Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten Karangasem*)
Pagi sekali, pak Hasan Bick mengajak kami meninggalkan Bangli.
Suasana sangat sejuk, atau bahkan cenderung dingin. Dedaunan masih
menggigil. Dahan-dahan juga menggigil. Bahkan, pepohonan ikut
menggigil. Kedinginan. Maklum, semalaman hujan mengguyur bumi Bangli.
Namun, saya tidak terperangkap pada situasi serba dingin ini. Hati saya
telah menghangat akibat dibakar keinginan untuk segera menapaki bumi
Karangasem yang keberadaannya selama ini hanya ku dengar dari berbagai
kabar.
Sekitar jam 11 siang, pak Hasan membelokkan mobil langsung ke lokasi
kantor Departemen Agama (KUA Islam dan Penyelenggara Haji) Karangasem.
Di tempat inilah saya dkk mendapatkan informasi awal tentang
enclave-enclave komunitas muslim di Kabupaten Karangasem. “Kabupaten
Karangasem memiliki penduduk muslim berjumlah 19 ribu Jiwa. Mereka
hidup tersebar di 6 dari 8 kecamatan di seluruh wilayah Karangasem.
Namun, mereka terutama terkonsentrasi di 4 kecamatan, yakni: Kecamatan
Karangasem (11.729 jiwa), kecamatan Bebandem (4.438 jiwa), kecamatan
Sidemen (820 jiwa), dan Kecamatan manggis (465 jiwa). Sisanya sekitar
2000 jiwa tersebar, terutama di kecamatan Kubu dan kecamatan Rendang”,
kata pimpinan Depag urusan Islam, sambil menyodorkan data tertulis
kepada kami.
Muslim di Kecamatan Kubu terutama tinggal di wilayah Galian C.
Sedangkan, muslim di Kecamatan Rendang jumlah muslimnya hanya sekitar 13
KK. Mereka memang memiliki musholla an Nur, yang sempat dipakai
presiden SBY sholat ketika ke Karangasem. Namun, musholla ini tak boleh
dipasang papan nama, dengan alasan bertentangan dengan aturan adat
setempat.
Komunitas muslim terbesar pertama berada di kecamatan Karangasem,
yang tersebar di wilayah perkotaan dan pegunungan. Pertama, Muslim di
perkotaan terutaman ada di kelurahan Karangasem, yang tersebar di 13
dusun/kampung, antara lain : Kampung Telaga Mas (memiliki kepala dusun
muslim), Dusun Ujung Desa, Dusun Segara Katon, Karang Tohpati, Karang
Langkung, Bangras, Grembeng (atas dan bawah), Karang Ampel, Jeruk Manis
(dikenal dengan Jerman), Karang Tebu, Karang Bedil, Tiing Tali, Dangin
Sema (komunitas Muslim terbesar setelah Dusun Kecicang Islam). Selain
itu ada pula di Desa Tegal Linggah, yang memiliki dua kampung muslim
yakni: Karang Cengen dan Kampung Nyuling. Berikutnya di Kelurahan
Subagan, terdapat di dua kampung yakni: kampung Karang Sokong dan
Telaga Mas (bahkan kepala kampungnya muslim). Kedua, muslim di
pegunungan terdapat di sebelah timur yakni di Kelurahan/Desa Bukit
tersebar di 6 dusun/kampung, yakni: Bukit Tabuan, kampung Anyar,
Karang Sasak, Tibulaka Sasak, Tiing Jangkrik, dan Dangin Kebon. Selain
itu di Desa Tumbu juga ada, tepatnya di Dusun Ujung Pesisi karena
letaknya memang di ujung laut.
Kantong Muslim terbesar kedua terdapat di Kecamatan Bebandem, yakni
di dusun Kecicang Islam (kampung Islam terbesar di Karangasem) yang
terdapat di Banjar Kangin, Banjar Lebah Sari, dan Dusun Saren Jawa.
Adapun kecamatan dengan komunitas muslim terbesar ketiga ada di
Sidemen, yakni di dusun Sinduwati yang mencakup kampung Sindu, Buu dan
Tegal. Selain ketiga kecamatan tadi, kecamatan Manggis sebagai tempat
komunitas muslim terbesar keempat, yang terdapat: di Buitan, Padang
Bai, dan Pertamina Manggis. Di Buitan meski muslim hanya 27 KK, namun
telah memiliki masjid. Di Padang Bai ada pula masjid milik
pelabuhan, dan kaum muslimnya pun umumnya para pegawai kapal (yang
transit). Begitu pula di Pertamina Manggis kaum muslimnya adalah para
pekerja dan pemili usaha kecil (warung) di lokasi itu.
Setelah mendapatkan data kuantitatif, pak Hasan Bick mengantarkan
saya dkk menemui tokoh-tokoh Islam dan Hindu untuk mendapatkan informasi
seputar sejarah dan konteks hubungan sosial komunitas muslim di
kabupaten Karangasem ini. Keberadaan Muslim Karangasem mula-mula dibawa
oleh raja Bali (era Kerajaan Karangasem) dari daratan Lombok. Waktu
itu Lombok memang berada dibawah pendudukan kerajaan Karangasem. Secara
historis, penguasaan Bali atas Lombok sebenarnya terjadi jauh sebelum
kerajaan Karangasem, yakni sudah terjadi di sekitar abad 16 oleh
kerajaan Gelgel era kepemimpinan Watu Renggong. Waktu itu Watu Renggong
(pasca runtuhnya Majapahit oleh Demak) berhasil menguasai Blambangan
(1512), bahkan meluas sampai ke Lombok (1520), Sumbawa. Tujuan
Waturenggong kala itu memang untuk membendung pengaruh Islam Demak
memasuki Bali. Logika Waturenggong ini dapat dipahami sebab kala itu
Bali memang menjadi tempat pelarian orang-orang yang pintar dan
kuat-kuat akidah kehinduannya. Era keruntuhan Mojopahit memang
pangeran-pangeran yang tak mau masuk Islam lari ke Bali. Sebagian ada
juga yang lari ke gunung Bromo yang kala itu rombongan dipimpinan
Pangeran Seger dan istrinya Roro Anteng. Walhasil, anak keturunan
mereka pun akhirnya disebut suku Tengger (baca: Gabungan dari Roro
AnTeng dan Joko SeGer).
Lombok memang menjadi target strategis penguasaan Watu Renggong
(berkuasa sejak 1460-1550) untuk menghadang Islam Demak, sebab Lombok
kala itu sudah terpengaruh Islam. Artinya, Islam sudah masuk dan
menyebar ke wilayah itu. Kedatangan Islam ke Lombok terjadi sekitar 450
tahun lalu atau sekitar tahun 1500 an. Islam semula masuk dari arah
utara (baca: Lombok utara), lantas untuk mengefektifkan pengaruh,
wilayah penyebaran sengaja dibagi dua sesuai dengan dua tokoh utama
pelaku penyebaran, yakni: Raden Mas pengging dan Raden Mas Prapen alias
Sunan Mas Ratu Pratikel (hidup tahun 1548-1605). Raden Mas Prapen tidak
lain adalah buyut dari Sunan Giri (hidup tahun 1487-1506), sehingga
dia sering disebut sebagai Sunan Giri ke IV. Sedangkan Raden Mas
Pengging atau Ki Ageng Pengging tidak lain adalah Ki Kebo Kenongo (ayah
Joko Tingkir alias Mas Karebet). Raden Mas Pengging ini menjadi murid
Syekh Siti Jenar. Melalui misi kedua orang itulah akhirnya Lombok
menjadi penganut Islam, meski dengan ciri dan watak yang belum murni.
Istilah Islam Wetu Telu misalnya, refleksi dari adanya kerancuan Islam
itu.
Wilayah Lombok muslim inilah yang berhasil ditaklukkan Gelgel
pimpinan Waturenggong. Namun, Gelgel pasca Watu Renggong ”berantakan”
sendiri terutama akibat konflik internal. Banyak wilayah akhirnya
mendeklarasikan sebagai kerajaan sendiri, serta menempatkan Gelgel
hanya sebagai pusat kultural belaka. Dengan rontoknya kekuatan Gelgel,
Lombok tentu lepas pula dari penguasaan Bali. Namun, pada perkembangan
waktu Karangasem berhasil menaklukkan dan meluaskan kerajaannya ke
Lombok.
Sebelum Karangasem melebarkan kekuasaan ke Lombok, untuk penjajakan
raja menjalin lawatan (perkenalan-persahabatan) politik dengan beberapa
raja. Di kerajaan Pejanggi Lombok Tengah, raja berkenalan dengan Datuk
Pejanggih yang memiliki anak muda bernama Mas Pakel. Sebagai tanda
perasudaraan, raja Bali mengundang Mas Pakel datang dan tinggal di Bali
alias diangkat menjadi keluarga kerajaan Karangasem.
Mas Pakel adalah seorang pemuda gagah, ganteng, dan sangat sopan,
sehingga para putri raja bahkan istri raja sangat menyukainya.
Akibatnya, keluarga lingkungan kerajaan banyak yang merasa iri atau
sakit hati. Mereka lantas membuat fitnah bahwa: Mas Pakel merusak pagar
ayu, merusak istri raja, merusak putri-putri raja, yang mestinya
dijaga. Gencarnya profokasi menyebabkan raja termakan oleh cerita ini,
sehingga membuat rekayasa untuk menyingkirkan pemuda Pakel. Pakel
ditunjuk menjadi panglima, dan seolah dikirim untuk melawan musuh.
Namun, di wilayah yang kini ada di kawasan Tohpati Mas Pakel berusaha
untuk dibunuh. Mas Pakel sangat sakti, sehingga tidak bisa mati. Meski
demikian, Pakel yang sendirian juga tidak bisa selamat dari
pengeroyokan. Konon ia lantas mengambil sikap, ”Saya sekarang tahu
bahwa saya direkayasa untuk dibunuh. Kalau mau membunuh saya bawalah
saya ke Pantai Ujung”. Proses berikutnya ada tiga versi:Pertama, Di
pantai Mas Pakel tetap gagal dibunuh, sehingga akhirnya diusir balik ke
Lombok dengan memakai perahu kecil (perahu pancing). Adapun makam yang
ada di dekat Panjai Ujung, Karangasem itu, bukan makam Ratu Mas Pakel
(yang dikenal dengan sebutan Sunan Mumbul) tetapi makam Raja Pejanggi
yang ditawan Raja Karangasem hingga meninggal. Kedua, ketika patih yang
ditugaskan untuk membunuh mengayunkan pedang, Mas Pakel tiba-tiba
menghilang dari pandangan dan berlari di atas air. Patih lantas membuat
rekayasa untuk lapor pada raja, dengan membunuh seekor anjing dan
hatinya diserahkan pada raja sebagai bukti bahwa dia telah menjalankan
perintah. Namun, beberapa hari setelah peristiwa itu, tiba-tiba
muncul seberkas sinar tempat Mas Pakel menghilang, dan tanah yang
semula rata berubah menjadi gundukan menyerupai kuburan. Sejak itulah
Mas Pakel dijuluki dengan sebutan Sunan Mumbul. Ketiga, Pakel akhirnya
memang dibunuh, karena dia telah melepaskan kesaktian. Mayatnya
dikubur di Pantai itu. Namun, ketika hendak dibunuh dia mengeluarkan
kutukan: ”siapapun yang membunuh, semua keturunannya kalau lewat lokasi
ini akan sakit jika tak bisa kencing di sekitar sini”. Perkataan Pakel
ini dipercaya menjadi tuah oleh komunitas Hindu setempat. ”Saya kenal I
Gede Gusti Putu. Dia nunggu dulu nggak mau lewat kalau belum kencing.
Kalau belum kencing ndak berani lewat katanya. Dan itu cerita dari orang
itu sendiri”, kata H. Hasyim seorang tokoh muslim Karangasem yang
sudah sepuh menjelaskan. Makam yang dipercaya sebagai kuburan Mas Pakel
ini kini biasa diziarai terutama pada 15 hari pasca lebaran Iedzul
Fitri.
Terkait Mas Pakel dalam konteks sejarah penaklukan Lombok oleh Karangasem, terdapat dua interpretasi sejarah.
Pertama, Pengangkatan Mas Pakel sebagai saudara kerajaan dan
dipersilahkan tinggal di Karangasem, sejak awal telah dirancang untuk
wahana penjajakan kekuatan: Ingin tahu berapa kekutannya, dan berapa
prajuritnya. Jadi dengan adanya Datuk Mas Pakel atau disebut juga Datuk
Pemuda Mas diambil sebagai saudara, kerajaan Karangasem bisa leluasa
kesana-kemari untuk menyelidiki kekuatan lawan. Setelah mengetahui
kekuatan dan kelemahan Lombok, Mas Pakel yang tidak lagi “dibutuhkan”
disingkirkan, sedangkan penaklukan atas Lombok segera dilakukan. Jadi,
pengusiran/pembunuhan Pakel dengan alasan ”merusak pagar ayu keraton”,
hakekatnya sengaja direncanakan untuk mencari alasan permusuhan alias
pengabsah bagi Karangasem untuk melakukan penyerangan terhadap Lombok.
Kedua, kemungkinan lain raja Karangasem memang tidak melakukan
rekayasa, tetapi murni ingin membangun persahabatan dengan Lombok
termasuk dengan mengangkat saudara Mas Pakel. Tetapi, raja akhirnya
termakan fitnah yang dibangun elemen kerajaan yang anti Islam dan anti
Mas Pakel . Akibatnya, raja Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem
benar-benar marah, mengusir/membunuh Mas Pakel, bahkan akhirnya
melampiaskan kemarahan dengan melakukan perang penaklukan terhadap
Lombok (Selaparang dan Pejanggi).
Walhasil, Lombok akhirnya berhasil ditaklukkan Karangasem (Bali)
pada tahun 1692 M, sebagai tanda penaklukan kedua setelah sebelumnya
pernah ditaklukkan Gelgel era Waturenggong. Banyak hal memberi bukti
terkait dengan penaklukkan ini. ”Kampung-kampung di Lombok setelah
diduduki Karangasem harus ditambah namanya dengan nama Karang. Makanya
kalau ke Lombok nama kampung-kampung (kecuali yang baru) pasti pakai
nama Karang. Yang dulu kampung Jangkong menjadi Karang Jangkong. Yang
namanya kampong Meranggi menjadi Karang Meranggi. Semua pake Karang,
Karang Gentel, hampir seluruhnya”, tambah H. Hasyim Ahmad. Selain
itu, raja Karangasem juga berusaha mempersaudarakan antara Hindu dan
Islam dengan cara mengakulturasi bahasa. Maka diadopsilah bahasa
Lombok, Beraye, sementara bahasa Bali yang dibawa adalah Menyame. Maka
jadilah Menyame Braye. ”Awalan bahasa Bali pasti Me, kalau tidak
berteman. Sementara Beraye adalah bahasa Lombok, dengan awalan Be.
Ketika menjadi bahasa Bali misalnya: Paling tiang Bebatur. Hasil
akulturasi itu dijadikan satu bahasa Bali dan Lombok. Jadi, awalnya
Menyama Braye itu di Puri Karangasem, lantas menyebar ke seluruh
Bali”, tandas H. Hasyim yang ahli membaca lontar peninggalan generasi
lampau.
Selain itu, setelah penaklukan, orang-orang Lombok yang dianggap
sakti lantas dibawa raja ke Karangasem dengan maksud agar membantu
keraton. “Menurut cerita kakek saya, mereka yang didatangkan kebanyakan
orang-orang bertuah. Orang-orang yang artinya mempunyai power, tentu
sesuai zaman itu. Kalau menurut saya istilahnya ndak sakti, nabi saja
dilempar patah giginya. Kalau menurut saya mereka itu orang-orang yang
saya anggap mempunyai power dan keberanian, mempunyai pengaruh,
mempunyai kepemimpinan karismatik begitulah. Orang-orang seperti itulah
yang dibawa kemari”, tandas H. Hasyim.
Mereka inilah cikal bakal komunitas-komunitas Muslim Karangasem,
yang mayoritas berasal dari Lombok. Orang-orang sakti ini ditempatkan
sepasang-sepang (baca: suami istri) dengan: memakai strategi
mengelilingi Puri Kanginan sebagai tempat raja. Di sebelah selatan ada
Banjar Kodok, di sebelah selatannya lagi kampung Islam Dangin Seme. Di
sebelah barat ada desa Hindu, sebelah baratnya lagi Kampung Islam
Bangras. Intinya, penempatan dilakukan secara selang-seling
Islam-Hindu, mengelilingi puri. ”Itu strategi raja untuk mempersatukan
rakyat Karangasem, sekaligus mengamankan puri”, tambah H. Hasyim.
Namun, logika itu juga memberikan arti bahwa puri tampaknya tidak
terlalu merasa aman jika hanya dikelilingi rakyat Hindu, serta
memerlukan pengawalan dari rakyat yang justru beda agama. Pada
kenyataannya memang kalangan Islam dapat dipercaya raja untuk menjadi
”pengawal puri”. Inilah yang menjadi satu sebab kenapa Umat Islam
Karangasem dengan Puri menjadi sangat akrab.
Selain Dangin Seme, kampung-kampung kuno Islam lain di Karangasem
sejarahnya juga sama. Mereka sengaja ditaruh sepasang-sepasang (baca:
kira-kira suami istri), dengan posisi mengelilingi Puri. Posisi
mengelilingi puri dibuat dua lapis. Seperti Dangin Seme termasuk lapisan
pertama. Lapisan kedua seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak
Kesasak, Bukit Tabuan, dengan formasi juga mengelilingi puri. Lapis
kedua bahkan sampai Saren Jawa dan Kecicang.
Adapun muslim yang ditempatkan di Sindu, spesifik untuk menghadang
kerajaan Klungkung. Yang ditaruh di Sidemen untuk menghadang dan
memata-matai gerak-gerik kerajaan Klungkung. Dengan kata lain,
komunitas muslim Sindu –yang jaraknya sekitar 30 km dari Dangin Seme–
dulunya memang spesial untuk memata-matai Klungkung.
Selain Shindu ada kampung Islam lain yang kala itu mempunyai posisi
super spesial, sehingga nama kampung pun memiliki nama yang
mencerminkan posisi dan fungsi yang super spesial. Kamunitas Kampung
Karang Tohpati, adalah contohnya. Toh itu artinya mempertaruhkan,
sedangkan pati atinya jiwa. “Kala itu kaum Muslim sebenarnya bukan
tinggal di Karang Tohpati, tetapi mereka memang tinggal di lokasi
Tohpati di wilayah Bebandem di Saren Jawa. Di situlah ada namanya
Tohpati, di situlah dulunya dia tinggal, untuk menjaga kalau ada musuh.
Di lokasi itu Tohpati mempertaruhkan Jiwa”, jelas H. Hasyim. “Kasus
ini sama dengan orang-orang Subagan yang asalnya dari Sekar Bela.
Sekar artinya kembang, bela maknanya membela. Jadi dia suka membela
raja sampai namanya wangi seperti kembang karena membela”.
”Makanya, di sini orang-orang Hindu yang ndak tahu, terutama
anak-anak muda, ngomong macam-macam: Kami penumpang. Kami pendatang.
Saya katakan kami ke sini bukan cari kerja, kami datang bukan mengemis,
kami datang dibawa dan dibutuhkan oleh raja. Kami ditempatkan disini,
dan (sejarah serta eksistensi) kami diakui oleh raja sampai detik ini”,
tambah H. Hasyim menandaskan dengan maksud meluruskan pemahaman
Kampung Muslim LEBAH **)
Awal
masuknya Islam dibali tidak dapat dilepaskan dari dua kampung Islam yang
menjadi tombak sejarah Islam di Bali, yaitu Kampung Lebah, dan Kampung
Kecicang Islam.
Bali
terkenal sebagai kota wisata. Hampir wisatawan lokal maupun mancanegara
datang berkunjung untuk menikmati berbagai keindahan dan adat istiadat
yang menjadi daya tarik tersendiri. Sebagian besar penduduk Bali
beragama Hindu. Nuansa agama Hindu sangat kental di pulau ini, namun
dibalik kentalnya agama Hindu, terdapat beberapa kampung Islam yang
berkembang pesat di Pulau Seribu Pura ini, meskipun hanya menjadi
penduduk mayoritas kedua, namun Islam di Bali menghadirkan keragaman
bagi pulau dewata ini. Sejarah masuknya agama Islam di bukan hal baru
terjadi, namun sudah sejak masa kerajaan dahulu. Ada beberapa kampung
muslim yang berada di Bali, salah satunya Kampung Lebah dan Kampung
Kecicang. Dua kampung Islam yang mempunyai keunikan tersendiri. Istilah
kata “Kampung’’ di kawasan Bali identik dengan pemukiman Muslim.
Kampung
Islam yang beralamat di Kelurahan Semarapura, Kabupaten Klungkung, Bali,
tepatnya di sepanjang Jalan Diponegoro adalah salah satu tombak sejarah
masuknya Islam di Bali. Di Pulau Dewata sendiri, sejarah Pertama kali
masuknya islam berada di kawasan Klungkung, tepatnya di kampung Gelgel.
Pada abad ke 16, beberapa utusan dari kerajaan Majapahit hijrah ke Bali
dengan tujuan untuk mengislamkan Raja Klungkung, namun niat itu tidak
berhasil. Hubungan baik dengan Kerajaan Majapahit menuntut Raja
Klungkung untuk mempersilahkan utusan Majapahit tersebut tinggal di
Gelgel Klungkung. Dari sana Islam di Klungkung mulai berkembang turun
temurun. Masyarakat bermata pencaharian tetap, memilih tinggal di Gelgel
dan yang berdagang memilih mendirikan perkampungan sendiri. Kampung itu
dikenal dengan nama Kampung Lebah.
Nuansa Islam: Suasana Kampung Lebah di malam hari |
Menurut
H. Safwin Azrai tokoh masyarakat setempat, Kampung Lebah berasal dari
kata Lembah, disebabkan kampung ini berada di dataran yang lebih tinggi
dari jalan Semarapura.” Dulunya di sini lembah sebelum dibuat
perkampungan seperti ini” tuturnya. Sedangkan menurut H. Abdullah Azrai,
nama Kampung Lebah bisa diambil dari filosofi hewan lebah (tawon).
Menurutnya Islam bisa dianalogikan dengan lebah yang menanamkan
nilai-nilai kebaikan. Lebah menghasilkan madu yang mempunyai banyak
khasiat untuk kesehatan. “lebah itu kan selalu terbang dan hinggap di
bunga tetapi tidak sampai merusaknya, lebah juga menghasilkan madu yang
dapat digunakan untuk obat”. Ujarnya.
Kampung
Lebah berpenduduk sekitar 400 kepala keluarga dan sebagian besar dari
mereka bermata pencaharian sebagai pedagang. Sebagian dari mereka
memilih berdagang ke luar kota, dan sisanya lagi memilih berdagang di
sekitar kampung mereka. “Dulu di sepanjang jalan raya ini terlihat
seperti lembah karena masih belum ada yang menempati, tetapi sekarang
kebutuhan menuntut warga sini mendirikan tempat usaha di sepanjang
jalan” tutur H. Safwin Azrai. Untuk mendukung aktifitas peribadatan
masyarakat, di kampung ini telah berdiri 5 mushola dan 1 Masjid Al
Hikmah. Terkait dengan pendirian tempat ibadah di kampung ini tidak
mengalamai masalah, karena di Kampung Lebah keseluruhan penduduknya
beragama Islam. Beberapa sekolah Islam juga didirikan di kampung ini
dengan tujuan memfasilitasi anak-anak mengenyam pendidikan bernuansa
Islam sejak dini agar nantinya menjadi manusia yang berakhlakul karimah.
Diantaranya adalah Yayasan Hasanuddin yang menaungi Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah Hasanuddin dan Pondok Pesantren
Tarbiyatul Athfal. selain itu juga ada Taman Kanak-kanak bernuansa Islam
dan Pendidikan At Khair Muhammadiyah. Tanpa harus melupakan identitas
sebagai umat Islam yang tinggal di Indonesia, masyarakat Kampung Lebah
masih tetap melestarikan kesenian-kesenian Islam khas Nusantara,
diantaranya adalah Tari Rudat, Samrah untuk ibu-ibu, Kosidah dan
lainnya.
Sebagai
pemeluk agama mayoritas kedua di Bali, masyarakat Kampung Lebah sangat
memahami akan pentingnya toleransi antar umat beragama. Hubungan mereka
dengan pemeluk agama lain sejauh ini cukup harmonis. Menurut H. Safwin
Azrai yang juga aktif di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini,
apabila sebelumnya sempat terjadi gesekan lebih disebabkan oleh ulah
anak-anak muda yang sedang mencari jati diri dan pengakuan dari
masyarakat. Beberapa tahun lalu sempat terjadi keributan ketika takbiran
keliling, mungkin karena ulah beberapa anak-anak muda” tuturnya. Demi
menjaga terjalinnya kerukunan antar umat beragama, saat ini malam
takbiran lebih dipusatkan di masjid dan mushola yang berlokasi di
Kampung Lebah sendiri. Bentuk lain dari toleransi kampung ini adalah
ketika Nyepi mereka tidak menggunakan pengeras suara saat
mengumandangkan adzan. Masyarakat Kampung Lebah lebih mengedepankan
toleransi antar umat beragama karena sesungguhnya Islam itu sendiri
telah mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar bagi umatnya.
Kampung Kecicang Islam **)
Kampung
Kecicang Islam yang berada di kawasan Banjar Dinas Kecicang Islam, Desa
Bungayan Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem adalah sebuah
kampung Islam terbesar di Kabupaten Karangasem dengan penduduk mencapai
3.402 kepala keluarga. Kampung ini berbatasan dengan Banjar Kecicang
Bali di sebelah barat daya, Banjar Triwangsa di sebelah barat dan di
selatan berbatasan dengan Banjar Subagan. Menurut Hasmini Kepala Dusun
Kecicang Islam, penduduk kampung ini dulunya adalah penduduk Tohpati
Buda Keling. Setelah sang raja meninggal, raja baru memindahkan
penduduknya ke Kecicang dan Tohpati kota dengan cara babad alas (membuka
hutan), “Dulunya di sini alas (hutan) bukan kampung seperti ini”
ujarnya. Sedangkan nama kecicang sendiri diambil dari nama bunga
berwarna putih yang biasa dimasak oleh masyarakat setempat. Selain itu
Muriham Effendi salah satu tokoh masyarakat setempat menyebut kecicang
berasal dari nama incang-incangan yang berarti saling mencari ketika
perang pada jaman kerajaan dulu. Sedangkan tambahan nama Islam di
belakang nama kecicang untuk memberikan penegasan tentang kampung Islam.
Solidaritas: Warga Kampung Kecicang bergotong royong membangun masjid |
Muriham
Effendi menuturkan bahwa masyarakat Kecicang Islam keseluruhan adalah
Muslim. Selain penduduk asli, di kampung ini juga terdapat beberapa
pendatang dari Jawa Timur, dan lombok. Mata pencaharian masyarakat
kecicang sebagian besar adalah pedagang, petani dan sebagian lainnya
memilih merantau ke luar Kecicang. Bukti bahwa kampung ini adalah
kampung Islam adalah dengan berdirinya Masjid Baiturrahman yang
diperkirakan sejak akhir abad 17. Saat ini masjid tersebut dalam proses
renovasi sejak 8 tahun lalu dan tak kunjung selesai. Rencananya masjid
ini akan diperbesar dengan bangunan tiga lantai, disebabkan penduduk
Kecicang yang setiap tahunnya semakin bertambah. Masyarakat saling
bergotong royong bergantian untuk partisipasi dalam pembangunan masjid.
Gotong royong tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat Kecicang memiliki
solidaritas yang tinggi, tidak terlihat perbedaan diantara mereka.
Selain masjid, kampung ini memiliki 6 mushola untuk menunjang kegiatan
peribadatan.
Dalam
hal penyediaan fasilitas pendidikan terdapat beberapa sekolah Islam,
diantaranya adalah PAUD Tunas Sejahtera, RA Al-Ma’un, MIN Bungayan
Kangin dan MTs Ma’arif. Kesenian bernafaskan Islam yang menjadi kearifan
lokal tetap dilestarikan di kampung ini, diantaranya adalah kesenian
Tari Rudat hasil dari proses akulturasi budaya Hindu dengan budaya Islam
dari Timur Tengah, Kosidah dan Albanjari. Upacara-upacara keagamaan
seperti pengajian, tahlilan, selamatan, ziarah juga masih tetap
dilestarikan oleh masyarakat Kecicang. Selain menguatkan akidah
keislaman, kegiatan-kegiatan tersebut juga berfungsi untuk meningkatkan
solidaritas sesama masyarakat. “Dengan adanya kegiatan seperti itu,
masyarakat jadi lebih rukun karena sering bertemu” ujar Muriham. Tingkat
religiulitas masyarakat Kecicang yang cukup tinggi terhadap Islam,
Kampung ini pernah mendatangkan ustadz ternama yang datang untuk
memberikan tausiyah diantaranya adalah KH. Zainuddin MZ, ustadz Taufiq
Rahman dan lainnya.
Disisi
lain hubungan masyarakat Kecicang Islam dengan masyarakat Bali lainnya
cukup harmonis. Menurut Hasmini apabila masyarakat Bali dari Banjar
tetangga mengadakan acara hajatan, masyarakat Kecicang turut diundang,
begitu sebaliknya. Begitu pula ketika upacara-upacara besar keagamaan,
semisal ketika solat Idul Fitri di Kampung Kecicang Islam dijaga oleh
pecalang keamanan dari komunitas Hindu. Sebaliknya apabila umat Hindu
merayakan upacara keagamaan seperti Nyepi, maka masyarakat Muslim
Kecicang turut mengamankan. Toleransi antar umat beragama tetap
ditekankan di kampung ini, karena sesungguhnya Islam sendiri adalah
agama Rahmatan Lil Alamin. (lw)
TARI RUDAT Kecicang Islam ***)
Di
kampung-kampung Islam Bali, komunitas kesenian Tari Rudat sudah tidak
asing lagi di telinga masyarakat. Tari rudat adalah sebuah kesenian yang
mengkombinasikan antara seni tari, silat dan iringan musik bernafaskan
Islam. Keunikan lain dari kesenian ini adalah kostum yang dikenakan oleh
para pemain yang didesain menyerupai pakaian prajurit Islam tempo dulu.
Dalam pertunjukannya, para pemain membentuk sebuah barisan mirip
prajurit yang akan berangkat perang, kemudian mereka memperagakan
gerak-gerak silat sambil menyanyikan lagu bernafaskan Islam. Sesekali
para pemain yang berjumlah sekitar 20 orang dalam satu kelompok
membentuk formasi memutari lapangan sambil memperagakan gerakan silat.
Di depan barisan ada satu orang yang berfungsi sebagai Ance atau
komandan dan bertugas memberi aba-aba sambil memeragakan gerak-gerak
silat dan mengacung-acungkan pedang agar terlihat kompak. Di sekitar
prajurit ada pemain musik yang diperankan oleh beberapa orang tua.
Alat-alat musik yang digunakan adalah rebana, jidor, trenteng dan
alat-alat musik Islam lainnya. Musik ditabuh bertalu-talu mengiringi
penari Rudat.
Di kampung Kecicang Islam Karangasem ada tiga komunitas Tari Rudat yang anggotanya terdiri dari para pelajar sekolah Islam yang berdiri di lingkungan kampung tersebut. Diantaranya adalah komunitas Rudat Baru PP. Ar-Rohmah pimpinan H. Hamidin, Rudat Melayu pimpinan H. Safrudin, dan Rudat Melayu PP. Al-Muro’fiun. Ketiganya memiliki gerakan tarian yang berbeda bergantung pada jenis tarian yang dianutnya. Menurut
Muriham Effendi salah satu tokoh Rudat di Kampung Kecicang Islam, manfaat dari melestarikan kesenian Tari Rudat selain dapat memberikan pertunjukan yang menarik bagi masyarakat juga bertujuan memberikan sarana kegiatan bagi anak-anak muda agar jiwa mudanya tersalurkan ke hal positif dan bermanfaat.
Tari Rudat biasa dipertunjukkan ketika hari-hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, acara pernikahan dan khitanan. Namun, saat ini sudah biasa dipertunjukkan pada acara-acara umum, seperti pada Hari Kemerdekaan, acara-acara pemerintahan, kampanye partai politik dan lainnya. Untuk jenis musik dan tarian biasanya bergantung pada pesanan yang mempunyai hajat dan jenis acara.
Mengenai sejarah Tari Rudat masih belum ada yang bisa menjelaskan secara pasti. Konon kesenian ini mulai masuk di Kecicang Islam sekitar abad 19 di bawa oleh Tuan Ali yang berasal dari Timur Tengah dengan maksud berdakwah melalui kesenian Islam. Menurut M. Fikri salah satu tokoh Rudat, Filosofi dari tari ini adalah menanamkan jiwa ksatria bagi umat islam untuk berani berperang melawan segala bentuk kedzaliman. Proses penyebaran Islam oleh para ulama zaman dahulu tidaklah mudah, tidak serta merta dengan ceramah keagamaan masyarakat langsung percaya dan memeluk agama Islam. Oleh sebab itu para ulama banyak berdakwah melalui cara-cara yang lebih bisa diterima oleh masyarakat, salah satunya melalui kesenian yang berfungsi sebagai sarana hiburan. Sehingga beberapa kesenian Islam lahir dari proses akulturasi budaya Islam yang dibawa dari Timur Tengan dan budaya lokal. Diharapkan kita sebagai umat Islam yang tinggal di Indonesia memiliki kepedulian untuk tetap melestarikan kesenian khas Nusantara.
Di kampung Kecicang Islam Karangasem ada tiga komunitas Tari Rudat yang anggotanya terdiri dari para pelajar sekolah Islam yang berdiri di lingkungan kampung tersebut. Diantaranya adalah komunitas Rudat Baru PP. Ar-Rohmah pimpinan H. Hamidin, Rudat Melayu pimpinan H. Safrudin, dan Rudat Melayu PP. Al-Muro’fiun. Ketiganya memiliki gerakan tarian yang berbeda bergantung pada jenis tarian yang dianutnya. Menurut
Muriham Effendi salah satu tokoh Rudat di Kampung Kecicang Islam, manfaat dari melestarikan kesenian Tari Rudat selain dapat memberikan pertunjukan yang menarik bagi masyarakat juga bertujuan memberikan sarana kegiatan bagi anak-anak muda agar jiwa mudanya tersalurkan ke hal positif dan bermanfaat.
Tari Rudat biasa dipertunjukkan ketika hari-hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, acara pernikahan dan khitanan. Namun, saat ini sudah biasa dipertunjukkan pada acara-acara umum, seperti pada Hari Kemerdekaan, acara-acara pemerintahan, kampanye partai politik dan lainnya. Untuk jenis musik dan tarian biasanya bergantung pada pesanan yang mempunyai hajat dan jenis acara.
Mengenai sejarah Tari Rudat masih belum ada yang bisa menjelaskan secara pasti. Konon kesenian ini mulai masuk di Kecicang Islam sekitar abad 19 di bawa oleh Tuan Ali yang berasal dari Timur Tengah dengan maksud berdakwah melalui kesenian Islam. Menurut M. Fikri salah satu tokoh Rudat, Filosofi dari tari ini adalah menanamkan jiwa ksatria bagi umat islam untuk berani berperang melawan segala bentuk kedzaliman. Proses penyebaran Islam oleh para ulama zaman dahulu tidaklah mudah, tidak serta merta dengan ceramah keagamaan masyarakat langsung percaya dan memeluk agama Islam. Oleh sebab itu para ulama banyak berdakwah melalui cara-cara yang lebih bisa diterima oleh masyarakat, salah satunya melalui kesenian yang berfungsi sebagai sarana hiburan. Sehingga beberapa kesenian Islam lahir dari proses akulturasi budaya Islam yang dibawa dari Timur Tengan dan budaya lokal. Diharapkan kita sebagai umat Islam yang tinggal di Indonesia memiliki kepedulian untuk tetap melestarikan kesenian khas Nusantara.
Masjid Kuno Baiturrahman di Kecicang ****)
![]() |
Masjid Baiturrahman, Kecicang Karangasem Bali |
Kecicang merupakan sebuah dusun yang terbagi menjadi dua yaitu
Kecicang Bali (Banjar Bali) dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu
dan Kecicang Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dusun ini
terletak di Desa Bungaya, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem Bali.
Sebuah masjid berdiri megah di tengah perkampungan Kecicang Islam
yang diperkirakan sudah ada sejak akhir abad 17 M – awal abad 18 M.
Perkiraan tersebut didasarkan pada kekalahan kerajaan Pejanggik di
Lombok Tengah pada tahun 1692 sehingga terjadi perpindahan penduduk
Islam dari Lombok menuju Karangasem sebagai tentara kerajaan Karangasem.
Pada tahun 1740, keseluruhan Pulau Lombok berhasil ditaklukkan oleh
kerajaan Karangasem sehingga semakin memperbesar jumlah komunitas Islam
di daerah tersebut. Selain Kampung Kecicang, komunitas Islam mendirikan
perkampungan di luar pusat kerajaan sebagai pasukan penjaga antara lain
di Kampung Ujung Desa, Ujung Sumbawa, Segara Katon, Dangin Sema,
Nyuling, Tihing Jangkrik, Kampung Anyar, Karang Sasak, Bukit Tambuhan,
Tibulake, Sasak, Karang Cermen, Bangras, Karang Langko, Karang Tohpati,
Karang Ampel, Gerembeng, Karang tebu, Jeruk Manis, Gelumpang Sari,
Karang Sokong, Telaga Mas, Kedaton, Saren Jawa dan Sindu.
Pada masjid Baiturrahman terdapat kekunaan arkeologi berupa kolam air
yang mengelilingi bangunan masjid. Kolam merupakan simbol pembersihan
diri (untuk jiwa dan raga) sebelum memasuki bangunan masjid. Sehingga
pembangunan kolam sering fungsinya digabungkan dengan tempat berwudlu.
Dalam mitos Hindu, bangunan disimbolkan sebagai gunung kehidupan
(girimandala) dan kolam disimbolkan sebagai lautan (samudramantana).
Bentuk bangunan masjid berdenah bujur sangkar dengan atap tumpang
tiga. Atap tumpang merupakan ciri khas masjid lama yang berkembang di
nusantara, dan merupakan adopsi dari bangunan tradisional. Atap tumpang
juga sudah digunakan masyarakat Hindu untuk bangunan meru di pura pada
masa sebelumnya. Dinding masjid dibuat dari tembok dengan pintu dan
jendela yang besar dan banyak sehingga pengaruh arsitektur Belanda
terlihat pada bagian ini.
Kekunaan mimbar masjid juga terlihat dari ukiran geometris dan
sulur-suluran tumbuhan. Mimbar bagian depan terdapat hiasan kurawal
berupa motif sulur floris (tumbuhan) yang dianggap sebagai prototipe
(penyamaran) kala makara pada masa Hindu. Masyarakat Bali menyebut
hiasan tersebut dengan istilah “patra”. Patra Olanda (mendapat pengaruh
motif dedaunan Belanda) merupakan patra yang dipahatkan pada mimbar
tersebut dan motif ini banyak dipahatkan pada hiasan istana (puri) atau
rumah bangsawan di Bali.
Bangunan Masjid Baiturrahman Kecicang Islam merupakan salah satu
khasanah budaya Islam di tengah budaya Hindu yang perlu dipertahankan
keasliannya, sehingga dapat dijadikan rujukan untuk menelusuri sejarah
perkembangan arsitektur Islam di Bali.
Kecicang Islam adalah nama sebuah dusun di kelurahan Bungaya Kangin.
Menurut cerita rakyat nama Kecicang diambil dari nama sebuah bunga liar
yang tumbuh subur di sekitar wilayah desa Bungaya Kangin, tepatnya di
sekitar dusun Kecicang Islam sekarang. Bunga Kecicang berwarna putih
seperti bunga teratai yang sedang kuncup. Bunga ini berwarna putih
bercampur pink (merah muda). Karena bunga ini tumbuh dengan mudah dan
terdapat di mana-mana, oleh masyarakat bunga ini dimanfaatkan sebagai
sayur atau dimasak lalapan dan sambal, sehingga masyarakat dusun
menyebutnya sebagai sayur kecicang atau sambal kecicang. Menurut cerita
nama dusun Kecicang diambil dari nama bunga kecicang tersebut. Sedangkan
nama Islam di belakangnya berfungsi sebagai pembeda antara dusun
Kecicang Islam dan Kecicang Bali. Dusun Kecicang Islam berpenduduk
mayoritas beragama Islam sedangkan dusun Kecicang Bali berpenduduk
mayoritas beragama Hindu (Hasmini, Wawancara : 31 Januari 2011).
Diceritakan bahwa, Islam masuk di dusun Kecicang dibawa oleh Haji
Abdurrahman yang bergelar Balok Sakti. Beliau adalah salah satu di
antara tujuh orang wali penyebar Islam di Bali yang disebut dengan wali
pitu. Haji Abdurrahman atau Balok Sakti bersama istrinya berusaha
mengajak masyarakat Kecicang masuk Islam. Beliaulah yang memberikan
nama dusun Kecicang ini dengan Kecicang Islam.
Menurut sebuah sumber, dusun Kecicang Islam berasal dari istilah
incang-incangan. Incang-incangan artinya bersembunyi untuk mengelabui
serangan atau kejaran musuh. Diceritakan bahwa pada masa Kerajaan
Karangasem berkuasa yaitu Anak Agung Ketut Karangasem sekitar tahun 1692
masehi wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem meliputi Karangasem,
Lombok dan Sumbawa (Sarlan (ed), 2009 : 23-24). Raja yang berkuasa
ketika itu mengatur daerah kekuasaannya dengan memindahkan penduduk
Lombok ke Bali dan penduduk Bali ke Lombok. Raja mendengar diantara
masyarakat yang berasal dari pulau Lombok ada seseorang yang bernama
Haji Abdurrahman, beliau dikenal sangat sakti sehingga dijuluki dengan
Balok Sakti. Karena kesaktiannya, raja menugaskan Balok Sakti untuk
menjaga benteng pertahanan dalam menghadapi serangan dari kerajaan
Sidemen, Selat dan Klungkung di wilayah bagian utara, tepatnya di
Tohpati Bebandem. Karena mendapat serangan yang begitu dahsyat dari
kerajaan Sidemen dan Selat, Haji Abdurrahman atau Balok Sakti
bersembunyi di sebuah hutan yang sangat lebat dan terkenal angker sambil
bergerilya melawan musuh. Setelah pasukan kerajaan Klungkung dapat
dikalahkan oleh Balok Sakti, ia kembali ke Tohpati. Kemudian menetap di
sana dan mendirikan sebuah masjid atau musholla. Karena mendapat
perlakuan istimewa dari kerajaan, masyarakat sekitar tidak senang dan
memusuhinya, mereka menfitnah dan berusaha untuk membunuh Balok Sakti.
Berita tentang rencana pembunuhan Balok Sakti ini sampai ke telinga
raja, sehingga oleh raja diputuskanlah untuk memindahkan beliau dan para
pengikutnya ke tempat lain. Raja memilihkan dua tempat, pindah ke kota
(dekat dengan istana raja) atau pindah ke tanah kosong yang jauh dari
kota yaitu sebuah hutan belantara yang sangat lebat dan terkenal
angker. Balok Sakti memilih tanah kosong yang dipenuhi dengan bunga
Kecicang. Di tempat inilah beliau mendirikan pemukiman dengan para
pengikutnya (Muriham, Wawancara : 4 Februari 2011).
Sumber lain mengatakan bahwa, di antara pengikut Balok Sakti ada
seseorang yang bernama Teuku Aceh. Menurut cerita dikatakan bahwa salah
satu pengikut Balok Sakti ini ada yang berasal dari Sumatera, tidak
diketahui nama aslinya, hanya masyarakat ketika itu memanggil beliau
dengan sebutan Teuku Aceh. Menurut cerita, ketika raja memberikan
pilihan untuk memindahkan penduduk Tohpati. Teuku Acehlah yang
memilihkan tempat untuk Haji Abdurrahman atau Balok Sakti. Tempat yang
ia pilihkan adalah sebuah hutan belantara yang ditumbuhi oleh bunga
kecicang. Dengan membawa pusaka berupa kulkul Balok Sakti dan para
pengikutnya pindah ke hutan lebat tersebut. Akhirnya oleh Balok Sakti,
tempat baru ini di beri nama Kecicang. Di tempat inilah Balok sakti
mendirikan pemukiman baru dan berdakwah menyebarkan Islam. Dalam
melaksanakan misi dakwahnya, sarana yang dipergunakan oleh Balok Sakti
adalah kulkul (ketongan). Kulkul berfungsi untuk memanggil dan
mengumpulkan masyarakat. Akhirnya pengikutnya bertambah banyak dan terus
berkembang hingga sekarang (Mahit, Wawancara : 5 Februari 2011).
Akan tetapi, menurut penuturan Hasmini, tempat mendirikan dusun Kecicang
Islam ditentukan oleh Balok Sakti sendiri, bukan oleh Teuku Aceh, sebab
semasa Balok Sakti hidup, Teuku Aceh belum ada. Dikatakan bahwa Teuku
Aceh hidup lebih kurang se abad setelah Balok Sakti terbunuh dan
bertempat tinggal di Kecicang Islam (Hasmini, Wawancara : 31 Januari
2011). Dari penuturan beberapa sumber di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa dusun Kecicang Islam didirikan oleh Balok Sakti. Nama Kecicang
diambil dari asal nama bunga kecicang dan dari kata incang-incangan,
sebab menurut hemat peneliti dua kata tersebut mempunyai penyebutan yang
hampir sama dan secara historis ada hubungan antara bunga kecicang yang
tumbuh lebat tempat Balok Sakti bersembunyi dengan kata incang-incangan yaitu melawan musuh dengan cara sembunyi-sembunyi.
Sebuah catatan penting yang perlu diungkap, bahwa pada sampai
sekarang(tahun 2011), tidak terdapat bukti sejarah, baik dokumentasi
maupun catatan-catatan penting tentang berdirinya dusun Kecicang Islam.
Yang didapat hanya tulisan sejarah tentang sejarah masuknya Islam di
Karangasem. Sehingga keseluruhan data mengenai sejarah masuknya Islam di
Kecicang diperoleh melalui wawancara, maka banyak versi yang peneliti
temukan. Antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan dalam memahami
sejarah berdirinya dusun Kecicang Islam tersebut. Peneliti berusaha
menganalisa dari penuturan para nara sumber dan mengambil salah satu
versi yang peneliti anggap lebih mendekati dan realistis. Dalam
menganalisa sejarah masuknya Islam di Kecicang dari beberapa versi
tersebut, peneliti berusaha mendapatkan legalitas dari beberapa sumber
dengan cara membacakan hasil analisa untuk mendapatkan pembenaran.
Secara administratif, dusun Kecicang Islam berada dibawah struktur
kelurahan atau desa Bungaya Kangin. Dusun yang berada di tengah-tengah
desa Bungaya Kangin ini menurut letak geografisnya berada pada posisi
yang berbatasan dengan dusun Abiansoan dari sebelah barat, di sisi
sebelah timur berbatasan dengan dusun Kecicang Bali, di sisi sebelah
selatan berbatasan dengan dusun Triwangsa dan di sisi sebelah utara
berbatasan dengan sungai Karkuk yang sekaligus menjadi batas kelurahan
Bungaya Kangin dan kelurahan Padang Kerta. Secara kedinasan, dusun ini
dikepalai oleh seorang kepala dusun yang disebut dengan Kelian Banjar.
Kelian Banjar diangkat atau dipilih oleh masyarakat dan disahkan oleh
perbekel atau kepala desa. Tugas sebagai seorang kelian banjar tidak
hanya membawahi beberapa tempek. Segala bentuk kegiatan dusun baik
secara kedinasan maupun adat dan keagamaan, seorang kelian banjar
diharapkan selalu hadir. Oleh karenanya tanggung jawab yang dilimpahkan
kepadanya cukup berat dan sangat kompleks. Kompleksitas tugas kelian
banjar terefleksikan dalam dinamika kesehariannya melayani masyarakat
dalam kehidupan sosial masyarakat Kecicang Islam.
=======================
Sumber Tulisan :*) http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/15/asal-usul-kampung-muslim-di-kabupaten-karangasem-
bali-tulisan-7/
**) http://lugaswicaksono.blogspot.com/2013/06/mengunjungi-dua-kampung-islam-di-bali.html
http://forum.kompas.com/travel/287615-mengunjungi-dua-kampung-islam-di-bali.html
***) http://lugaswicaksono.blogspot.com/2013/06/tari-rudat-kecicang-islam.html
****) http://kecicangislam.blogspot.com/2013/05/masjid-kecicang-islam.html
http://gjb3112annapus.wordpress.com/arkeologi-islam/kekunaan-masjid-baiturrahman-
di-kecicang- karangasem-bali/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar