______________________
oleh Dhurorudin Mashad
Dari serangkaian kunjungan di banyak wilayah di Bali, saya mendapat
gambaran bahwa secara umum, sebagaimana wilayah lain di Nusantara,
penyebaran Islam di Bali ternyata lebih dominan melalui kegiatan ekonomi
dan perdagangan. Penyebaran melalui kegiatan ekonomi lebih bersifat
dinamis dan terbuka, dan berlangsung sejak era pra Indonesia maupun era
kekinian seiring dengan eksistensi Bali sebagai wilayah wisata yang
tentu saja sarat dengan muatan ekonomi.
Selain jalur ekonomi, penyebaran Islam juga dilakukan melalui lini
perkawinan, yaitu perkawinan antara kaum muslim (asli maupun pendatang)
dengan orang-orang Hindu Bali. Kaum Muslim pra Indonesia yang datang
ke Bali mayoritas adalah kalangan lelaki, yang juga mayoritas tidak
beserta istri. Oleh sebab itu, mereka akhirnya menikah dengan wanita
lokal, baik asli Bali maupun gelombang pendatang asal Mojopahit. Perlu
dipahami bahwa asal usul orang Hindu Bali pun mayoritas adalah
pendatang dari Mojopahit, baik menyusul era penaklukan Bali oleh
Majapahit (Gajahmada) di tahun 1343 ataupun seiring dengan runtuhnya
kerajaan Mojopahit oleh kekuatan Demak tahun1 1518.
Untuk membahas apa dan bagaimana komunitas muslim lain di Bali,
menyusul serangkaian tulisan sebelumnya, berikutnya saya soroti
keberadaan komunitas Islam di Kabupaten Tabanan. Di Tabanan ternyata
juga terdapat komunitas Muslim sebagai sebuah entitas lama. Komunitas
lama ini antara lain terdapat di Kampung kuno Jawa yang kini terdapat di
kecamatan Tabanan dan Kampung Candi Kuning yang ada di Baturiti,
Bedugul. Pada tulisan ini saya akan konsentrasi pada kampung Muslim
Jawa yang berada di tengah kota.
Hari itu langit Tabanan sedang temaram. Mendung berseliweran
memenuhi angkasa. Permukaan surya senantiasa tersaput awan, sehingga
sinarnya tidak leluasa menerangi mayapada. Mendung. Gerimis. Udara
beku. Tapi jiwa saya justru menyala-nyala menapaki kampung kuno Jawa.
Apalagi tokoh kampung Jawa menyambut dengan gembira, maka semangat
saya pun kian membara untuk wawancara. Asykur, itulah tokoh yang
menemui saya dengan keramahtamahannya.
Komunitas Kampung Jawa atau dikenal juga dengan Tunggal Sari ini
dibangun oleh seorang Muslim yang menikahi wanita hindu lokal. Keluarga
dan pengikut serta keturunan mereka itulah yang lantas beranak pinak
dan membentuk sebuah komunitas Islam di tengah kota Tabanan ini.
Islam di kecamatan Tabanan kota berkaitan erat dengan kedatangan Aryo
Nur Alam, seorang pemuda asal desa Temenggungan, Blambangan. Blambangan
kini lebih dikenal dengan Banyuwangi, yang berada di ujung Jawa Timur.
Pemuda Nur Alam datang ke Bali di tahun 1808 ketika baru berusia 15
tahun.
Belakangan hari, Nur Alam diangkat sebagai juru bahasa keraton,
karena jasanya menerjemahkan surat-surat dari Jawa (dengan bahasa Jawa)
yang di terima raja Tabanan, Batara Ngeluhur. Bahkan, karena terkesan
oleh perilakunya yang baik disamping loyalitas yang tinggi, Nur Alam
akhirnya dikawinkan dengan salah seorang putri raja. Nur Alam (yang
wafat pada tahun 1873) mempunyai seorang anak bernama Raden Mustafa,
yang lantas menurunkan seorang cucu bernama Raden Saleh.
Kepada pasangan suami-istri ini raja memberi tanah pelungguhan di
wilayah yang kini dikenal dengan kampung Jawa. Karena mereka dan
keturunannya beragama Islam, maka kampung itu dinamai pula sebagai
kampung Islam Tabanan. Sejak itu, banyak kerabat dari Nur Alam
berdatangan ke wilayah pelungguhan itu. Anak cucu Nur Alam dan
kerabatnya ini lah menjadi pelaku utama pengembangan Islam di Tabanan.
Para turunan Nur Alam dan kerabat ini pula yang akhirnya tersebar
membangun enklave-enklave pemukiman Muslim di Tabanan.
Beberapa keturunan dan atau peninggalan asli Nur Alam ketika saya
berkunjung ke Tabanan masih bisa ditelusuri di Tabanan kota. ”Yayasan
pendidikan Islam Marzuki yang terletak di Kampung Jawa adalah
peninggalan H. Marzuki. Orang ini tidak lain adalah keturunan Nur alam
Tadi. Sedangkan keturunan yang masih hidup bernama pak Sasih yang
tinggal di wilayah Banjar Taman Sari”, terang Asykur.
Karena komunitasnya beragama Islam dan asal usul leluhurnya dari
Jawa, maka pelungguhan Nur Alam dan istri akhirnya memang dikenal
sebagai Kampung Jawa atau kadangkala disebut kampung Muslim. Meski
demikian ada dua hal perlu digarisbawahi:
Pertama, selama ratusan tahun telah terjadi proses perkawinan campur
terutama antara pria kampung Jawa dengan wanita-wanita Hindu dari
kampung sekitarnya. Oleh karena itu, dalam konteks kekinian akhirnya
terbangun tali persaudaraan secara geneologis antara warga kampung Jawa
dengan warga Hindu di sekelilingnya.
Kedua, selama ratusan tahun banyak pula kaum muslim dari berbagai
suku datang dan tinggal di pelungguhan milik Nur Alam ini. Para
pendatang susulan –tetapi terjadi masih di era kolonial — ini berasal
dari Lombok, dari Sumatera, dan Makasar. Berikutnya disusul etnis
Madura yang umumnya datang di tahun 1960 an. Realitas ini menyebabkan
kampung tersebut belakangan diberi pula nama Tunggal Sari, sebagai
refleksi dari manunggalnya berbagai muslim dari berbagai wilayah. ”Dapat
dipahami jika kampung yang kini dihuni 450 KK dengan lebih dari 2000
jiwa ini, menjadi satu-satunya Kelian Muslim di kecamatan Tabanan
kota”, kata Asykur menegaskan.
Komunitas Muslim Bali era lama, termasuk kampung Jawa ini memiliki
makna penting bagi kehidupan beragama di Bali. Muslim Bali secara
historis memang sebuah entitas minoritas. Tetapi mereka bisa hidup
relatif damai bersama mayoritas Hindu. Kaum Hindu menyebut umat islam
sebagai nyama selam: saudaraku yang Islam. Hal ini terjadi baik akibat
realitas hubungan sosio-kultural yang harmonis, atau pun karena secara
geneologis antara kedua komunitas memang telah terjadi kawin mawin
sehingga memiliki hubungan kekerabatan secara nyata.
Komunitas Muslim kampung kuno di Tabanan ini bukannya tidak memiliki
semangat menyebarkan agama. Semangat amar maruf nahi munkar semacam itu
telah ada sejak dahulu. Sebagian terbesar dilakukan melalui jalur
perkawinan. Warga lama muslim Bali memang tak melakukan dakwah agresif
kepada warga Hindu untuk mengislamkan mereka. Kalaupun ada perpindahan
agama, umumnya terjadi karena perkawinan.
Dalam berbagai sendi kehidupan sosial, kaum Muslim – Hindu memang
berbagi suka dan duka, tetapi dalam identitas kehidupan beragama mereka
dapat dibedakan secara tegas. Toleransi mereka bangun dengan cara saling
menghargai sekaligus melakukan akulturasi budaya, meskin secara
substantif mereka tak pernah mencampur adukan akidah antar mereka. Umat
Islam tak pernah menyebut Tuhan sebagai Sang Hyang Allah. Umat Islam
tak pernah beribadah menggunakan aksesoris peribadatan umat Hindu. Dalam
makanan umat Hindu pun menghargai bahwa Muslim tidak memakan daging
babi. Namun, akulturasi kebiasaan hidup tetap merupakan keniscayaan yang
tidak terhindarkan. Proses ini terjadi secara alamiah akibat interaksi
intensif maupun sebagai akibat prinsip yang dibangun para tokoh agama
pendahulu. Bahkan, realitas ini hakekatnya bukan fenomena eksklusif
Tabanan melainkan sebagai gejala umum Bali maupun nusantara.
Meski demikian, secara umum komunitas lama Muslim Bali secara
historis memiliki hubungan khusus dengan masyarakat Hindu lokal,
termasuk khususnya dengan elit pemerintahan kerajaan.
Komunitas-komunitas Muslim lama di berbagai tempat memiliki hubungan
historis dengan raja-raja Hindu, sehingga mereka secara turun-temurun
diperlakukan secara terhormat, termasuk dalam soal simbolitas undangan
di setiap acara adat yang diselenggarakan Puri. Jika Puri punya hajatan
seperti Pitra Yadnya atau potong gigi (masangih), tokoh-tokoh Kampung
Islam pasti diundang dengan status diistimewakan. Misalkan: posisi
duduk tokoh-tokoh Islam dibuat sejajar dengan raja. Selain itu, banyak
kesenian Islam juga ditampilkan dalam acara-acara adat mereka.
”Muslim di Kampung Jawa ini juga sama, punya keterkaitan erat dengan
Puri Tabanan, apalagi leluhur kampung ini adalah seorang putri asal
Puri”, tandas Asykur mengakhiri penjelasannya. Dengan berakhirnya
penjelasan tokoh Islam Kampung Jawa ini saya pun berniat melanjutkan
perjalanan, menyusuri enklave-enklave pemukiman Muslim lain di tengah
kota meski kecil jumlahnya, meski relativ baru terbentuknya.
Cakrawala masih dikuasai awan. Kami tetap pamit untuk melanjutkan
perjalanan, menembus rintik-rintik hujan yang terus turun tiada
berkesudahan. ***
DHURORUDIN MASHAD
-------------------------------------------------
sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/09/05/komunitas-muslim-kampung-jawa-di-tabanan-bali-tulisan-13/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar