidak ada. Sedangkan
yang dimaksud dengan “Nafi Nakirah” ialah “tiada” dilihat dari
sudut Hakekat Dirinya, akan tetapi merupakan “ada” jika dilihat
dari sudut hubungannya dengan “Ada” yang lain.
Berangkat dari pengertian Nafi dan Itsbat
di atas, penulis mencoba merumuskan konsepsi tentang “Wujud Tuhan” dan “wujud dunia”, “Imanensi
dan Transendensi Tuhan, sebagaimana yang diuraikan Suluk Wujil bait
84 s.d. 87 di muka.
Wujud Dunia. Wujud dunia
dapat dirumuskan dari makna yang terkandug didalam lafal “La ilaha” (tiada
tuhan). Wujud dunia dapat dipandang dari dua sudut: pertama dari
sudut dirinya sendiri dan kedua dari sudut hubungannya dengan wujud
yang lain. Dipandang dari sudut dirinya sendiri, dunia merupakan suatu “ketiadaan”,
karena ia pada hakekatnya tidak memiliki “ada”. Wujud dunia yang
diartikan sebagai suatu “ketiadaan” semacam ini disebut Nafi Jinis.
Namun jika dipandang dari sudut arah datangnya dirinya sendiri, maka wujud dunia
ini dapat dikatakan “ada” dan “tiada”. Dikatakan “ada” karena ia
berhubungan dengan “Ada” yang lain, dan dikatakan “tiada”, karena keberadaannya
itu bukan merupakan “ada” yang sesungguhnya (mandiri), akan tetapi
keberadaannya itu karena diadakan atau tergantung kepada “Ada” yang lain.
Dengan kata lain, wujud dunia merupakan “ada” majazi, yakni “ada”
yang bukan sesungguhnya. Pengertian semacam ini disebut Nafi nakirah.
Wujud Tuhan. Suluk Wujil merumuskan “Wujud Tuhan”
sebagaimana yang diungkapkn oleh bait 85 dan 86 berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(85). … LA
ILAHA puniku // amot Itsbat kalawan Nafi // Jatine ana-ora
// iku tegesipun // Pangeran asipat ora // ing orane samput awit
ananeki // anane’ku nakirah.
(86). Nafi Nakirah lan Nafi Jinis // mapan iku jinising
Pangeran // kang Nafi nyateng Itsbate // …
Terjemahan Suluk
Wujil :
(85). … . La Ilaha meliputi Itsbat
(konfirmasi) dan Nafi (negasi, penyangkalan), adalah ke-Ada-an
dan ke-Tiada-an. Artinya : Hakekat dari Tuhan adalah Ketiadaan,
dan didalam Ketiadaan-Nya itu Dia mulai Ada. Dan
ADA-Nya itu disebut Nakirah (Ada Tuhan yang
bersifat umum).
(86). Nafi Nakirah dan Nafi
Jinis merupakan Wujud (jenisnya) Tuhan. Nafi (negasi) mengandung Itsbat
(konfirmasi, pengakuan)….
Menurut bait di atas, “Wujud Tuhan” dapat dirumuskan dari pernyataan
lafal “La ilaha”, yakni pernyataan yang mengandung pengertian Nafi
Jinis dan Nafi Nakirah. Padahal di muka sudah
dijelaskan, bahwa kandungan lafal “La ilaha” itu menunjuk kepada “wujud
dunia” . Apakah hal itu berarti bahwa “wujud dunia” sama dengan “Wujud
Tuhan” ?.
Yang dimaksud dengan ungkapan bahwa“Wujud Tuhan dapat dirumuskan dari
lafal La ilaha” adalah bahwa
lafal La ilaha merupakan pernyataan Nafi (penyangkalan), yang
meliputi Nafi Jinis dan Nafi Nakirah. Kedua bentuk Nafi tersebut
sekaligus mengandung suatu Pengakuan (Itsbat). Maksudnya, didalam
Nafi Jinis tersebut, “wujud dunia” dipahami sebagai suatu “ketiadaan”
dalam arti yang sesungguhnya
atau “kekosongan”, karena dunia pada hakekatnya tidak dapat
mengadakan dirinya sendiri. Bahkan “ketiadaan” (Nafi jinis) tersebut
dapat meliputi segala sesuatu yang ada, baik dunia maupun Tuhan. Hal ini
berarti bahwa hakekat segala sesuatu yang ada ini merupakan suatu “ketiadaan”
atau “kekosongan”. Sementara “ketiadaan” dunia dan Tuhan dalam
pengertian yang sesungguhnya adalah mustahil. Dengan demikian, maka muncullah
suatu “pengakuan” (Itsbat), bahwa di balik “ketiadaan” itu tentu
ada “Ada” atau Wujud yang sebenarnya, yang mutlak dan ada dengan
sendirinya, yakni “Ada” Tuhan. Sementara itu, didalam pengertian Nafi
Nakirah, dunia dipahami sebagai sesuatu yang “ada” dan “tiada”,
yang berarti wujud dunia bersifat majazi (boleh, mungkin, kiasan), dimana “ada”
dan “tiada”-nya dunia tergantung kepada hubungannya dengan “Ada”
yang lain. Hal ini akan memunculkan “pengakuan” (Itsbat), bahwa di luar
“ada” dunia yang majaz ini, tentu ada “Ada” yang mutlak, yang
mandiri dan tidak tergantung kepada “ada” yang lain. Itulah “Ada” Tuhan.
“Ada” Tuhan yang mutlak dan mandiri tersebut masih dapat dikatakan “Nakirah”,
yakni masih bersifat umum dan belum jelas. (Lihat bait 85 bagian akhir).
Artinya, “Ada” Tuhan yang mutlak lagi mandiri tersebut tidak menunjuk
kepada nama Tuhan tertentu. Persoalannya, “Siapa yang berhak disebut “Ada”
Tuhan yang mutlak lagi mandiri itu?”. Maka Suluk Wujil menjawabnya
dengan bait 87 berikut ini :
Teks Suluk
Wujil :
(87). Hih ra Wujil kawruhana malih // kang
Itsbat iku rekeh den nyata // atuduh marang Mutsbate // dalil
kalawan mad-lul // iki rekeh saminireki // ingkang lafal ILLA’LLAH //
Mutsbat aranipun // mutlak iku Ismu’llah // tan kena
liyanena Pangeran kalih // anging lafal ILLA’LLAH.
Terjemahan Suluk
Wujil :
(87). “Selanjutnya kau harus tahu, Wujil,
bahwa yang namanya Itsbat (pengakuan : Ke-Ada-anNya) harus
memberi petunjuk yang jelas kepada Mutsbat-nya (segala sesuatu yang
dianggap “Ada”), seperti suatu Dalil (petunjuk) terhadap Madlul-nya
(yang ditunjuk). Rumus Illa’allah dinamakan Mutsbat (Yang
dianggap “Ada”), yakni secara mutlak merupakan Ismu’llah (Nama
Pribadi Allah). Tuhan lain tidak boleh ditempatkan di samping-Nya. Hanya Dia
Allah-lah rumus Illa’llah itu layak/tepat”.
Menurut bait 87 di atas, yang berhak disebut “Ada” Tuhan yang mutlak
lagi mandiri tersebut hanyalah ALLAH. Jadi “Allah” merupakan nama
pribadi Tuhan (Ismu’llah). Hal ini berarti, bahwa segala sesuatu yang
“dianggap” Tuhan, selain Tuhan Allah, adalah bukan Tuhan yang sebenarnya, atau
bukan termasuk kategori “Ada” Tuhan yang mutlak lagi mandiri, melainkan
masuk katerogi “ada” dunia.
Dengan penjelasan di atas, maka dapatlah disimpulkan, bahwa hakekat “Wujud
Tuhan” dan “wujud dunia” adalah berbeda sama sekali dan tidak
identik. Segala sesuatu (selain Allah) yang “dianggap” sebagai Tuhan tidak
boleh disejajarkan atau ditempatkan sejajar di samping Tuhan Allah.
Artinya, seseorang tidak boleh menyamakan antara dunia dan Tuhan Allah, serta
tidak boleh menyekutukan Tuhan Allah dengan segala sesuatu selain-Nya (“ada”
dunia).
Imanensi dan Transendensi Tuhan. Hakekat “wujud
dunia” dan “Wujud Tuhan”, menurut pemahaman Suluk Wujil,
adalah berbeda sama sekali. Apakah perbedaan itu juga berarti bahwa kedua
“Wujud” ini terpisah sama sekali, yang berarti bahwa wujud dunia di sini dan
Wujud Tuhan di sana? Ataukah perbedaan tersebut masih membutuhkan suatu
hubungan antar keduanya, yang berarti bahwa keduanya tidak terpisah sama sekali
?
Suluk Wujil mengungkapkan hubungan antar kedua “wujud”
tersebut didalam bait 86 berikut ini :
Teks Suluk
Wujil :
(86). Nafi Nakirah
lan Nafi Jinis // mapan iku jinising Pangeran // kang Nafi nyateng Itsbate //
Nafi lan Itsbat iku // nora pisah pan ora tunggil // Nafi kalawan Itsbat //
Nafi karoni pun // Nafi roro winaleran // dining ILLA karone tan kena
manjing // maring lafal ILLA’LLAH.
Terjemahan Suluk
Wujil :
(86). Nafi Nakirah
dan Nafi Jinis merupakan Wujud (jenisnya) Tuhan. Nafi (negasi)
mengandung Itsbat (konfirmasi, pengakuan). Nafi dan Itsbat itu tidak terpisah,
dan juga tidak manunggal. Akan tetapi Nafi dan Itsbat, juga kedua macam Nafi
(Nafi nakirah dan Nafi jinis) kedua-duanya dibatasi oleh kata ILLA
(pengecualian, pembatasan), dan tidak boleh (atau tidak dapat) masuk kedalam
lafazh ILLA’LLAH.
Menurut bait di atas, dunia dan Tuhan meskipun
dikatakan berbeda, akan tetapi keduanya tidak terpisah sama sekali dan juga
tidak “manunggal” sama sekali. Dunia merupakan “ada” majazi yang
serba tergantung kepada “Ada” Tuhan, sementara Tuhan merupakan “Ada”
hakiki, mutlak lagi mandiri, yang memberikan “ada” kepada dunia. Dalam
hubungan antara keduanya, dunia berkedudukan sebagai “ada” tercipta atau
makhluk, dan Tuhan berkedudukan sebagai “Ada” Pencipta atau Khalik
sekaligus Pemelihara dunia. Karena Tuhan
berkedudukan sebagai Pencipta sekaligus Pemelihara terhadap makhluknya (dunia)
itulah, maka Tuhan selalu mengadakan hubungan secara terus menerus dengan dunia
makhluk-Nya, yang berarti bahwa Tuhan bersifat “immanen”. Jika Tuhan
tidak mengadakan hubungan atau tidak immanen terhadap dunia ciptaan-Nya,
maka dunia tidak akan menjadi “ada”, disebabkan karena hakekat
keberadaan dunia merupakan “ada” majazi yang serba tergantung kepada
keberadaan Tuhan.
Ke-Immanensi-an Tuhan terhadap dunia
ciptaan-Nya tidak menyebabkan Diri-Nya (Dzat-Nya) larut kedalam dunia. Karena
hakekat diri (Dzat) masing-masing memang berbeda, sehingga kedua “dzat”
tersebut tidak akan dapat bercampur baur, tidak akan saling memasuki,
dan tidak akan dapat bersatu padu dalam Satu kesatuan Wujud. Atas dasar
kenyataan ini, maka Tuhan bersifat “Transenden”, yakni mengambil jarak
terhadap dunia ciptaan-Nya.
Penjelasan di atas agaknya sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh bait 86 Suluk Wujil : “…Nafi lan Itsbat iku // nora
pisah pan ora tunggil // Nafi kalawan Itsbat // Nafi karoni pun // Nafi roro
winaleran // dining ILLA karone tan kena manjing // maring lafal
ILLA’LLAH” (…Nafi dan Itsbat itu tidak terpisah, dan juga tidak manunggal.
Akan tetapi Nafi dan Itsbat, juga kedua macam Nafi (Nafi nakirah dan Nafi
jinis) kedua-duanya dibatasi oleh kata ILLA (pengecualian, pembatasan),
dan tidak boleh (atau tidak dapat) masuk kedalam lafazh ILLA’LLAH.).
Dari pernyataan bait di atas dapatlah disimpulkan,
bahwa Suluk Wujil mengajarkan tentang adanya Tuhan yang bersifat immanen
sekaligus transenden. Ketransendenan Tuhan tidak mutlak dan keimanensian-Nya
pun juga tidak mutlak. Ketransendenan-Nya mengandaikan adanya
keimanensian-Nya. Dan begitu sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar