Berdasarkan
bukti dan fakta sejarah yang terkuat, Islam pertama kali masuk ke Indonesaia,
khususnya di pulau Jawa, adalah pada akhir abad ke-7 Masehi atau abad 1
Hijriyah, semasa dengan dinasti Bani Umaiyah di Damaskus. Menurut berita dari
Cina, pada abad ke-7 (sekitar tahun 674-675) ada utusan dari raja Ta-Cheh
(Arab) menemui Ratu Sima di kerajaan Kalingga - di Boyolali Jawa
Tengah. Utusan itu meletakkan punti-pundi emas di tengah jalan, untuk menguji
keadilan dan kejujuran Ratu Sima dan rakyatnya dalam menjalankan agama
Budhanya. Menurut Buya DR. Hamka, raja Ta-Cheh tersebut diduga bernama Mu'awiyah
bin Abu Sufyan, kholifah pertama Bani Umaiyyah. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa pada saat itu
mulai terjadi proses Islamisasi di Jawa.
Masyarakat muslim terbentuk di
Jawa paling tidak pada abad ke 11 M. Dokumen yang dapat dipercaya ialah
ditemukannya batu nisan makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M
di desa Leran, Gresik, Jawa Timur. Lihat G.W.J. Drewes, “New Ligh on the
Coming of Islam in Southeast Asia dalam Ahmad Ibrahim et al (eds), Reading
on Islam in Southeast Asia (Siangapore; Institute of Southeast Asian
Studies, 1985), h. 7 – 19. dan lihat juga, “Makam Siti Fathimah binti
Maimun; awal sejarah Gresik yang terlupakan”, Kompas, 10 Mei 2002, h. D
(Suplemen Jawa Timur).
Dalam buku Sejarah Tanah
Jawa karangan Fruin Mees, jilid II halaman 8, dikatakan ; “Sunan Kalijaga
hidup pada awal abad ke-15 di Kadilangu Demak. Di sana terdapat Masjid Agung
Demak yang didirikan tahun 874 H (1468 M), Maka dapat dipastikan, bahwa sebelum
itu Islam telah ada di sana”
Seluruh sejarawan menyebutkan
bahwa penyebaran Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh Walisongo.
Persoalannya, siapa itu Walisongo?
Istilah “Walisongo” pada
umumnya diartikan sebagai sembilan orang Waliyulloh yang sangat dicintai Allah
dan sangat dekat denganNya yang dianugerahi karomah tertentu dan dipandang
sebagai penyebar utama agama Islam di Jawa.
Menurut Prof. K.H.R. Mohammad
Adnan, kata “songo” merupakan kerancuan dari kata “sana” (bahasa
arab : Tsana’) yang berarti
“mulia, terpuji”. Istilah yang tepat bukan Walisongo, tetapi Walisana,
yang berarti “Para wali yang terpuji dan mulia”. Dengan demikian, jumlah mereka
tentu lebih dari sembilan orang. Pendapat ini diperkuat oleh R. Tanoyo.[1] Hanya saja menurutnya, sana
bukan berasal dari bahasa arab tsana’, tetapi dari bahasa jawa kuno yang
berarti tempat, daerah atau wilayah. Walisana berarti Wali bagi suatu
tempat / wilayah tertentu. Dalam kaitannya dengan ini, para Wali juga disebut Sunan,
yang berarti orang yang dijunjung atau dimuliakan di suatu wilayah tertentu.
Misalnya Sunan Ampel, seorang wali yang dijunjung dan dihormati di daerah Ampel
Surabaya.
Sementara menurut Asnan Wahyudi
dan Abu Khalid, MA didalam bukunya, Kisah Walisongo, yang dinukil dari
kitab Kanzul Ulum, karya Ibnu Bathuhah, yang disempurnakan dan
diteruskan oleh Syekh Maulana Al-Maghrabi, dijelaskan, bahwa istilah Walisongo
adalah nama dari Lembaga Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan
sembilan orang pengurus. Lembaga ini pernah melakukan tiga kali sidang
penggantian Pengurus, yaitu pada tahun 1404 M, 1436 M dan 1463 M
. Ditambahkan oleh KH Dachlan Abdul Qahhar, bahwa Lembaga Dewan
Muballigh ini mengadakan sidang yang keempat pada tahun 1466 M, dan sidang
kelima sewaktu menangani kasus Seh Siti Jenar.
[1] ) R. Tanoyo mengatakan lagi,
istilah Walisana dipopulerkan
oleh Sunan Giri II sebagai judul bukunya, Kitab Walisana. Didalam kitab
ini dijelaskan, bahwa Waliyulloh, penyebar utama Islam di Jawa berjumlah
8 orang, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Kudus, Sunan Majagung, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Selain ke-8 orang
ini, masih ada lagi para wali yang berstatus sebagai wakil yang disebut Wali Nuqba atau Wali
Nuqaba. yang jumlahnya sangat banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar