_______________________
Oleh Dhurorudin Mashad
Hari
terang, sama sekali tak ada awan. Udara cerah. Langit cerah. Mentari
memancarkan cahaya dengan leluasa. Sinar sang surya berpendar menerangi
cakrawala. Bahkan, meski hari masih pagi, pancaran surya sudah agak
menggigit terasa di kulit. Setelah sarapan pagi, saya dkk telah bersiap
meluncur ke Kampung Islam Kepaon. Selama di Kabupaten Badung, saya
didampingi pak Luqman, seorang muslim asal Jawa tetapi telah belasan
tahun tinggal di Denpasar. ”Sudah siap, Pak ? Tanya pak Luqman yang
sudah duduk di belakang kemudinya. ”Sipp..”, jawab saya singkat.
Dengan diiringi bacaan bismillah mobil kijang silver langsung meluncur menapaki jalanan menuju tujuan.
Sejarah Islam Bali memang bisa ditelusuri dari komunitas muslim yang
telah eksis bahkan sejak abad ke 15, sejak jaman kerajaan Gelgel.
Namun, sejarah eksistensi muslim sebenarnya juga bisa ditelusuri dari
prasasti, bangunan-bangunan penting kerajaan di Puri Pemecutan
(Denpasar), atau cap kerajaan Klungkung (Hindu) yang menggunakan huruf
Arab, karena pada zaman Raja Ida Bagus Jambe kerajaan ini telah menjalin
hubungan diplomatik dengan salah satu kerajaan Islam di Jambi. Semua
bukti historis tadi menjadi bagian argumen bahwa Islam dan komunitas
muslim di Bali hakekatnya bukanlah fenomena kekinian, melainkan telah
menjadi entitas lama yang berusia ratusan tahun silam, sama tuanya
dengan komunitas muslim di berbagai daerah lain di Indonesia.
Di Kabupaten Badung komunitas Islam yang telah tua eksistennya juga
ada, seperti yang tinggal di Kampung Islam Kepaon, lokasi yang sedang
saya tuju ini. Komunitas muslim Kepaon ini terletak di wilayah desa
Pemogan, namun masuk dalam desa adat Kepaon. Warga Islam Kepaon
diperkirakan berjumlah 300 KK atau sekitar 2.000 jiwa (data tahun
2010). Aqidah Islam warga Kepaon masih terjaga dengan baik sampai saat
ini, bahkan sebagian diantara mereka membawa menjadikan wanita Hindu
lokal menjadi istrinya melalui proses muallaf. Kekuatan aqidah ini
terbentuk tentu saja melalui pendidikan keagamaan yang kokoh termasuk
dengan mengirim anak-anak mereka belajar di berbagai pesantren.
Bahkan, sebagian generasi muda Kampung Islam Kepaon banyak yang menimba
ilmu agama di pondok-pondok pesantren di Jawa, seperti Pondok Gontor,
Tambak Beras, Asem Bagus, Genteng, Paiton, yang ketika pulang kampung
mereka lantas membina komunitas Islam di Bali.
Profesi kaum muslim Kepaon kebanyakan petani sawah disamping banyak
pula yang menjadi sopir. Sementara kaum ibu lebih banyak menekuni
usaha garmen dan berdagang. Guna menunjang roda perekonomian, kaum
muslim juga menjadi nasabah Lembaga Pemberdayaan Desa (LPD) desa adat
Kepaon, berbaur bersama nasabah umat Hindu yang tersebar di sembilan
banjar. Aturan yang diterapkan kepada komunitas Kepaon juga sama
sebagaimana aturan nasabah LPD lain yang diikat awig-awig (aturan
adat). Semua punya kedudukan sama, dan ikut memiliki LPD. Warga Kampung
Islam yang ingin meminjam bisa mengajukan permohonan dengan mengetahui
kepala dusun, sekdes, atau kelian adat (Bambang Supeno @balimuslim.com/Daniel Fajri, Bali Post 8 Desember 2001)).
Di Kepaon terdapat sebuah masjid besar, Al Muhajirin, disamping ada
juga 5 musholla. Masjid itu sebelumnya bernama Hamsul Mursalin.
Namun, seiring kehadiran tokoh Islam asal Gujarat Haji Abdurahman
–disamping aspirasi para pendatang susulan lainnya asal Madura, Bugis,
Melayu termasuk muslim Bali sendiri–, tempat peribadatan umat Islam itu
diubah namanya menjadi masjid Jami’ Al-Muhajirin. Disebut ”masjid
jami’ berarti tempat ibadah itu menjadi masjid kecamatan serta setiap
minggu dipakai untuk jum’atan. Pada level kabupaten biasanya diubah
dari masjid jami’ menjadi masjid agung”, kata seorang ta’amir di masjid
Kepaon yang berhasil saya jumpai.
Nah, bagaimanakah sejarah eksistensi Kampung Islam Kepaon ? ”Kepaon
terbentuk dan berkembang sejak tahun 1891, yakni setelah jatuhnya
kerajaan Mengwi ke tangan kerajaan Badung”, kata pak Luqman
menjelaskan, meski saya pribadi meragukan tahun peristiwanya. Badung
meraih kemenangan karena ketika perang pasukannya dibantu kaum muslim
pimpinan Raden Sosroningrat. Atas jasanya itulah, Sosroningrat
akhirnya diambil menantu, dikawinkan dengan putri Raja Pemecutan,
berikutnya diberi pelungguhan sebagai cikal bakal kampung Kepaon.
Tentang siapa dan bagaimana kiprah Raden Sosroningrat, konon bisa
ditelusuri dari tulisan-tulisan yang tertuang dalam lontar Bali
seperti Kisah Kamaruzzaman (peralihan zaman) serta Kisah Zul Ambiyak
(kisah para nabi).
Konon, suatu hari ada sebuah rombongan perahu dari Jawa yang
diterjang badai di sekitar perairan Bali, mengakibatkan perahu rusak
parah lantas mendarat darurat secara terpencar-pencar. Ada yang
terdampar di pesisir Benoa, Tuban, ada pula di sekitar Sanur. Pimpinan
rombongan diketahui bernama Raden Sastroningrat seorang pejabat asal
kota gudeg Yogyakarta (baca: Mataram), tetapi beretnis Madura. Meski
mendarat secara illegal, rombongan Sastroningrat diterima dengan baik
(baca: tidak ditahan) oleh raja Badung Raja Cokorda Pemecutan III,
bergelar Betara Sakti, asalkan mereka mendukung Badung dalam
perseteruannya melawan kerajaan Mengwi. Para pendatang dari Jawa yang
perahunya mengalami kerusakan dan terdampar itu tenaganya dimanfaatkan
oleh raja Pemecutan sebagai prajurit untuk menggempur kerajaan Mengwi.
Walhasil, berkat dukungan sepenuh hati dari kaum muslim pimpinan
Sastroningrat ini Badung akhirnya berhasil menaklukkan Mengwi. Atas
kemenangan ini, Raden Sastroningrat akhirnya diambil menantu,
dinikahkan dengan putri Raja Pemecutan III bernama Anak Agung Ayu Rai.
Setelah menikah, Raden Sastroningrat memboyong istrinya ke Mataram
(Yogyakarta) lokasi dia menjadi prajurit, kemudian diajak ke Madura
sebagai tempat kelahiran dan atau kampung halamannya. Di Madura Anak
Agung Ayu Rai akhirnya resmi menjadi muallaf alias muslimah. Kepada
Anak Agung Ayu Rai akhirnya diberi gelar Raden Ayu Mas Mirah.
Ketika pemahaman keislaman Agung Ayu Rai sudah cukup baik,
Sastroningrat mengajak istrinya kembali ke Bali. Ayu Rai oleh Puri
diberi tanah pelungguhan di Kebon, yang sekarang lebih dikenal dengan
nama Kepaon. Lokasi ini terkenal angker alias tenget, karena konon
dihuni oleh banyak mahluk halus. Sedangkan, kepada menantunya, Raden
Sastroningrat, juga diberi tanah di sekitar Ubung. Sosroningrat
tinggal di lokasi itu sampai wafatnya, serta dimakamkan di tempat yang
sama. Bagaimanakah nasib Istrinya, Anak Agung Ayu Rai alias Raden Ayu
Mas Mirah sepeninggal Sosroningrat ?. Menurut Kelian Adat H. Abdul
Hadi, Ayu Rai dibunuh saat salat dan mengenakan rukuh, busana salat
wanita Islam yang berwara serba putih. Gara-gara memakai baju serba
putih itu, Anak Agung Ayu Rai dikira akan melakukan prosesi ngeleak.
Apalagi saat shalat mengucapkan Allahu Akbar, yang di telinga orang-orang Hindu dikira mengucap lakar mekeber. Oleh karena itu, A.A. Ayu Rai secara spontan ditebas kepalanya hingga meninggal.
Selama tinggal di Ubung dan atau Kepaon, banyak kerabat Sosroningrat
berdatangan alias ikut tinggal di tanah pelungguhan. Nah, keturunan
pasangan suami istri A.A. Ayu Rai – R. Sosroningrat lengkap dengan para
pengikut dan kerabatnya ini lantas menjadi cikal-bakal komunitas
kampung Islam Kepaon dan Ubung di Kabupaten Badung. Namun, tak sedikit
juga keturunan mereka menyebar ke tempat lain, karena perkawinan maupun
pekerjaan, sehingga bersama umat Islam lain yang datang belakangan
membentuk enklave-enklave komunitas muslim baru di berbagai lokasi di
daerah Badung.
Sejarah kampung Kepaon serta keterikatannya dengan Puri Pemecutan ini
memang sungguh menarik. Realitas ini mendorong umat Islam Kepaon
untuk menginventarisasi bukti-bukti otentik peninggalan sejarah
setempat. Secara bersama mereka berniat mendirikan pusat kajian Islam
(Islamic Center) yang terdiri atas pusat pendidikan mulai taman
kanan-kanak hingga perguruan tinggi, dilengkapi perpustakaan mini serta
museum kecil, agar generasi muda Kepaon mengetahui asal usul mereka.
Agar mereka tahu bahwa eksistensi mereka secara kesejarahan bukan datang
mencari penghidupan, tetapi mereka memang sangat dibutuhkan Badung
dalam konteks menjaga dan mempertahankan keamanan kerajaan. Agar mereka
juga tahu bahwa secara ginealogis dalam diri mereka terdapat pula darah
keluarga raja Badung, darah salah satu pemimpin komunitas Hindu di
Bali.
Karena eksistensi Kampung Kepaon terkait erat dengan kerajaan Badung
dan atau Puri Pamecutan, maka hinga kini mereka tetap menjalin hubungan
dengan Puri Pemecutan. Jika di Puri ada hajatan seperti Pitra Yadnya,
atau potong gigi (masangih) tokoh Kampung Islam Kepaon pasti diundang.
Tokoh-tokoh Islam juga rajin berkunjung ke puri. Status mereka bahkan
diistimewakan, dengan posisi duduk dalam setiap hajatan berada setingkat
dengan raja. Kesenian asal kampung Kepaon, seperti rodat, rebana hadrah
sering juga ditampilkan di Puri Pemecutan untuk mengiringi upacara.
Memang secara substansi keagamaan, nilai-nilai aqidah tetap
dipegang secara kokoh oleh komunitas Islam Kepaon hingga kini. Dalam
keseharian apalagi di bulan puasa masjid Al-Muhajirin di Kepaon selalu
dimanfaatkan sebagai sentra segala aktivitas, mulai dari berbuka puasa
dengan cara Magibung (makan bersama-sama), salat taraweh, tadarus
(membaca kitab suci Al Qur’an secara bersama), dan acara khataman
(tamat membaca Al Quran) setiap sepuluh hari sekali. ”Namun, secara
kultural dan atau adat unsur Hindu pada akhirnya ikut pula mewarnai
kehidupan Muslim. Di bulan suci Ramadan misalnya, warga setempat
biasanya punya tradisi menyediakan cendana, gergaji kayu, minyak wangi,
sampalan, kemudian dibakar dan ditaruh di sudut-sudut bangunan rumah.
Pada bakaran berikutnya ditaburi aneka bunga : mulai dari cempaka,
melati, sampai mawar. Memang, di era sekarang gerakan pemurnian Islam
telah merembes pula ke komunitas Islam Kepaon, sehingga tradisi
sinkretis semacam tadi tak lagi semarak seperti era dulu”, jelas Pak
Lukman. Namun, tradisi magibung (makan bersama) meski diambil dari
adat Hindu, karena tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka
tetap dilanjutkan sampai kini.
Akulturasi adat kebiasaan memang telah lama terjadi di kampung Islam
Kepaon. Sebagai komunitas muslim yang memiliki hubungan erat dengan
Puri Pamecutan yang Hindu, tentu saja komunitas Kepaon memiliki
identitas keagamaan yang khas sebagai wujud akulturasi. Mereka hidup
rukun berdampingan dengan umat Hindu setempat. Dalam upacara kematian
misalnya, para pelayat yang mengantarkan ke kuburan membaur antara yang
berpakaian adat Bali dan muslim yang mengenakan songkok (kopiah).
Selama akulturasi sifatnya artifisial semacam itu oleh para leluhur
yang memiliki kearifan lokal dianggap tidak bermasalah. Akulturasi baru
problematik jika secara substansial telah menyerempet untuk
mengorbankan nilai akidah. Akultural yang kadangkala berlangsung ekstrim
tadi bisa memunculkan agama-agama lokal yang secara substantif bisa
menyimpang dari nilai universalisme Islam.
Identitas kaum muslim Kepaon yang penuh akulturasi, dalam jalur
genealogis dan kultural, ini menjadi akar keharmonian dalam hubungan
dengan komunitas Hindu di sekelilingnya. Nyaris tak ada konflik berarti
antara mereka. Meski demikian, toleransi antar komunitas tetap
dilakukan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai aqidah, karena toleransi
hanya berkisar pada tradisi kesenian dan atau bangunan-bangunan. Meski
substansi berbeda sekali, tetapi secara fisik terakulturasi. Realitas
yang khas ini telah menumbuhkan kenyamanan bagi komunitas muslim Kepaon
yang hidup di tengah kaum hindu yang mayoritas.
Harmoni dalam hubungan antar komunitas memang sungguh luar biasa
dalam kehidupan kampung kuno Muslim Kepaon ini. Banyak adat yang bisa
dijadikan titik tolak untuk membangun semangat toleransi dan
persaudaraan ini. Tradisi Ngejot misalnya, ternyata sejak lampau telah
menjadi satu tonggak dalam menciptakan kemesraan dan persaudaraan Hindu –
Muslim di berbagai wilayah di Bali, termasuk di Kepaon. Tradisi
“Ngejot” menjelang Idul Fitri di Bali memang masih lestari, tetapi
khusus pada komunitas pedesaan, yang menunjukkan adanya kekerabatan
yang akrab dengan umat Hindu. Umat Islam di pedesaan Bali melaksanakan
tradisi itu sejak zaman kerajaan, seperti di Pegayaman Kabupaten
Buleleng, Budakeling Kabupaten Karangasem, Serangan di Denpasar, Desa
Loloan di Kabupaten Jembrana, dan tentu saja di Kampung Kepaon
Kabupaten Badung ini. Umat Islam Ngejot dengan kirim makanan menjelang
Idul Fitri ke tetangga-tetangga Hindunya, dan sebaliknya umat Hindu pun
melakuan hal yang sama menjelang Nyepi – Galungan – Kuningan. Untuk
mencegah munculnya keraguan tentang kehalalan, makanan yang dikirimkan
umat Hindu biasanya tidak berupa masakan, tetapi berupa buah-buahan.
Adat ini mencerminkan keakraban dalam kehidupan yang secara tak langsung
memberi dampak positif dalam memantapkan kerukunan hidup antar umat
beragama yang bertetangga (Remmy Silado: Tradisi “Ngejot” Jelang Idul
Fitri di Bali, Denpasar, ANTARA News, Jumat, 3 Oktober 2008).
“Ngejot” bagi umat muslim di perkotaan yang kini hilang sebenarnya
bisa dihidupkan kembali guna mendorong semangat persaudaraan sekaligus
bukti toleransi antar umat. Sebab, sebagaimana pepatah : Pagar mangkok
pasti lebih kokoh dibanding Pagar Tembok. Artinya, saling memberi
sekedar makanan antar tetangga lebih mampu membangun keamanan dibanding
dengan membuat pagar tinggi seperti benteng yang justru menghalangi
jalinan silaturrahmi secara lebih leluasa.***
DHURORUDIN MASHAD
-------------------------------------
sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/10/25/entitas-lama-kampung-islam-kepaon-di-kabupaten-badung-bali-tulisan-16/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar