Sunan Kalijaga yang bernama asli Raden
Mas Syahid ini adalah satu-satunya Wali asli keturunan Jawa, yang
memiliki jiwa besar, berpandangan jauh ke depan, serta berpikiran intelek dan
tajam. Ia lahir di Tuban. Kapan hari kelahiran dan wafatnya, tidak diketahui
dengan pasti, selain bahwa makamnya berada di Kadilangu Demak dan hidup sejaman
dengan Sunan Bonang. Bahkan menurut cerita babad, ia merupakan Wali yang
paling panjang usianya, karena ia mengalami tiga periode pemerintahan, yakni
periode Demak, Pajang dan awal berdirinya Mataram Islam.
Ayahnya bernama Tumenggung Wilotikto (bupati Tuban) bin
Arya Teja III (mertua Sunan Ampel) dan ibunya bernama Dewi Nawang Rum. Dengan
demikian, ia adalah keponakan Sunan Ampel, yang di kemudian hari dijodoh-kan
dengan putrinya yang bernama Siti Khafshah (menurut riwayat lain bernama Siti
Muthmainnah)
Sebelumnya, Sunan Kalijaga pertama kali
menikahi Dewi Saroh binti Maulana Ishak bin Ibrahim Asmarakandi, yang nantinya
melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan
Dewi Sofiyah.
Selanjutnya, menurut buku Pustoko
Darah Agung, Sunan Kalijaga menikah untuk yang kedua kalinya dengan Ratu
Kano dari Kediri, maka lahirlah lima orang anak : 1) Kanjeng Ratu Pembayun,
isteri Sultan Trenggono; 2) Nyi Ageng
Panenggak, isteri Ki Ageng Paker; 3)
Sunan Hadi, alias Panembahan Kali; 4)
Raden Abdurrahman; 5) Nyi Ageng Ngerang,
isteri Ki Ageng Ngerang III di Laweyan Solo.
Sedangkan isteri Sunan Kalijaga yang
ketiga adalah Siti Khafshah (menurut riwayat yang lain bernama Siti Muthmainnah),
putri Sunan Ampel.
Pada masa mudanya, Raden Syahid terkenal
dengan julukan Brandal Lokajaya, disebabkan kehidupannya yang penuh
diwarnai dengan kekerasan, perampokan, kesesatan, pembunuhan dan kejahatan
besar lainnya. Berkat dakwah dan bimbingan Sunan Bonang, ia bertobat ke jalan
yang benar. Bahkan di kemudian hari ia menjadi tokoh utama Walisongo yang
mendapat julukan Wali Penutup dan “Puser” (pusat) para Wali.
Raden Syahid juga terkenal dengan julukan
Sunan Kalijaga. Kata “Kalijaga” yang berarti penjaga kali /
sungai adalah berawal dari kisah babad. Setelah bertobat, ia bermaksud
ingin menjadi murid Sunan Bonang. Sebagai syarat menjadi murid, ia harus duduk
bertapa di tepi kali / sungai sambil menunggui tongkat yang ditancapkan gurunya
itu. Ia tidak boleh berpindah dari tempat duduknya sampai gurunya kembali.
Menurut cerita ini, konon Sunan Bonang lupa dengan janjinya untuk menemui
kembali sang murid yang ditugaskan menunggui tongkatnya, dan baru ingat setelah
beberapa tahun berlalu. Sementara sang murid mentaati perintah gurunya itu
dengan sabar, sampai-sampai badannya “lumuten” (berlumuran lumut), rerumputan dan akar-akar pepohonan tumbuh
merambati badannya. Masyarakat sekitar yang melihat pemandangan tersebut kemudian menjulukinya dengan sebutan Kalijaga
(penjaga kali).
Cerita di atas menurut sementara pihak
dipandang sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Sedangkan hal-hal aneh dan
tidak masuk akal didalam cerita di atas menunjukkan kesaktian dan karamah
Sunan Kalijaga, seperti kuat duduk semedi tanpa bergerak dan berpindah selama
beberapa tahun, bahkan selama waktu itu ia kuat tidak makan dan minum.
Menurut sumber yang lain, cerita di atas
adalah bukan cerita yang sesungguhnya, tetapi merupakan cerita simbolik atau
cerita sandi yang kaya dengan makna dan penafsiran. Menunggu tongkat
yang ditancapkan Sunan Bonang adalah simbol dari usaha memelihara ajaran atau
keimanan Islam yang diajarkan Sunan Bonang kepadanya. Sungai yang airnya
mengalir dari beberapa anak sungai yang akhirnya bermuara ke laut, melambangkan
berbagai aliran kepercayaan dan agama yang ada di tengah masyarakat saat itu
untuk diarahkan oleh Sunan Kalijaga kepada suatu kepercayaan / agama yang lurus
dan benar, yakni Islam. Ketekunan dalam bertapa sebagai lambang
ketabahan, keuletan, kesetiaan dan ketaatannya kepada Sunan Bonang. Sedangkan rerumputan
dan akar yang merambati badannya, serta badannya sampai “lumuten”,
melambangkan jangka waktu yang sangat panjang.
Raden Syahid yang juga dijuluki Seh
Malaya ini memiliki daerah operasi dakwah yang tidak terbatas, dan dikenal
sebagai seorang Muballigh keliling yang sangat merakyat, terutama di wilayah pedalaman Jawa. Karena gaya
dakwahnya yang intelek dan aktual, serta sikapnya yang sangat toleran terhadap
kepercayaan dan adat istiadat yang berkembang, maka tidak sedikit para
bangsawan dan pujangga kraton (cendekiawan) yang bersimpati kepadanya, disamping juga berbagai
kelompok masyarakat awam dan para penguasa. Oleh karenanya, nama Sunan Kalijaga
lebih dikenal dan sangat pupuler di kalangan masyarakat Jawa, khususnya wilayah
pedalaman, daripada para Wali lainnya.
Selain sebagai Muballigh, Sunan Kalijaga
juga dikenal sebagai budayawan yang sangat besar sumbangannya terhadap
perkembangan kebudayaan Indonesia. Ia cukup kreatif dalam menciptakan beberapa cabang kebudayaan,
terutama bidang kesenian yang sangat kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat
kreatif merubah corak dan bentuk seni yang sudah lama berkembang di masyarakat
setelah terlebih dahulu dimuati nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir, yang
pada jaman pra Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa (manusia dan
binatang), kemudian dirubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan dan lainnya
yang tidak bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan bentuk atau mode baju
yang lebih dikenal dengan baju “takwa”. Seni batik yang pada jaman pra Islam
diwarnai dengan motif illustrasi gambar burung, yang dalam bahasa kawinya
disebut “kukila”, lalu diberi makna sesuai dengan yang dikehendaki
Islam. “Ku” berasal dari bahasa arab “Qu” yang berarti jagalah,
dan “kila” dari bahasa arab “qila” yang berarti yang diucapkan.
Dengan demikian, gambar burung “kukila” mengandung pesan, bahwa
seseorang hendaklah mampu menjaga lisannya.
Untuk memanggil orang shalat, Sunan
Kalijaga memerintahkan Sunan Pandanarang agar membuat bedug dan kentongan.
“Kentongan” yang jika ditabuh berbunyi tong tong tong, lalu diberi makna
“Masjid masih kosong” (bahasa jawanya kothong) dan “Bedug” yang
berbunyi deng deng deng, lantas diberi makna “Masjid masih muat”
(bahasa jawanya sedeng).
Seni wayang yang sudah lama berkembang di
masyarakat sejak pra Islam, tetap dipertahankan keberadaannya untuk dijadikan
sebagai sarana dakwah yang cukup efektif. Bahkan dikembangkan dalam bentuk baru
dengan dimuati nilai-nilai simbolik yang bernafaskan keislaman. Sumbangan Sunan
Kalijaga dalam bidang ini antara lain menambah perangkat “debog” (batang
pisang) untuk menancapkan wayang, “geber” atau layar, “blencong” atau dian.
Orang yang memainkan wayang disebutnya “dalang”, yang diambil dari bahasa arab
“dalla” yang berarti orang yang menunjukkan (sutradara).
Ia bersama-sama dengan Sunan Bonang dan Sunan Giri menciptakan wayang punakawan
pandawa yang terdiri dari tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Nama-nama tokoh tersebut diambilkan dari bahasa arab : Semar dari kata simaar
yang berarti paku, sebagai simbol bahwa kebenaran Islam sangat kuat sekokoh
paku yang ditancapkan; Petruk dari kata Fatruk yang berarti
tinggalkanlah, mengandung pesan agar meninggalkan apa saja selain Allah; Nala
Gareng dari kata nala qariin yang berarti memperoleh banyak
kawan, mengandung pesan agar bersikap dan berakhlak yang mulia agar memperoleh
banyak teman; Bagong dari kata bagha yang berarti lacut atau
berontak, membawa pesan agar memberontak dan memberantas segala bentuk
kezhaliman.
Lakon
atau cerita pewayangan yang pada jaman pra Islam selalu bersumber dari kitab Mahabarata
dan Ramayana, kemudian diganti oleh Sunan Kalijaga dan para Wali
yang lain dengan cerita atau lakon carangan buatan sendiri yang penuh
dengan nilai-nilai dan pesan Islami. Misalnya, lakon Dewa Ruci, Jimat
kalimasada (kalimat syahadat), Petruk dadi Ratu, Pandu Pragola, Semar
ambarang jantur, Mustaka weni, dan lain-lain. Cerita Jimat
kalimasada mengandung pesan bahwa orang akan hidup selamat dunia akhirat
jika ia memiliki senjata berupa bacaan dua kalimat syahadat. Lakon Dewa Ruci penuh dengan makna
simbolik, yang menceritakan bahwa Bima dan Pandawa disuruh gurunya (Pandita
Durna) untuk menemui Dewa Ruci yang berada di dasar laut untuk mencari air
penghidupan atau air suci (“Tirta Amertha”) dan hikmah tertinggi. Tokoh Dewa
Ruci dipersonifikasikan sebagai Nabi Khidir, sebagai simbol dari kaum sufi.
Lakon ini mengandung pesan : kalau ingin mengetahui makna kehidupan dan sangkan
paraning dumadi (hakekat dan asal usul kejadian/makhluk), hendaklah menemui
dan belajar kepada kaum sufi. Sedangkan lakon Petruk dadi Ratu
mengandung pesan, bahwa Jika seseorang memiliki jimat (berpegangan pada)
kalimat syahadat, ia akan hidup mulia dan terhormat, meskipun ia seorang
budak atau orang yang berpangkat rendah di tengah masyarakatnya.
Sunan
Kalijaga termasuk kelompok Walisongo yang sangat toleran dan tidak langsung bersikap antipati ter-hadap tradisi
lama yang kental dengan nilai kesyirikan, kehinduan dan kepercayaan lama yang
sudah mendarah daging di tengah masyarakat. Misalnya, tradisi kenduren
atau selametan yang pada jaman pra islam berbentuk ritual pengiriman sesajen
kepada leluhur yang sudah mati dengan diiringi pembacaan mantra-mantra tertentu,
diusulkan Sunan Kalijaga kepada permusyawaratan Wali songo agar tetap
dipertahankan keberadaannya, setelah terlebih dahulu dimuati dengan nilai-nilai
aqidah islam dan diberi makna baru (reinterpretasi) agar tidak terjerumus
kedalam bentuk kesyirikan. Bacaan mantera diganti dengan ayat-ayat
suci Al-Qur’an, kalimat thayyibah
(tahlil) dan doa-doa Islam, disertai niat agar pahala membacanya dihadiahkan
Allah kepada orang yang mati. Adapun sesajen yang dipersiapkan untuk
dikirim kepada para leluhur atau arwah yang sudah wafat, yang biasanya berupa berbagai macam jajan
pasar dan makanan kesu-kaannya, tidak lagi diberikan/disajikan kepada yang
orang yang mati, tetapi diganti dengan “berkat” (makanan ‘oleh-oleh’)
untuk diberikan dan disedekahkan kepada orang yang hidup, terutama kepada orang
yang diundang mengi-kuti kenduren, dengan niat semoga pahala sedekah
ter-sebut diberikan Allah kepada orang yang mati. Sementara sesajen penting
yang berupa aneka ragam jajan pasar
diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem dengan
diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab
yang diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata “ketan” dari
bahasa arab “Khatha-an” yang berarti kesalahan atau dosa; “kolak”
dari bahasa arab “qaala” yang berarti berkata atau berdoa; dan “apem”
dari kata “Afwun” yang berarti ampunan. Dari ketiga nama makanan
tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa
dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah
untuk memohon ampunan-Nya. Semula usulan tersebut diten-tang oleh
kelompok Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat. Namun dengan dukungan dari
Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria dan Sunan Gunungjati, serta didukung
dengan dalil-dalil islami dan alasan yang rasional, akhirnya kelompok Sunan
Ampel menyetujuinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar