________________________
Oleh: Dhurorudin Mashad
Di Kabupaten Tabanan, selain Kampung Candi Kuning-Baturiti dan
kampung Jawa-Tabanan Kota, masih ada kampung kuno muslim lainnya.
Hanya saja komunitasnya jauh lebih sedikit dan dari sejarahnya lebih
muda. Komunitas muslim itu antara lain ada di Soko (kecamatan Baturiti)
dan Senganan (kecamatan Penebel). Meski Soko secara administratif
masuk dalam kecamatan Baturiti, tetapi secara wilayah lebih dekat ke
Penebel, sehingga banyak orang yang mengira Suko bagian dari Penebel.
Jumlah Muslim di seluruh kecamatan Penebel pada tahun 2010 hanya sekitar
65 KK. ”Tetapi, itupun yang merupakan komunitas lama hanya sekitar 11
KK di Senganan dan 8 KK di Soko. Sementara sisanya adalah muslim yang
datangnya lebih belakangan”, jelas Solihin, seorang muslim asli
Senganan yang beristri seorang muallaf Hindu.
Karena eksistensi Muslim di kedua lokasi tadi telah bersifat
kelampauan, maka meski sedikit jumlah mereka, tetapi masing-masing
telah mempunyai satu masjid: di Soko satu dan di Senganan Satu.
Keberadaan sebuah masjid di Bali memang sebuah kemewahan, sebab masjid
umumnya menjadi sebuah realitas yang tak gampang didapatkan oleh
komunitas-komunitas muslim baru di pulau dewata ini. ”Masjid di
Senganan ya itu, di pojokan pertigaan jalan itu”, kata pak Hasan
menunjukkan. ”Untuk masjid Soko, nanti akan saya antar kesana”. Pak
Hasan Bick tidak hanya bicara, sebab setelah beberapa saat istirahat di
sebuah warung yang ternyata milik ”paman” pak Hasan, saya dkk di antar
menuju masjid Soko. Masjid itu kecil, tetapi mungil.
Sejarah komunitas muslim Soko di kecamatan Penebel dimulai sekitar
awal abad 20. ”Mulanya hanya seorang mualaf berama Hamzah. Dia
seorang Hindu yang diambil anak oleh keluarga muslim Pagayaman. Ketika
dewasa, Hamzah menikah dengan wanita Hindu Penebel. Suami istri muallaf
ini lantas menetap di Soko. Anak turunan mereka menyebar, yang semula
hanya di Soko sebagian akhirnya bergeser ke Senganan”, jelas Solihin
yang tak lain adalah keturunan dari Hamzah leluhur komunitas Muslim di
Soko dan Sengananan, Penebel.
Hari masih siang. Mentari menebarkan sinar terang benderang. Udara
memang cerah, meski awan tipis sesekali melintas secara tergesa-gesa.
Setelah puas menyusuri dua kampung tua di Penebel: Soko dan Senganan,
pak Hasan mengajak saya dkk kembali ke Tabanan kota. ”Kita kembali ke
kota. Bapak akan saya antar menyusuri komunitas muslim baru di sana”,
kata Pak Hasan menerangkan sembari menyetir mobil ke arah kota.
Ternyata, disamping empat kampung tua muslim (Kampung Jawa, Candi
Kuning, Soko dan Senganan), ternyata di kabupaten Tabanan telah tumbuh
beberapa komunitas muslim yang tergolong baru. Sejak era kemerdekaan
memang telah bermunclan enklave-enklave komunitas Muslim lain yang dapat
diidentifikasi dari eksistensi masjid dan atau Mushola. Tetapi, sekali
lagi, komunitas ini dapat digolongkan baru, terjadi di era
kemerdekaan atau bahkan baru beberapa dekade terakhir. Komunitas yang
terbilang baru ini antara lain : di Banjar Joko Sateru, Kediri, di
Banjar Gerang, Pasekan, di kampung Persiapan, Sangglan, Tanahbang.
Selain itu, ada pula di Bajera, kecamatan Selemadeg. Muslim di Bajera
yang lebih dikenal sebagai komunitas Muslim Banjar Taman Sari ini
jumlahnya sekitar 35 KK plus 10 KK pengontrak. Selain itu ada pula di
Banjar Tegal, yang secara umum berasal dari Pulau Raas, Madura.
Sebagian terbesar kaum muslim di Banjar Tegal bekerja sebagai penjual
baju bekas, maka lokasi itu akhirnya dikenal sebagai kampung OB: Obral
Bekas. Sementara umat Islam yang tinggal di Pasekan kebanyakan dari Jawa
Barat, sehingga lokasi itu lebih dikenal sebagai kampung Persib:
persatuan orang Bandung. Adapun muslim di wilayah kediri, umumnya
berasal dari Jawa (terutama Demak dan Rembang) dan Madura.
Mencermati komunitas Muslim era lama di Tabanan terdapat satu hal
yang sangat menarik, yaitu: berbeda dengan para pendatang dari Sulawesi
(Bugis) atau asal lokasi lain (termasuk Arab dan Cina) yang oleh
masyarakat Bali disebut wong sunantara, wong duradesa, atau wong nusantara
yang artinya orang asing, orang Jawa kala itu tidak digolongkan sebagai
asing, tetapi sebagai nak Jawe (saudara Jawa). Sebutan bernuansa
kedekatan dan persaudaraan ini sama sekali tidak mencerminkan soal
agama, tetapi lebih terkait dengan etnisitas dan kewilayahan. Orang Jawa
apapun agamanya adalah saudara, mengingat asal usul orang Bali terkait
erat dengan Jawa (baca: mayoritas asli Mojopahit). Bukan sekedar itu,
kerajaan tertua di Jawa Timur (baca: kerajaan Airlangga) diyakini pula
sebagai keturunan dan atau berasal dari Bali. Realitas historis ini
pula menyebabkan, Bali dan Jawa (dengan segenap penduduknya) hakekatnya
merupakan sebuah entitas ”tunggal”.
Realitas ini disadari betul terutama oleh orang Bali sendiri yang
paham akan sejarah. Bahkan, karena keterkaitan yang sedemikian kuat,
secara ekstrim mendiang penulis babad terkenal, Jero Mangku Ketut
Subandi, misalnya memperkuat ”esensi kesatuan” wilayah dalam logika
yang dibalut legenda. Ketika menulis tentang babad Bali senantiasa ia
memulai dari Bali yang sunyi dan labil. Menurutnya, Pulau Bali
terombang-ambing di lautan. Realitas ini mendorong Hyang Pasupati
memotong Gunung Semeru di Jawa Timur, yang lantas ditancapkan di Bali.
Walhasil, Bali menjadi tenang (tidak gonjang-ganjing) seperti sekarang
adalah hasil dari tancapan potongan gunung di Jawa Timur Tadi. Gunung
yang ditancamkan di pulau Bali itu dinamakan Gunung Agung.
Selain itu, ada pula legenda alternatif tentang “manunggalnya” asal
usul Bali dan Jawa. Banyak, babad Bali lain yang dimulai dari kisah
perjalan resi asal tanah Jawa. Agar perjalannnya tak diikuti
bromocorah, sang resi konon menggoreskan tongkatnya. Goresan garis yang
dibuat sang resi sakti itu secara ajaib menjadi segara cupet
alias selat Bali. Walhasil, Bali yang semula menyatu dengan Jawa
akhirnya terpisah. Menjadi pulau sendiri (Lihat Putu Setia, Bali yang Meradang, (Denpasar: Pustaka Manikgeni, 2006), hlm. 170).
Selain argumentasi yang berpijak pada sejarah bernuansa legenda, ada
pula argumentasi historis yang sifatnya lebih rasional, yakni: Raja
pertama di Jawa Timur yakni Prabu Airlangga tidak lain adalah
keturunan Bali, putra Darma Udayana Warmadewa bersama isterinya
Mahendradata/Gunapriya Darmapatni (989-1001 M). Bahkan, dalam konteks
yang lebih baru, Bali hakekatnya sebagai manifestasi dari Mojopahit.
Prof. Ng Poerbatjarakan mengatakan: bali adalah penyimpanan warisan
budaya yang berasal dari majapahit. Bedanya, meminjam pendapat Hildred
Geertz, apa yang dulu masih sebatas konsep-konsep filosofis di jawa,
pada akhirnya menjadi praktek di Bali (Yudhis M. Burhanuddin, Bali Yang Hilang: Pendatang Islam dan Etnisitas di Bali, (Yogyakarta: Kanisius, 2008).hlm. 52 dan 55).
Akibat logika historis (legenda maupun nyata) ini maka jalinan
komunitas Bali dan Jawa secara klasik menjadi sedemikian kuat, bahkan
termasuk komunitas Islamnya. Sebutan Nak Jawe, dan bukan wong sunantra,
terhadap Muslim asal Jawa dahulu merupakan refleksi dari semangat
kedekatan itu. Meski demikian, secara makro hubungan antara komunitas
Muslim lama (dari berbagai suku) dengan penduduk Hindu di Bali tidak ada
perbedaan yang spesifik. Semua sama dalam corak hubungan, yakni
terbangun apa yang disebut sebagai nyame slam, saudara Islam. Tidak
berlebihan jika akulturasi budaya terjadi secara alamiah yang
bukti-buktinya masih dapat ditemuai hingga saat ini.
Dalam konteks sosiologis kultural era lama ini, yang terwujud adalah
komunitas Muslim Bali dan Hindu Bali, dan bukan dalam kerangka
penduduk asli dan pendatang. Alasannya, kedua komunitas umumnya
sama-sama pendatang, perbedaannya hanya terletak pada periode
kedatangan saja. Oleh karena itu, tanggung jawab dalam membangun
wilayah menjadi perhatian bersama, dan ketika menghadapi musuh dari
luar adalah pula menjadi tanggung jawab bersama. Sejarah mencatat,
ketika Bali diancam kolonialisme Belanda misalnya, penduduk Muslim
Bali dan Hindu Bali bahu membahu dalam mempertahankan kemerdekaan
wilayahnya.
Kalaupun terminologi pendatang tetap diberlakukan, pada istilah itu
tak dapat diterapkan secara umum dan gegabah dalam konteks Tabanan.
Komunitas muslim Candi Kuning, Soko-Senganan, dan Kampung Jawa sulit
disebut sebagai pendatang. Apalagi ikatan geneologis Hindu – Muslim
sudah sedemikian berurat berakar dalam keempat komunitas tadi. Hanya
kepada komunitas muslim di lokasi-lokasi lain, pada tataran tertentu
mungkin bisa diterapkan terminologi pendatang. Sebab, umumnya periode
kedatangan mereka terjadi seiring dengan pentasbihan Bali sebagai kota
Wisata di tahun 1970 an atau paling lama di awal era kemerdekaan. Sejak
saat itulah, komunitas-komunits Muslim baru mulai bermunculan.
Sebenarnya, realitas pendatang lengkap dengan kantong-kantong
pemukimannya bukan fenomena khas Bali. Ia merupakan fenomena umum di
berbagai wilayah di Indonesia, terutama di wilayah perdagangan seperti
di Singaraja sebagai gerbang terdekat dengan Jawa. Di era Indonesia,
gelombang pendatang ke wilayah Bali tetap terjadi. Gelombang pendatang
ini datang dengan segala profesi yang dimiliki. Keturunan pendatang dari
Jawa Timur dan Madura misalnya, banyak berprofesi sebagai penjual dan
pembuat masakan khas Jawa Timur seperti sate, rawon dan soto yang sangat
mudah ditemui di Singaraja hingga kini. Banyak juga pendatang dari suku
Bugis yang secara turun temurun berprofesi sebagai nelayan dan guru
agama. Jaman kolonial banyak pendatang yang berprofesi sebagai guru
(seperti ayahnya Bung Karno). Di Kabupaten Tabanan terutama di wilayah
wisata tentu banyak didatangi pekerja dan atau pedagang barang seni atau
cendera mata. Selain itu, banyak pula pendatang yang akhirnya bergerak
pada industri makanan/jajanan yang tersebar di restoran, pasar dan
warung. Para pedagang warung senggol yang buka di malam hari mayoritas
pula terdiri atas kaum Muslim. Namun, gelombang pendatang berlangsung
sangat masif terutama sejak awal 1970-an ketika Bali telah menjadi pulau
pariwisata. Gelombang pendatang sejak era 70 an ini terutama didorong
oleh motivasi ekonomi.
![]() |
Masjid Al-Hamzah Soko Tenganan Tabanan Bali |
Keberadan umat Islam Tabanan sebenarnya dapat ditelusuri dari
keberadaan masjid di sekitar mereka, mengingat masjid atau musholla
merupakan kebutusan dasar disamping kebutuhan materi yang harus
dipenuhi. Di Tabanan setidaknya tercatat beberapa masjid seperti Masjid
Agung di Kampung Jawa, Masjid Al Huda di Kediri, Masjid Al Hidayah,
Masjid Miftahul Mubin, masjid Al Hikmah yang semua ada di Candi
Kuning, Masjid di Pasekan, masjid di Persiapan, masjid Muhajirin di
Sanggulan, Masjid Misykatul Huda di Bajera-Selemadeg, atau dua masjid
di Soko dan Senganan Penebel, serta masjid di Tanahbang. Selain itu
tercatat pula banyak mushola seperti Baitur Rahman, Al Amin dan Ar
Rohman yang semua di Candi Kuning, disamping beberapa musholla di tempat
lain.
Mengenai jumlah penduduk Muslim di Tabanan, tampaknya sangat sulit
ditemukan data yang akurat. Namun, setidaknya berdasar data pada
pemilu 2009 misalnya, jumlah pemilih Islam – atau yang ber KTP — di
Kabupaten Tabanan berjumlah 17.000 pemilih. Walhasil, jika ditambah
dengan jumlah anak dari KK yang ber KTP tadi, dengan asumsi setiap
keluarga punya dua anak di bawah usia 17 tahun, maka jumlah Muslim bisa
dua kali lipatnya. Apalagi jika ditambah dengan para muslim yang tidak
ber KTP tetapi memiliki Kipem yang jumlahnya justru sangat banyak,
maka jumlah Muslim menjadi lebih berlipat lagi.
Sekali lagi. Realitas pendatang lengkap dengan kantong-kantong
pemukimannya sebenarnya bukan fenomena khas Bali. Ia merupakan fenomena
umum di berbagai wilayah di Indonesia. Orang Hindu Bali sendiri banyak
pula yang menjadi komunitas pendatang di beberapa wilayah lain di
Indonesia. Mereka juga membentuk kantong-kantong komunitas Hindu.
Saya, misalnya beberapa kali sempat melewati kantong-kantong komunitas
Hindu Bali di sepanjang jalan dari kota Palu menuju Kabupaten Poso, di
Sulawesi Tengah. Komunitas Hindu Bali di luar Bali ini umumnya datang
melalui program Transmigrasi di era Orde Baru. Itulah Indonesia, negeri
yang kaya dengan etnis lengkap dengan keragaman agama dan budayanya.
Indonesia memang ber Bhinneka Tunggal Ika, yang senantiasa menyelaraskan
antara keragaman dengan kesatuan. ***
DHURORUDIN MASHAD
---------------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/10/15/menyusuri-lokasi-komunitas-muslim-soko-tenganan-di-tabanan-bali-tulisan-15/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar