_________________________
Oleh : Dhurorudin Masyhad
Pangeran Wilis dan Cikal Bakal Komunitas Islam Di Jembrana – Bali
Telah sekian hari lamanya, saya menelusuri bumi Bali, bumi yang
selain kesohor dengan pusat pariwisata juga terkenal dengan sebutan
God’s Island alias pulau Dewata. Di tengah mayoritas penduduknya yang
dominan beragama hindu dan kuatnya tradisi masyarakat, sering terlontar
pertanyaan, bagaimana Islam di Bali. Apakah Islam hanya menjadi agama
pelengkap, agama kaum pinggiran atau justru menjadi mitra masyarakat
Hindu Bali dalam membangun dan mempertahankan identitasnya. Rentetan
pertanyaan tadi sedikit banyak sudah berusaha saya jawab melalui
serangkaian tulisan tentang komunitas Islam Bali yang cikal bakalnya
telah ada sejak tahun 1500 an era Dalem Ketut Nglesir. Kali ini saya
ingin mengajak untuk mencermati realitas kehidupan kaum Muslim di
kabupaten Jembrana yang biasa dikenal pula dengan sebutan Negara.
Komunitas muslim Jembrana alias Negara jika dirunut sebenarnya sudah
mulai ada menyusul runtuhnya kerajaan Mojopahit oleh penyerangan Demak
Islam di tahun 1518. Seiring dengan peristiwa itu, berbagai kerajaan
vassal Majapahit yang semula Hindu akhirnya kian banyak yang
mendeklarasikan diri sebagai penganut Islam. Akibat realitas yang
menggejalanya para raja menjadi Muslim terutama di tanah Jawa ini, para
tokoh agama, pejabat negara, dan atau pangeran yang tak mau menerima
Islam akhirnya pilih mengungsi ke berbagai wilayah lain. Roro Anteng
dan Joko Seger dengan para pengikutnya, misalkan, mengungsi ke lereng
gunung Bromo, sehingga anak keturunan mereka kini lebih dikenal sebagai
suku Tengger (singkatan dari kata gabungan : AnTENG dan SeGER).
Namun, jumlah yang lebih banyak justru memilih meninggalkan Jawa menuju
Bali termasuk diantaranya Pangeran Wilis dan Pangeran Sepuh asal
Blambangan. Peristiwa pengungsian pangeran Wilis inilah yang ternyata
sekaligus menjadi tonggak awal eksistenti komunitas muslim di tlatah
Jembrana.
Kalimat terakhir (barusan) tadi memang terasa agak ganjil, tetapi
jika dirunut dari sejarah pelarian Pangeran Wilis dan eksistensi Pura
Dang Kahyangan Majapahit di Jembrana niscaya akan ditemukan Jawabnya.
Pura Dang Kahyangan Majapahit terletak di barat kota Negara, tepatnya
di Desa Baluk (dulu masuk Desa Banyubiru). Semula luas pura hanya
beberapa are, namun setelah direnovasi sebanyak dua kali kini luasnya
sekitar 47 are. Sebelum renovasi di areal Pura Majapahit terdapat pohon
beringin besar tepat di sebelah utara pura. Pelinggih saat itu masih
satu dan sangat sederhana tepat di bawah pohon beringin tersebut.
Setelah direnovasi, pintu masuk yang semula ada di sebelah timur
dipindah ke di sebelah barat, sehingga terlihat lebih luas karena setiap
tahun jumlah pemedek semakin bertambah. Pura yang terletak di jalan
poros Jawa-Bali pertama direnovasi tahun 1965 dengan melakukan
penebangan pohon beringin tua karena diperkirakan akan merusak bangunan,
sedangkan tahun 2006 pemindahan kori dan perluasan pura.
Pura Dang Kahyangan Majapahit saat ini memiliki beberapa pelinggih di
antaranya pelinggih Padmasana, Meru Lumpang Lima (stana Batara
Majapahit), Gedong 1 Batara Dalem Blambangan, Panglurah (pecalang),
Pepelik, Meru Tumpang Tiga (Rambut Sedana), pelinggih stana Empu
Kuturan (penyebar agama Hindu pertama kali di Bali) dan Taksu. Pengempon
pura ini terdiri atas empat desa yakni Kaliakah Kangin dan Kauh,
Banyubiru dan Baluk.
Pura ini tergolong unik, sebab untuk menjaga toleransi terhadap umat
sekitar pura yang justru mayoritas muslim, kaum Hindu tidak menyembelih
babi dalam setiap upacara di pura. Peraturan ini sudah berlangsung
turun temurun dan tidak lepas dari sejarah berdirinya pura yang
pujawalinya jatuh pada Kajeng Kliwon Tumpek Wayang.
Sejarah keberadaan Pura Majapahit ini terkait dengan sejarah Pangeran
Wilis dari Blambangan yang merupakan keturunan Majapahit. Sejak
kerajaan Hindu di Jawa mulai terdesak oleh Islam, Blambangan juga ikut
terdesak. Banyak pembesar kerajaan Blambangan masuk Islam, kecuali dua
orang yang tidak masuk Islam, yakni: Pangeran Wilis dan Pangeran Sepuh.
Merasa tidak nyaman dengan lingkungan kerajaan yang para pejabatnya
kian dominan Islam, kedua pangeran ini memilih pindah ke Bali bersama
kerabat dan para pengikutnya sekitar 40 orang.
Sesampai di Bali, kedua pangeran ini datang ke Pura Jati dengan
membawa patung sakti sebagai oleh-oleh untuk Raja Jembrana. Karena
kelelahan memikulnya, maka patung sakti itu sementara ditaruh di
Lateng, lantas ia menghadap Raja Jembrana. Raja menyambut baik mereka
dan menitahkan agar oleh-oleh itu ditaruh di Pura Jembrana.
Kedua pangeran lantas melanjutkan perjalanan untuk menghadap raja
Mengwi, karena kerajaan Jembrana saat itu memang berada dalam kedaulatan
Mengwi. Sebelum berangkat keduanya diiringkan Raja Jembrana bersama
seorang abdi terdekat raja bernama Pan Tabah yang ditugaskan untuk terus
mendampingi pangeran. Kepada kedua pangeran itu raja Jembrana berpesan
agar segera lapor bila di Mengwi mengalami masalah. Ternyata di Mengwi
kedua pangeran ini ditangkap, bahkan Pangeran Sepuh dibunuh, sementara
Pangeran Wilis dan Pan Tabah berhasil lolos dan kembali ke Jembrana.
Mendengar laporan itu, raja merasa malu karena tak bisa melindungi
tamu, sehingga raja bunuh diri.
Kematian raja ini dikira sebagai kudeta oleh Pan Tabah sebagai orang
terdekat raja (parakan sayang). Pan Tabah dikejar dan ditangkap
keluarga kerajaan, lantas diikat seperti babi di sebuah desa di
wilayah Tegalcangkring. Karena Pan Tabah diperlakukan seperti Babi
(celeng) tempat tersebut hingga kini dinamakan Pecelengan. Sementara
Pangeran Wilis yang hendak pulang ke Jawa tidak diperkenankan, dan
kepadanya diberikan sebidang tanah di Desa Banyubiru (sekarang Baluk)
di bawah pohon beringin besar. Di lokasi inilah Pangeran Wilis dan
pengikutnya membangun pemukiman serta sebuah pura yang lantas dikenal
sebagai Pura Majapahit.
Hal yang cukup unik adalah bahwa diantara pengikut setia Pangeran
Wilis ternyata ada yang sudah memeluk agama Islam sejak di Jawa. Meski
beda agama, tetapi abdi yang beragama Islam itu tetap setia mendampingi
tuannya. Walhasil, untuk menghormati pengiring setianya itu,
pangeran membangunkan pula sebuah masjid di sebelah barat pura. Mereka
itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal komunitas Muslim di wilayah
Banyubiru. Dus, melihat sejarah itu berarti keberadaan umat Islam dan
Hindu di wilayah Banyubiru sama tua asal usulnya.
Kala itu pangeran Wilis bahkan membuat perjanjian tentang toleransi
antar umat beragama di lokasi barunya itu, termasuk bahwa: untuk
menghormati umat Islam, dalam setiap persembahyangan di pura tidak
diperkenankan menggunakan sarana babi dan cukup diganti dengan itik.
Aturan ini terus diikuti secara turun-temurun, dan tak ada yang berani
melanggarnya hingga kini.
Sampai sebelum tahun 1965, bahkan konon kaum tua di kalangan muslim
ikut bergabung bila ada upacara umat Hindu di Pura Majapahit, sekedar
sebagai penghormatan. Nah, agar keberadaannya tidak nganggur alias
bengong, kala itu umat Islam ikut dilibatkan melalui acara mekidung
yakni : Kidung Rengganis (dari Jawa). Sedangkan umat Hindu berme-Kidung
Wargasari. Namun, seiring dengan merembesnya kesadaran purifikasi
Islam termasuk pada komunitas muslim Banyubiru ini, maka mereka tidak
lagi terlibat dalam persembahyangan. Muhammadiah misalnya, yang masuk
Loloan Barat sejak tahun 1936, merupakan bagian dari gerakan purifikasi
Islam di Jembrana. Namun, perlu dicatat bahwa seiring purifikasi ini,
toleransi tetap ada tetapi dilakukan dengan cara tidak merusak kemurnian
aqidah mereka lagi. Walhasil, sejak itulah Kidung Rengganis yang biasa
dikumandangkan umat Islam, akhirnya tidak dipergunakan lagi. ”Namun
demikian, upacara di Pura Majapahit tetap tidak diperkenankan
menggunakan babi dan diganti dengan itik hingga kini ”, jelas seorang
tokoh Hindu setempat kepada kami.
Karena sejak awal pembentukannya di sekitar wilayah kompleks pura
memang ada umat Islamnya, maka realitas bahwa pura ini sekarang
dikelilingi oleh penduduk mayoritas muslim bukanlah hal yang aneh.
Bahkan, beberapa meter terdapat masjid besar yang juga peninggalan era
lama. Namun toleransi di antara mereka tetap terjaga hingga saat ini.
Meski masjid dan pura dewasa ini sama-sama menggunakan pengeras suara
misalnya, kedua komunitas tidak merasa berpersoalan. Seperti saat
odalan, meski warga di sekitar pura adalah umat muslim, namun mereka
menghargai dan tidak merasa terganggu oleh para pemedek yang sedang
parkir dalam jumlah besar. Umat Islam tetap melakukan aktivitas ke
masjid sebelah barat Pura Majapahit.
Dari penelusuran sejarah itu tampak bahwa cikal bakal komunitas
Islam di Jembrana ternyata sudah sangat tua usianya. Selain komunitas
Muslim era lama di Desa Baluk (dulu masuk Desa Banyubiru) ini, ada pula
kampung muslim era lama namun berusia agak lebih muda dibanding
Banyubiru, yakni: Kampung Loloan dan Air Kuning yang akan saya ulas
secara khusus pada tulisan berikutnya.
Kampung-kampung Muslim di Jembrana terus berkembang jumlahnya,
terutama sejak 1970an seiring dengan ”ditetapkannya” Bali sebagai
wilayah Wisata andalan. Karena sejak itu, gelombang imigrasi ke pulau
ini menjadi sangat luar biasa besar. Mengingat mayoritas penduduk
Indonesia adalah Jawa dan Muslim, maka menjadi dengan sendirinya para
pendatang baru mayoritasnya adalah Jawa dan Muslim. Realitas inilah
yang menyebabkan pertumbuhan penduduk Bali yang Jawa dan atau Muslim
menjadi sangat significan. Perkembangan terbesar tentu saja terjadi di
wilayah-wilayah simpul transportasi.
Jika melalui pintu udara, Denpasar dan Badung (melalui Bandara I
Gusti Ngurah Rai) menjadi pintu gerbang pulau dewata, tetapi jira
melalui laut maka Jembrana (melalui Gilimanuk) merupakan pintu
gerbang. Oleh karena itu, dapat dipahami jika pertumbuhan penduduk Jawa
dan Muslim di wilayah Denpasar, Badung, dan Jembrana jauh lebih pesat
di banding di tempat-tempat lain.
Kantong-kantong pemukiman Muslim di Jembrana memang dapat dikatakan
berkembang lebih pesat dibanding beberapa wilayah lainnya. “Jika
komunitas Muslim lama terutama terdapat di Loloan dan Air Kuning
(berada pada wilayah selatan jalan utama Jembrana), belakangan sudah
banyak pula comunitas muslim di kecamatan-kecamatan lain, seperti :
desa Medewi, Pululan, Pekutatan (Kecamatan Pekutatan), desa Yeh Sumbul
(Kecamatan Mendoyo), Pengambengan, Cupel, Pabuaan, beberapa enklave
baru di Banyu Biru (Kecamatan Negara), Wewidangan (Kecamatan Melaya).
Bahkan, kini sebagian telah menyeberangi wilayah utara jalan yang
semula eksklusif menjadi wilayah umat Hindu. Eksistensi mereka yang
relatif baru itu umumnya berada di berbagai kompleks perumahan yang
dibangun pengembang”, kata Ilham seorang tokoh muslim Jembrana yang
berhasil saya temui di kantornya.
Sebenarnya tidak hanya di beberapa daerah yang telah tersebut tadi
komunitas Islam berkembang. Keberadaan komunitas Islam Bali yang lebih
kecil (termasuk di Jembrana) sebenarnya telah menyebar luas diantara
banjar-banjar Hindu. Bahkan ada yang letaknya di antara balik balik
Bukit yang agak sulit mengetahuinya jika tidak ”memburunya”. Namun saat
ini kampung-kampung itu dan masyarakat di dalamnya seolah tenggelam oleh
hiruk-pikuk perkembangan jaman. Bahkan tidak ada yang tahu kalau mereka
sebenarnya hidup dalam kesederhanaan dan kesepian dari cahaya Islam.
Di Jembrana saat ini cukup banyak perkembangan fisik terkait dengan
eksistensi kampung Islam dan atau komunitas Muslim. “Di Negara ada
beberapa Pondok Pesantren, satu Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), 168
tempat ibadah, 54 diantaranya sudah berupa Masjid”, tambah Ilham yang
tak lain Rektor STIT menambahi penjelasan.
Berbekal dari penjelasan pak Ilham tadi, saya dkk minta diantarkan
pak Kadek Syarifudin untuk menelusuri lokasi-lokasi yang dikatakan pak
Ilham tadi. “Orientasi wilayah dulu ya, pak”, kata pak Sharif, “Esuk
hari kita baru benar-benar menyinggahi”. ***
Konflik Hindu – Muslim Jembrana Era Kolonial Belanda: Tragedi yang Tak Perlu Terulang
Sore hari. Mentari telah condong ke arah Barat. Pak Syarif mengajak
kami mengunjungi pelabuhan ikan yang armada kapalnya sebagian besar
dimiliki juragan nelayan muslim. “Kapal-kapal ini harganya satu diatas
seratus juta lho”, kata nelayan yang sempat saya temui, “tetapi dalam
beberapa pelayaran, jumlah itu akan segera terbayarkan oleh hasil
tangkapan ikan. Sebab, sekali melaut selama seminggu, jika sedang
beruntung kita bisa mendapat untung 30 jutaaan ”. Para juragan kapal ini
bahkan ada yang memiliki beberapa kapal. Bahkan, ”H. Dahlan (?),
sampai mewakafkan salah satu kapal agar hasilnya dipakai untuk keperluan
operasional masjid di Loloan”, jelas pengurus masjid di Loloan Timur.
Subhanallah. Itulah kontribusi ekonomi secara luar biasa bagi
Jembrana dari para nelayan yang umumnya memiliki darah Bugis/Makasar
ini.
Secara historis komunitas muslim lama memang punya hubungan saling
ketergantungan (saling dukung) secara kokoh, terutama pada era konflik
antar kerajaan Bali di masa silam. Sejarah klasik hubungan erat antar
di keraton Negara (Jembrana) dengan komunitas muslim Loloan dan Air
Kuning merupakan contoh harmoni yang luar biasa. Betapapun kecil
kuantitas masyarakat Islam Bali, tetapi ralitasnya mereka telah ikut
mewarnai khazanah kebudayaan Bali. Bahkan, dalam wujud agak ekstrim
pengakuan eksistensi masyarakat Islam oleh masyarakat Hindu ada yang
sampai teraktualisasi dalam wujud pendirian tempat pemujaan (pura) yang
melarang disajikannya hal-hal yang dilarang Islam, seperti : Banten
yang mengandung Babi.
Sebaliknya, kaum Muslim Bali yang berinteraksi dengan Hindu secara
mendalam, pada perkembangan dipengaruhi pula oleh unsur-unsur kultur
komunitas Hindu. Bagaimana wujud dari unsur ”kaum Hindu” mempengaruhi
kultur Muslim Bali ? “Pembauran itu misalnya terlihat dari lembaga adat
yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat
masyarakat Hindu. Sistem pengairan Subak, pola pengaturan air yang
dilakukan petani Hindu misalnya, dilakukan juga oleh petani Muslim,
meski cara mensyukuri saat panen berbeda, sesuai kepercayaan dan agama
yang dianut”, kata H. Olong Ibrahim, seorang Muslim asli
Banyubiru-Jembrana. Kaum Muslim du daerah ujung barat Pulau Bali itu
(seperti Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan, dan Yeh Santang), menerapkan
sistem pengairan Subak secara teratur seperti umumnya dilakukan petani
Pulau Dewata.
Di tengah harmoni hubungan Muslim – Hindu di kampung-kampung Islam
lama tadi, Belanda yang telah menguasai Blambangan berusaha
menaklukkan Bali. Pada 8 Juni 1848 Belanda menyerang Buleleng
(Singaraja) yang kala itu menjadi kerajaan “atasan” Jembrana (Negara)
yang memang telah ditaklukkan” patih Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik.
Walhasil, Jembrana (Negara) yang kala itu dipimpin Anak Agung Putu
Ngurah tentu saja ikut mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Pan Kelap.
Kepala perang Jembrana Anak Agung Made Rai juga memperkuat pertahanan
kerajaan Jembrana. Mengwi dan Karangasem ternyata ikut pula mengirimkan
bala bantuan, mengingat Belanda dianggap sebagai musuh bersama. Kaum
Muslim Jembrana juga tidak ketinggalan untuk mengirim pasukan.
Pasukan-pasukan Islam di benteng Fatimah meski kala itu sedang sibuk
membangun masjid pertama di Loloan Timur, namun segenap rakyat Muslim
tetap diperintahkan siap untuk perang melawan Belanda.
Walhasil, dengan bersatunya kekuatan beberapa kerajaan yang juga
didukung kekuatan Islam, pasukan Belanda dapat dipukul mundur dan
sisa-sia pasukannya kembali ke kapal. Namun, tahun berikutnya tepatnya
April 1849, Belanda menyerang Buleleng lagi dengan beda strategi.
Pasukan Buleleng banyak korban, dan Patih Gusti Ketut Jelantik menyuruh
mundur pasukannya. Pasukan Pan Kelap bantuan Jembrana yang dipusatkan
di benteng Jagaraga juga berhasil di kalahkan Belanda. Sejak itulah
Bali (Buleleng-Jembrana) takluk pada pemerintahan Hindia Belanda (Saleh
Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Denpasar: MUI, 2002).
Apapun hasil dari peperangan, yang pasti sejarah telah mencatat
bahwa secara historis umat Hindu – Muslim memperlihatkan kerjasama dalam
banyak hal, termasuk ketika melawan penjajah. Bahkan, selama perang
kemerdekaan pun realitas kerjasama tetap tampak kental. Pada masa
perjuangan 1945 misalnya, Desa Air Kuning yang penduduknya Muslim
bahkan dijadikan tempat persinggahan pejuang yang tergabung dalam
Pasukan Sunda Kecil yang dipimpin Kol (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai.
Memang, dalam catatan sejarah pernah terjadi konflik antara
komunitas muslim Loloan vs. sebagian elit Hindu di Jembrana. Tetapi
jika dicermati hal itu terjadi bukan murni akibat sentimen keagamaan,
tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan politik yang kurang aspiratif
pada masyarakat. Terbukti, sebagian elit kerajaan Jembrana justru
bekerjasama dengan umat Islam dalam kemelut ini. Konflik bermula ketika
ada ulama Jawa melakukan jasa pengobatan. Mungkin karena banyaknya
warga yang berhasil disembuhkan, tanpa dipungut biaya pengobatan,
sehingga banyak kaum Hindu tertarik masuk Islam. Kaum mualaf ini
terutama banyak dijumpai di pedesaan pantai Ketapang Kombing. Bahkan,
Ketapang Kombing sendiri diambil dari asal kata orang mebading yang
artinya kaum Hindu Bali beralih menjadi Muslim.
Perlu dicatat bahwa pada tahun 1850 Belanda mengadakan sensus.
Hasilnya adalah di Jembarana terdapat: 15 desa dengan komunitas Hindu,
sedangkan 6 desa lainnya berpenduduk kaum muslim, antara lain: Loloan
Barat, Loloan Timur,Air kuning, Banyubiru (Yeh Anakan), Cupel, dan
Pengambengan. Mengingat jumlah Muslim ternyata sangat signifikan, maka
pemerintah kolonial Belanda membentuk Raad van Keracht (pengadilan)
khusus di bidang Agama dan Hukum adat yang menyangkut bukan hanya untuk
Hindu tetapi juga untuk umat Islam. Kala itu diputuskanlah adanya:
Ida Pedanda Agung yang menangani umat Hindu Bali dan seorang penghulu
untuk menangani Umat Islam.
Di era kolonial ini kerajaan Jembrana menjadi regenschap di bawah
residensi Banyuwangi. Kala itulah beberapa ulama Jawa datang melakukan
pengobatan gratis. Karena jasa sosial itulah akibatnya banyak rakyat
jelata (kalangan sudra atau Jaba) tertarik untuk masuk Islam, terutama
di pedesaan pantai Ketapang Kombing.
Raja Anak Agung Putu Ngurah (di Puri Agung Negara) secara halus
melarang kaum Hindu masuk Islam, dengan meminjam tangan Ida Pedanda
Agung. Kebetulan pada saat itu, kerajaan sendiri, juga sedang
mengalami friksi internal akibat Raja memiliki tabiat buruk dan
otoriter. Banyak pejabat kecewa kepada raja, sehingga mereka kembali
ke Puri Gde Jembrana.
Kala itu akhirnya terbangun dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Kubu pertama, Wakil Raja Jembrana , Ida Anak Agung Putu Raka dengan tentara I Gusti Agung Made Rai dan seluruh Ksatrya yang pro raja. Kubu Kedua,
kelompok anti raja, terdiri Punggawa Jembrana I Gusti Ngurah Made
Pasekan yang sejak lama bersahabat dengan Syarif Abdullah bin Yahya Al
Qodry serta Prajurit Pan Kelab. Ketika Made Pasekan (Jembrana) ditanya
kenapa kelompoknya pro Muslim dia menjawab: kami bersepakat bersama
ingin hidup damai meski dengan orang Islam. Pasekan sama sekali tak
berhasrat mengubah pemerintahan (menjadi Islam), tetapi menentang
kesewenang-wenangan.
Tingkah laku raja yang buruk sebenarnya telah dilapurkan ke Gubernur
Jendral melalui surat Gugatan kepada Komisaris Hindia Belanda, 13
Oktober 1855 No. 85 di Residen Banyuwangi. Karena penguasan Belanda tak
kunjung memberikan tanggapan, akhirnya tanggal 2 Desember 1855 meletus
perang antara dua kubu. Meriam-meriam Syarif tua dari benteng Fatimah
di Loloan Timur dan meriam-meriam Pan Kelab menyalak. Sedangkan, pihak
kerajaan menyalakkan meriam yang semula milik pasukan Bugis/Makasar yang
dahulu telah diserahkan kepada raja.
Meski jumlah pasukan Muslim sangat kecil dengan satu banding tiga
dibanding pasukan kerajaan, tetapi karena mendapat dukungan dari
rakyat jelata (termasuk umat Hindu yang muak pada kebijakan arogansi
raja) akhirnya kelompok anti raja berhasil unggul. Adik I Gusti Agung
Made Rai tewas. Puri Gde Jembrana berhasil ditaklukkan. Raja Anak
Agung Putu Raka dan wakil raja yang menjadi pendukungnya mengungsi ke
Negara, bergabung dengan Raja Anak Agug Putu Ngurah. Oleh karena itu,
Negara pun akhirnya dikepung pasukan Islam.
Syarif Tua kala memberi ultimatum. ”Maaf tuanku yang mulia, anda
telah diambang pintu keruntuhan. Sesungguhnya kami terlarang membunuh
orang yang menyerah. Kami mengangkat senjata bukan hendak merebut
kekuasaan, tetapi kami akan menyebarkan agama sambil berniaga dan
menolak sekeras-kerasnya perbuatan dzalim yang menghambat agama kami”.
Walhasil, raja akhirnya takluk, lantas dipersilahkan meninggalkan
puri Negara menuju Buleleng dan menyusul pula Anak Agung Made Rai. Raja
Jembrana lantas menyerahkan diri kepada pemerintah Gubernur Hindia
Belanda, sebagaimana tercatat dalam buku Raad van Bestuur Oost Indische
Gouverment (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali,
Denpasar: MUI, 2002.). Sedangkan, Jembrana akhirnya dipimpin I Gusti
Made Pasekan, dimana masa itu menjadi era keemasan perkembangan Islam
dan perniagaan sekitar bandar Loloan. Islam akhirnya meluas hingga ke
Tegal Badeng, Rening, dan Pabuahan. Muslim di Air Kuning membuka hutan
di Air Sumbul. Juga dibuat jalan menghubungkan Jembrana – Loloan Timur,
sehingga benteng Fatimah terpaksa harus dibongkar karena kena jalur
jalan.
Hubungan Muslim – elit Hindu kembali harmonis. Namun, Pasekan sempat
juga melakukan kesalahan fatal terhadap umat Islam. Kesalahan itu antara
lain : Pertama, Menghancurkan dan merampas isi kapal
persahabatan yang diutus Sultan Sumbawa karena raja mengira Putu Ngurah
yang masih berkuasa. Kedua, raja memerintahkan untuk
menghancrukan kapal bahkan membunuh seluruh awak. Tragedi ini terutama
disulut oleh keengganan para utusan yang beragama Islam itu untuk
menghaturkan sembah sebagai tanda hormat.
Menyusul pembantaian sadis ini keluarga raja terserang penyakit,
sehingga raja berinisiatif baha: utusan sultan Sumbawa itu dibuatkan
rumah keramat di tepi sungai desa Perancak. Namun, pembantaian
terhadap umat Islam asal Sumbawa atas perintah raja Jembrana ini tetap
menimbulkan rasa terhina bagi umat Islam Jembrana, karena mereka meski
beda daerah tetapi tetap merasa sebagai saudara seagama. Oleh sebab itu,
Pemekel Mustika (tokoh Islam suku Bugis) Jembrana kirim surat pengaduan
ke residen Belanda di Banyuwangi. Akibat pengaduan itu, ditambah
kesalahan lain dimana Raja menyewakan tanah 20.000 bau kepada Demay Van
Derwen tanpa ijin pemerintah (bahkan punggawanya sendiri) akhirnya
raja Pasekan ditangkap lantas diasingkan ke Banyumas.
Di tengah kekosongan kekuasaan ini wakil rakyat Hindu (I wayan Ucap)
dan wakil Islam (Pembekel Mustika) datang ke Buleleng. Namun, di
tengah perjalanan keduanya bertemu I Gusti Agung Made Rai, yang
kepadanya lantas diminta menjadi raja Jembrana. Peristiwa ini kembali
memberi bukti tentang loyalitas komunitas Islam Jembrana yang tidak
menginginkan diri untuk tampil sebagai komunitas terpisah, melainkan
tetap berkehendak hidup dalam sebuah pemerintahan yang dipimpin raja
Hindu yang memiliki prinsip keadilan untuk semua. Berbekal pengalaman
kelabu masa lalu, raja baru Rai memerintah Jembrana secara adil hingga
1906 (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Denpasar: MUI, 2002.)..
Itulah sejarah kelabu konflik Hindu – Muslim yang pernah terjadi,
yang sangat tidak diharapkan untuk terjadi kembali di masa lainnya lagi.
Kini komunitas Muslim memang tersebar di banyak lokasi di Jembrana
dengan segala profesi yang digelutinya. Di Loloan Timur penduduknya
kebanyakan berprofesi sebagai: nelayan, petani, pedagang, dan kusir
dokar. Adapun penduduk Loloan Barat umumnya bekerja sebagai: nelayan,
pedagang, pertukangan, pegawai, buruh, kerajinan tangan, pembuat roti,
bengkel, petani sawah dan kebon kelapa, serta penarik dokar.
Sementara itu penduduk Desa Pengambengan mayoritas bekerja sebagai:
nelayan, petani kelapa, buruh, pedagang. Penduduk Desa Tegal Badeng
Islam umumnya bekerja sebagai: petani kelapa, nelayan. Sementara
penduduk Cupel kebanyakan: petani kelapa dan nelayan. Untuk kampung
Tukadaya penduduk muslimnya : terutama petani kelapa dan sawah.
Sedangkan di Banyubiru kebanyakan: petani kelapa dan nelayan. Adapun
di Tuwed kebanyakan : petani kelapa, nelayan. Candi Kusuma-Melaya :
nelayan, petani kelapa. Melaya: nelayan, petani kelapa, pedagang. Untuk
Sumbersari penduduk muslim berprofesi petani kelapa, buruh. Sedangkan
di Klatakan: petani kelapa, buruh. Untuk daerah Air Kuning mereka
menjadi : petani kelapa, nelayan. Adapun Sumbul dan Pekutatan umumnya:
nelayan, buruh, pedagang.
Terkait dengan sisi historis tadi, maka dapat dipahami jika hubungan
antar dua komunitas sampai kini terhitung cukup harmoni, terutama
dalam soal agama dan budaya. Hanya saja persoalan-persoalan baru
bernuansa ekonomi acapkali bermetamorfosis alias dieksploitasi menjadi
problem dalam hubungan sosial budaya. Problem itupun umumnya bukan
terjadi antara komunitas muslim lama vs. Hindu, melainkan dengan muslim
pendatang baru (sejak era industrialisasi pariwisata di Bali tahun 1970
an). Namun, soal ini acapkali disalahmengertikan juga menjadi problem
umum : komunitas Hindu vs. Muslim. Karena pendatang baru muslim
mayoritas dari Jawa, akhirnya semua muslim disebut Nak Jawa.
Walhasil, sebutan Nak Jawa yang semula eksklusif positif, belakangan
konon telah mengandung nuansa generalisasi negatif. Sebutan slam
(Islam) yang semula bernuansa nyama (persaudaraan) sebagian bergeser ke
arah kecurigaan.
Pada tataran tertentu generalisasi negatif atas kaum Muslim melalui
sebutan nak Jawe ini bahkan dialami pula oleh komunitas Muslim kuno.
Namun, secara umum kampung lama Islam di Jembrana ini tetap jauh
relatif lebih aman, sebab mereka memang memiliki kaitan genealogis,
kaitan kekerabatan, dengan komunitas Hindu akibat proses kawin-mawin
yang berlangsung ratusan tahun. Bravo Bali. ***.
![]() |
Kitab Al-Qur'an Kuno di Masjid Loloan |
Kampung Islam Loloan dan Air Kuning di Jembrana – Bali : Sebuah Entitas Lama
Sejarah keberadaan komunitas muslim Loloan merupakan keturunan dari
tanah Melayu (Kuala Trengganu) dan kaum Bugis yang sudah beberapa abad
lalu masuk Bali. Eksistensi mereka ini juga menjadi bukti historis
bahwa Islam telah lama masuk di wilayah Jembrana ini. Hingga kini
mereka bertahan dengan agama Islam dan adat-istiadat Melayu. Bahkan,
berbeda dengan komunitas muslim yang juga tergolong kuno di lokasi
lainnya yang umumnya memakai bahasa Bali sebagai alat komunikasi
seharí-hari, komunitas di tempat ini ternyata tetap menggunakan bahasa
melayu sebagai bahasa keseharian di kalangan mereka.
Daerah Lolohan terbagi menjadi tiga wilayah: Lolohan Selatan, Timur,
dan Barat. Masyarakat setempat biasa menyebut Lolohan Selatan dengan
Markesari. Penduduk Markesari 95 persennya memeluk agama Hindu.
Adapun Lolohan Barat dihuni penduduk Muslim dan non Muslim. Dengan
perbandingan 50 persen Muslim dan 50 persen lainnya non Muslim, campuran
antarai: Hindu, Budha, Kristen dan lainnya
Dengan dibatasi sebuah sungai yang membentang dan atau membelah
wilayah, di sebelah timur lokasi ini membentang wilayah yang disebut
Loloan Timur. “Sungai itu dahulu banyak sekali buayanya”, kata sesepuh
kampung yang sempat kami jumpai. Lolohan Timur adalah sebuah kawasan
penduduk di pulau Bali yang hampir 96 persen penduduknya memeluk agama
Islam. Lolohan Timur masuk wilayah Negara (baca: Negare), Kabupaten
Jembrana, Bali. Tempat ini berada kurang lebih 25 km. dari Pelabuhan
Gilimanuk, dan berjarak sekitar 84 km. dari Kota Denpasar. Lolohan Timur
merupakan desa yang hijau. Bermacam-macam tanaman tumbuh subur disana.
Penduduk Lolohan Timur sebagian besar bekerja sebagai nelayan yang
tidak mencari ikan di laut, tetapi di pengambengan. Pengambengan
menyerupai danau kecil yang banyak dihuni ikan. Pengambengan mungkin
lebih tepat disebut rawa. (Ali Romdhoni,, ”Mengintip Aktifitas
Masyarakat Muslim Lolohan Timur Bali”, AMANAT, Edisi 101/ Agustus
2004).
Di Loloan Timur yang dominan Muslim inilah terdapat beberapa
pesantren, termasuk Pondok Pesantren Manbaul Ulum. Usia pesantren ini
tergolong paling tua. Pondok ini didirikan KH Ahmad Dahlan (tahun 1935)
yang asal-usulnya dari Semarang. Pondok ini pernah besar dan santrinya
mencapai ribuan orang. Namun sejak terjadi gempa tahun 1976, yang
meruntuhkan seluruh bangunan pondok, jumlah santri tersisa 11 orang.
Selang beberapa waktu dari peristiwa gempa itu, KH Ahmad Dahlan wafat.
Kemudian tampuk pimpinan pondok diteruskan menantunya, KH Zaki
Abdurrahman, suami Hj Musyarofah, putri tertua dari istri ke-2 KH Ahmad
Dahlan.
Masyarakat Muslim Lolohan timur mendapat perlakukan istimewa termasuk
dalam hal mendirikan tempat ibadah. Bagi masyarakat Muslim Bali,
mendirikan bangunan rumah ibadah (mushola apalagi masjid) tidaklah
mudah. Namun, khusus untuk Lolohan Timur hal itu tidak lagi menjadi
masalah. Khusus daerah ini, mendirikan masjid tidak perlu melalui
prosedur yang berbelit-belit sebagai mana yang terjadi di daerah
lainnya.
Hingga sekarang, Loloan dikenal sebagai daerah muslim terbesar di
Bali. Menariknya, peninggalan Islam tersebut masih terpelihara dengan
baik. Seperti prasasti dari ukiran kayu dan Al-Qur’an hasil tulisan
tangan yang saat ini disimpan di Masjid Jami’ Baitul Qadim, Loloan
Timur. Al Qur’an dan ukiran kayu yang berusia lebih dari dua ratus
tahun, berbunyi, Hijrah Nabi S.A.W 1268 tahun Wau (arab) kepada tahun Ha
(Arab) sehari bulan Zulhijah hari Senin. Masjid di Loloan Timur
usianya juga sama tuanya dengan keberadaan masyarakatnya. Hanya saja
bangunannya sama sekali sudah tidak meninggalkan bekas-bekas aslinya,
karena semua sudah dirubuhkan diganti total dengan bangunan modern.
”Namun, beberapa sisa kayu belandar masih tersimpan di lantai dua”,
kata seorang pengurus masjid yang saya temui, sekaligus mengantarkan ke
atas untuk menunjukkan sisa-sisa kayu blandar yang ada.
”Tapi apalah artinya sisa onggokan kayu yang digeletakkan begitu
saja. Pasti tak akan lama lagi kayu itu akan terbuang juga”, kata
hatiku menyayangkan pembongkaran ini. Sekali lagi, inilah bukti bahwa
bangsa kita dimanapun lokasinya, apapun pangkat dan derajadnya, rakyat
ataupun pejabat, tampak kurang menghargai segala hal berbau sejarah.
Mereka umumnya silau terhadap imitasi kemodernan termasuk dalam segi
bangunan. Hanya ketika mereka melancong ke mancanegara dan memperhatikan
bangunan-bangunan kuno yang terawat baik, mereka berdecak kagum tanpa
kesadaran mendalam untuk merawat koleksi sejarah yang ada di negaranya.
Selain Loloan, saya dkk diantarkan pula ke komunitas Muslim tua
lainnya yakni di Desa Air Kuning. Desa Air Kuning ini bersebelahan
dengan Desa Yeh Kuning yang juga berarti air kuning. Bedanya, jika Air
Kuning komunitas penghuninya adalah muslim, maka Yeh Kuning ditempati
oleh komunitas Hindu. Pada masa perjuangan 1945 desa Air Kuning ini
dijadikan tempat persinggahan pejuang yang tergabung dalam Pasukan Sunda
Kecil yang dipimpin Kol (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai, yang sekarang
namanya diabadikan sebagai nama Bandara Internasional di Bali.
Komunitas Muslim Loloan dan Air Kuning di Jembrana alias Jimbarwana
ini yang pertama ada berasal dari Bugis. Mereka datang dalam dua
tahap, pertama tahun 1653-1655, dan kedua tahun 1660-1661 menyusul
berakhirnya perang Makasar antara kerajaan Gowa vs. VOC. Kaum
Bugis/Makasar ini umumnya merupakan pelarian menyusul perjanjian
Bungaya setelah kekalahan Gowa oleh Belanda. Kaum pelarian ini sempat
beberapa kali pindah tempat, sebab mereka memang dikejar-kejar
Belanda. Mereka nomaden di sekitar daerah pantai timur dan utara
Sumatera, pantai barat dan selatan Kalimantan (disebut orang Bugis
Pegatan), Jawa Barat (Banten), Pasuruan (Jawa Timur), dan terakhir
Badung dan Air Kuning -Jembrana (Bali).
Pelarian asal Sulawesi Selatan itu memang terus dikejar-kejar serdadu
VOC (pasukan Spelman) dan Arung Palaka karena sebagian perahu sisa
sekuadron Bugis/Makassar itu masih memiliki senjata meriam. Kala itu
VOC kepada masyarakat sengaja membangun image negatif bahwa kaum
pelarian itu adalah perompak, karena mereka memang kerap melakukan
serangan terhadap kapal-kapal VOC. Bahkan, setelah Makassar jatuh di
tahun 1667 Belanda membuat sayembara bahwa siapapun yang dapat menangkap
sekuadron perahu-perahu keturunan sultan Wajo (berjumlah 4 buah) yang
disebut Iinun alias perompak ini akan diberi hadiah sepuluh ribu
ringgit.
Sebelum ke Bali pelarian dari Gowa itu sempat bersembunyi di teluk
Panggang Blambangan, dan bertahan hidup sebagai nelayan. Sebagian dari
mereka berikutnya kemudian pindah ke Buleleng (pantai Lingga), namun
ada pula yang ke Jembrana. Kala itu, baik Blambangan maupun Jembrana
memang berada di bawah pengaruh kekuasaan Buleleng. Daeng Nachoda
misalnya, tertarik untuk pindah ke Jembrana tahun 1669. Semula mereka
mendarat di Air Kuning dan memasuki Kuala Perancak, serta tinggal untuk
sementara di lokasi yang disebut kampung Bali. Peninggalannya sampai
kini masih ada berupa sumur yang jernih, yang oleh warga disebut sumur
Bajo. Akhirnya mereka diberi ijin penguasa Jembrana, yakni marga Arya
Pancoran (Gusti Ngurah Pancoran), untuk menetap. Tempat mereka itu
kini dikenal sebagai pelabuhan Bandar Pancoran (pelabuhan lama di
Loloan Barat) (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Denpasar: MUI, 2002.)..
Eksistensi kaum pengungsi ini dalam kenyataannya tidak menjadi beban
melainkan justru menjadi berkah bagi Jembrana dan wilayah-wilayah Bali
lainnya. Untuk di wilayah lain, saya telah menguraikan bahwa mereka
akhirnya menjadi kekuatan keamanan utama. Khusus untuk di Jembrana ada
manfaat khusus yang didapatkannya, yakni: masyarakat muslim asal
Sulawesi Selatan itu akhirnya berhasil membangun simpul ekonomi baru
berupa pelabuhan.
Berkat perahu-perahu pedagang jelmaan sekuadron keturunan Sultan
Wajo itu, Jembrana akhirnya menjadi wilayah yang tak lagi terisolir
dari dunia luar. Realitas ini menyebabkan hubungan antara kaum
Bugis/Makasar dan keraton menjadi akrab. Apalagi, Daeng Nachoda dan
penembak-penembak meriam Bugis/Makasar ini akhirnya menjadi tulang
punggung kekuatan Jembrana, terutama ketika I Gusti Ngurah Panji Sakti
(1660) raja Den Bukit, Singaraja (Buleleng) menyerang Jembrana.
Jembrana memang kalah, dan menjadi kerajaan vasal Buleleng, namun
dukungan kaum Muslim ini tetap tertancap kuat dalam benak keraton.
Di era penguasaan Buleleng ini, kaum Muslim memanfaatkan situasi
untuk memperlebar jaringan dagang sekaligus penyebaran Islam. Daeng
Nachoda dan anak buahnya misalkan, utuk memperlebar sayap perniagaan ke
Buleleng, sekaligus untuk menyebarkan Islam. Perahu-perahu yang
mereka miliki dijadikan penghubung logistik (perekononian) yang penting
antara Buleleng-Jembrana. Walhasil, meski secara politik berada di
bawah kekuasaan Buleleng, tetapi Jembrana kala itu justru berkembang
maju terutama dalam konteks pelabuhan dan atau perniagaan.
Ketika I Gusti Ngurah Panji Sakti (raja Buleleng) melepaskan
pengaruh kekuasaannya atas Blambangan, sehingga dilepaskan pula
pengaruhnya atas Jembrana yang kala itu di bawah kendali Dhalem Dewa
Agung Jambe (yang sangat fanatik Hindu bahkan feodalistik). Kala
itulah raja Mengwi mengambil alih Jembrana, mengingat Mengwi memang
ikut berjasa dalam penaklukan Blambangan. Apalagi raja Mengwi adalah
pula ipar Panji Sakti sendiri.
Tahun 1697 terjadi banjir bandang, Sungai Ijo Gading meluap,
menghancurkan keraton Brambang (pusat kerajaan Jembrana) termasuk
keluarga raja I Gusti Ngurah Putu Tapa dan rakyatnya. Meski ikut
keterjang banjir, tetapi perkampungan Bugis di Bandar Pancoran selamat.
Wakil Raja (I Gusti Ngurah Made Yasa) juga selamat, karena kala banjir
bandang ia sedang berkunjung ke Mengwi untuk mengundang Ngeluwur
(Pengabenan Besar). Mengwi sebagai negara ”atasan” membantu patih untuk
membangun kembali kerajaan Jembrana, yang akhirnya dipindahkan dari
Brambang ke Jembrana. Ketika membangun istana yang diberi nama Jero
Andol ini kaum ”pelarian” asal Blambangan yang terdesak oleh
perkembangan Islam ikut membantu juga.
I Gusti Ngurah Putu Yasa ”dinilai” tak mampu memimpin negeri, oleh
karena itu akhirnya diambilkan raja pengganti, yakni putra bungsu raja
Mengwi I Gusti Agung Alit Takmung dengan gelar Anak Agung Ngurah
Jembrana. Namun raja baru ini masih kecil, sehingga ia didampingi ibu
(I Gusti Ayu Ler Pacekan) dan kakeknya ( I Gusti Ngurah Takmung) sebagai
patih yang membangun puri Jeroan Pasekan. Khusus kepada keluarga Marga
Arya Pancoran (penguasa lama) diberi jabatan sebagai kepala pasukan
perang dengan dibantu Arya Bengkel dan Arya Kelaladian yang datang dari
Mengwi bersama raja. Umat Islam Jembrana menjadi inti dalam pasukan
Marga Arya Pancoran ini.
Kala itu para Arya dan umat Islam hidup rukun, dan Jembrana mencapai
puncak kemasyhuran, terutama berkat pelayaran perdagangan kaum Bugis
hingga ke Palembang. Bandar Pancoran menjadi pelabuhan perniagaan, di
tengah realitas Jembrana yang masih tertutup hutan belantara.. Oleh
karena itu, perahu-perahu Bugis pun membawa kuda dari Sumbawa untuk
keperluan transportasi darat di Jembrana.
Di era raja ketiga (Anak Agung Putu Handul), yakni putra I Gusti
Agung Lebar, kerajaan Jembrana diserang raja Cokorde Tabanan. Namun,
serangan ini berhasil dihadang pasukan dan atau para pendekar Islam. Tahun 1670
Raja Badung, Cokorde Pemecutan juga menyerang dari arah selatan desa
Perancak, tetapi juga gagal karena banyak yang dimakan buaya.
Ketika Anak Agung Putu Handul digantikan putranya, Anak Agung Putu
Sloka (sebagai raja keempat) dan adiknya Anak Agung Nyoman Madangan
(wakil raja) perlakuan kerajaan terhadap umat Islam kian baik. Bahkan,
untuk kian mendekatkan diri dengan komunitas Islam, maka di tahun 1798
raja membangun puri baru di sebelah utara Bandar perkampungan Islam,
di sebelah barat sungai Ijo Gading, yang diberi nama Negeri (Negara).
Di era itulah datang lagi beberapa perahu dari Sulawesi Selatan serta
minta ijin tinggal di Air Kuning. Mereka dipimpin para mubaligh seperti
: H. Sihabuddin dan H. Yasin (Bugis asal Buleleng), Tuan Lebai (Melayu
asal Serawak) dan Datuk Guru Syekh (0rang arab).
Selain perahu Bugis, datang juga iring-iringan perahu pimpinan
Syarif Abdullah Al Qodri yang tak lain adik Sultan Pontianak Syarif
Abdurrahman Al Qodery. Kala itu Sultan Pontianak takluk pada Belanda
(1799). Karena, sang adik (Syarif Abdullah Al Qodery) tidak terima
realitas itu, ia meneruskan perlawanan di Lautan, serta berpetualag
dengan membawa sekuadron bersenjata meriam. Satu perahu menetap di
Lombok Timur, sisanya sampai di Air Kuning Jembrana. Syarif Abdullah
Al Qodri mengadakan kesepakatan dengan umat Islam di Jembrana. Ketika
menyusuri Sungai Ijo Gading ke utara menuju Shah Bandar, Syarif
Abdullah memberi aba-aba pada anak buah dengan bahasa kalimantan Liloan
(tikungan), sehingga kampung di sekitarnya lantas diberi nama Loloan
hingga sekarang.
Dua ekspedisi (Bugis dan Pontianak) tadi merupakan gelombang kedua
kedatangan Islam di Jembrana. Kedatangan dua kelompok muslim ini
disambut baik raja. Ada alasan mendasar kenapa dua kelompok umat Islam
ini diterima dengan tangan terbuka: Pertama, eksistensi umat Islam di Jembrana yang telah ada ternyata mampu menjalin hubungan baik dengan komunitas Hindu. Kedua,
umat Islam yang telah ada di Jembrana terbukti mampu menjadi tenaga
pasukan yang sangat diandalkan serta mempunyai loyalitas tinggi.
Terbukti, ketika keraton Jembrana hancur dan keluarga raja tumpas oleh
banjir bandang, komunitas Islam tak lantas membangun sebuah kerajaan
tersendiri. Mereka bahkan membantu pembentukan keraton baru yang
dilakukan Patih atas bantuan raja Mengwi. Ketiga,
kenyataannya umat Islam memiliki jasa luar biasa dalam pengembangan
pelabuhan perniagaan yang memiliki pengaruh sangat positif bagi kemajuan
kerajaan. Keempat, kala itu Blambangan telah dikuasi
Belanda, sehingga dapat mengancam pula keamanan bahkan masa depan
Jembrana. Walhasil, kehadiran para pelarian asal Kalimantan dan
Sulawesi yang semuanya bekas pasukan kerajaan ini tentu dapat menampah
kekuatan kerajaan.
Menurut aturan kerajaan seluruh meriam sebenarnya harus diserahkan ke
raja, seperti telah dilakukan kaum Bugis yang telah datang duluan
pasca perang Makasar. Tetapi, Syarif Abdullah menawarkan cara lain,
yakni: meriam tetap dikuasai sendiri, tetapi akan digunakan untuk
membela Jembrana. Kesepakatan dicapai dan kepada kaum Islam asal
Kalimantan ini dipersilahkan tinggal di kanan kiri tebing sungai Loloan
seluas 80 hektar. Lokasinya ada di sebelah utara Bandar Pancoran.
Syarif Abdullah membuat perkampungan darurat di sebelah timur sungai
yang kini disebut Loloan Timur. Perahu perang yang dimiliki diubah
menjadi kapal perniagaan, bahkan akhirnya menjelajah hingga Singapura.
Kala itu Loloan Timur dan Loloan Barat akhirnya menjadi desa
administratif konsesi untuk umat Islam di Jembrana. Sedangkan, desa
administratif yang berbentuk desa adat Hindu adalah desa Mertasari,
Lelaleng, Banjar Tengah, dan Baler Bale Ageng. Loloan Barat dan Timur
akhirnya menarik minat umat Islam dari Jawa dan Madura untuk ikut
menetap.
Seiring dengan adanya komunitas Islam yang baru tadi, Jembrana kian
mengalami kemajuan terutama dalam perekonomian. Raja Buleleng (Anak
Agung Gde Karangasem) tertarik pada kemakmuran Jembrana, sehingga di
tahun 1828 Buleleng menyerang: ingin menaklukkan Jembrana untuk kedua
kalinya. Raja Jembrana, Anak Agung Putu Seloka dan adiknya (yang tak
lain wakil raja) diungsikan dengan perahu Bugis ke Banyuwangi. Pada
penyerangan pertama, pasukan Jembrana yang diperkuat pasukan
Bugis-Pontianak ini berhasil mengalahkan Buleleng, bahkan panglima
Buleleng Anak Agung Gde Karang tewas. Namun, pada penyerangan yang
kedua, pasukan Jembrana dapat dikalahkan, meskipun perang gerilya
tetap berlanjut (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Denpasar: MUI, 2002.)..
Umat Islam Jembrana kembali memperlihatkan kesetiaan, tetap memegang
teguh janji persahabatan dengan kerajaan Jembrana. Terbukti, meskipun
sampai tahun 1832 selama 4 tahun ada kekosongan (karena raja dan wakil
raja mengungsi), umat Islam tak lantas melepaskan diri (apalagi
mengambil alih kekuasaan) dari Jembrana. Mereka bahkan terus membantu
rakyat Hindu yang susah karena perang. Baru pada tahun 1835 terjadi
kesepakatan damai antara Jembrana – Buleleng, menyusul penguasaan
Buleleng atas Jembrana untuk kedua kalinya. Intinya: raja Jembrana tetap
diberi hak memerintah, tetapi dibawah pengaruh/supremasi Buleleng.
Di era ini hubungan harmonis umat Islam-Hindu (termasuk dengan
kerajaan) tetap berlanjut. Itulah realitas seluk beluk Kerajaan Jembrana
(Negara) yang sangat erat hubungannya dengan umat Islam. Hingga kini
panji-panji Islam bertuliskan kalimat “La Illaha Ilallah” misalnya,
masih disimpan di Puri Negara, sebagai penghargaan atas perjuangan
pengikut Syekh Syarif Al Qodri (pemuka Islam) menghadang serangan dari
kerajaan lain
Kebersamaan kaum Hindu dengan komunitas lama kampung Islam ini juga
terjalin hingga pada sektor sosial dan ekonomi. Orang Islam ada yang
menggarap tanah pemeluk agama Hindu, begitu juga sebaliknya. Bahkan,
diantara dua komunitas juga terbangun sebuah akulturasi. Bentuk lain
akulturasi umat Islam dengan masyarakat Hindu di lokasi ini dapat
dilihat melalui kesenian Rebana. Kesenian ini dimainkan oleh beberapa
orang yang semuanya mahir memainkan Rebana besar. Lirik dan syairnya
bernafaskan Islam menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa Melayu. Namun,
agar mudah diterima masyarakat sekitar, para seniman Rebana ini
mengaransemen lagu-lagu yang mereka mainkan dengan irama khas Bali.
Dengan begitu, masyarakat akan lebih menyukai kesenian ini dan makna
syiar yang menjadi tujuan utama dapat tersampaikan dengan efektif. ***
DHURORUDIN MASHAD
---------------------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2013/02/02/pangeran-wilis-dan-cikal-bakal-komunitas-islam-di-jembrana-bali-tulisan
http://dhurorudin.wordpress.com/2013/03/02/kampung-islam-loloan-dan-air-kuning-di-jembrana-bali-sebuah-entitas-lama-tulisan-21/
http://dhurorudin.wordpress.com/2013/04/02/konflik-hindu-muslim-jembrana-era-kolonial-belanda-tragedi-yang-tak-perlu-terulang-tulisan-22/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar