Sunan Giri yang bernama asli Raden Paku
ini lahir di Blambangan Banyuwangi pada pertengahan abad ke-15, dan wafat di
Giri Gresik pada tahun 1035 H/1506 M. Dari pihak ayahnya, ia masih keluarga Alawiyyin
yang nasabnya sampai kepada Rasulullah. Sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah
cucu dari Raja Blambangan.
Ayahnya bernama Syekh Maulana Ishak bin
Ibrahim Asmoro/Asmarakandi (berasal dari Samarkand, Asia Tengah. Kuburannya di
desa Nggesik Tuban) bin Jamaluddin al-Husain bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah
bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi
bin Abdullah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali
al-Uraidhy bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abadin
bin Husain bin Ali, suami Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.
Dari silsilah di atas dapat diketahui
bahwa Sunan Giri adalah cucu dari Ibrahim Asmoro, yang berarti ia adalah
keponakan Sunan Ampel, dan saudara sepupu Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Maulana Ishak yang terkenal dengan
julukan ‘Uluwwul Islam (orang Islam yang berada pada puncak kedudukan)
adalah seorang Guru Besar, khususnya di bidang ilmu ketuhanan dan tasawwuf, dan
menjadi pembina pesantren di Pasai yang santrinya datang dari berbagai penjuru
dunia Islam, terutama dari kepulauan Nusantara, India dan Persia. Dia adalah
seorang yang zuhud, sangat sederhana, dan seluruh hidupnya dihabiskan
untuk mengajar dan berdakwah ke luar daerah. Selain mengajar, ia juga
mengirimkan para santrinya yang memiliki ilmu yang cukup untuk berdakwah di
berbagai daerah. Ia sendiri pernah datang ke Jawa dan tinggal beberapa waktu
lamanya di kediaman Sunan Ampel, yang kemudian ditugasi untuk berdakwah di
kalangan masyarakat dan keluarga istana kerajaan Blambangan.
Menurut cerita babad, Syekh
Maulana Ishak berjasa menyembuhkan Rara Sabodi alias Dewi Sekardadu (Makamnya
di bukit Petukangan Giri Gresik) putri Raja Blambangan Prabu Menak
Sembuyu. Atas jasanya ini, ia diambil
menantu oleh sang Raja untuk diperistrikan dengan Dewi Sekardadu. Ia berusaha
mengislamkan sang Raja, namun sang Raja tersinggung, mungkin disebabkan oleh
metode berdakwahnya yang kurang tepat, akhirnya ia diusir dari istana tanpa
diperbolehkan membawa serta isterinya yang sedang mengandung. Selanjutnya ia
pulang ke negeri Pasai untuk mengajar dan membina pesantren di sana.
Tidak begitu lama setelah Dewi Sekardadu
melahirkan seorang bayi lelaki yang diberi nama Raden Paku, terjadilah
malapetaka, wabah penyakit dan kekacauan di Blambangan. Timbul prasangka buruk
bahwa bencana ini disebabkan oleh kelahiran cucu sang Raja, maka dilarunglah
bayi tersebut ke laut oleh kakeknya sendiri. Mujur, peti yang berisi bayi ini
terkatung-katung mendekati kapal dagang milik Nyi Ageng Pinatih , seorang janda
kaya dari Gresik (makamnya di desa Kebungson Gresik). Maka diambillah peti yang
berisi bayi tersebut oleh nahkoda kapal yang bernama Sayyid Abdurrahman
(Makamnya di bukit Petukangan, Giri Gresik), lalu dibawanya ke Gresik dan
dipungut sebagai anak angkat oleh Nyi Ageng Pinatih yang juga dikenal dengan
sebutan Nyi Ageng Tandes (karena berkedudukan di Gresik yang dulu
terkenal dengan wilayah Tandes), Nyi Ageng Ternate, atau Nyi Ageng
Maloka (karena ia menguasai jalur pedagangan sampai ke pulau Maluku).
Setelah agak besar, Raden Paku diserahkan
kepada Sunan Ampel untuk dididik agama di pesantrennya. Bahkan di
kemudian hari, ia diambil menantu oleh Sunan Ampel, diperisterikan dengan
putrinya yang bernama Dewi Murthasiyah.
Selanjutnya Raden Paku bermaksud ke
Makkah untuk berhajji dan memperdalam ilmunya di sana bersama-sama dengan Raden
Makhdum Ibrahim. Di tengah perjalanannya, Raden Paku singgah di Pasai untuk
mendalami ilmu kepada ayahnya, Maulana Ishak, untuk persiapan belajar di tanah
suci. Oleh gurunya, yang sekaligus ayahnya, Raden Paku diberi gelar ‘Ainul
Yaqin, disebabkan keberhasilannya mencapai maqam kasy-syaf dan memperoleh Ilmu Ladunni.
Seusai belajar dan berhajji, Raden Paku
pulang ke Gresik untuk mengembangkan ilmunya, disamping membantu kelancaran
perdagangan ibu angkatnya. Setelah muridnya semakin banyak, ia meninggalkan
perdagangannya dan memusatkan diri mengembangkan ilmunya dengan membuka
pesantren di Giri Gresik. Pada masa-masa selanjutnya, Pesantren Giri menjadi
pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Para santrinya datang dari
berbagai penjuru Nusantara, terutama wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur,
seperti dari Madura, Bawean, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Lombok dan
sekitarnya. Mereka yang dipandang memiliki ilmu yang cukup, lalu diutusnya
untuk berdakwah ke wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.
Sunan Giri terkenal sebagai seorang
pendidik anak-anak. Banyak metode dan media pendidikan anak yang ia ciptakan,
yang sebagian besar berbentuk permainan dan lagu anak-anak, seperti permainan jitungan,
tembang jamuran, gendi gerit, jor, gula ganti, cublek-cublek suweng, ilir-ilir,
dan lain-lain.
Tembang atau lagu ciptaan Sunan Giri, jika kita cermati maknanya, mengandung
ajaran Islam yang sangat tinggi. Misalnya tembang Ilir-ilir yang
berbunyi :
“Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis
sumilir // Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar // Cah angon, cah
angon, penekno blombing kuwi // lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro //
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir // dondomono jlumatono, kanggo
sebp mengko sore // Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane // Dak
sorak-sorak… horee…!”.
Maksudnya : Makin subur dan tersiar agama
Islam. Hijau royo-royo (lambang agama Islam) sangat menarik perhatian
masyarakat, bagaikan penganten baru, karena baru dikenal masyarakat. Wahai
penggembala (penguasa /pemimpin), lekas masuk islamlah dan laksanakan shalat
lima waktu (dilambangkan dengan blimbing bersegi lima). Meskipun sulit dan
berat, tetap laksanakanlah untuk mensucikan “dodotiro” (pakaianmu), yakni kepercayaan,
jiwa dan hati anda yang kotor. “Dodotiro”, kepercayaan, jiwa dan hati
anda yang robek (karena dirusak oleh kepercayaan lama, dosa dan maksiat)
tersebut perbaikilah kembali untuk persiapan menghadap Tuhan pada akhir hayat
nanti. Mumpung masih hidup dan mumpung punya kesempatan yang luas untuk
bertaubat. Bergembiralah dan berbahagialah bagi orang-orang yang mensucikan
diri.
Tembang Ilir-ilir di atas, menurut
sementara pihak diciptakan Sunan Kalijaga. Oleh karena Sunan Giri sangat
terkenal gemar menciptakan tembang dan permainan untuk pendidikan anak-anak,
maka sangat besar kemungkinannya bahwa tembang di atas ciptaan Sunan Giri. Jika
tidak demikian, paling tidak, tembang tersebut diciptakan pada jaman Walisongo.
Masalah siapa penciptanya, bukan persoalan penting.
Kewibawaan dan pengaruh Sunan Giri sangat
besar di kerajaan Demak. Hampir tidak ada persoalan besar dan penting yang
tidak dimintakan fatwanya terlebih dahulu kepadanya. Bahkan menurut cerita babad,
Sunan Giri-lah yang menjadi hakim pemutus dalam kasus Seh Siti Jenar.
Dan di kalangan kelompok Walisongo, Sunan Giri termasuk wali yang
dituakan, menduduki peringkat kedua setelah Sunan Ampel. Sedangkan di bidang
politik, ia diberi gelar Tetunggul Khalifatullah, yang menjadi Raja bagi
kaum muslimin. Di samping itu, Sunan Bonang pun juga salah satu tetua Walisongo,
namun ia lebih dipandang sebagai pemimpin yang menguasai dan mengatur bidang Ngelmu,
atau sebagai Panatagama. Karenanya, Sunan Bonang digelari dengan Prabu
Hanyakrawati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar