Sunan Gunungjati yang bernama asli Syarif
Hidayatullah, menurut naskah silsilah yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Abdullah
as-Saqqaf, adalah putra Syarif Abdullah bin Ali Nur Alam bin Maulana Jamaluddin
al-Akbar al-Husain bin Ahmad Syah Jalal bin Amir Abdul Malik bin Alwi bin
Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Ali bin Muhammad bin Alwi bin
Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far
ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali,
suami Fathimah az-Zahrah binti Rasulullah saw. Hubungannya dengan Sunan Ampel,
ia adalah keponakannya, karena nasabnya bertemu dengan Sunan Ampel pada
datuknya yang bernama Maulana Jamaluddin al-Akbar al-Husain.
Sementara menurut buku Pustoko Darah
Agung, Sunan Gunungjati adalah putra Sekh Maulana Ishak yang lahir dari
isteri ketiganya, yakni seorang wanita (tidak jelas namanya) putri Batara
Katong, salah satu dari putra Prabu Brawijaya V yang menjadi Adipati Majapahit
di Ponorogo. Lepas dari salah dan benarnya silsilah tersebut, yang jelas Sunan
Gunungjati adalah anak Sekh Maulana Ishak dan masih keturunan Rasulullah saw. Hubungannya
dengan Sunan Giri, ia adalah saudara seayah berbeda ibu dengannya.
Syarif Hidayatullah lahir di Pasai dan tidak jelas tang-gal
kelahirannya. Pada masa kecilnya, ia belajar agama pada ayahnya, Syekh Maulana
Ishak, di Pasai. Menjelang dewasanya, Pasai diduduki oleh penjajah Portugis
yang datang dari Malaka dan karena perasaan bencinya kepada kaum kafir
tersebut, akhirnya ia terdorong pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu sekaligus
melakukan haji di sana.
Menurut
buku Sejarah Banten Rante-rante, Syarif Hidayatullah menuntut ilmu,
terutama tasawwuf dan tare-kat, di Makkah dan Madinah. Di sana ia di-baiat
sebagai penganut tarekat Syadziliyah,
Syattariyah, Naqsyaban-diyah, dan terutama tarekat Kubrawiyah.
Bahkan dicerita-kan, ia pertama kali berguru kepada Syekh Najmuddin al-Kubra
(pendiri tarekat Kubrawiyah), lalu berguru kepada Ibnu Athaillah al-Sakandari
al-Syadzili (penulis kitab Al-Hikam). Didalam buku itu juga disebutkan silsilah
tarekat Kubrawiyah dan 27 murid seperguruan dengannya.
Namun cerita tersebut agak janggal jika ditilik dari biografi Syekh
Najmuddin yang wafat di Khawarizmi (Asia Tengah) pada tahun 1221 dan Ibnu
Athaillah yang wafat di Mesir pada abad ke-13, dan juga ada beberapa “tokoh”
yang dikatakan sebagai murid seperguruan dengannya ternyata hidup jauh sebelum
Syarif Hidayatullah lahir.
Lepas dari salah dan benarnya, mungkin
yang dimaksudkan oleh cerita tersebut adalah bahwa Syarif Hidayatullah
mempelajari dan mendalami ajaran tarekat Kubrawiyah, tarekat Syadiliyah dan
kitab tasawwuf Al-Hikam karya Ibnu Athaillah. Atau mungkin yang
dimaksudkannya adalah ia selalu berhubungan dengan para guru tarekat Kubrawiyah,
baik di Makkah maupun setelah di Banten, karena pada saat itu tarekat ini telah
diikuti oleh para pembesar Kesultanan Turki Usmani dan dianggap sebagai tarekat
yang terhebat. Selain itu, tarekat ini sebelumnya memang sudah masuk ke tanah
Jawa dibawa oleh Syekh Jumadil Kubra, nama lain dari Syekh Maulana Jamaluddin
al-Husain al-Kubra yang menjadi nenek moyang para Walisongo, selain Sunan
Kalijaga.
Setelah
beberapa tahun berada di Makkah, ia pulang ke Pasai dan ternyata penjajah
Portugis masih bercokol di sana. Hal ini semakin menambah kebenciannya kepada
mereka, lalu memutuskan diri untuk meninggalkan Pasai menuju ke Jawa. Kedatangannya
di Jawa pada tahun 1521 M mendapatkan sambutan baik dari Sultan Trenggono yang
saat itu sedang berkuasa di Demak. Pada masa Sultan Trenggono (1521 – 1546 M)
ini, Demak mengalami masa kejayaan. Daerahnya semakin luas dan angkatan lautnya
pun cukup kuat, sehingga Demak berani menyerang dan mengusir Portugis yang
sedang menjajah Malaka, meskipun tidak berhasil. Hanya penjajah portugis yang
mencoba menjajah daerah Sunda Kelapa (tahun 1526 M) yang berhasil dihancurkan
oleh pasukan Demak yang dipimpinan oleh Panglima Syarif Hidayatullah pada tahun
1527 M, setelah sebelumnya Banten dapat ditundukkan dari kekuasaan Pajajaran.
Untuk menandai kemanangan ini, kota pelabuhan Sunda Kelapa diganti
namanya dengan Jayakarta, yang berarti kota kemena-ngan. Sementara
Syarif Hidayatullah sendiri mendapatkan julukan Fatahillah yang berarti
kemenangan dari Allah, dan kemudian diucapkan secara salah oleh lidah
Portugis dengan Falatehan.
Setahun
kemudian, tahun 1528, kota pelabuhan Cirebon dapat direbutnya dari kekuasaan
Pajajaran. Dan berkat bantuan dari Syarif Hidayatullah, beberapa wilayah Jawa
Barat bagian pesisir utara Jawa (Banten, Jayakarta, Cirebon dan sekitarnya),
yang tadinya di bawah kekuasaan Pajajaran, tunduk kepada Kesultanan Demak. Alasan pokok perebutan wilayah tersebut
adalah karena Pajajaran dipandang mengadakan persekutuan dengan Portugis,
berdasarkan surat perjanjian yang ditandatangi oleh kedua pihak pada tahun 1522 di Pakuan Bogor, hal ini dikhawa-tirkan akan
membahayakan Kesultanan Demak. Untuk menjaga kelestarian daerah tersebut,
Syarif Hidayatullah diangkat sebagai penguasa di daerah tersebut, setelah
sebelumnya Sultan Trenggono menikahkannya dengan saudara perempuannya, putri
Raden Patah.
Selain
menjadi penguasa, Syarif Hidayatullah juga menjadi seorang Muballigh yang
menyebarkan agama Islam di wilayah yang dikuasainya. Meskipun diangkat sebagai
penguasa dan berhasil mengislamkan masyarakat Jawa Barat bagian utara dan
sekitarnya, serta sangat besar pengaruhnya di wilayah tersebut, ia tetap tunduk
sepenuhnya dan menjadi pendukung setia kesultanan Demak. Baru setelah Sultan
Trenggono wafat dan terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana
Demak yang berakhir dengan kemenangan Jaka Tingkir alias Hadiwijaya (menantu
Sultan Trenggono) sebagai sultan- nya, Syarif Hidayatullah lalu memisahkan diri
dari Demak dan mendirikan kesultanan sendiri di Banten dan Cirebon. Karena
sejak saat itu, Kesultanan Demak telah jatuh dan berganti menjadi Kesultanan
Pajang.
Pada masa selanjutnya, Kesultanan Banten
diserahkan kepada putranya yang tertua, bernama Hasanuddin, sementara ia
sendiri mengurusi daerah Cirebon. Setelah tua, ia menyerahkan Kesultanan
Cirebon kepada putranya yang muda dan ia
sendiri memusatkan diri untuk berdakwah sampai wafat di Cirebon pada tahun
1570. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Gunung Jati. Sejak saat itu ia lebih
dikenal dengan julukan Sunan Gunungjati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar