Agama Islam di
Jawa mengalami perkembangan yang unik. Sebelumnya,
orang Jawa memuja roh nenek moyang dan percaya terhadap adanya kekuatan daya
sakti. Kepercayaan tersebut belum menunjukkan diri
sebagai suatu agama secara nyata dan sadar. Pada taraf keagamaan seperti itu, suku Jawa menerima
pengaruh agama dan kebudayaan Hindu, sampai pada akhirnya agama tersebut
menjadi agama resmi Kerajaan Hindu di Jawa. Pada masa Airlangga, kerajaan
menganut agama sinkretis Syiwa-Budha Tantra, yang kemudian diteruskan
oleh kerajaan-kerajaan yang muncul belakangan. Agama Syiwa dan Budha
Mahayana dapat hidup berdampingan dan menjadi agama resmi kerajaan
Majapahit, sampai akhirnya kerajaan tersebut runtuh dan digantikan oleh
kerajaan Daha Kediri, lalu oleh kerajaan Demak.
Kedatangan agama
Islam di Jawa bersamaan dengan kedatangan para pedagang muslim ke pulau Jawa
yang diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Hal ini
terbukti dengan ditemukannya kuburan islam tertua, Fathimah binti Maimun, di
desa Leran Manyar Gresik Jawa Timur, yang berangka tahun 1082 M. Meskipun
demikian, hal ini belumlah berarti telah terjadi adanya proses Islamisasi yang
meluas di daerah Jawa Timur.
Sejak akhir abad
kesebelas sampai abad ketigabelas masehi, sangat sedikit bukti-bukti sejarah
tentang kedatangan agama Islam tersebut. Akan tetapi sejak akhir abad
ketigabelas sampai abad-abad berikutnya, terutama saat kerajaan Majapahit
mencapai puncak kebesarannya, telah banyak diketemukan bukti-bukti sejarah,
yang antara lain telah diketemukannya beberapa puluh nisan kuburan orang Islam
di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Di samping itu terdapat penemuan berita dari
Ma Huan, bahwa pada tahun 1416 M
terdapat sekelompok masyarakat muslim yang bertempat tinggal di daerah Gresik.
Hal itu menunjukkan, bahwa telah terdapat suatu masyarakat muslim, baik di
kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa maupun di sekitar pusat kerajaan
Majapahit. (Poesponegoro,M.D., dkk, 1993; 4-5).
Pertumbuhan
masyarakat muslim di sekitar beberapa kota pelabuhan erat hubungannya dengan
perkembangan jalur pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang
Islam, yang pada saat itu telah mempunyai kekuatan ekonomi dan politik di
kerajaan Samudra Pasai dan Malaka pada abad 14 dan 15 masehi. Pertumbuhan
masyarakat muslim tersebut mungkin belum dapat dirasakan akibatnya di bidang
politik oleh pihak kerajaan Majapahit. Oleh karena kerajaan ini masih
mementingkan usaha untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pertumbuhan masyarakat
muslim mencapai bentuk kekuatan politik, seperti munculnya kerajaan Islam
Demak, pada saat kerajaan Majapahit mengalami kelemahan di bidang politik
akibat terjadinya pertentangan kepentingan di antara keluarga istana, seperti
yang ditunjukkan oleh adanya pemberontakan Ranggalawe di Tuban pada
tahun 1295 M, pemberontakan Sadeng, dan juga penyerangan terhadap pusat
kerajaan Majapahit oleh Raja Girindrawardhana dari kerajaan Kediri.
(Poesponegoro,M.D.,dkk. 1993 ; 178-179).
1.
Proses dan Saluran
Islamisasi
Adapun mengenai
cara proses Islamisasi beserta saluran-salurannya yang dominan sampai
terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, diantaranya adalah melalui : 1.
Perdagangan; 2. Perkawinan; 3. Pendidikan pesantren; 4. Ajaran-ajaran tasawuf; dan 5. Kesenian, sebagaimana yang akan
diuraikan di bawah.
a. Perdagangan. Saluran Islamisasi pada permulaan adalah melalui perdagangan. Para
pedagang muslim mula-mula berdatangan ke kota-kota pelabuhan di sepanjang
pesisir utara Jawa. Diantara mereka ada yang bertempat tinggal sementara dan
ada yang menetap di suatu perkampungan tersendiri. Mereka setiap hari bergaul
dan berbaur dengan para pedagang pribumi dan penduduk di sekitar daerah
pelabuhan. Lambat laun pergaulan dan pembauran mereka tentu membawa perubahan
dalam bidang kepercayaan atau agama di kalangan penduduk dan pedagang pribumi
tersebut. Masyarakat pribumi yang mula-mula menerima Islam, tentu saja, adalah
para pedagang yang sering berhubungan dengan mereka, lalu diikuti oleh para
pekerja atau pembantu, kemudian para penduduk sekitar daerah pelabuhan, sampai
akhirnya melebar ke daerah-daerah sekitarnya. Bahkan diantara penduduk yang
masuk Islam tersebut ada yang memiliki status terhormat di tengah-tengah
masyarakatnya, seperti para syahbandar, adipati, dan kaum bangsawan, sehingga
sangat menguntungkan bagi proses Islamisasi di kalangan masyarakat yang lebih
luas lagi. Tersebarnya agama Islam secara cepat agaknya bukan hal yang
mustahil, apalagi karena agama Islam merupakan agama Missi yang mendorong para
pengikutnya untuk menyebarluaskannya kepada orang lain.
b. Perkawinan. Para pedagang
muslim yang bertempat tinggal di sekitar kota-kota pelabuhan tersebut, tentu
ada yang kaya, pandai, bahkan menjadi syahbandar, sehingga mereka memiliki
status sosial yang lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya. Apalagi
mereka biasanya tidak membawa serta isteri dan anak-anaknya, sehingga hal itu
mendorong mereka untuk memperistri penduduk pribumi setempat. Para wanita
pribumi yang akan diperistiri itu tentu harus disyahadatkan atau diislamkan
terlebih dahulu. Sebab tanpa itu, maka perkawinannya dianggap tidak sah;
apalagi pengislaman model seperti ini sangat sederhana, sehingga para calon
isteri merasakan senang melakukannya. Islamnya isteri, paling tidak, akan
diikuti oleh anak-anak keturunannya, yang lambat laun akan diikuti juga oleh
keluarga dan kerabat dekat atau jauh.
Saluran Islamisasi melalui Perkawinan ini
akan lebih sukses dan menguntungkan jika dilakukan antara pedagang muslim,
ulama, muballigh atau penguasa muslim dengan wanita anak Bangsawan, Bupati,
atau Raja. Bukan hanya keuntungan di bidang ekonomi dan strategi dakwah, akan
tetapi juga dalam bidang politik. (Poesponegoro,M.D.,dkk., 1993 ; 189-190)).
Cerita-cerita
babad, hikayat, dan bahkan sejarah menceritakan tentang adanya perkawinan
antara tokoh-tokoh muslim dengan anak bangsawan di Jawa. Misalnya perkawinan
antara Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila,
putri Bupati Tuban; Syeh Maulana Ishak mengawini Dewi Sekardadu, puteri
Raja Blambangan; Raden Patah, yang putera Raja Brawijaya, diambil menantu oleh
Sunan Ampel; Raden Paku Muhammad Ainul Yakin (Sunan Giri) mengawini putri Sunan
Ampel; dan lain-lain. Dengan saluran Perkawinan tersebut, akhirnya agama Islam
berkembang dengan cepatnya, bahkan sudah mulai menyusup masuk kedalam istana
kerajaan Hindu Majapahit.
c.
Pendidikan Pesantren. Pendidikan pesantren berperan besar dalam mempercepat proses
Islamaisasi. Sistim pendidikan pesantren sebenarnya sudah dikenal sejak jaman
pra-Islam, yakni yang lebih dikenal dengan lembaga pendidikan Mandhala,
yang digunakan untuk mendidik para calon Pendeta Hindu. Siswanya terbatas pada
kalangan Brahmana. Lembaga pendidikan model seperti ini kemudian
dikembangkan oleh para Wali atau guru pesantren menjadi suatu lembaga
pendidikan Islam yang sekarang lebih dikenal dengan nama “Pesantren”, dimana
siswanya terbuka untuk umum dari berbagai lapisan masyarakat dan tidak terbatas
pada kalangan atau golongan tertentu.
Pesantren bukan
hanya sekedar sebagai tempat pendidikan Islam, akan tetapi juga sekaligus
menjadi tempat tinggal Guru beserta keluarganya dan para santrinya.
Komplek-komplek tempat tinggal mereka tersebut, kemudian lebih dikenal dengan
sebutan “Pondok Pesantren”.
Tujuan
Pesantren ini, sama halnya juga dengan tujuan Mandhala, adalah untuk
mempersiapkan kader-kader ulama dan muballigh yang siap menyebarkan agama Islam
kepada masyarakat luas. Disamping juga untuk meningkatkan kualitas pengetahuan
agama Islam para santrinya. Para santri setelah pulang diharapkan menjadi
penyebar Islam dan atau mendirikan Pesantren-pesantren di sekitar daerah tempat
tinggalnya. (Koentjaraningrat, 1984 ; 60, dan Zhafier,Z., 1982 ; 17-18)
d. Ajaran Tasawwuf. Ajaran tasawwuf
merupakan salah satu saluran Islamisasi yang penting di Indonesia, khususnya di
pulau Jawa. Melalui ajaran tasawwuf ini, agama Islam lebih mudah diterima oleh
masyarakat Jawa. Karena ajaran tasawwuf memiliki beberapa kesamaan unsur dengan
kepercayaan lama (Hindu dan Budha) yang dianut oleh mayoritas masyarakat saat
itu, yakni kesamaan dalam hal mementingkan aspek batiniah atau mistik, bahkan
memiliki ciri-ciri yang hampir sama dalam hal ajaran Ketuhanannya.
(Koentjaraningrat, 1984; 53. Dan juga Poesponegoro,M.D., dkk., 1993; 192).
Menurut Martin
van Bruinessen (1993 ; 15), ajaran Islam dan tulisan-tulisan paling awal karya
orang Indonesia adalah bercorak tasawwuf. Hal itu tidak musatahil, karena pada
saat itu (sekitar abad 13 – 14 masehi), tasawwuf merupakan corak pemikiran yang dominan di
dunia Islam. Ajaran-ajaran kaum sufi yang sangat berpengaruh terhadap para
pengarang generasi pertama di Indonesia adalah ajarannya Ibnu Arabi dan Abu
Hamid Al-Ghazali. Sebagaimana dicantumkannya nama kitab Ihya’ Ulumiddin,
karya Imam Al-Ghazali, didalam Buku Bonang (Het Boek van Bonang) dan buku Een
Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw (Primbon Jawa Abad Keenambelas).
e. Cabang-cabang Seni dan
Aspek-Aspek Budaya Lainnya. Cabang-cabang seni yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Jawa,
misalnya wayang, seni sastra, dan lain-lain, dijadikan sebagai saluran dan
cara-cara Islamisasi oleh para muballigh Wali Sanga. Demikian juga berbagai
bentuk tradisi dan aspek-aspek budaya lainnya dilestarikan dan dibiarkan tumbuh
subur, bahkan dikembangkan menjadi suatu bentuk yang baru, sekaligus dijadikan
sebagai sarana dan metode berdakwah, setelah mereka (Wali Sanga) memasukkan
unsur-unsur keislaman kedalamnya.
Wali Sanga,
khususnya Sunan Kalijaga, sangat berjasa dalam mengembangkan kesenian wayang,
dan menjadikannya sebagai metode dakwahnya. Cerita-cerita (lakon) wayang diambil dari kitab Mahabarata, namun
diselipi dengan muatan ajaran islam. Misalnya ajaran Rukun Islam
dipersonifikasikan kedalam bentuk Pandawa
Lima, yakni yang terdiri dari Puntadewa (simbol Syahadat), Bima atau
Wrekudara (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat) dan tokoh kembar
Nakula-Sadewa (personifikasi dari ajaran Puasa Ramadhan dan Haji). Lakon Jimat Kalimasada merupakan
cerita yang dihubungkan dengan ajaran Tauhid, kalimat Syahadat. Silsilah
atau garis keturunan para Dewa dihubungkannya dengan Nabi Adam, yakni
bahwa mereka, para Dewa itu, dipahami sebagai anak keturunan Nabi Adam, bukan
sebagai Dzat setingkat Tuhan.
Beberapa
peralatan wayang diadakan pembaharuan atau diciptakan secara baru sama sekali,
seperti Kelir, Blencong, batang pohon pisang / gedebog, Gunungan yang
menyerupai mustaka Masjid Demak. Demikian pula beberapa nama dan istilah dalam
wayang dimasuki unsur-unsur keislaman, baik dari segi bentuk istilahnya, maupun
segi pemaknaannya. Misalnya istilah “Dalang” adalah diambil dari kata
bahasa arab “Dalla” yang berarti orang yang menunjukkan. Nama “Petruk”
diambil dari kata bahasa arab “Fatruk”, yang berarti tinggalkanlah; nama “Bagong”, berasal
dari kata arab “Bagha” yang artinya durhaka, zhalim; nama “Semar”,
dari kata arab “Syimr”, artinya yang arif dan waspada. (Ismunandar,K., 1988 ; 95-103).
Pertunjukan
wayang selalu dihubungkan dengan dakwah Islamiyah, seperti Sunan Bonang
menanggap wayang, lalu diadakan dialog dengan para muridnya tentang tema yang
dilakonkan Sang Dalang (Suluk Wujil bait 89 s.d. 92). Demikian juga setiap
datangnya bulan Mulud atau Rabiul awwal, di alun-alun Kraton Demak
selalu diadakan acara pertunjukan wayang dan para pengunjungnya tidak ditarik
biaya sepeser pun, mereka hanya disuruh membaca kalimat syahadat.
Demikianlah
saluran-saluran dan cara-cara Islamisasi yang dilakukan oleh para muballigh
yang terdiri dari ulama, pedagang, guru
agama, kaum sufi dan masyarakat muslim pada umumnya. Sehingga atas jasa mereka
itu, agama Islam berkembang dangan cepat dan pesat, serta dapat diterima secara
luas oleh masyarakat Jawa.
2.
Perkembangan Agama Islam
Perkembangan
agama Islam yang cukup pesat terjadi setelah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
bermunculan, seperti kerajaan Islam di Demak, Pajang, Mataram, Banten, Cirebon
dan lain-lain. Agama Islam tidak hanya berkembang di pesisir utara Jawa,
malahan berkembang sampai ke daerah-daerah pedalaman Jawa. Bersamaan dengan
itu, agama Islam juga mengalami beberapa hambatan dan perlawanan di sejumlah
daerah tertentu, khususnya daerah pedalaman.
a. Perkembangan Islam pada jaman
Kerajaan Demak. Kerajaan Islam Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M, yang
saat itu masih berada didalam naungan kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak
menjadi kerajaan yang berdaulat penuh pada tahun 1517 M. Tepatnya setelah
kerajaan Majapahit yang saat itu berada didalam kekuasaan Raja Girindrawardhana
dari kerajaan Daha Kediri, diserang dan
dapat dikalahkan pasukan Raden Patah. (Poesponegoro,M.D., dkk, 1993 ; 19-21). Pusat pemerintahan Kerajaan Demak berada di
daerah pesisir utara Jawa Tengah, yakni di Bintara Demak. Sepanjang perjalanan
hidupnya, Kerajaan ini hanya mengalami
tiga kali pergantian kepemimpinan, yakni : 1. Raden Patah (tahun 1478 –
1518); 2. Adipati Yunus (1518 –
1521); 3. Sultan Trenggono (1521 –
1550).
Agama Islam pada masa ini dapat dikatakan
tumbuh dan berkembang dengan cukup pesat. Islam ditetapkan sebagai agama resmi
kerajaan dan dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan dukukangan dari kerajaan ini, agama Islam dapat berkembang dan
melebarkan sayapnya di seluruh pulau Jawa, baik di daerah sepanjang pesisir
utara, maupun daerah-daerah pedalaman Jawa.
Para Walisanga
pada saat itu mempunyai peranan yang cukup besar dalam menentukan kehidupan
politik, agama, pendidikan, dan sosial budaya lainnya. Didalam cerita-cerita
babad pun sering dikatakan, bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Demak
terhadap kerajaan Majapahit, yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Kediri,
adalah atas persetujuan dan dukungan para Walisanga yang dikordinir oleh Sunan
Giri. (Lor 6379, jilid 9, 1988; 141 – 149). Bahkan mereka juga berperan sebagai
penasehat Sultan dalam mengambil setiap kebijakan penting tertentu. Misalnya
keputusan tentang eksekusi hukuman mati terhadap beberapa tokoh sufi penyebar faham Wahdatul Wujud, yang
dipandang telah menyimpang dari faham resmi kerajaan dan menyesatkan masyarakat
awam, sebagaimana yang terjadi pada kasus Ki Ageng Pengging, Seh Siti Jenar,
dan Pangeran Panggung. (LOr 6379 jilid 9, 1988 ; 154, 166 dan 170).
Lepas dari benar
dan tidak cerita di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa pada saat itu
telah terjadi pertarungan faham tasawwuf, antara faham ortodoks
(tasawwuf sunni) dan faham heterodoks (tasawwuf Syi’iy, wahdatul
wujud). Faham ortodoks lebih berkembang di sepanjang daerah-daerah pesisir
utara Jawa, sedangkan faham heterodoks lebih berkembang di daerah-daerah
pedalaman Jawa yang jauh dari pusat kerajaan Demak.. Dengan dukungan Raja
Demak, Walisanga dapat menekan dan menghambat perkembangan faham heterodoks.
Meskipun faham ini tidak seluruhnya berhasil ditumpas. Keadaan ini menjadi lain
pada saat berdirinya kerajaan Islam Pajang dan Mataram Islam, yang pusat
kerajaannya berlokasi di wilayah pedalaman Jawa.
b. Perkembangan Islam pada jaman
Kerajaan Pajang dan Mataram. Kerajaan Pajang merupakan penerus kerajaan Demak, yang didirikan pada tahun 1550 oleh
Mas Karebet, alias Jaka Tingkir, seorang putra dari Ki Ageng Pengging yang
diambil menantu oleh Sultran Trenggono. Setelah menjadi Raja, ia memakai nama
Sultan Hadiwijaya. Ibu kota kerajaannya dipindahkan dari Demak ke Pajang.
Istana Pajang merupakan istana kerajaan
di daerah pedalaman Jawa pertama kali yang menjadi pusat peradaban
Islam. Berdasarkan laporan sejarah yang dikuatkan oleh beberapa penemuan
arkeologi menunjukkan, bahwa lokasi istana Pajang berada di desa Butuh, dekat
Kartasura. (Koentjaraningrat, 1984; 58).
Perpindahan
istana kerajaan dari Demak ke Pajang sebagai pertanda bahwa pengaruh Islam dari
pantai utara Jawa berhasil masuk ke daerah pedalaman, meskipun agama Islam pada
saat itu masih dianggap asing oleh penduduk daerah tersebut. Para penduduk, di
satu sisi, tidak mendapat kesempatan untuk mengenal Islam dengan baik, sebagai
akibat dari para Walisanga yang banyak berdomisili di pesisir utara Jawa, dan
di sisi lain, mereka masih mempertahankan unsur-unsur tradisi Jawa yang
sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha, sehingga timbul usaha
mensinkretiskan antara kepercayaan Islam dan tradisi jawa tersebut.
(Koentjaraningrat, 2984 ; 59 dan 315.
Hamka, 1986 ; 51).
Kerajaan Mataram Islam. Usia kerajaan Pajang hanya sebentar, berkisar antara tahun 1550 – 1588
M. Selanjutnya digantikan oleh kerajaan Mataram Islam, setelah Sultan
Hadiwijaya dapat dikalahkan pada tahun 1588 oleh Sutawijaya, yang kebetuan
adalah anak angkatnya sendiri. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Pajang
ke wilayah pedalaman Mataram, yakni suatu wilayah yang dulunya pernah ditempati
kerajaan Mataram kuno (yang beragama Hindu-Budha), tepatnya di daerah aliran
sungai Opak dan Progo, di sebelah selatan gunung Merapi dan Merbabu.
Sutawijaya wafat
pada tahun 1601 M. Kedudukannya lalu diganti oleh anaknya yang Mas Jolang,
alias Pangeran Seda Krapyak, yang memerintah antara tahun 1601 –1613 M.
Selanjutnya diperintah oleh Mas Rangsang, alias
Sultan Agung antara tahun 1613 – 1645. Pada masanya ini, kerajaan
Mataram Islam mengalami puncak kejayaan. Perkembangan agama Islam di daerah
pedalaman Mataram tidak berbeda jauh dengan periode kerajaan Pajang, dimana
kerajaan ini masih berusaha mensinkretiskan kepercayaan Islam dengan
unsur-unsur kepercayaan lama, baik dalam hal kesenian dan kesusastraan, maupun
dalam bidang keagamaan. (Koentjaraningrat, 1984 ; 49).
Perkembangan
tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik Mataram itu sendiri.
Setelah kerajaan ini berdiri, daerah-daerah persisir utara jawa dan beberapa
daerah yang masih mendukung kerajaan Pajang selalu menunjukkan permusuhannya
dengan Mataram yang mendapatkan dukungan dari daerah-daerah pedalaman Jawa.
Sutawijaya berusaha keras untuk menundukkan daerah-daerah pesisir tersebut,
lalu diteruskan oleh putranya, Mas Jolang. Meskipun Mas Jolang dapat menguasai
daerah Demak, namun belum sepenuhnya berhasil menguasai daerah-daerah pesisir
yang lain, karena ia keburu wafat pada tahun 1613 M. Meskipun demikian, Raja
kedua Mataram tersebut sempat mendorong pengembangan kebudayaan Jawa-Islam.
Beberapa serat Suluk diperkirakan muncul pada periode Mas Jolang
ini, diantaranya adalah Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang hasil gubahan Sunan Panggung, putra
Sunan Kalijaga.
Raja ketiga,
Sultan Agung, meneruskan usaha Mas Jolang. Ia berhasil menundukkan sebagian
besar wilayah kerajaan Demak dan Pajang kedalam pangkuan Mataram. Bersamaan
dengan itu, Sultan Agung berusaha meredam pengaruh Islam di kerajaan Mataram di
satu sisi, dan mempertahankan unsur-unsur kepercayaan lama di sisi lain, lalu
disinkretiskan, yang hasilnya antara lain berupa sistim Penanggalan Jawa,
yakni bentuk perpaduan antara Kalender Syaka dan Hijriyah. (Koentjaraningrat,
1984 ; 315-317. Simuh, 1988; 23 – 24).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar