Sunan
Ampel adalah julukan dari Raden Ahmad Rahmatullah atau Raden Rahmat. Ia lahir
di negeri Campa sekitar tahun 1401 M dan wafat di Ampel Surabaya pada tahun
1481 M. Mengenai Negeri Campa sendiri, menurut C. Raffles, berada di “Jeumpa”
Aceh. Dan berdasarkan prasasti Po Sah
dan Buku Encyclopaedia van Nederlandche Indie, Campa berada di
Hindia Belakang, yakni kawasan kecil Kamboja Timur di teluk Siam.
Ayahnya bernama Ibrahim Asmarakandi
(berasal dari negeri di Asia Tengah “Samarkand”. Makamnya di desa Nggesik
Tuban), anak dari Jamaluddin al-Husain bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin
Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin
Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa … dan seterusnya hingga berpuncak pada Ali bin
Abi Thalib, suami Fathimah binti Rasulillah Saw. Sedangkan Ibunya bernama Dewi Candrawulan,
putri kedua Raja Campa, adik dari Dewi Sasmitapuri, permaisuri Raja Majapahit
Prabu Kertawijaya atau Brawijaya I (1447-1451 M).
Dengan demikian, dari jalur ayahnya, ia
adalah masih keponakan dari Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan dari jalur ibunya,
ia adalah keponakan Prabu Kertawijaya (Brawijaya I).
Raden Rahmat di masa kecilnya mendapatkan
didikan agama dari ayahnya. Setelah
dewasa, menurut cerita babad dan diperkuat oleh kitab Walisana
karya Sunan Giri II, ia bersama-sama dengan kakaknya yang bernama Raden
Santri (Sayyid Ali Mutadha, alias Sunan Gresik) dan Raden Alim Abu Hurairah (Sunan Majagung),
anak pamannya, ingin sekali mengunjungi uwak mereka di Majapahit. Setelah
beberapa lama di Jawa, mereka bertiga ingin kembali ke Campa, namun terdengar
berita bahwa negeri Campa hancur diserang Raja Koci. Karena itu, Prabu
Brawijaya I menasehatinya agar menetap di Tanah Jawa. Mereka menyetujuinya,
lantas mereka diserahkan kepada Arya Lembusura, Adipati Majapahit yang muslim,
untuk diasuh. Setelah sampai masa berkeluarga, Prabu Brawijaya I mengawinkan
mereka dengan tiga orang putri Arya Teja III, yang saat itu menjadi Adipatinya
di Tuban. Tentang perkawinannya ini, DR B.J.O. Schrieke menyatakan, bahwa
peristiwanya tidak lebih awal dari tahun 1450 M.
Selanjutnya Prabu Brawijaya I memberikan
kepada mereka tanah peprenah atau tempat kedudukan untuk menjadi imam di
daerah tersebut.. Raden Rahmat memperoleh wilayah di Ampel Denta (Surabaya)
yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Ampel. Raden Santri di
wilayah Gresik yang kemudian bergelar Raja Pandita Gung Ali Murtala
(Makamnya di utara alun-alun kota Gresik). Sedangkan Raden Alim Abu Hurairah di
Majagung, yang terkenal sebagai Sunan Majagung.
Menurut buku Tarikhul Awliya’,
tulisan KH Bisri Musthafa, dari hasil perkawinannya dengan putri Arya Teja III
yang bernama Nyai Ageng Manila, Raden Rahmat memperoleh anak : 1) Siti
Syari’ah, 2) Maulana Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang), 3) Syarifuddin (Sunan
Drajat), dan 4) Siti Khafshah, yang di kemudian hari diperisteri Sunan
Kalijaga, dan menurut satu riwayat ia diperisteri Sayyid Ahmad dari Yaman,
sementara Sunan Kalijaga dinikahkan dengan Siti Muthmainnah; dan 5) Siti Muthmainnah, isteri Sunan Wilis
Cirebon (menurut riwayat lain, isteri Sunan Kalijaga). Sedangkan perkawinannya dengan isteri kedua
yang bernama Dewi Karimah binti Ki Ageng Supo Bungkul dari Kembangkuning
Surabaya, ia memperoleh anak : 1) Dewi Murthasiyah, isteri Sunan Giri; dan 2)
Dewi Murtasimah, isteri Raden Patah.
Raden Rahmat memulai aktifitas dakwahnya
dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta untuk mendidik para pemuda
Islam sebagai calon muballigh yang akan
disebar di daerah-daerah. Muridnya terdiri dari kalangan bangsawan dan masyarakat
bawah. Di antara para muridnya adalah Raden Paku (Sunan Giri), Raden Patah,
Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putranya sendiri), Raden Syarifuddin
(Sunan Drajat, putranya sendiri).
Menurut babad Diponegoro, Sunan
Ampel sangat berpengaruh di kalangan kaum ningrat dan keluarga istana
Majapahit. Bahkan Raden Patah, putra Prabu Kertabumi Brawijaya V (1468-1478 M)
dari isteri selirnya, menjadi murid Sunan Ampel yang kelak akan menjadi
menantunya. Hal ini membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit
tidak mendapat hambatan yang berarti.
Sunan Ampel tercatat sebagai arsitek atau
perancang kerajaan Islam Demak yang berdiri pada tahun 1479 M (Berdasarkan
candrasengkala Geni Mati Siniram Jalmi, “Kezhaliman lenyap dikalahkan
kebenaran”, yang berarti tahun 1401 Syaka atau 1479 M). Setelah Brawijaya V lengser
akibat dari serangan Prabu Girindrawardana dari kerajaan Daha Kediri tahun 1478
M (Beradasarkan Candrasengkala Sirna Hilang Kertaning Bhumi, yang
berarti tahun 1400 syaka atau 1478 masehi). Sunan Ampel lalu mengangkat
Raden Patah, putra Brawijaya V, sebagai Sultan pertama Kerajaan Demak.
Selain itu, Sunan Ampel bersama-sama
dengan para Wali lain ikut serta mendirikan masjid Agung Demak tahun 1477 M.
Mereka melakukan pembagian tugas : Keempat tiang “Saka Guru” (tiang
utama penyanggah dari kayu raksasa) dikerjakan oleh Sunan Ampel di bagian
tenggara; Sunan Gunung Jati di bagian barat daya; Sunan Bonang di bagian barat
laut; dan Sunan Kalijaga di bagian timur laut, berupa tiang saka tatal (bukan berupa kayu
utuh, tetapi dari beberapa pecahan kayu balok yang diikat menjadi satu).
Sementara para wali lainnya diberi tugas mengerjakan bagain-bagian bangunan
masjid yang lain.
Mengenai sikap dan pemikirannya tentang
tradisi dan adat istiadat yang sangat kuat dipegangi masyarakat pada awal proses
islamisasi di pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut
keyakinan yang murni. Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Walisongo menjelaskan,
didalam permusyawaratan Walisongo, Sunan Kalijaga mengusulkan agar tradisi dan
adat Jawa seperti kenduren (selamatan), sesajen dan sejenisnya, perlu dilestarikan setelah terlebih dahulu
diisi dengan nilai-nilai keislaman (aqidah islamiyah) agar tidak terjerumus
kedalam kesyirikan. Sunan Ampel bertanya, “Apakah hal itu tidak mengkhawatirkan
rusaknya agama Islam di kemudian hari?
Apakah tradisi semacam itu nantinya tidak dianggap oleh anak cucu kita
sebagai bagian dari ajaran Islam, yang berarti menjadi Bid’ah?”. Sunan Kudus
membela Sunan Kalijaga, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga. Sebab
agama Hindu-Budha memiliki beberapa kesamaan dengan islam dalam ajaran
kemasyarakatan, antara lain : orang kaya wajib menolong kaum fakir miskin.
Mengenai soal yang Tuan khawatirkan, saya yakin, kelak tentu ada orang Islam
yang akan meluruskan dan menjelaskan duduk persoalannya”. Terdorong oleh
semangat toleransi dan persatuan yang kuat, Sunan Ampel akhirnya tidak
keberatan menerima usulan tersebut. Dan memang sangat berat menghapuskan
tradisi dan adat istiadat lama yang sudah mendarahdaging di tengah masyarakat,
tidak semudah orang membalik telapak tangan. Karenanya, diperlukan kesabaran
dan tentu saja memerlukan waktu yang cukup panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar