______________________
Oleh : Dhurorudin Mashad
Kampung Islam Keramas: Sebuah Komunitas Muslim Era Lama di Kabupaten Gianyar
Hari masih pagi. Matahari baru saja terbit. Pendaran sinar sang
surya menampilkan panorama yang sungguh mempesona. Ku tatap semburat
merah di ufuk timur, sebagai biasan dari sang surya yang baru bangun
tidur. Pohon-pohon masih mengkerut kedinginan. Embun masih menempel di
dedaunan. Kulihat burung-burung berlompatan dari dahan ke dahan,
menyambut pagi dengan hati riang. Kalbu saya pun bernyanyi riang.
Demikian juga teman-temanku seperjalanan, wajah mereka memancarkan
suasana hati yang lagi diwarnai keindahan pagi.
Saya bernyanyi-nyanyi kecil sepanjang perjalanan menuju Gianyar. Baru
kali ini saya akan menapaki kota ini, meski telah seringkali saya
mendengar keindahan wilayah ini. Ubud misalnya, sepengetahuanku konon
identik dengan sentra keindahan akan alamnya dan keelokan akan
karya-karya seninya. Benarkah ? Wallahu a’lam, sebab saya memang baru
menuju ke arah kota ini.
Konon, kota Gianyar telah berdiri sejak dua seperempat abad lalu,
atau tepatnya 19 April 1771. Sejarah kota ini tercatat sejak Gianyar
dipilih menjadi nama sebuah keraton, Puri Agung yaitu Istana Raja (Anak
Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti. Sejak itulah lahir sebuah kerajaan
yang berdaulat dan otonom yang ikut serta dalam percaturan kekuasaan
kerajaan-kerajaan di Bali.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, sejarah dari perkembangan
wilayah ini jauh lebih tua dibanding tahun 19771. Perlu dicatat bahwa
setelah ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) berhasil menguasai Bali, maka
di bekas pusat markas laskarnya didirikan sebuah Keraton Samprangan
sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang dipegang oleh Raja Adipati Ida
Dalem Krena Kepakisan (1350-1380), sebagai cikal bakal dari dinasti
Kresna Kepakisan. Samprangan ini konon berada di wilayah yang sekarang
termasuk Gianyar ini. Di era Ida Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460),
pusat kerajaan vassal Mojopahit ini barulah dipindah ke Gelgel (kini
masuk wilayah Klungkung), dan terus berlanjut di era Ida Dalem
Waturenggong (1460-1550), Ida Dalem Sagening (1580-1625), dan Ida Dalem
Dimade (1625-1651).
Dua Raja Bali yang terakhir yaitu Ida Dalem Segening dan Ida Dalem
Dimade telah menurunkan cikal bakal penguasa di daerah-daerah. Ida Dewa
Manggis Kuning (1600-an) penguasa di Desa Beng adalah cikal bakal
Dinasti Manggis yang muncul setelah generasi II membangun Kerajaan
Payangan (1735-1843). Salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung
Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal
dinasti raja-raja di Sukawati (1711-1771) termasuk Peliatan dan Ubud.
Pada periode yang sama yaitu periode Gelgel muncul pula
penguasa-penguasa daerah lainnya yaitu I Gusti Ngurah Jelantik menguasai
Blahbatuh dan kemudian I Gusti Agung Maruti menguasai daerah Keramas
yang keduanya adalah keturunan Arya Kepakisan.
Melalui proses dinamis selama beberapa decade dalam pergumulan antar
elit-elit tradisional, salah seorang diantaranya sebagai pembangunan
kota kerajaan yang disebut Gianyar. Dialah Ida dewa Manggis Sakti
(generasi IV dari Ida Dewa Manggis Kuning). Peristiwa ini terjadi pada
19 April 1771.
Nah, lantas apa dan bagaimana komunitas Islam era lama di Gianyar
? serta adakah hubungan erat antara kampung lama komunitas Islam dengan
puri Gianyar, seperti terjadi di wilayah lain di Bali ? Saya dan
kawan-kawan berusaha menelusuri persoalan ini. Berbeda dengan
kompung-kampung Islam era lama di berbagai wilayah lain di Bali yang
kebanyakan memiliki hubungan erat dengan puri agung, ternyata dalam
konteks Gianyar saya tidak mendapatkan datanya. Memang, saya dkk
mendapatkan satu kampung lama komunitas Islam, yakni kampung Islam
keramas. Juga, memang saya mendapatkan bahwa kampung Keramas memiliki
hubungan erat dengan puri, tetapi ternyata yang disebut puri dalam
konteks ini bukan puri Agung, tetapi puri Keramas.
Puri adalah nama sebutan tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang masih merupakan keluarga dekat raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian triwangsa atau kasta, puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria. Sedangkan untuk tempat kaum Brahmana biasa disebut dengan Griya.
Perlu diingat bahwa setelah Kerajaan Gelgel mulai terpecah pada pertengahan abad ke-18, terdapat beberapa kerajaan, yaitu Badung (termasuk Denpasar), Mengwi, Tabanan, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Buleleng, Bangli dan Jembrana. Di era Indonesia
sekarang ini dari berbagai kerajaan tadi yang tidak memiliki
kabupaten hanyalah Mengwi saja, yang sekarang sebagian besar menjadi
wilayah kabupaten Badung dan Tabanan.
Puri-puri di Bali
dipimpin seorang keturunan raja, yang umumnya dipilih oleh lembaga
kekerabatan puri. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga
kekerabatan puri, biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk.
Para keturunan raja/ wangsa kesatriya tersebut bisa dikenali dari gelar pada nama mereka, seperti: Ida Bagus, I Gusti, Cokorda, Anak Agung Ngurah, Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain.
Dalam kasus Gianyar ini, setelah saya telusuri ternyata terdapat
beberapa nama puri antara lain: Puri Agung Payangan, Puri Gianyar, Puri
Agung Ubud (Puri Saren), Puri Agung Peliatan, Puri Keramas, Puri
Medahan, Puri Agung Sukawati, Puri Agung Singapadu , Puri Agung Tegal
Tamu, Puri Agung Negara, Puri Kaleran Negara, Puri Agung Lebih, Puri
Kedisan Tegallalang, Puri Pejeng, Puri Ageng Blahbatuh, Puri Agung
Blahbatuh (Kaleran), Puri Agung Blahbatuh (Kelodan), Jero Karang Kasap
(“http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Puri_di_Bali&oldid= 5191 805).
Nah, dari sekian puri tadi, yang memiliki hubungan erat dengan
kampung muslim Keramas adalah Puri Keramas. Dari sisi historis,
Kampung Islam Keramas ini keberadaaannya ternyata telah ada jauh sebelum
kolonial Belanda bercokol di tanah Bali. Kampung Muslim Keramas bermula
dari Raja Gusti Agung Keramas (Puri Keramas) yang kala itu membutuhkan
seorang pedanda untuk menjadi pemuka agama di wilayahnya. Setelah
melakukan serangkaian pencarian, raja akhirnya menemukan seorang resi
yang dianggap pas, yang kebetulan berasal dari Kampung Sindu di wilayah
Karangasem. Sindu kala itu memang menjadi sentra kaum Brahmana alias
berisi kaum Griya, sebutan sentra tokoh agama.
Resi dari Griya Sindu bersedia menerima tawaran Puri Keramas dengan
syarat diperbolehkan mengajak serta beberapa rekan muslim untuk
menemani tinggal di Keramas. Persyaratan diterima, sehingga sang resi
mengajak enam orang Muslim Sindu menuju Keramas. Nah, di Lokasi
inilah, kepada kaum muslim lantas diberikan tanah untuk sawah, kebun,
serta untuk tempat ibadah, pemukiman, dan pemakaman.
Tujuan utama sang resi mengajak serta beberapa orang Muslim adalah
untuk menjadikan mereka sebagai pengawal atau pelindung di tempat
barunya. Oleh karena itu, sangat dipahami jika keenam muslim tersebut
tentu orang-orang pilihan, keturunan kaum bertuah yang dibawa raja
Karangasem dari Lombok setelah penaklukan atas wilayah itu. Dari 6
pria sakti asal Sindu (yang akhirnya mengawini wanita hindu lokal)
inilah akhirnya beranak pinak membentuk komunitas muslim Keramas hingga
saat ini. Di tahun 1963 ketika gunung Agung meletus, beberapa keluarga
dari Kampung Sindu di Karangasem mengungsi ke tempat ini. Sebab,
mereka memiliki jalinan kekeluargaan dengan komunitas muslim Keramas.
Kedatangan kaum Muslim dari Sindu Karangasem “periode Indonesia” ini
akhirnya ikut mewarnai komunitas Muslim lama di Keramas.
Dahulu Ketika terjadi konflik-konflik di tingkat lokal, komunitas
muslim Keramas konon menjadi satu kekuatan terpenting dalam membela
puri. Kaum Muslim Keramas asal usulnya memang dari warga kampung
Sindu – Karangasem yakni keturunan warga Lombok yang dikenal sebagai
komunitas yang memiliki tuah. “Mitos kesaktian itu bahkan berlanjut
hingga sekarang, sehingga komunitas Kampung Keramas hingga kini masih
diperhitungkan karena kemampuan pencak silatnya”, jelas Syamsuddin
tokoh Keramas yang berhasil saya dkk. jumpai di masjid Keramas.
Karena sejarahnya yang khas inilah, maka hubungan warga muslim
Keramas dengan Puri Keramas hingga kini tertap terjalin dengan cukup
baik. Setiap ada acara di Puri Keramas, kaum Muslim Keramas selalu
dilibatkan. Bila mengundang kaum Muslim, Puri tak hanya mengundang
secara lisan atau tulisan, tetapi sekaligus menyertakan bahan makan
mentah agar diolah sendiri oleh kaum Muslim. Hasil masakan ini dibawa
dalam acara Puri sebagai santapan kaum muslim selama acara. Secara
bergenerasi, Puri memang sangat memahami bahwa orang Islam tidak makan
babi dan tidak memakai alat apapun yang tersentuh zat babi. Oleh karena
itu bahan dan proses pemasakan termasuk alat masaknya diserahkan
sepenuhnya kepada umat Islam.
Realitas perbedaan ini secara ratusan tahun ternyata tak menjadi
ganjalan dalam prosesi acara di Puri apalagi dalam hubungan kehidupan
sehari-hari Muslim-Hindu. Sebab umat Islam Keramas dalam kegiatan Puri
turut membantu dan membaur dalam warga Hindu, misalnya ketika membuat
anyaman atau janur. “Bahkan, berpijak pada sejarah itu pula, maka
eksistensi kampung Keramas sampai kini dianggap sebagai kampung khusus
dan tidak tersentuh oleh ketentuan adat alias Banjar. Kaum Keramas
sejak dahulu hingga kini memiliki kebebasan dalam mengekpresikan
kehidupan keberagamaan. Ketika puasa Ramadan misalnya, warga bebas
memukul beduk tanda sahur, dan tak ada teguran dari masyarakat banjar
sekitar. Hal ini sangat sulit dilakukakan oleh muslim di lokasi lain,
terutama di kabupaten Gianyar”, jelas Kholid Mawardi tokoh Keramas lain
yang juga berhasil saya temui.
Kampung Keramas jumlah penduduk muslimnya hanya 50 jiwa (tahun
2010). Sebagian warganya ada yang pindah ke lokasi lain, baik karena
alasan menikah maupun karena bekerja. “Saya juga berasal dari kampung
keramas, tetapi setelah kawin diajak suami tinggal di sini”, kata
seorang wanita, ibu dari pak Luqman hakim yang berhasil juga saya
jumpai di rumahnya, di Gianyar kota. Sementara itu, untuk lokasi
kampung Keramas sendiri, mungkin dapat saya katakan terhitung steril
dari pendatang muslim, mengingat sangat sedikitnya pendatang muslim
yang ikut bergabung tinggal di lokasi ini. Kalaupun ada pendatang,
maksimal disebabkan oleh adanya jalur perkawinan. Singkat kata,
komunitas muslim kampung keramas tampaknya lebih banyak menjalin
hubungan dengan komunitas hindu di sekitarnya dibanding kontak sosial
dengan komunitas Islam di tempat-tempat lain yang memang lebih jauh
jaraknya.
Mungkin karena interaksi kurang optimal terhadap komuntas muslim lain
di Gianyar menyebabkan warga Kampung keramas mengalami dua hal:
“Pertama, secara ekonomi lambat berkembang, bahkan dapat dikatakan
sebagai kampung tertinggal. Kedua, pembinaan keagamaan terhadap
masyarakatnya juga kurang”. Jika saya perhatikan Kampung keramas
secara fisik memang didominasi oleh pemukiman sangat sederhana. Oleh
karena itu, bahwa kampung Keramas disebut sebagai kampung miskin oleh
kebanyakan warga Islam yang saya wawancarai di banyak tempat tidaklah
terlalu keliru. Bahkan, “image” ini diakui juga oleh tiga sesepuh
kampung Keramas sendiri yang berhasil saya temui. Bahkan mereka
mengakui pula bahwa realitas itu berimplikasi pula pada ghirah
keagamaan. “Ketika hari Jum’at misalnya, dari 50 warga muslim yang
ikut jumatan maksimal hanya dua shaf (barisan)”, kata Syamsuddin yang
diamini Khalid Mawardi.
Setelah menyempatkan shalat dluhur di masjid Keramas yang tergolong
sederhana, pak Hasan segera mengantar kami mencari rumah makan untuk
mengisi perut yang sudah keroncongan. Quo vadis kampung Keramas ?***
![]() |
Masjid Agung Gianyar Bali |
Setelah seharian menelusuri Kampung Islam Keramas, dua hari
berikutnya secara berturut-turut saya mengunjungi beberapa kampung Islam
yang keberadaannya terhitung lebih muda, seperti: Kampung Semebaung,
Kampuing Jawa/Pas Dalam, Samplangan, dan komunitas muslim di wilayah
Ubud. “Komunitas muslim ini relatif lebih baru, dan datang secara
bergelombang terjadi sejak awal kemerdekaan. Sebagian kecil datang
karena tugas, baik sebagai PNS, polisi atau tentara”, kata Khalid
Mawardi, seorang tokoh kampung Kramas, “Tetapi kebanyakan bahkan lebih
dari 95 persen datang sendiri dan menjadi pekerja sector informal,
terutama berdagang. Mayoritas pedagang makanan kelas kaki lima”.
Penjelasan Khalid Mawardi ini akhirnya memang saya buktikan. Ketika
mencari makan malam misalnya, saya tidak terlalu sulit menemukan
warung makan khas kaki lima yang terjamin kehalalannya, baik di lokasi
pasar senggol atau di lokasi lainnya.
Hari masih pagi. Kulihat anak-anak dengan baju seragam lalu lalang
berangkat menuju sekolah. Begitu juga, banyak pria-wanita paruh baya
dengan berseragam pula bersliweran berangkat menuju tempat kerja. Saya
dkk santap pagi di warung pak Lukman, warga Gianyar keturunan Pakistan
tetapi ibu asli kampung Keramas. Selama di Gianyar saya memang sering
makan di tempat ini. Maklum, lokasinya tidak jauh dari penginapan,
plus menunya dijamin halal alias tak meragukan. Letak warung dan atau
rumah pak Luqman tepat di samping alun-alun kota, dengan karakteristik
bangunan yang tergolong era lama. “Komplek bangunan ini usianya sudah
lebih 100 tahun pak, peninggalan kakek saya”, kata pak Luqman
menjelaskan.
Keluarga pak Luqman –meski leluhurnya asli Pakistan—memang tergolong
pelopor untuk penghuni di wilayah yang sekarang menjadi pusat kota
ini. Oleh karena itu banyak sekali informasi yang dapat digali dari pak
Luqman terkait tentang apa dan bagaimana komunitas Islam di Gianyar.
Bahkan, akhirnya saya sempat pula mampir ke rumah orang tua pak Lukman
untuk mendapat informasi lebih dalam tentang Islam dan Muslim Gianyar.
Dari jalur lelaki, orang tua pak Luqman beretnis Pakistan, tetapi dari
jalur ibu asli warga lokal kampung Keramas.
Selepas sarapan, saya meluncur ke komunitas Muslim di Kampung
Jawa. Kampung ini lebih dikenal dengan sebutan Desa Pas Dalam.
Komunitas ini konon berkembang seiring dengan didirikannya Yayasan Nurul
Hikmah di tahun 1987. Sebelum yayasan didirikan sebenarnya sudah ada
beberapa keluarga Muslim yang tinggal di sekitar lokasi. Mereka lah
yang lantas berinisiatif mendirikan yayasan, dengan maksud untuk
membangun dan atau mempertahankan identitas Islam di tengah kehidupan
masyarakat yang sangat kental dengan kultur Hindunya.
Keluarga Muslim yang jumlahnya hanya beberapa itu bersepakat mencari
dana dengan menyebar sekitar 6000 proposal kepada umat Islam di seluruh
Bali. Hasil sumbangan yang masuk lantas dibelikan tanah di
tengah-tengah sawah. Mereka membangun kesepakatan dengan warga Hindu
pemiliki sawah untuk membuat jalan umum membentang di persawahan.
“Dengan jalan umum yang membelah sawah, harga tanah diproyeksikan akan
meningkat. Prediksi ini terbukti, pelan tapi pasti banyak orang
berdatangan membeli lokasi ini. Pelan tapi pasti pula, persawahan ini
akhirnya berubah menjadi perkampungan. Lokasi ini (tahun 2010) dihuni
sekitar 80 KK. Mereka umumnya datang dari Jawa (Banyuwangi, Jember),
Sumatera, Lombok, dan Madura. Karena etnis Jawa sangat dominan, maka
wilayah ini lebih dikenal sebagai Kampung Jawa”, jelas Abdul Muhri
Mulyono, salah satu tokoh Kampung Jawa sekaligus Sektretasis Yayasan
Nurul Hikmah.
Yayasan Nurul Hikmah bentukan warga kampung Jawa ini sangat besar
pengaruhnya bagi pembinaan keagamaan umat Islam di sekitar kota
Gianyar. Yayasan ini memiliki Madarasah Diniah, Taman Pendidikan Al
Qur’an, bahkan juga pesantren malam. Yayasan juga memiliki Majelis
Taklim, termasuk punya Rukun Suka Duka Amaliah yang secara umum
menangani berbagai persoalan yang dihadapi komunitas Muslim, termasuk
khususnya dalam soal kematian. “Kematian di Gianyar memang bukan masalah
sederhana, tetapi sangat problematic terutama terkait dengan soal
penguburan. Sebab, kuburan Muslim di Beng sudah super padat, sementara
untuk membuka lokasi baru sulit diwujudkan, karena terbentur alasan
adat”, kata pak Mulyono mengakhiri penjelasan. Setelah cukup banyak
mendapat informasi seputar Desa Pas Dalam, dan setelah melihat-lihat
lingkungan lokasi yang dikenal pula sebagai kampung Jawa ini, saya
bersegera mencari sasaran makan siang, karena jam makan sebenarnya telah
jauh terlewatkan.
Menjelang sore pak Hasan Bick sudah mengantar kami ke Semebaung,
sentra komunitas muslim laindi kota Gianyar. Sejarah komunitas Muslim
Semebaung tampaknya lebih lama dibanding kampung Jawa. Kampung
Semebaung secara administrative masuk wilayah Banjar Marga Sengkala.
Komunitas ini mulai “dibangun“ sejak tahun 1960 an oleh sejumlah
pendatang Muslim dari Jawa Timur (Banyuwangi). Komunitas kecil ini
membentuk kelompok pengajian di sebuah bengkel sepeda motor, yang
statusnya masih kontrak. Kelompok ini terus berkembang. Walhasil,
“Di tahun 1976 umat Islam lantas mendirikan sebuah musholla di sepetak
tanah yang luasnya hanya 10 are. Tanah itu dibeli dengan harga satu
juta rupiah dari dana hasil patungan”, kata seorang tokoh sepuh
“pendiri” kampung Semebaung. Setelah lokasi itu berhasil didaftarkan
sebagai tanah Wakaf di tahun 1989, musholla lantas dikembangkan menjadi
masjid Jami’ Semebaung, dengan bantuan dana dari Jakarta (dan Arab
Saudi). “Bersama dibangunnya masjid Semebaung, kami juga membentuk
Yayasan As Syu’la”, kata H. Amru, seorang pengusaha mebel keturunan
Arab yang sejak tahun 2010 dipercaya menjadi pemimpin yayasan.
Sejak berdirinya masjid Semebaung, para keluarga Muslim yang
semula terpencar di banyak lokasi, akhirnya pelan tapi pasti mendekat
ke kampung ini. Masjid Semebaung ibarat magnit bagi kaum Muslim
sekitar untuk berdatangan menuju dan tinggal di tempat ini. Alasan
mereka tentu bukan karena semangat eksklusivisme, melainkan dalam
rangka untuk mendapatkan pembinaan keagamaan, serta tersedianya
fasilitas ibadah yang sangat mereka butuhkan untuk hidup keseharian. Di
tahun-tahun inilah (terutama sejak 1996) muslim Semebaung telah berubah
menjadi sebuah komunitas dengan warna berbhinneka, sebab etnis dan
daerah penghuninya memang beraneka ragam asal usulnya. Di tahun 2010
diperkirakan komunitas muslim Semebaung sekitar 830 KK. Namun, dari
seluruh warga muslim itu hanya 30 % yang memiliki KTP, sementara 70
persen hanya punya Kipem (Kartu Identitas Pendatang Musiman) ”, tandas
H. Amru.
Menurut berbagai informasi, wilayah Gianyar merupakan kabupaten yang
paling problematic untuk mendapatkan KTP. KTP dimungkinkan terutama
bagi mereka yang dapat menunjukkan kepemilikan rumah dan atau sertifikat
tanah. “Karena kebijakan ini bahkan banyak dari penduduk yang telah
belasan tahun tinggal di Bali, bahkan lahir dan besar di Gianyar,
hanya karena tak mempunyai tanah apalagi rumah, akhirnya tak bisa
mendapatkan KTP. Malahan yang tadinya punya KTP, ketika memperpanjang
tidak lagi bisa didapatkan, karena tidak memiliki persyaratan aneh
tadi. Ini terjadi terutama sejak era otonomi daerah. Otonomi daerah
dalam prakteknya tidak membawa kebaikan, tetapi banyak menimbulkan
kerusakan. Akibatnya, banyak dari kami yang notabene WNI, namun tidak
memiliki KTP sebagai identitas WNI”, tambah H. Amru. Informasi ini
ternyata dibenarkan pula sumber alternatif lain yang saya dapatkan di
lokasi-lokasi lain.
Selain di Kampung Jawa dan Semebaung, komunitas Muslim di Gianyar
terdapat pula di desa Samplangan. Komunitas ini benihnya sudah lama
ada, tetapi semula tersebar di berbagai tempat. Mereka baru membentuk
sebuah komunitas terutama seiring dengan berhasil didirikannya sentra
Yayasan Pendidikan Anak Yatim (Yapenatim) di lokasi ini. Yapenatim
dibentuk tahun 1981 oleh sejumlah tokoh dari Departemen Agama dan
Depdiknas seperti KH Munajat (Ketua MUI Gianyar), Mukhson Efendi,
Abdurrohim, dan Ansori. Namun, aktivitas Yapenatim mulai optimal sejak
17 Agustus 1985, ketika para pendiri yayasan secara terbatas mendata
anak-anak miskin dan yatim untuk dibina.
Di awal kegiatan, yayasan menampung 17 anak dengan lokasi
pertamakali kontrak di desa Pas Dalem (kampung Jawa). Dua tahun
berikutnya, Yapenatim pindah ke Desa Ketewel, lantas pindah lagi ke
Sukowati. Di Sukowati inilah Yayasan memiliki lokasi sendiri, dengan
membangun sebuah rumah di sebuah tanah wakaf. Namun, warga Hindu
sekitar Yayasan protes alias mengajukan keberatan terhadap yayasan
Islam, sehingga Yapenatim terpaksa pindah lokasi, kontrak di daerah
Beng dekat pekuburan Muslim. Namun, atas dukungan donatur pada tahun
yang sama (1987) Yapenatim membeli tanah di Desa Samplangan, lantas
didirikan lembaga pendidikan dan panti asuhan. Hanya saja sampai
sekarang, jalan menuju lokasi ini statusnya masih sewa pada warga Hindu
lokal, sehingga sewaktu-waktu bila timbul konflik, akses jalan bisa
ditutup kembali. Kekhawatiran ini beralasan, sebab diawal pendirian
Yapenatim dilokasi ini (tahun 1987) prosesnya juga tidak gampang,
bahkan sempat mengalami pengepungan. “Masalah bahkan sempat dibawa ke
level bupati. Setelah melalui negosiasi dan penjelasan logika
historis: bahwa mereka hakekatnya sama-sama pendatang asal Jawa hanya
saja beda periodenya, bahwa mereka secara historis adalah bersaudara,
akhirnya dicapai kesepakatan untuk mengijinkan”, kenang KH Munajad.
Salah satu cara yang ditempuh untuk merangkul komunitas Hindu, Yapenatim
yang telah memiliki fasilitas pendidikan MI, MTsN, MA, serta pesantren
ini, sengaja mengangkat dua staf yayasan dari kalangan Hindu (satu
lelaki satu perempuan).
Di Gianyar terdapat satu lagi lokasi komunitas muslim yang cukup unik
yakni di wilayah wisata : Ubud. Bahkan, di tempat ini berdiri sebuah
yayasan Islam bernama Yayasan Ubudiah. Komunitas di lokasi ini
dipelopori sejumlah pelukis muda muslim yang datang dan bermukim di Ubud
sejak 1960-1970an. Salah satu tokohnya yang berhasil saya temui adalah
W. Hardja, seorang pelukis asal Surabaya yang menetap di Ubud sejak
tahun 1969. Kaum seniman muslim di Ubud ini berkehendak mendirikan
sebuah musholla. “Alasannya : pertama, umat Islam memang memerlukan
tempat ibadah untuk menjalankan kewajiban keagamaan di tengah realitas
bahwa mereka adalah minoritas. Kedua, umat Islam mulai memikirkan masa
depan pemahaman agama anak-anak mereka, ketiga, banyak wisatawan
muslim yang datang ke Ubud menanyakan dan atau memerlukan tempat untuk
beribadah”, kata . W. Hardja yang kawin dengan wanita hindu lokal. Atas
pertimbangan itulah lelaki yang lebih dikenal dengan mbah Hardja ini
lantas menjadikan mushola yang semula hanya untuk keluarga, akhirnya
difungsikan pula untuk umum. Bahkan, karena dalam perkembangan waktu
mushola tidak lagi mampu menampung jumlah jama’ah, akhirnya
dikembangkan menjadi masjid dengan “mengorbankan” beberapa kamar yang
sebelumnya dijadikan penginapan.
Tempat ibadah yang diberi nama masjid Ubudiah tersebut didirikan
tahun 1991. Dana pembangunan diperoleh dari lelang lukisan para pelukis
muslim, termasuk W. Hardja. Lelang diselenggarakan ICMI yang kala itu
mengadakan pameran lukis hasil karya pelukis muslim se Indonesia.
Masjid yang berada di bawah naungan Yayasan Ubudiah, kini telah
dilengkapi dengan TPA sebagai sarana penanaman nilai keislaman di
kalangan generasi muda Islam yang dalam konteks Bali sangat minoritas
jumlahnya
Masjid Ubudiah ini sebenarnya tidak penuh mengantongi izin dari
banjar, karena izin yang dimiliki hanya mendirikan TPA dan bukan tempat
ibadah. Langkah ini tentu bukan tanpa alasan, karena jika ijin yang
diajukan adalah tempat ibadah, hampir pasti akan mendapat tantangan.
Karena statusnya inilah, maka pasca peristiwa Bom Bali tahun 2002,
masjid Ubudiah sempata ditutup paksa. Sampai kini perintah penutupan
masjid secara formal belum pernah dicabut. Tetapi dalam realitas,
masjid sudah mulai difungsikan kembali, terutama dilakukan melalui
komunikasi informal antar pemuda (Islam – Hindu) yang sejak kecil
memang telah berteman. Apalagi, komunitas Islam di lokasi ini
hakekatnya memiliki jalinan genealogis dengan warga Hindu akibat
terjadinya kawin mawin antara kedua komunitas. W. Hardja sendiri
misalnya, istrinya seorang mualaf, sehingga secara genealogis anak
keturunannya memiliki hubungan darah dengan keluarga besar pihak istri
yang tak lain warga Hindu.
Tidak jauh dari lokasi Yayasan Ubudiah, atau sekitar 12 km dari Ubud
ke arah utara juga terdapat sebuah komunitas muslim di daerah
Tegalalang. Meskipun jumlahnya sangat kecil, tetapi di tempat itu
terdapat TPA ( sekaligus sebagai musholla) yang terutama beraktivitas
di Sore hari. Hal yang unik dari TPA ini adalah : pertama, lokasi nya di
tempat pencucian mobil milik orang Hindu. Warga Hindu pemilik pencucian
merelakan sebagian tempatnya dijadikan TPA, karena untuk memenuhi
kebutuhan anak-anak karyawannya yang kebanyakan muslim. Kedua, pelanggan
cuci umumnya tentu warga Hindu juga, sehingga mereka setiap sore
melihat aktivitas pengajian di lokasi ini.
Kasus di Tegalalang ini menunjukkan manisnya sebuah toleransi,
sebuah realitas yang sayangnya tidak bisa dirasakan warga perumahan BTN
Bega. Padahal lokasi itu penghuninya para pegawai pengadilan agama
sehingga mayoritas warganya adalah muslim. Tetapi ketika mereka
mendirikan mushola dan atau TPA untuk memenuhi kebutuhan rohani internal
warga penghuninya, mereka mendapat resistensi dari warga Hindu di
sekitarnya.
Langit kelabu. Hati saya juga kelabu mendengar informasi itu. Langit
turun gerimis. Mata hatiku juga gerimis, menangis, mendapat kabar
tentang kasus intoleransi di negeriku tersayang ini. Ya Tuhan,
taburkanlah sinar kasih Mu ke dalam hati semua saudara ku (se bangsa dan
se negara ini) agar jantung hati mereka senantiasa menebarkan
benih-benih kasih sayang pada sesama, seperti dalam kasus toleransi di
Tegalalang tadi. Amin. ***
DHURORUDIN MASHAD
-------------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/08/15/beberapa-kampung-islam-di-gianyar-dari-semebaung-sampai-pas-dalam-tulisan-12/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar