Masjid Agung Demak
merupakan sebuah masjid tertua di Indonesia, masjid kerajaan Islam Islam
pertama di Jawa; letaknya di alun-alun kota Demak Jawa Tengah.
Menurut Legenda
dan cerita babad, masjid ini didirikan secara bersama-sama oleh Walisongo.
Babad Demak menunjukkan, bahwa
masjid ini didirikan pada tahun tahun Saka 1399 (1477 M) yang ditandai oleh
candrasengkala “Lawang Trus Gunaning Janmi”. Sedangkan pada gambar bulus
yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun saka 1401 yang
menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1499.
Masjid Agung Demak
yang terbuat dari kayu jati terdiri dari bangunan inti berukuran 33 m x 31 m
dan bangunan serambi berukuran 31 m x 15 m. Pada bangunan inti masjid, atap
tengah bangunan inti masjid ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka
guru) yang dibuat oleh empat orang Walisongo. Saka sebelah tenggara adalah
buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunungjati, sebelah barat
laut buatan Sunan Bonang sedangkan Saka sebelah timur laut yang terbuat dari saka
tatal (beberapa potong balok yang diikat menjadi satu) merupakan sumbangan
Sunan Kalijaga. Sementara bangunan serambi masjid dengan delapan buah tiang
boyongan merupakan bangunan tambahan pada jaman Adipati Yunus (Pati Unus,
Pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.
Masjid Agung Demak
memiliki ciri khas tersendiri. Bentuk bangunan yang cenderung mirip candi yang
meruncing ke atas, seperti nasi tumpeng merupakan pengaruh dari unsur
kebudayaan Hindu-Jawa. Ciri khas lainnya, masjid ini bercorak “masjid kuburan”,
yakni masjid yang menyatu dengan kuburan yang terletak di sebelah baratnya. Atapnya
yang bersusun tiga tingkat melambangkan islam, iman dan ihsan. Jumlah pintunya
lima buah melambangkan kelima rukun Islam, sedang jendelanya yang berjumlah
enam buah melambangkan keenam rukun iman.
Selain berfungsi
sebagai tempat ibadah (Shalat), masjid Agung Demak di masa Walisongo juga
berfungsi sebagai pusat kegiatan kerajaan Islam Demak. Di masjid inilah para
wali mengadakan musyawarah dan dakwah Islamiah seperti “sekaten”.
Pada acara sekaten,
dibunyikanlah gamelan dan rebana, serta pertunjukan wayang kulit di depan serambi, sehingga masyarakat
berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan pintu “Gapura”, pintu gerbang
utama masuk ke masjid (dari kata “Ghafuro” yang berarti ampunan). Para Wali kemudian mengadakan tabligh dan
masyarakat diperbolehkan masuk kedalam masjid untuk menyaksikan gelar seni
tersebut dengan terlebih dahulu membaca “Sekaten”, yaitu membaca dua kalimat
syahadat (Syahadatain). Maka masyarakat pun secara sukarela dituntun
mengucapkan “syahadatain” (sekaten) tersebut.
Menurut Hikayat
Hasanuddin, Masjid Agung Demak pernah mempunyai lima imam besar masjid yang
amat besar jasanya dalam proses Islamisasi di Jawa. Sunan Bonang diangkat Raden
Patah sebagai imam besar pertama, kemudiaan diganti secara berturut-turut oleh
Ibrahim (Pangeran Karang Kemuning),
Makhdum Sampang, Penghulu
Rahmatullah dari daerah Undung (dekat Kudus), dan Sunan Kudus. (Sumber : Ensiklopedi Islam, volume 1 : Aba –
Far. Halaman 299-300)
Selain itu, Sunan
Ampel bersama-sama dengan para Wali lain ikut serta mendirikan masjid Agung
Demak tahun 1477 M. Mereka melakukan pembagian tugas : Keempat tiang “Saka
Guru” (tiang utama penyanggah dari kayu raksasa) dikerjakan oleh Sunan
Ampel di bagian tenggara; Sunan Gunung Jati di bagian barat daya; Sunan Bonang
di bagian barat laut; dan Sunan Kalijaga di bagian timur laut, berupa tiang saka tatal (bukan berupa kayu
utuh, tetapi dari beberapa pecahan kayu balok yang diikat menjadi satu).
Sementara para wali lainnya diberi tugas mengerjakan bagain-bagian bangunan
masjid yang lain. (Sumber : Mengenal Sejarah Walisongo, oleh Suchaimi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar