Rabu, 30 Juli 2014

MJIB - 38. Mengenal Komunitas Muslim Kampung Jawa di Tabanan – Bali

______________________
oleh Dhurorudin Mashad



Dari serangkaian kunjungan di banyak wilayah di Bali,  saya mendapat gambaran bahwa secara umum, sebagaimana wilayah lain di Nusantara,  penyebaran Islam di Bali ternyata lebih dominan melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan. Penyebaran melalui kegiatan ekonomi lebih bersifat dinamis dan terbuka,  dan berlangsung sejak era pra Indonesia maupun era kekinian seiring dengan eksistensi Bali sebagai wilayah wisata yang tentu saja sarat dengan muatan ekonomi.
Selain jalur ekonomi, penyebaran Islam juga dilakukan melalui lini perkawinan, yaitu perkawinan antara kaum muslim (asli maupun pendatang)  dengan orang-orang Hindu Bali.  Kaum Muslim pra Indonesia yang datang ke Bali mayoritas adalah kalangan lelaki, yang juga mayoritas tidak beserta istri.  Oleh sebab itu,  mereka akhirnya menikah dengan wanita lokal,  baik asli Bali maupun gelombang pendatang asal Mojopahit. Perlu dipahami bahwa asal usul orang Hindu Bali pun  mayoritas adalah pendatang dari Mojopahit,  baik menyusul era penaklukan Bali oleh Majapahit (Gajahmada) di tahun 1343 ataupun seiring dengan runtuhnya kerajaan Mojopahit  oleh kekuatan Demak tahun1 1518.
Untuk membahas apa dan bagaimana komunitas muslim lain di Bali,  menyusul serangkaian tulisan sebelumnya,  berikutnya saya soroti keberadaan komunitas Islam di Kabupaten Tabanan.  Di Tabanan  ternyata juga terdapat komunitas Muslim sebagai sebuah entitas lama.  Komunitas lama ini antara lain terdapat di Kampung kuno Jawa yang kini terdapat di kecamatan Tabanan  dan Kampung Candi Kuning yang ada di Baturiti, Bedugul.  Pada tulisan ini saya akan konsentrasi pada kampung Muslim Jawa yang berada di tengah kota.
Hari itu langit Tabanan sedang temaram.  Mendung berseliweran memenuhi angkasa.  Permukaan surya senantiasa tersaput awan,   sehingga sinarnya tidak leluasa menerangi mayapada. Mendung. Gerimis.  Udara beku.  Tapi jiwa saya justru menyala-nyala menapaki kampung kuno Jawa.  Apalagi tokoh kampung Jawa menyambut dengan gembira,   maka  semangat saya pun kian membara untuk wawancara.  Asykur,  itulah tokoh yang menemui saya dengan keramahtamahannya.
Komunitas Kampung Jawa atau dikenal juga dengan Tunggal Sari ini dibangun oleh seorang Muslim yang menikahi wanita hindu lokal.  Keluarga dan pengikut serta keturunan mereka itulah yang lantas beranak pinak dan membentuk sebuah komunitas Islam di tengah kota Tabanan ini.    Islam di kecamatan Tabanan kota berkaitan erat dengan kedatangan Aryo Nur Alam,  seorang pemuda asal desa Temenggungan, Blambangan. Blambangan kini lebih dikenal dengan Banyuwangi, yang berada di ujung Jawa Timur.  Pemuda Nur Alam datang ke Bali di tahun 1808 ketika  baru berusia 15 tahun.
Belakangan hari, Nur Alam diangkat sebagai juru bahasa keraton,  karena jasanya menerjemahkan surat-surat dari Jawa (dengan bahasa Jawa) yang di  terima raja Tabanan,  Batara Ngeluhur. Bahkan, karena terkesan oleh perilakunya yang baik disamping loyalitas yang tinggi, Nur Alam akhirnya dikawinkan dengan salah seorang putri raja. Nur Alam (yang wafat pada tahun 1873) mempunyai seorang anak bernama Raden Mustafa, yang lantas menurunkan seorang cucu bernama Raden Saleh.
Kepada pasangan suami-istri ini raja memberi tanah pelungguhan di wilayah yang kini dikenal dengan kampung Jawa.  Karena mereka dan keturunannya beragama Islam,  maka kampung itu dinamai pula sebagai kampung Islam Tabanan. Sejak itu,  banyak kerabat dari  Nur Alam berdatangan ke wilayah pelungguhan itu.  Anak cucu Nur Alam dan kerabatnya ini lah menjadi pelaku utama pengembangan Islam di Tabanan. Para turunan Nur Alam dan kerabat ini pula yang akhirnya tersebar membangun enklave-enklave pemukiman Muslim di Tabanan.
Beberapa keturunan dan atau peninggalan asli Nur Alam ketika saya berkunjung ke Tabanan masih bisa ditelusuri di Tabanan kota.  ”Yayasan pendidikan Islam Marzuki yang terletak di Kampung Jawa adalah peninggalan H. Marzuki.  Orang ini  tidak lain adalah keturunan Nur alam Tadi.  Sedangkan keturunan yang masih hidup bernama pak Sasih yang tinggal di wilayah Banjar Taman Sari”,  terang Asykur.
Karena komunitasnya beragama Islam dan asal usul leluhurnya dari Jawa, maka pelungguhan Nur Alam dan istri akhirnya memang dikenal sebagai Kampung Jawa atau kadangkala disebut kampung Muslim.  Meski demikian ada dua hal perlu digarisbawahi:
Pertama,  selama ratusan tahun telah terjadi proses perkawinan campur terutama antara pria kampung Jawa dengan wanita-wanita  Hindu dari kampung sekitarnya. Oleh karena itu, dalam konteks kekinian akhirnya terbangun tali persaudaraan secara geneologis antara warga kampung Jawa dengan warga Hindu di sekelilingnya.
Kedua,  selama ratusan tahun banyak pula kaum muslim dari berbagai suku datang dan tinggal di pelungguhan milik Nur Alam ini.  Para pendatang susulan –tetapi terjadi  masih di era kolonial — ini berasal dari Lombok,  dari Sumatera, dan Makasar.  Berikutnya disusul etnis Madura yang umumnya datang di tahun 1960 an. Realitas ini menyebabkan kampung tersebut belakangan diberi pula nama Tunggal Sari,  sebagai refleksi dari manunggalnya berbagai muslim dari berbagai wilayah. ”Dapat dipahami jika kampung yang kini dihuni 450 KK dengan lebih dari 2000 jiwa ini, menjadi satu-satunya Kelian Muslim di kecamatan Tabanan kota”,  kata Asykur menegaskan.
Komunitas Muslim Bali era lama,  termasuk kampung Jawa ini memiliki makna penting bagi kehidupan beragama di Bali.  Muslim Bali secara historis memang sebuah entitas minoritas. Tetapi  mereka bisa hidup relatif damai bersama mayoritas Hindu. Kaum Hindu menyebut umat islam sebagai nyama selam:  saudaraku yang Islam.  Hal ini terjadi baik akibat realitas hubungan sosio-kultural yang harmonis,  atau pun karena secara geneologis antara kedua komunitas memang telah terjadi kawin mawin sehingga memiliki hubungan kekerabatan secara nyata.

 
Masjid Agung Tabanan Bali
Komunitas Muslim kampung kuno di Tabanan ini bukannya tidak memiliki semangat menyebarkan agama.  Semangat amar maruf nahi munkar semacam itu telah ada sejak dahulu.  Sebagian terbesar dilakukan melalui jalur perkawinan. Warga lama muslim Bali memang tak melakukan dakwah agresif kepada warga Hindu untuk mengislamkan mereka. Kalaupun ada perpindahan agama, umumnya terjadi karena perkawinan.
Dalam berbagai sendi kehidupan sosial, kaum Muslim – Hindu memang berbagi suka dan duka, tetapi dalam identitas kehidupan beragama mereka dapat dibedakan secara tegas. Toleransi mereka bangun dengan cara saling menghargai  sekaligus melakukan akulturasi budaya,  meskin secara substantif mereka tak pernah mencampur adukan akidah antar mereka.  Umat Islam tak pernah menyebut Tuhan sebagai Sang Hyang Allah. Umat Islam tak pernah beribadah menggunakan aksesoris peribadatan umat Hindu. Dalam makanan umat Hindu pun menghargai bahwa Muslim tidak memakan daging babi. Namun, akulturasi kebiasaan hidup tetap merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan. Proses ini terjadi secara alamiah akibat interaksi intensif maupun  sebagai akibat prinsip yang dibangun para tokoh agama pendahulu. Bahkan, realitas ini hakekatnya bukan fenomena eksklusif Tabanan melainkan sebagai gejala umum Bali maupun nusantara.
Meski demikian,  secara umum komunitas lama Muslim Bali secara historis memiliki hubungan khusus dengan masyarakat Hindu lokal,  termasuk khususnya dengan elit pemerintahan kerajaan. Komunitas-komunitas Muslim lama di berbagai tempat memiliki hubungan historis dengan raja-raja Hindu,  sehingga mereka secara turun-temurun diperlakukan secara terhormat,  termasuk dalam soal simbolitas undangan di setiap acara adat yang diselenggarakan  Puri. Jika Puri punya hajatan seperti Pitra Yadnya atau potong gigi (masangih), tokoh-tokoh Kampung Islam pasti  diundang dengan status diistimewakan.  Misalkan:  posisi duduk tokoh-tokoh Islam dibuat sejajar dengan raja.  Selain itu,  banyak kesenian Islam juga ditampilkan dalam acara-acara adat mereka.
”Muslim di Kampung Jawa ini juga sama, punya keterkaitan erat dengan Puri Tabanan, apalagi leluhur kampung ini adalah seorang putri asal Puri”, tandas Asykur mengakhiri penjelasannya.  Dengan berakhirnya penjelasan tokoh Islam Kampung Jawa ini  saya pun berniat melanjutkan perjalanan,  menyusuri enklave-enklave pemukiman Muslim lain di tengah kota meski kecil jumlahnya,  meski relativ baru terbentuknya.
Cakrawala masih dikuasai awan.  Kami tetap pamit untuk melanjutkan perjalanan,  menembus rintik-rintik hujan yang terus turun tiada berkesudahan.   ***
DHURORUDIN MASHAD

-------------------------------------------------
sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/09/05/komunitas-muslim-kampung-jawa-di-tabanan-bali-tulisan-13/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar