KH Raden Abdullah bin Nuh mengatakan
didalam bukunya, Walisongo, bahwa kesembilan Wali tersebut
mengajarkan agama Islam secara murni, bermadzhab syafii dan beraliran
Ahlussunnah Waljamaah. Sedangkan Drs Wiji Saksono dalam bukunya, Mengislamkan
Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, menga-takan, bahwa dari
kesembilan Walisongo tersebut, hanya Sunan Bonang yang hingga kini dapat
diketahui dengan jelas pokok-pokok ajarannya dan dapat dijadikan sebagai
pegangan atau sumber rujukan. Sementara ajaran Walisongo yang lain dinilai
masih sangat samar dan belum terungkapkan. Banyak sekali orang yang berusaha
mengungkap ajaran mereka melalui kisah-kisah, sebagaimana yang tertulis didalam
buku-buku babad dan tersiar dari mulut ke mulut, akan tetapi masih belum
dapat dipandang sebagai fakta sejarah dalam pengertian yang sebenarnya.
Meski hanya ajaran dan wejangan Sunan
Bonang saja yang telah jelas dan tegas dapat diketahui keshahihannya, kaum
muslimin perlu merasa bersyukur karena Sunan Bonang-lah yang paling
representatif mewakili ajaran para wali yang lain, sehingga dengan mengetahui
ajarannya itu kita akan dapat mengetahui ajaran para Walisongo. Hal ini
didukung dengan beberapa alasan :
Pertama, Sunan Bonang secara resmi sangat
berkompeten di antara Walisongo untuk memberikan wejangan keilmuan dan
keagamaan, sesuai dengan gelar yang disandangnya, Prabu Hanyakrawati,
yang berkuasa dalam soal-soal sesuluking ngelmi lan agami.
Kedua, Sunan Bonang adalah putra sekaligus
murid Sunan Ampel bersama-sama dengan Sunan Drajat, dan teman satu almamater
dengan Sunan Giri karena sama-sama berguru kepada Sekh Maulana Ishak di Pasai.
Selain itu, Sunan Bonang adalah guru pertama Sunan Kalijaga. Dengan mengetahui
ajaran Sunan Bonang, maka kita dapat menggambarkan ajaran dari Sunan Ampel,
Sunan Giri, Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga.
Ketiga, Sunan Gunungjati adalah anak sekaligus
murid Sekh Maulana Ishak, sementara Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah satu
perguruan dengan Sunan Gunungjati di Pasai, maka sedikit banyak ajaran Sunan
Gunungjati dapat diketahui lewat ajaran Sunan Bonang.
Paling sedikit ada tiga buku yang
menguraikan ajaran dan wejangan Sunan Bonang :
1). Buku Bonang yang ditulis oleh
Sunan Bonang sendiri, dan dijadikan sebagai bahan disertasi doktor oleh DR
B.J.O. Schrieke dengan judul Het Boek van Bonang di Universitas
Leiden Belanda pada tahun 1916;
2). Teks Primbon Abad ke-16 yang isinya
mirip dengan Buku Bonang, yang tercantum dan diulas secara
kebahasaan didalam Een Javaansche Geschrift uit de 16 de Eeuw, disertasi
DR J.G.H. Gunning pada tahun 1881 di Universitas Leiden Belanda;
3). Kitab Suluk Wujil yang ditulis
paling sedikit oleh tiga orang murid Sunan Bonang dari hasil pencatatan mereka
terhadap pelajaran yang diterima darinya, yang secara khusus menguraikan
seluk-beluk ilmu tasawwuf yang berpuncak pada ajaran tentang Manunggaling
kawula-Gusti, yakni suatu maqam (tingkatan spiritual) yang dicapai
seorang sufi pada saat mengalami fana’, menurut pemahaman yang benar dan
bukan menurut pemahaman panteistis-moneistis yang diajarkan oleh aliran Hulul
dan Wahdatul Wujud.
Berbeda dengan buku pertama dan kedua
di atas, buku ketiga tersusun
dalabentuk “tembang” (puisi jawa)
yang sangat sulit dipahami oleh orang awam, dan hanya dapat dipahami /
dipelajari oleh orang yang memiliki ilmu sastra dan dasar pemikiran filsafat yang kuat.
Buku pertama dan kedua memiliki
beberapa persamaan. Diantaranya : sama-sama tersusun dalam bentuk “prosa”
atau karangan bebas. Kitab utama yang dijadikan sebagai rujukannya adalah Ihya’
Ulumiddin karya Al-Ghazali dan Tamhid karya Abu Syukur as-Salami,
serta kitab-kitab lain susunan para ulama Ahlussunnah Waljamaah.
Sedangkan perbedaannya :
1). Dilihat dari metode penyuguhannya, buku
pertama dan buku kedua dimaksudkan sebagai pengajaran kepada
masyarakat awam yang diutarakan secara lebih populer, mudah dan gampang
dicerna, serta persoalan yang dibahasnya merupakan masalah yaumiyah
(aktual sehari-hari) meliputi segi-segi kehidupan orang awam dan masyarakat
pada umumnya. Sedangkan buku ketiga dipersiapkan sebagai bahan
pengajaran bagi orang-orang khusus yang diutarakan lebih bersifat filosofis dan
mistis, yang hanya mudah dipahami dan ditangkap oleh orang tertentu yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar yang dipersiapkan untuk mendalami ilmu
keagamaan lebih lanjut.
2) Dilihat dari segi materinya, buku
pertama secara khusus menguraikan tentang hal ihwal ajaran tauhid dan
tasawwuf yang diuraikan secara runtut dan teratur. Buku kedua lebih
bersifat kumpulan karangan (Primbon) atau bunga rampai dari
berbagai persoalan dan ilmu yang meliputi tauhid, tasawwuf, akhlak, fiqih,
tafsir, hadis, tarikh (sejarah Nabi dan orang shaleh), doa-doa, pengobatan,
takbir mimpi dan prediksi, serta persoalan harian lainnya. Sedangkan Buku Ketiga secara khusus
menguraikan pelajaran Tasawwuf tingkat tinggi (Ma’rifat)
Untuk selanjutnya, akan diuraikan pokok-pokok
wejangan dan ajaran Sunan Bonang yang disarikan dari buku pertama (“Buku Bonang”). Karena buku inilah yang secara khusus membahas
persoalan tasawwuf dan tauhid secara teratur. Disamping bahwa buku pertama
ini tidak diragukan keshahihannya sebagai tulisan Sunan Bonang sendiri oleh
para peneliti dan ahli sejarah.
BUKU BONANG
Didalam Buku Bonang disebutkan
beberapa kitab yang diperkirakan dijadikan sumber pengambilannya, seperti kitab
Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali; Tamhid (fi Bayanit-Tauhid wa
Hidayati li kulli Mustarasyid wa Rasyid) karya Abu Syakur al-Hanafi
as-Salami; Talkhis al-Minhaj karya imam an-Nawawi; Quthbul Qulub
karya Abu Thalib al-Makky; dan Ar-Risalah al-Makkiyyah fi Thariq as-Sadat
as-Shufiyyah karya Afifuddin at-Tamimi. Juga disebutkan beberapa nama ulama
seperti Abu Yazid al-Busthami, Muhyiddin ibnu Arabi, Sekh Ibrahim ‘Arki
(mungkin al-‘Iraqi), Sekh Semangu ‘Asarani, Sekh Abdul Qadir al-Jailani, dan
lain-lain.
Buku Bonang menitikberatkan pada ajaran ushul
suluk, sebagai gabungan antara ajaran Ushuluddin dan Tasawwuf menurut
faham Ahlussunnah waljamaah, yang berkisar pada tiga pokok masalah, yakni Ajaran
tentang Allah yang meliputi Dzat, Sifat dan Af’al-Nya;
masalah manusia dan Allah; masalah
Ru’yat Allah; dan ditambah
satu tanbih, sebagai peringatan agar berbuat saleh, takwa, serta
berpegang teguh dan menjaga batas syariat.
1.
Ajaran Tentang Allah. Ajaran Sunan Bonang mengenai Dzat,
Sifat dan Af’al Allah merupakan ringkasan dan terjemahan bebas Sunan
Bonang dari kitab Ihya’ Ulumiddin-nya Al-Ghazali dan kitab Tamhid-nya
Abu Syukur as-Salami. Dengan kata lain, apa yang diajarkan oleh kedua kitab
tersebut adalah sama dengan yang diajarkan oleh Sunan Bonang. Dia mengatakan,
“Sesungguhnya adanya Allah itu bersifat tunggal, langgeng, mahasuci, dan itu
bukan sesuatu yang lain daripada ada-Nya yang bukan material, yang pada awal
mula memberikan “ada” kepada segala sesuatu. Sesung-guhnya Ia tidak
termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan
makhluk ciptaan-Nya, karena Ia Ada sebelum segala sesuatu dan bersifat
langgeng dan mahasuci. Sifat-Nya yang lepas dari keben-daan meliputi segala
sesuatu, sempurna, elok, mahamulia, mahatinggi, dan mahaluhur. Mengenai
hakekat-Nya, tak seorang pun tahu akan sifat-Nya yang lepas dari kebenda-an.
Hanya Ia sendiri yang mengetahui akan jiwa-Nya”.
Selain
itu, Sunan Bonang menjelaskan duabelas faham pemikiran tentang ketuhanan yang
dinilai sebagai aliran sesat yang disebunya sebagai wong sasar (sesat), kufur,
kafir, kufur ing patang madzhab (kufur menurut standar empat
madzhab). Diantara pemikiran mereka yang sesat itu adalah : 1) Dzat Allah
adalah kekosongan itu sen-diri; 2) Yang Ada
ini adalah Allah dan yang Tiada itupun juga Allah, dalam pengertian
bahwa tiada-Nya ialah ketika Dia tidak menciptakan; 3) Nama Allah itu KehendakNya, Nama-Nya itu
Dzatnya; jadi, Dzat-Nya adalah Kehendak-Nya. Ketiga ajaran yang dirumuskan dari
pemikiran Abdul Wahid ibn al-Makkiyyah ini dapat mengacaukan pemaha-man umat
Islam, dan bahkan menunjukkan ketidaktahuan-nya tentang Keesaan Allah. 4) Pemikiran kaum batiniyah yang
mengatakan bahwa semua makhluk adalah sifat Tuhan; 5) pemikiran bahwa didalam keadaan fana’ akan
terjadi ittihad (persatuan, manunggal) antara hamba dan Tuhan,
sebagaimana bersatunya air sungai di muara dengan air laut. Pemahaman seperti
ini merupakan penak-wilan yang menyimpang dan sesat; 6) Paham karamiyah; 7) Paham menyamaratakan antara Dzat, Sifat
dan Asma’, yang mengatakan bahwa Sifat itu ada didalam Dzat,
dan Asma’ itu ada didalam Dirinya sendiri;
8) Paham yang menyatakan bahwa sifat dan dzat merupakan
dua keadaan yang berdiri sendiri; 9)
Paham Mu’tazilah yang mengingkari adanya Qudrat dan Iradat Allah atas
manusia; 10) Paham Ibnu Arabi,
mengembangkan faham Wahdatul Wujud. Diantara fahamnya, Allah itu Qadim,
sedangkan Sifat dan Af’al-Nya adalah baru. Pandangan ini
menisbah-kan Allah dengan makhluk seperti bersandarnya peralatan dari besi yang
dapat dilebur menjadi besi lagi; 11)
Paham yang mengingkari arti bercermin diri itu dapat menjadi wasilah
untuk makrifat kepada Allah; 12) Paham
yang menyatakan bahwa Tuhan itu ma’dum min nafsihi (kekosongan/tiada
dari diri-Nya sendiri).
2.
Masalah manusia dan Allah. Ajaran ini bertolak pada rumusan Padudoning kawula-Gusti (ke-bukan-an
hamba-Tuhan). Dengan rumusan ini, Sunan Bonang beru-saha menjaga dua asas utama
dalam akidah. Pertama asas tauhid, yakni pengakuan tentang Allah sebagai
Khalik Yang Esa, Mandiri, Pribadi yang penuh dengan kebebasan dan
kekuasaan. Kedua : asas Hurriyyah
asy-Syahshiyyah al-Insaniyyah (asas kemerdekaan pribadi manusia),
yakni pengakuan adanya hak kemerdekaan
bagi manusia sebagai oknum yang mandiri dan pribadi yang utuh.
Dengan
dua asas tersebut, Sunan Bonang ingin menunjukkan bahwa Allah dan manusia
merupakan dua wujud kenyataan yang berlainan sama sekali.
Demikian juga sifat Tuhan bukanlah sifat makhluk dan sifat makhluk bukan sifat
Tuhan. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri sebagai dua oknum/pribadi yang
berbeda dan tak mungkin lebur menjadi satu kesatuan wujud, sebagaimana leburnya
air hujan kedalam air laut, bagaimana pun tingkat kedeka-tan dan keakraban yang
mungkin dicapai keduanya pada saat terjadi
fana’. Betapa keliru dan
sesatnya faham Hulul yang berpandangan : dalam maqam fana’ , dzat
makhluk lebur jadi satu kesatuan kedalam Dzat Tuhan, sehingga merupakan satu
adonan bagaikan adonan gelepung.
Dengan
berpedoman pada ayat 19-20 QS ar-Rahman [55], “Marajal Bahraini yaltaqiyani
bainahuma barzakhun la yabghiyan” (Dia membiarkan dua lautan mengalir.
Kedua-nya lalu bertemu. Antara keduanya ada batas [“barzakh”] yang tidak
dilampaui oleh masing-masing), maka Sunan Bonang mampu memahami persoalan fana’
dengan pema-haman yang sebenarnya. Dengan kata lain, pada saat mengalami fana’,
seorang sufi merasa bersatu dengan Tuhan. Meskipun merasa bersatu, tetapi
bukan dalam pengertian persatuan yang sebenarnya, karena diantara kedua Wujud
tersebut tetap ada “barzakh” atau dinding pembatas, sehingga
keduanya tidak akan dapat bercam-pur menjadi satu kesatuan. Itulah hakekat Manunggaling
kawula-Gusti menurut pemahaman Sunan Bonang.
3. Masalah Ru’yat (Melihat Tuhan).
Yang dimaksudkannya adalah “melihat” tetapi tidak melihat (rukyat Allah:
arus tan arus).
Kata Sunan Bonang : ”ee Rijal!
Tegesing rukyat iku : Aningali ing Pangeran ing akhirat lan mata kepala, ing
dunya lan mata ati” (Wahai Rijal ! Arti rukyat itu adalah melihat
Tuhan, di akhirat dengan mata kepala, dan di dunia dengan mata hati).
Maksudnya, manusia dapat melihat Tuhan
dengan mata kepala atau dalam keadaan yang sebebarnya adalah pada saat di
akhirat (surga) nanti. Sedangkan selama hidup di dunia, manusia hanya dapat
melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan dengan mata kepalanya.
Mampu-tidaknya seseorang melihat Tuhan
tergantung pada kesempurnaan martabat (spiritual) yang bisa dicapainya
dalam usahanya menempuh suluk atau tarekat. Semakin rendah martabat
seseorang, maka semakin banyak penghalang untuk sampai pada rukyat,
dan semakin tinggi martabatnya maka semakin berkurang penghalangnya
sehingga pada akhirnya Allah menyempurnakan penglihatannya untuk mampu melihat Dzat,
Sifat dan Af’al-Nya dengan mata hatinya.
Tanbih. Selain dipakai sebagai penutup buku, Tanbih
juga dimaksudkan sebagai peringatan dan harapan agar seseorang selalu
berbuat saleh dan takwa. Seorang muslim seyogyanya melaksanakan semua perbuatan
lahir dan batin menurut tuntunan syariat Rasulullah saw, mencintai dan
mengambil teladan dari Rasulullah saw sebagai wujud terima kasihnya atas
anugerah Allah.
Sunan Bonang selanjutnya berpesan, bahwa
itulah peninggalannya yang perlu kita amalkan dan ajarkan kepada anak cucu,
jangan sampai kita menyeleweng dan salah jalan mengikuti ajaran orang sesat.
Sebaliknya, hendaknya kita hanya takut kepada Allah, agar tujuan kita tercapai
dan amal ibadah kita diterima oleh Allah swt.
Dengan wejangan di atas, kita ditunjukkan
bahwa Sunan Bonang benar-benar menggolongkan dirinya sebagai penganut aliran Ahlussunnah
Waljamaah. Selain mengutamakan persoalan batin seperti tasawwuf (mistik
Islam) dan akhlak, dia juga tidak melalaikan persoalan lahir seperti syariat
(fiqh dan tauhid).
Sumber
bacaan :
1. Mengislamkan
Tanah Jawa : Telaah atas metode dakwah Walisongo, oleh Drs Wiji Saksono,
Mizan Bandung, cet.I, 1995
2. Kitab
Kuning : Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi Islam di Indonesa, oleh
Martin van Bruinessen, Mizan Bandung, cet.I, 1995
3. Ensiklopedi
Islam, jilid 2 dan 5, PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet.X, 2002
4. Pembahasan Tuntas
Perihal Khilafiyah, HMH Al-Hamid al-Husaini, Yayasan Al-Hamidy, Jakarta, cet II, 1997
5. Sekitar
Walisongo, dan Sunan Kudus, Solichin Salam, Menara Kudus, tt
6. Sunan
Kalijaga, dan Sunan Muria, Umar Hasyim, Menara Kudus, tt
7. Ajaran
Rahasia Sunan Bonang “Manunggaling Kawula-Gusti” : Kajian Tentang Konsepsi
Ketuhanan dalam Ajaran Suluk Wujil, (Naskah/Skripsi), Aba Thabiba Elvina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar