______________________
Oleh : Dhurorudin Mashad
Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten Karangasem
Pagi sekali, pak Hasan Bick mengajak kami meninggalkan Bangli.
Suasana sangat sejuk, atau bahkan cenderung dingin. Dedaunan masih
menggigil. Dahan-dahan juga menggigil. Bahkan, pepohonan ikut
menggigil. Kedinginan. Maklum, semalaman hujan mengguyur bumi Bangli.
Namun, saya tidak terperangkap pada situasi serba dingin ini. Hati saya
telah menghangat akibat dibakar keinginan untuk segera menapaki bumi
Karangasem yang keberadaannya selama ini hanya ku dengar dari berbagai
kabar.
Sekitar jam 11 siang, pak Hasan membelokkan mobil langsung ke lokasi
kantor Departemen Agama (KUA Islam dan Penyelenggara Haji) Karangasem.
Di tempat inilah saya dkk mendapatkan informasi awal tentang
enclave-enclave komunitas muslim di Kabupaten Karangasem. “Kabupaten
Karangasem memiliki penduduk muslim berjumlah 19 ribu Jiwa. Mereka
hidup tersebar di 6 dari 8 kecamatan di seluruh wilayah Karangasem.
Namun, mereka terutama terkonsentrasi di 4 kecamatan, yakni: Kecamatan
Karangasem (11.729 jiwa), kecamatan Bebandem (4.438 jiwa), kecamatan
Sidemen (820 jiwa), dan Kecamatan manggis (465 jiwa). Sisanya sekitar
2000 jiwa tersebar, terutama di kecamatan Kubu dan kecamatan Rendang”,
kata pimpinan Depag urusan Islam, sambil menyodorkan data tertulis
kepada kami.
Muslim di Kecamatan Kubu terutama tinggal di wilayah Galian C.
Sedangkan, muslim di Kecamatan Rendang jumlah muslimnya hanya sekitar 13
KK. Mereka memang memiliki musholla an Nur, yang sempat dipakai
presiden SBY sholat ketika ke Karangasem. Namun, musholla ini tak boleh
dipasang papan nama, dengan alasan bertentangan dengan aturan adat
setempat.
Komunitas muslim terbesar pertama berada di kecamatan Karangasem,
yang tersebar di wilayah perkotaan dan pegunungan. Pertama, Muslim di
perkotaan terutaman ada di kelurahan Karangasem, yang tersebar di 13
dusun/kampung, antara lain : Kampung Telaga Mas (memiliki kepala dusun
muslim), Dusun Ujung Desa, Dusun Segara Katon, Karang Tohpati, Karang
Langkung, Bangras, Grembeng (atas dan bawah), Karang Ampel, Jeruk Manis
(dikenal dengan Jerman), Karang Tebu, Karang Bedil, Tiing Tali, Dangin
Sema (komunitas Muslim terbesar setelah Dusun Kecicang Islam). Selain
itu ada pula di Desa Tegal Linggah, yang memiliki dua kampung muslim
yakni: Karang Cengen dan Kampung Nyuling. Berikutnya di Kelurahan
Subagan, terdapat di dua kampung yakni: kampung Karang Sokong dan
Telaga Mas (bahkan kepala kampungnya muslim). Kedua, muslim di
pegunungan terdapat di sebelah timur yakni di Kelurahan/Desa Bukit
tersebar di 6 dusun/kampung, yakni: Bukit Tabuan, kampung Anyar,
Karang Sasak, Tibulaka Sasak, Tiing Jangkrik, dan Dangin Kebon. Selain
itu di Desa Tumbu juga ada, tepatnya di Dusun Ujung Pesisi karena
letaknya memang di ujung laut.
Kantong Muslim terbesar kedua terdapat di Kecamatan Bebandem, yakni
di dusun Kecicang Islam (kampung Islam terbesar di Karangasem) yang
terdapat di Banjar Kangin, Banjar Lebah Sari, dan Dusun Saren Jawa.
Adapun kecamatan dengan komunitas muslim terbesar ketiga ada di
Sidemen, yakni di dusun Sinduwati yang mencakup kampung Sindu, Buu dan
Tegal. Selain ketiga kecamatan tadi, kecamatan Manggis sebagai tempat
komunitas muslim terbesar keempat, yang terdapat: di Buitan, Padang
Bai, dan Pertamina Manggis. Di Buitan meski muslim hanya 27 KK, namun
telah memiliki masjid. Di Padang Bai ada pula masjid milik
pelabuhan, dan kaum muslimnya pun umumnya para pegawai kapal (yang
transit). Begitu pula di Pertamina Manggis kaum muslimnya adalah para
pekerja dan pemili usaha kecil (warung) di lokasi itu.
Setelah mendapatkan data kuantitatif, pak Hasan Bick mengantarkan
saya dkk menemui tokoh-tokoh Islam dan Hindu untuk mendapatkan informasi
seputar sejarah dan konteks hubungan sosial komunitas muslim di
kabupaten Karangasem ini. Keberadaan Muslim Karangasem mula-mula dibawa
oleh raja Bali (era Kerajaan Karangasem) dari daratan Lombok. Waktu
itu Lombok memang berada dibawah pendudukan kerajaan Karangasem. Secara
historis, penguasaan Bali atas Lombok sebenarnya terjadi jauh sebelum
kerajaan Karangasem, yakni sudah terjadi di sekitar abad 16 oleh
kerajaan Gelgel era kepemimpinan Watu Renggong. Waktu itu Watu Renggong
(pasca runtuhnya Majapahit oleh Demak) berhasil menguasai Blambangan
(1512), bahkan meluas sampai ke Lombok (1520), Sumbawa. Tujuan
Waturenggong kala itu memang untuk membendung pengaruh Islam Demak
memasuki Bali. Logika Waturenggong ini dapat dipahami sebab kala itu
Bali memang menjadi tempat pelarian orang-orang yang pintar dan
kuat-kuat akidah kehinduannya. Era keruntuhan Mojopahit memang
pangeran-pangeran yang tak mau masuk Islam lari ke Bali. Sebagian ada
juga yang lari ke gunung Bromo yang kala itu rombongan dipimpinan
Pangeran Seger dan istrinya Roro Anteng. Walhasil, anak keturunan
mereka pun akhirnya disebut suku Tengger (baca: Gabungan dari Roro
AnTeng dan Joko SeGer).
Lombok memang menjadi target strategis penguasaan Watu Renggong
(berkuasa sejak 1460-1550) untuk menghadang Islam Demak, sebab Lombok
kala itu sudah terpengaruh Islam. Artinya, Islam sudah masuk dan
menyebar ke wilayah itu. Kedatangan Islam ke Lombok terjadi sekitar 450
tahun lalu atau sekitar tahun 1500 an. Islam semula masuk dari arah
utara (baca: Lombok utara), lantas untuk mengefektifkan pengaruh,
wilayah penyebaran sengaja dibagi dua sesuai dengan dua tokoh utama
pelaku penyebaran, yakni: Raden Mas pengging dan Raden Mas Prapen alias
Sunan Mas Ratu Pratikel (hidup tahun 1548-1605). Raden Mas Prapen tidak
lain adalah buyut dari Sunan Giri (hidup tahun 1487-1506), sehingga
dia sering disebut sebagai Sunan Giri ke IV. Sedangkan Raden Mas
Pengging atau Ki Ageng Pengging tidak lain adalah Ki Kebo Kenongo (ayah
Joko Tingkir alias Mas Karebet). Raden Mas Pengging ini menjadi murid
Syekh Siti Jenar. Melalui misi kedua orang itulah akhirnya Lombok
menjadi penganut Islam, meski dengan ciri dan watak yang belum murni.
Istilah Islam Wetu Telu misalnya, refleksi dari adanya kerancuan Islam
itu.
Wilayah Lombok muslim inilah yang berhasil ditaklukkan Gelgel
pimpinan Waturenggong. Namun, Gelgel pasca Watu Renggong ”berantakan”
sendiri terutama akibat konflik internal. Banyak wilayah akhirnya
mendeklarasikan sebagai kerajaan sendiri, serta menempatkan Gelgel
hanya sebagai pusat kultural belaka. Dengan rontoknya kekuatan Gelgel,
Lombok tentu lepas pula dari penguasaan Bali. Namun, pada perkembangan
waktu Karangasem berhasil menaklukkan dan meluaskan kerajaannya ke
Lombok.
Sebelum Karangasem melebarkan kekuasaan ke Lombok, untuk penjajakan
raja menjalin lawatan (perkenalan-persahabatan) politik dengan beberapa
raja. Di kerajaan Pejanggi Lombok Tengah, raja berkenalan dengan Datuk
Pejanggih yang memiliki anak muda bernama Mas Pakel. Sebagai tanda
perasudaraan, raja Bali mengundang Mas Pakel datang dan tinggal di Bali
alias diangkat menjadi keluarga kerajaan Karangasem.
Mas Pakel adalah seorang pemuda gagah, ganteng, dan sangat sopan,
sehingga para putri raja bahkan istri raja sangat menyukainya.
Akibatnya, keluarga lingkungan kerajaan banyak yang merasa iri atau
sakit hati. Mereka lantas membuat fitnah bahwa: Mas Pakel merusak pagar
ayu, merusak istri raja, merusak putri-putri raja, yang mestinya
dijaga. Gencarnya profokasi menyebabkan raja termakan oleh cerita ini,
sehingga membuat rekayasa untuk menyingkirkan pemuda Pakel. Pakel
ditunjuk menjadi panglima, dan seolah dikirim untuk melawan musuh.
Namun, di wilayah yang kini ada di kawasan Tohpati Mas Pakel berusaha
untuk dibunuh. Mas Pakel sangat sakti, sehingga tidak bisa mati. Meski
demikian, Pakel yang sendirian juga tidak bisa selamat dari
pengeroyokan. Konon ia lantas mengambil sikap, ”Saya sekarang tahu
bahwa saya direkayasa untuk dibunuh. Kalau mau membunuh saya bawalah
saya ke Pantai Ujung”. Proses berikutnya ada tiga versi:Pertama, Di
pantai Mas Pakel tetap gagal dibunuh, sehingga akhirnya diusir balik ke
Lombok dengan memakai perahu kecil (perahu pancing). Adapun makam yang
ada di dekat Panjai Ujung, Karangasem itu, bukan makam Ratu Mas Pakel
(yang dikenal dengan sebutan Sunan Mumbul) tetapi makam Raja Pejanggi
yang ditawan Raja Karangasem hingga meninggal. Kedua, ketika patih yang
ditugaskan untuk membunuh mengayunkan pedang, Mas Pakel tiba-tiba
menghilang dari pandangan dan berlari di atas air. Patih lantas membuat
rekayasa untuk lapor pada raja, dengan membunuh seekor anjing dan
hatinya diserahkan pada raja sebagai bukti bahwa dia telah menjalankan
perintah. Namun, beberapa hari setelah peristiwa itu, tiba-tiba
muncul seberkas sinar tempat Mas Pakel menghilang, dan tanah yang
semula rata berubah menjadi gundukan menyerupai kuburan. Sejak itulah
Mas Pakel dijuluki dengan sebutan Sunan Mumbul. Ketiga, Pakel akhirnya
memang dibunuh, karena dia telah melepaskan kesaktian. Mayatnya
dikubur di Pantai itu. Namun, ketika hendak dibunuh dia mengeluarkan
kutukan: ”siapapun yang membunuh, semua keturunannya kalau lewat lokasi
ini akan sakit jika tak bisa kencing di sekitar sini”. Perkataan Pakel
ini dipercaya menjadi tuah oleh komunitas Hindu setempat. ”Saya kenal I
Gede Gusti Putu. Dia nunggu dulu nggak mau lewat kalau belum kencing.
Kalau belum kencing ndak berani lewat katanya. Dan itu cerita dari orang
itu sendiri”, kata H. Hasyim seorang tokoh muslim Karangasem yang
sudah sepuh menjelaskan. Makam yang dipercaya sebagai kuburan Mas Pakel
ini kini biasa diziarai terutama pada 15 hari pasca lebaran Iedzul
Fitri.
Terkait Mas Pakel dalam konteks sejarah penaklukan Lombok oleh Karangasem, terdapat dua interpretasi sejarah.
Pertama, Pengangkatan Mas Pakel sebagai saudara kerajaan dan
dipersilahkan tinggal di Karangasem, sejak awal telah dirancang untuk
wahana penjajakan kekuatan: Ingin tahu berapa kekutannya, dan berapa
prajuritnya. Jadi dengan adanya Datuk Mas Pakel atau disebut juga Datuk
Pemuda Mas diambil sebagai saudara, kerajaan Karangasem bisa leluasa
kesana-kemari untuk menyelidiki kekuatan lawan. Setelah mengetahui
kekuatan dan kelemahan Lombok, Mas Pakel yang tidak lagi “dibutuhkan”
disingkirkan, sedangkan penaklukan atas Lombok segera dilakukan. Jadi,
pengusiran/pembunuhan Pakel dengan alasan ”merusak pagar ayu keraton”,
hakekatnya sengaja direncanakan untuk mencari alasan permusuhan alias
pengabsah bagi Karangasem untuk melakukan penyerangan terhadap Lombok.
Kedua, kemungkinan lain raja Karangasem memang tidak melakukan
rekayasa, tetapi murni ingin membangun persahabatan dengan Lombok
termasuk dengan mengangkat saudara Mas Pakel. Tetapi, raja akhirnya
termakan fitnah yang dibangun elemen kerajaan yang anti Islam dan anti
Mas Pakel . Akibatnya, raja Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem
benar-benar marah, mengusir/membunuh Mas Pakel, bahkan akhirnya
melampiaskan kemarahan dengan melakukan perang penaklukan terhadap
Lombok (Selaparang dan Pejanggi).
Walhasil, Lombok akhirnya berhasil ditaklukkan Karangasem (Bali)
pada tahun 1692 M, sebagai tanda penaklukan kedua setelah sebelumnya
pernah ditaklukkan Gelgel era Waturenggong. Banyak hal memberi bukti
terkait dengan penaklukkan ini. ”Kampung-kampung di Lombok setelah
diduduki Karangasem harus ditambah namanya dengan nama Karang. Makanya
kalau ke Lombok nama kampung-kampung (kecuali yang baru) pasti pakai
nama Karang. Yang dulu kampung Jangkong menjadi Karang Jangkong. Yang
namanya kampong Meranggi menjadi Karang Meranggi. Semua pake Karang,
Karang Gentel, hampir seluruhnya”, tambah H. Hasyim Ahmad. Selain
itu, raja Karangasem juga berusaha mempersaudarakan antara Hindu dan
Islam dengan cara mengakulturasi bahasa. Maka diadopsilah bahasa
Lombok, Beraye, sementara bahasa Bali yang dibawa adalah Menyame. Maka
jadilah Menyame Braye. ”Awalan bahasa Bali pasti Me, kalau tidak
berteman. Sementara Beraye adalah bahasa Lombok, dengan awalan Be.
Ketika menjadi bahasa Bali misalnya: Paling tiang Bebatur. Hasil
akulturasi itu dijadikan satu bahasa Bali dan Lombok. Jadi, awalnya
Menyama Braye itu di Puri Karangasem, lantas menyebar ke seluruh
Bali”, tandas H. Hasyim yang ahli membaca lontar peninggalan generasi
lampau.
Selain itu, setelah penaklukan, orang-orang Lombok yang dianggap
sakti lantas dibawa raja ke Karangasem dengan maksud agar membantu
keraton. “Menurut cerita kakek saya, mereka yang didatangkan kebanyakan
orang-orang bertuah. Orang-orang yang artinya mempunyai power, tentu
sesuai zaman itu. Kalau menurut saya istilahnya ndak sakti, nabi saja
dilempar patah giginya. Kalau menurut saya mereka itu orang-orang yang
saya anggap mempunyai power dan keberanian, mempunyai pengaruh,
mempunyai kepemimpinan karismatik begitulah. Orang-orang seperti itulah
yang dibawa kemari”, tandas H. Hasyim.
Mereka inilah cikal bakal komunitas-komunitas Muslim Karangasem,
yang mayoritas berasal dari Lombok. Orang-orang sakti ini ditempatkan
sepasang-sepang (baca: suami istri) dengan: memakai strategi
mengelilingi Puri Kanginan sebagai tempat raja. Di sebelah selatan ada
Banjar Kodok, di sebelah selatannya lagi kampung Islam Dangin Seme. Di
sebelah barat ada desa Hindu, sebelah baratnya lagi Kampung Islam
Bangras. Intinya, penempatan dilakukan secara selang-seling
Islam-Hindu, mengelilingi puri. ”Itu strategi raja untuk mempersatukan
rakyat Karangasem, sekaligus mengamankan puri”, tambah H. Hasyim.
Namun, logika itu juga memberikan arti bahwa puri tampaknya tidak
terlalu merasa aman jika hanya dikelilingi rakyat Hindu, serta
memerlukan pengawalan dari rakyat yang justru beda agama. Pada
kenyataannya memang kalangan Islam dapat dipercaya raja untuk menjadi
”pengawal puri”. Inilah yang menjadi satu sebab kenapa Umat Islam
Karangasem dengan Puri menjadi sangat akrab.
Selain Dangin Seme, kampung-kampung kuno Islam lain di Karangasem
sejarahnya juga sama. Mereka sengaja ditaruh sepasang-sepasang (baca:
kira-kira suami istri), dengan posisi mengelilingi Puri. Posisi
mengelilingi puri dibuat dua lapis. Seperti Dangin Seme termasuk lapisan
pertama. Lapisan kedua seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak
Kesasak, Bukit Tabuan, dengan formasi juga mengelilingi puri. Lapis
kedua bahkan sampai Saren Jawa dan Kecicang.
Adapun muslim yang ditempatkan di Sindu, spesifik untuk menghadang
kerajaan Klungkung. Yang ditaruh di Sidemen untuk menghadang dan
memata-matai gerak-gerik kerajaan Klungkung. Dengan kata lain,
komunitas muslim Sindu –yang jaraknya sekitar 30 km dari Dangin Seme–
dulunya memang spesial untuk memata-matai Klungkung.
Selain Shindu ada kampung Islam lain yang kala itu mempunyai posisi
super spesial, sehingga nama kampung pun memiliki nama yang
mencerminkan posisi dan fungsi yang super spesial. Kamunitas Kampung
Karang Tohpati, adalah contohnya. Toh itu artinya mempertaruhkan,
sedangkan pati atinya jiwa. “Kala itu kaum Muslim sebenarnya bukan
tinggal di Karang Tohpati, tetapi mereka memang tinggal di lokasi
Tohpati di wilayah Bebandem di Saren Jawa. Di situlah ada namanya
Tohpati, di situlah dulunya dia tinggal, untuk menjaga kalau ada musuh.
Di lokasi itu Tohpati mempertaruhkan Jiwa”, jelas H. Hasyim. “Kasus
ini sama dengan orang-orang Subagan yang asalnya dari Sekar Bela.
Sekar artinya kembang, bela maknanya membela. Jadi dia suka membela
raja sampai namanya wangi seperti kembang karena membela”.
”Makanya, di sini orang-orang Hindu yang ndak tahu, terutama
anak-anak muda, ngomong macam-macam: Kami penumpang. Kami pendatang.
Saya katakan kami ke sini bukan cari kerja, kami datang bukan mengemis,
kami datang dibawa dan dibutuhkan oleh raja. Kami ditempatkan disini,
dan (sejarah serta eksistensi) kami diakui oleh raja sampai detik ini”,
tambah H. Hasyim menandaskan dengan maksud meluruskan pemahaman.***
Membaca Akulturasi Muslim – Hindu di Karangasem
Karangasem saya rasakan panas sekali. Matahari memang sedang
menyengat. Tak ada segumpalpun awan mau menampakkan diri. Sesekali
angin lirih memang berkelebat lewat. Meski hanya angin sepoi, tapi
keberadaannya sedikit membantu mensirnakan gerah yang acapkali membikin
hati saya gundah.
Pak Hasan Bick saya lihat tetap lincah mengendalikan stir mobil.
Meski tetap konsentrasi, sesekali ia menjelaskan kampung-kampung muslim
yang sempat kami lewati dan atau kami hampiri. “Wah, tampaknya pak
Hasan paham betul terhadap komunitas-komunitas Islam di Karangasem”,
kataku dalam hati. Maklum, pak Hasan ternyata seorang asli
Karangasem. “Istri saya yang asli, lahir dan besar, di Candi Kuning –
Bedugul. Setelah kami menikah, kami memutuskan tinggal di kampung
istri, menetap di Candi Kuning”, kata pak Hasan menjelaskan asal
usulnya. Apa yang dikatakan pak Hasan memang ada buktinya. Saya dkk
diajak mampir ke rumah adik pak Hasan, bahkan sempat bertemu dengan
kedua orang tuanya. Itulah bukti yang meyakinkan saya bahwa pak Hasan
ternyata memang asli Karangasem.
“Kaum muslim di Karangasem ini, umumnya keturunan Lombok, termasuk
kami. Lombok ditaklukkan, dan kala itu banyak orang Islam di bawa
dipekerjaan oleh kerajaan. Dan sejak itulah komunitas Muslim mulai
berkembang di Karangasem”, ayah pak Hasan bercerita, meski singkat
saja. Namun, jika ditelusuri sebenarnya eksistensi umat Islam dan atau
Islam telah ada di Karangasem jauh sebelum era penaklukan Lombok.
Jejak Islam di tempat ini misalnya, dapat ditelusuri dari adanya makam
Syekh Yusuf Kembar atau biasa dikenal dengan Kyai Kembar yang kini
terletak di desa Subagan. Memang tidak ada informasi tertulis tentang
keberadaan riwayat Kyai Kembar. Tetapi, berdasar cerita rakyat, Kyai
Kembar ini konon berasal dari Gujarat dan hidup di abad 16. Dengan
demikian berarti keberadaan Kyai Kembar – berarti pula keberadaan
muslim– di Karangasem sekitar era kerajaan Gelgel.
Perlu diketahui bahwa Islam yang berkembang di Lombok saat
ditaklukkan oleh kerajaan Karangasem masih berupa Islam Wetu Telu. Oleh
sebab itu, keagamaan yang berkembang di Karangasem-Bali pun kala itu
memiliki karakter yang sama, Wetu Telu, yang masih penuh dengan
mistik dan sinkretisme: animisme-hinduisme. Islam Wetu Telu terbangun
sebagai efek dari strategi Islamisasi yang dilakukan Raden Mas Pengging,
di Dajen Gunung sampai ke selatan. Hal ini tidak jauh berbeda dari
pola Islamisasi yang dibangun Wali Songo lewat seni pewayangan yang
bercampur unsur Hindu, atau bahkan oleh Syekh Siti Jenar yang pada
akhirnya berimplikasi pada berkembangnya paham Kejawen.
Konon, di Dajen Gunung tempat disebarkannya Islam oleh Mas Pengging,
adalah masyarakat petani miskin. Oleh karena itu, kepada mereka baru
diajarkan syahadat, shalat, dan berpuasa. Adapun berzakat dan naik haji
sengaja belum diajarkan, dengan alasan mereka masih miskin: sehingga
belum wajib berzakat dan belum mampu berhaji. Berzakat dan pergi haji
rencananya diajarkan menyusul, setelah pemahaman terhadap
syahadat-sholat-puasa terbangun secara kokoh. Setelah mengajarkan tiga
rukun Islam, Raden Mas Pengging meninggalkan Dajen Gunung menuju Lombok
Tengah dan Lombok Timur. Namun, informasi alternatif menyebutkan,
bahwa pendakwah yang baru mengajarkan tiga rukun Islam itu adalah Sunan
Prapen (hidup tahun 1548-1605). Sunan itu meninggalkan lokasi, karena
memang dipanggil pulang oleh Raden Patah, penguasa Demak, karena
sesuatu alasan (katanya ada sidang para wali). ”Sunan Prapen tidak
kunjung kembali lagi, padahal rukun Islam yang diajarkan baru tiga saja.
Itu masalahnya”, tegas H. Fauzi, tokoh muda dari Kampung Sindu.
Mungkin versi pertama yang benar, atau versi kedua yang justru benar,
namun bisa pula kedua-duanya benar sebab baik Sunan Prapen maupun Mas
Pengging sama-sama menjadi penyebar Islam di Lombok.
Konon, di tengah “kekosongan” lanjutan ajaran itulah, para pimpinan
komunitas Lombok Utara (Dajen Gunung) –apapun motivasinya– melakukan
interpretasi sendiri terhadap Islam. Mereka menghitung jari,
bahwa:”Setiap manusia memiliki lima jari, tetapi yang tinggi hanya
tiga. Dari lima rukun Islam, yang dianggap utama —sehingga diajarkan
Raden Mas Pengging — juga tiga. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Dajen
Gunung memiliki rembetan interpretasi sendiri, bahwa sholat yang benar
pun bukan lima waktu, melainkan Wetu Telu, yakni: Shalat Iedzul
Fitri, Iedzul Adha dan Shalat Jenazah. Untuk shalat 5 waktu mereka
cukup membayar fidyah kepada kyainya. Jadi Kyainya yang menshalatkan (5
waktu), dan dia dibayar sejumlah uang atau barang. Itulah konon
asal-usul Islam Wetu Telu, meskipun seiring perkembangan waktu ada
beberapa versi lain lagi .
Logika Wetu Telu ini juga menjadi corak keagamaan komunitas Lombok
yang ditempatkan di karangasem kala itu. Karena karakteristiknya yang
masih sangat sinkretis animisme- hinduisme, maka meskipun beda agama,
tetapi eksistensi mereka diterima dengan baik oleh komunitas Hindu
lokal. Apalagi kaum Wetu Telu juga percaya dan atau memiliki pura. “Ada
keluarga kami dari Karang Ciremai memiliki kepercayaan seperti itu.
Akhirnya bisalah kita dakwahi sehingga menjadi masuk Islam secara
benar. Setelah berubah kesadaran dari Wetu Telu menjadi Islam yang
benar, pura yang semula ia miliki lantas diberikan kepada seorang Hindu
untuk merawatnya. Nah, itulah bapaknya pak Bagiarte diserahi (pura)
karena dia orang hindu dan diberikan tanah 20 are untuk memelihara pure
itu. Dia masih ada rasa waswas, kalau pura dibuang begitu saja, takut
kalau tidak diupacarakan. Jadi (pura itu) masih diupacarakan oleh pak
Bagiarta sama pak Bagiadada. Peninggalan dari yang Wetu Telu tadi”,
cerita H. Hasyim tentang Islam Wetu Telu. Karena factor pura ini, H.
Hasyim dengan Baghiarta dan bapaknya (seorang tokoh Hindu) memiliki
hubungan istimewa.
Realitas corak Wetu Telu memang menjadi satu sebab pola hubungan yang
akrab dengan komunitas Hindu, baik di Lombok sendiri maupun di
Karangasem. Bahkan, rakyat muslim Lombok waktu lampau dapat menerima
eksistensi penguasa Hindu yang memiliki kultur tidak jauh beda dari
mereka, meski agamanya tak sama. Apalagi komunitas muslim yang di
datangkan ke Karangasem mendapat perlakuan istimewa dari raja, karena
mereka pada umumnya dianggap orang-orang bertuah dengan kesaktian yang
dimilikinya. Memang, terutama karena membawahi juga wilayah Lombok yang
berpenduduk Muslim raja Karangasem akhirnya mengembangkan kebijakan
multikultur dalam arti memperlakukan Islam dan umat Islam secara
“terhormat”. Bahkan, Raja Karangasem konon mengijinkan Sunan Mas
Prapen melakukan pembinaan kepada komunitas Islam di Karangasem (Bali),
termasuk ide mendirikan masjid Ampel, yang berdiri hanya sekitar 500
meter dari Puri Karangasem Masjid tersebut dibangun di atas tanah seluas
4.500 meter persegi dengan arsitektur serupa dengan masjid Ampel, di
Surabaya Jawa Timur.
Oleh karena itu, secara histories hubungan antara komunitas
kampung-kampung kuno Islam di Karangasem dengan kaum Hindu terjalin
harmonis. Kalau pun di era kekinian ada sedikit problema, biasanya
terjadi antara anak-anak muda yang mabuk. “Kita sering diundang dalam
upacara-upacara manusa nyadnye. Dan kita memang sudah menyampaikan
kalau kami jangan diundang kalau upacara-upacara dewa nyadnye, berupa
sembahyangan, karena akan menjadi salah di dalam ajaran Islam. Kalau ada
upacara manusa nyadnye seperti kawin, potong gigi umpamanya, itu kan
keduniaan ndak apa-apa”, jelas H. Hasyim.
“Jika kita mengundang, mereka juga datang. Saya menikahkan anak
sampai 16 orang, mereka diundang, ndak pernah ndak datang. Bupati,
camat, puri, semua yang saya undang pasti datang”, tambah H. Hasyim
memperlihatkan harmoni hubungan antar dua komunitas. Puri dan
masyarakat Hindu Karangasem memahami terkait hal-hal sensitive dalam
Islam, termasuk dalam soal makanan. Ketika mengundang umat Islam,
mereka biasanya mencari tukang masak muslim. Begitu juga, ketika acara
dimulai, pemilik hajat menyiarkan (melalui pembawa acaranya) kepada
undangan muslim bahwa tuan rumah sudah menyediakan makanan prasmanan di
posisi tertentu yang diolah seorang muslim bernama bapak atau ibu X.
“Saya sendiri sering memasakkan di puri Gede. Pedande Gede Tianyar
mengundang orang Islam, dan saya diminta masak. Saya mohon pak Haji
Hasyim supaya menyiapkan piring, segalanya agar tidak dari saya.
Semuanya, sampe potong kambing disini. Jadi, sampai demikian”, jelas
H. Hasyim memberi bukti realitas toleransi.
Sejarah toleransi di Karangasem ini memang tak diajarkan di sekolah.
Namun, tiap tahun puri Karangasem mengadakan buka puasa bersama,
dengan mengundang semua kampung Islam. Karena kini jumlah Kampung
Islam sangat banyak, sekitar 50 kampung, akhirnya diundang secara
perwakilan: sekitar lima orang dari tiap kampung, ditambah dari kalangan
hindunya. Dalam moment seperti inilah antar komunitas bisa bertemu,
bisa saling menyampaikan informasi dan permasalahan. “Saya sudah tiga
kali diminta memberi tausiah ceramah buka puasa semacam ini”, kata H.
Hasyim lagi.
Dalam acara seperti ini, tema yang diangkat adalah seputar: mencari
persamaan agama dalam konteks hablum minannas (hubungan sosial), yang
dalam agama hindu terformulasi dalam Trihitakarana. Dalam Islam
misalnya, ada ajaran: Segala sesuatu dimulai dengan niat (Innamal
a’malu binniyat). Didalam hindu juga ada, yakni: apa yang dikatakan
oleh hati itulah yang dikerjakan. Berbagai realitas persamaan itu yang
digali, dan bukan mencari-cari perbedaan yang dapat mempertentangkan.
Tokoh-tokoh Islam (termasuk H. Hasyim) di Karangasem tentu tetap
meyakini: bahwa antar agama tidak ada yang sama, tetapi tidak otomatis
harus membentrokkannya dengan cara mengeksploitasi perbedaan dan
pertentangan. Melalui cara inilah, problema-problema yang dihadapi umat
Islam Karangasem dalam konteks posisi minoritasnya terkadang dapat
terpecahkan. Ketika ada masalah, komunitas Islam biasanya berinisiatif
mengadakan silaturahim yang dalam bahasa Hindunya sime krame, dengan
mengundang banyak tokoh dari kedua belah pihak.
Terkait arti penting komunikasi untuk menjembatani perbedaan dan
mencegah perpecahan, tokoh Islam Karangasem, H. Hasyim memiliki beberapa
pengalaman. ”Saya pernah diundang datang ke Denpasar untuk memberikan
ceramah khusus pada orang hindu yang melarang mendirikan mesjid, padahal
kita sudah beli tanah segala. Saya cerita tentang masalah Menyama
Braya, bahwa : sesungguhnya kita ini bersaudara meski beda agama. Dalam
Hindu kita disebut Me Semeton. Dalam Al Quran juga disebutkan manusia
itu pada dasarnya berasal dari satu kemudian dijadikan bersuku dan
berbangsa. Ketika komunitas tertentu sudah banyak : Allah menurunkan
seorang nabi untuk memberi kabar gembira dan memberikan peringatan kalau
mereka melenceng. Tapi, intinya manusia itu asalnya satu. Ini sama
dengan ajaran Hindu, seperti dalam konsep Me Semeton. Me itu awalan,
Se itu satu, metu/meton itu keluar, Wan itu tempat keluar. Jadi satu
tempat keluar. Dalam konteks ini, manusia pada dasarnya sama : dari
sana juga. Biar dia Brahmana, anak agung, raja, raden, toh semua tetep
dari sana. Nah , setelah kita kupas akhirnya diberikan ijin
mendirikan mesjid. Di Denpasar dan Jembrana, itu. Yang mendengarkan
ceramah saya bupati, ketua kerukunan antar umat agama, juga ada ribuan
yang dengar”.
Hubungan harmonis antar umat ini memang sempat terkendala, terutama
awal pasca bom Bali. Kala itu muncul “pemboikatan” ekonomi terhadap
orang Islam, apapun etnisnya. Bakso Pakraman dan logika Ajeg Bali
merupakan realisasi dari pemboikatan itu. Namun, dalam perkembangan
waktu orang-orang hindu sendiri yang justru merasa keberatan. Ada dua
hal kenapa fenomena aneh ini terjadi: Pertama, mereka sehari-hari
memiliki hubungan harmonis dengan kaum muslim, sehingga perilaku
beberapa orang muslim yang keliru, akibatnya tak pantas ditimpakan
kepada semua komunitas Muslim Bali. Kedua, akibat pemboikotan, kaum
Hindu juga mengalami kesulitan. Berbagai kebutuhan sehari-hari yang
biasa mereka dapatkan dari orang Islam, dengan pemboikatan mereka sulit
mendapatkan gantinya. Kaum Hindu mau beli bayam atau kebutuhan makan
lain kesulitan, karena yang jual orang Lombok, orang Jawa. “Aturan apa
ini ?, sing ade nyiwe, sampe jadi ga ada yang nyewa saya punya rumah
ini. Gara-gara ini, apalah ini”, begitulah ungkapan yang muncul dari
kalangan Hindu sendiri. Disharmoni semacam itu berlangsung kira-kira
hanya dua tahun, terutama di Denpasar dan ada pengaruhnya sampai
Gianyar. ****
Dangin Sema, Kecicang, dan Saren Jawa : Kampung Lama Islam di Karangasem – Bali
Adalah H. Hasyim, pria sepuh berusia 78 yang sampai kini memiliki
kepedulian luar biasa terhadap toleransi dan harmonisasi hubungan antar
umat di Karangasem khususnya dan Bali pada umumnya. Dari kakek yang
telah memiliki 38 cucu dan 13 cicit inilah saya dan teman-teman
mendapatkan banyak sekali informasi tentang apa dan bagaimana muslim dan
Islam, bukan saja di Karangasem tetapi juga di Bali pada umumnya.
Lelaki beranak 16 dari tiga istri ini mampu membaca lontar sebagai
sumber kultural dari kaum Hindu Bali. Beliau memiliki banyak koleksi
lontar, beberapa diantaranya malah sempat dibaca di hadapan saya dkk.
Bahkan, teman saya, mas Hamdan dan Indri sempat memotret beberapa.
Lontar-lontar itu sebagian berbahasa Bali sebagian lagi berbahasa Jawa
Kawi. ”Kakek saya dahulu seorang pujangga. Dan saya disuruh belajar
lontar oleh bapak saya. Tujuan saya adalah untuk menjembatani
pengertian antara kaum Hindu dan Muslim, melalui sumber-sumber historis
ini”, kata H. Hasyim. Pria mantan ketua MUI Karangasem ini tinggal
di salah satu kampung kuno komunitas Islam peninggalan generasi pertama
Muslim Lombok. Kampung Dangin Sema, itulah tempat tinggal kakek tua
tapi masih jauh dari kesan renta.
Dangin berasal dari bahasa Bali, artinya timur. Sedangkan Sema
artinya kuburan. Lokasi ini dahulunya memang kuburan, tempat
orang-orang di hukum mati oleh raja. Setiap orang yang dihukum mati di
lokasi ini kepalanya dipenggal. Karena itu, tidak ada yang berani
tinggal di lokasi yang dianggap simbit, angker ini. ”Kakek moyang saya
yang namanya Raden Nangglung Baye, yang mau tinggal di sini. Dia
berkata pada raja: Ya tuanku, kalau tidak ada yang berani tinggal di
sini biarlah saya yang tinggal di sini”, jelas H. Hasyim menceritakan
leluhurnya yang berasal dari Lombok. H. Hasyim adalah generasi ke
delapan, sedangkan dia telah memiliki buyut. Berarti sampai di tahun
2010 setidaknya muslim Lombok yang tinggal di Karangasem sudah pada
generasi kesebelas.
Hal yang unik dari kampung Dangin Seme, termasuk kampung kuno Islam
lainnya, setiap generasi kepadanya diajarkan garis silsilah leluhur,
sebagai wujud ”kebanggaan” bahwa mereka merupakan keturunan orang-orang
bertuah yang keberadaanya di Bali bukan datang (untuk mencari
penghidupan) tetapi sengaja di datangkan oleh Raja Karangasem, karena
kehebatan mereka memang dibutuhkan. ”Saya diajari bapak saya, bapak saya
diajar oleh kakek saya, begitu seterusnya untuk menghafal keturunan.
Seperti orang Arab kalau ndak hafal sampai 21 keturunan kan ndak diakui.
Nama saya Hasyim, orang tua saya Ahmad, makanya Hasyim bin Ahmad, bin
H. Tahir, bin Ratnimah, bin Arkane, bin Arkani, bin Artine, bin Nanglung
Baye”, jelas H. Hasyim dengan nada bangga.
Kampung kuno Dangin Seme ini dihuni sekitar 400 KK. Mata
pencahariannya dahulu 80 persen adalah penjahit. namun di era
sekarang, bermacam profesi. Khusus untuk PNS, terhitung sangat
sedikit. Dari 400 KK yang ada, jika dikalkulasi secara umum, bahwa
satu KK terdiri dari seorang ayah, ibu, dan dua orang anak maka total
penduduknya bisa sekitar 1.600 ribu Jiwa. Tetapi angka itu sebenarnya
hanya kalkulasi minimal, sebab pada kenyataannya setiap KK memiliki
lebih dari dua putra. Bahkan, H. Hasyim sendiri memilik 16 anak. Dari
16 anak melahirkan 38 cucu, yang berarti rata-ratanya melampaui angka
dua.
Satu hal yang menarik perhatian saya selama menuju dan atau menyusuri
kampung Dangin Seme ini adalah banyaknya masjid yang berhasil kami
temui. Bahkan, tepat di depan rumah H. Hasyim terdapat masjid yang luar
biasa megahnya, tentu saja untuk ukuran Bali. Hal ini tentu saja
sempat kami tanyakan: “Pak Hasyim, disini begitu banyak mesjid. Apa
itu tradisi dari Lombok yang terkenal dengan pulau seribu menara ?
“Ah, itu yang mau saya ceritakan”, jawab H. Hasyim tangkas.
“Dahulu, para leluhur kampung muslim ketika awal datang di Karangasem
melihat bahwa di setiap rumah ada sangga kecil. Berikutnya, di setiap
kampung ada dadya (pura) yang besar. Realitas ini menumbuhkan ghirah
alias semangat dari para leluhur muslim Karangasem untuk memperlihatkan
identitas aslinya, agar keberadaan mereka juga mendapat perhatian dari
lingkungannya. Walhasil, walaupun komunitas muslim di setiap kampung
kecil saja jumlahnya, tetapi mereka tetap membangun musholla. Bahkan,
kala itu meski hanya ada lima orang muslim saja, mereka membikin
mushola. Apalagi, musholla akhirnya tidak hanya berfungsi untuk shalat
saja, tetapi dimanfaatkan untuk silaturrahmi membahas berbagai
persoalan secara bersama. Awalnya begitu. Akhirnya setiap kampung ada
mushola. Sekarang di Karang Asem ada 60 an”, tandas H. Hasyim.
Padahal umat Islam di Karangasem angkanya tidak lebih dari 16.000,
yang hidup secara terpecah-pecah dalam sekitar 50 komunitas. Dan di
setiap kampung hampir pasti dibangun sebuah mushola.
Di Dangin Sema di era sekarang corak keislamannya sudah jauh
terpisahkan dari kultur Wetu Telu. Dapat dikatakan, meski generasi
pertama ada pengaruh Wetu Telu, tetapi di era kekinian pengaruh itu
dapat dikatakan telah terkikis habis. Bahkan, kultur yang terbangun
tampaknya tidak lagi tersekat oleh isu khilafiah, melainkan semua umat
menempatkan diri sebagai orang Islam. Tak ada NU atau Muhammadiah,
sebagaimana masih tampak dalam komunitas muslim di Sudihati-Kintamini,
Kabupaten Bangli. ”(Antar aliran) ndak ada apa-apa. Kita sama-sama
Jum’atan. Di sini sudah ndak ada NU – Muhammadiyah. Siapa yang mau baca
qunut, dia tetep di sini. Jadi ndak ada masalah. Kalau (taraweh) di
mesjid kebanyakan 11 rakaat. Tapi ada juga yang 23 rakaat”, kata H.
Hasyim.
Di Dangin Seme dan Karangasem pada umumnya, pembinaan umat Islam
dilakukan oleh masjid-masjid. Di setiap mesjid, setiap ba’da asyar ada
yang membacakan satu dua hadits. Selain itu ada pula yang mengadakan
pengajian bulanan. Juga ada yang mengajarkan kultum alias kuliah tujuh
menit setiap habis maghrib. Di Karangasem, termasuk Kampung Dangin
Seme juga telah memiliki banyak taman kanak-kanak Islam, taman baca
alqur’an alias TPA dan TK Islam, baik yang TK Muhammadiyah maupun TK
NU.
Selain Dangin Sema, kampung Kecicang juga patut untuk diceritakan
eksistensinya. Sebab, pertama, baik Kecicang maupun Dangin Sema
sama-sama perwujudan dari kampung kuno Islam di Karangasem. Kedua,
keduanya saat ini merupakan sentra komunitas Islam terbesar di
perkotaan. Asal usul cerita berawal dari salah seorang muslim bertuah
asal Lombok yang didatangkan raja Karangasem, yang bernama Balok Sakti
yang memiliki nama asli K.H. Abdul Rahman. Sampai di Karangasem, Balok
Sakti ditugaskan menjaga perbatasan di wilayah Karang Tohpati,
tetapnya di perbatsan kecamatan Bebandem dan Selat. Balok Sakti ini
mengambil istri seorang wanita muallaf dari Sibetan dan dikarunia dua
orang anak, namun meninggal semua. Balok Sakti lantas menikah lagi
dengan wanita muallaf dari Karang Telu serta mendapatkan 11 orang
keturunan. “Dari kesebelas anak ini beranak pinak yang lantas membentuk
kantong-kantong muslim di Karangasem, seperti Kecicang Islam, Karang
Tohpati, hingga ke Buitan”, jelas Kasi Urais Depag Kabupaten
Karangasem.
Tidak semua komunitas Islam “tua” di Karangasem berasal dari Lombok,
tetapi ada pula yang berasal dari Jawa, seperti Kampung Saren Jawa.
Kisah Saren Jawa ini bermula dari seorang muslim utusan raja Mataram
bernama Raden Kyai Jalil. Ketika berada di Karangasem, kebetulan ada
seekor sapi besar (wadak) mengamuk membuat kekacauan kesana-kemari di
wilayah Karangasem. Konon, Kyai Jalil yang berhasil membunuh wadak di
lokasi yang bernama Sare (Tidur). Atas jasanya itu, wilayah Sare
akhirnya dihadiahkan kepada Kyai Kholil sebagai tanah pelungguhan. Dia
kemudian menetap serta beranak cucu di wilayah Sare, yang karena
penghuninya berasal dari Jawa, maka akhirnya dikenal sebagai Saren
Jawa. Saren Jawa inilah yang di era kekinian telah menjadi salah satu
sentra komunitas Muslim disamping Dangin Seme. Di Saren Jawa terdapat
sebuah masjid tertua yang disebut santreng oleh warga setempat, yang
dahulu bentuknya konon menyerupai pura dengan meru puncak pitu. Kini,
santreng yang diberi nama Fathul Jalil ini, tidak lagi difungsikan.
Selain Lombok dan Jawa, ada pula komunitas kuno Islam yang berasal
dari pedagang dan hasil pengungsian dari Bugis-Makasar menyusul
kekalahan kerajaan Gowa oleh Belanda. Salah satu komunitas ini ada di
desa Bungaya Timur, kecamatan Bebandem. Di tempat itu bahkan ada bukti
arkeologis berupa makam perintis Islam bernama Habib Ali bin Zainal
Abidin Alaidrus yang berasal dari Sulawesi. Makam ini berdampingan
dengan pemakaman umat Hindu setempat, sekaligus sebagai bukti telah
adanya toleransi Islam-Hindu sejak dahulu.
Sejarah kampung-kampung Islam di Karangasem memang telah lama
usianya. Tapi tak ada satu pun sekolah yang memiliki Kurikulum khusus
membahas sejarah ini. Akibatnya, baik dari kalangan Islam maupun Hindu
di Karangasem banyak yang tidak tahu tentang asal usul Muslim dan
sejarah akulturasi yang harmonis antara dua komunitas. Di kalangan
generasi muda Islam, sejarah Islam Karangasem atau Bali pada
khususnya, menurut H. Hasyim, biasanya disebarluaskan melalui
ceramah-ceramah dalam berbagai acara bahkan termasuk acara perkawinan.
“Kalau kawinan saya pake bahasa Bali Kromo Inggil, sehingga umat Hindu
pun lain penerimaannya, dan menganggap bapak Hasyim (yang muslim) ini
adalah orang Bali asli. Sesungguhnya kami sudah 8 turunan, sehingga
kami bukan Lombok lagi. Bagaimana saya bilang saya orang Lombok ?,
padahal bahasa yang saya kuasai bahasa Bali ?”, tandas H. Hasyim.
Problemnya, dewasa ini jarang sekali anak-anak muda Muslim –bahkan juga
kaum muda Hindu– yang mampu berbahasa Bali halus (kromo Inggil),
padahal bahasa itu menjadi salah satu sarana penghubung emosional antara
umat Islam dan Hindu di Bali.
Singkat kata, penguasaan bahasa Bali halus saat ini sebenarnya
menjadi tantangan bagi generasi muda muslim Bali. Dengan memakai bahasa
Bali kromo Inggil penerimaan umat Hindu atas orang-orang Islam akan
jauh lebih positif. Apalagi ditambah dengan penguasaan kultural dan
sejarah, bahkan meskipun sejarah kedatangan Islam lengkap dengan pola
hubungan muslim – puri, tentu akan membangun penerimaan bahkan
penghormatan dari komunitas Hindu. Hal semacam ini sering dialami H.
Hasyim sendiri. ”Saya bicara di Denpasar, kurang lebih 450
pendengarnya. Ceramah saya tentang Bali, sejarah dan kultur Bali. Di
Bali kalau tidak kenal Bali dan tidak tahu Bali ndak akan sukses, atau
malah akan dibenci”, jelas H. Hasyim. ”Mereka malah heran, kok pak
Haji lebih tahu (tentang Bali). Saya ngomong melebihi (waktu), saya
mohon maaf pada panitia karena bicara melebihi ketentuan (waktu).
Tetapi orang-orang Hindu justru bica: Terus pak, terus pak. Saya
bertanya: Bagaimana pak panitia ? Akhirnya ditambah 10 menit”.
Pengalaman-pengalaman H. Hasyim ini memberi bukti bahwa bahasa dan
pemahaman kultural ternyata dapat membuka pintu penerimaan, ternyata
dapat mempererat tali persaudaraan.
Di kampung Dangin Seme memiliki peninggalan kesenian yang dibawa
leluhur dari Lombok, yang sampai kini masih bisa dinikmati bukan saja
oleh komunitas Islam tetapi juga kaum Hindu. Yaitu kesenian Rebana.
Rabbana tetapi lagunya lagu angklung, perpaduan lagu Islam dan Bali.
Kesenian itu, di Karangasem biasa dimainkan untuk menghibur dalam acara
perkawinan. Sedangkan, di Kampung Kecicang dan Kampung Sindu kesenian
yang masih hidup adalah rudat. Dahulu kesenian rudat ada pula di Dangin
Seme, tetapi dewasa ini sudah tidak ada. Kesenian itu menghilang
sejak generasi keenam. « Disini ndak ada (ruddat). Dulu ada, tapi
setelah kakek saya sudah tidak ada », jelas H. Hasyim nadanya
mencerminkan penyesalan.
Khusus Magibung, tradisi ini masih bisa ditemui baik di Kampung
Dangin Seme, maupun di Kampung Kecicang. Tradisi makan bersama ini
juga masih bisa ditemukan di Gelgel, sebagai cikal bakal komunitas
muslim tertua di tanah Bali. « Memang asalnya Tradisi ini lahir dan
berkembang di kalangan Hindu. Magibung itu makan berhadapan. Orang
hindu magibung itu, bekas nasinya, bekas suapnya, ndak boleh dibawa (ke
nampan lagi, tetapi) harus dibuang”, jelas H. Hasyim dengan
mengibas-ngibaskan tangan kanan ke samping, sebagai tanda mempraktekkan
apa yang ia ucapkan. ”Makanya, di sampingnya (orang-orang) banyak nasi
dibuang. Kalau (yang nempel di tangan dimasukkan lagi) diketahui, bisa
perang saudara. Karena disebut carekan, disebut sisa, sehingga ndak
boleh dibawa kesini lagi. Jadi tangan harus bersih”, jelas H. Hasyim,
lengkap sekali infonya. Menurut H. Hasyim, Magibung seperti itu biasanya
terjadi intra umat. Artinya Magigung antara muslim – hindu tidak
pernah ada, khususnya di Kampung Dangin Seme. ***
Kampung Muslim Sindu Sidemen, Karangasem
Pada tulisan sebelumnya telah saya uraikan bahwa seiring dengan
penaklukan Lombok oleh kerajaan Karangasem, raja mengambil orang-orang
bertuah di Lombok untuk ditempatkan sebagai pasukan pertahanan di
berbagai wilayah Karangasem. Ada yang ditempatkan mengelilingi Puri
Kanginan seperti Kampung Dangin Seme, Kampung Bangras, namun ada yang
ditempatkan untuk mematai-matai dan atau menjaga wilayah perbatasan
seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak Kesasak, Bukit Tabuan, Saren
Jawa, Kecicang, serta di Kampung Sindu.
Pada tulisan ini saya ingin menjelaskan tentang apa dan bagaiman
sejarah dan eksistensi kampung Islam ini, salah satu dari sekian kampung
lama Islam yang sempat saya kunjungi. Ceritanya dimulai, ketika raja
Karangasem mengalahkan kerajaan Selaparang, Lombok, dimana raja
Karangasem akhirnya membawa orang-orang sakti Selaparang untuk dijadikan
“beteng” kerajaan Karangasem. Sebagian dari mereka di tempatkan di
wilayah Sindu-Buu-Tegal, termasuk yang ada di Kecicang, dan di Ujung,
yang bukti sejarahnya dapat ditelusuri misalnya dari adanya makam-makam
kuno di daerah-daerah ini.
Mereka yang ditempatkan di Kampung Sindu, Kampung Bueu, dan Kampung
Pidade semula hanya tiga orang, tanpa istri, sehingga mereka akhirnya
mengambil istri dari lokasi. Keturunan dari ketiga pasang keluarga
itulah itulah yang menjadi cikal bakal komunitas muslim Sindhu Sidemen.
Tanah yang diberikan kepada mereka berasal dari Griya Sindu
(Brahmana), bukan hadiah dari Puri. Kenapa yang memberi Griya dan bukan
Puri ? Alasannya, kala itu memang Griya yang memiliki tanah lokasi.
Karena itu puri Karangasem lantas kirim surat ke Ida Prada Gede di
griya. Pada saat itu siapapun yang memiliki tanah melebihi aturan yang
ditentukan, dimintakan oleh raja untuk sebagian diberikan kepada “kaum
muslim” yang sengaja didatangkan tadi. “Akhirnya, di kasihlah tanah di
kampung sini. Dan itupun tiga orang yang ngasih, yakni dari Griya
Sindu, Griya Buu, dan Griya Tegal –kini masuk wilayah Sindu Sidemen–
yang masing-masing diberikan kepada satu orang asal Lombok”, jelas H.
Fauzi, Tokoh Muslim Kp. Sindu Sidemen, Karangasem.
Karena itu, meski Puri yang membawa mereka ke Bali, tetapi
penghormatan kepada Griya juga terbangun, mengingat mereka yang
memberikan tanah. Apalagi dalam keseharian akhirnya tiga orang muslim
tadi ngayah ke griya. “Ngayah artinya tiap hari “membantu/beraktivitas”
di Griya, dan kebutuhan sehari-hari termasuk makan juga ditanggung
Griya. Ngayah bukan berarti bekerja di griya, sebab tugas utama
orang-orang bertuah tadi adalah membentengi Karangasem. “Nongkrong
saja, tidak ngapa-ngapain juga bisa, karena makan sudah dari griya.
Namun, mereka tampaknya ingin memiliki aktivitas lain, sehingga mereka
akhirnya juga menggarap tanah dari Griya”.
Orang Griya yang semua kaya, juga bersikap sama alias tanpa
perhitungan dalam soal materi. Semula kepada orang Islam diberi tanah
di Bueu, tapi setelah berketurunan ditambah lagi di Sindu, dan
belakangan melebar ke Pidade. Oleh karena itulah, hubungan Muslim –
Griya menjadi sangat dekat. Kalau di griya ada upacara, umat Islam
diundang. Umat Islam dikasih dikasih mentahnya, lalu mereka memasak
sendiri untuk memastikan kehalalan hidangan.
Dari tiga pasang keluarga akhirnya berkembang menjadi 12 KK. Satu
anak bernama Kupi Winarse (Datuk Winarse) tetap tinggal di Sindu Sidemen
menjadi cikal bakal komunitas di kampung tersebut. Selain itu ada pula
Kupi Parti yang akhirnya oleh raja Karangasem dikirim ke Bedugul
(sekarang masuk kabupaten Tabanan) dengan tujuan untuk memata-matai
kerajaan Mengwi. Mereka babat hutan Bedugul serta menjadi cikal bakal
komunitas Islam di sana. Anak yang lain ada yang dikirim ke Kampung
Kramas (sekarang masuk kabupaten Gianyar) juga untuk tugas yang sama.
Makanya, ketika gunung Agung meletus di Karangasem tahun 1970 an,
banyak orang Sindu Sidemen mengungsi ke Bedugul dan keKeramas, karena
di kedua kampung itu mereka memiliki hubungan kekerabatan.
Ditinjau dari garis ibu, komunitas Sindu Sidemen semua sebagai
keturunan wanita Hindu lokal. Oleh karena itu dapat dipahami jika
toleransi antar komunitas keagamaan (terutama dengan Griya) di wilayah
itu sangat luar biasa, akibat adanya jalinan genealogis tadi. “Termasuk
datuk saya (baca: Datuk Nuruddin) ngawini wanita Hindu juga. Makanya
kita punya sepupu di Hindu, di Brahmana”, tandas H. Fauzi.
Rumah kaum Griya kala itu umumnya berpagar tembok tinggi. Anak gadis
pedanda pun sangat terhormat, tidak boleh pergi sendirian, bahkan mandi
pun harus dikawal. Di kalangan Griya ada kepercayaan, ketika seorang
anak gadis/perawan keluar rumah sendirian –dengan alasan apapun–, dia
dianggap terbuang. Tetapi, sebagai orang tua para pedanda tadi tentu
tetap memperhatikan nasib anak gadisnya yang terbuang tadi. Mereka
berpandangan, lebih baik menikahkan anak gadisnya yang terusir tadi
kepada kaum Muslim dibandingkan membiarkan merana apalagi kawin dengan
kaum Sudra. Sebab, mereka mengakui agama yang suci, istilah yang
dirujukkan pada agama Islam. Oleh karena itu, terhadap anak gadis
terbuang ini, bapaknya biasanya membuat “rekayasa” agar mereka
dikawini kaum muslim saja dengan cara “mengarahkan” mereka menuju
kampung (Islam). Bahkan, untuk tujuan itu biasanya semua keperluan
perkawinan ditanggung pihak Griya. “Kan malu kalau anaknya terbuang tak
ada yang mengawini”, kata H. Fauzi lagi. Walhasil, kawin mawin Islam –
Hindu (keturunan Griya) cukup banyak kejadiannya.
Sampai kini kawin lintas komunitas ini juga terjadi, hanya sebab dan
prosesnya yang berbeda. Umumnya, dengan cara: pihak pria muslim
membiarkan wanita Hindu (yang lagi jatuh cinta) yang datang ke kampung
Islam. Dengan cara itu, maka pria Islam dan kampung Islam tidak
melakukan kesalahan adat, sebab yang datang adalah pihak wanita Hindu.
“Kalau putrinya datang kesini biarkan. Kalau dia minta kawin,
tinggalkan dia sini, biarkan. Ndak salah kita”, kata H. Fauzi.
Berikutnya, pihak pria datang ke keluarga wanita di desa adat, memberi
tahu soal anak gadisnya. “Kalau ke Griya ngomongnya harus dengan bahasa
Bali asli, apalagi Bali halus. Dengan cara itu, biasanya berjalan lancar
tanpa persoalan”. Sampai kini komunitas Kampung Sindu Sidemen memang
fasih berbahasa Bali halus, termasuk anak-anak mudanya. Oleh karena
itu, keberadaan mereka oleh kaum Hindu diakui sebagai orang Bali
(asli). Biasanya, kalau sudah ada sinyal positif dari pihak wanita
(Hindu), proses pengislamannya langsung oleh MUI. Kaum mualaf ini
berikutnya dibina di Kampung Lebah, Klungkung. Namun, setelah ada
Yayasan Annisa, mereka cukup dibina di tempat ini. Pengajian ibu-ibu
Annisa, sebenarnya dilakukan sebulan sekali, tetapi khusus untuk
pembinaan muallaf bisa dilakukan pertemuan tiap hari, sesuai kebutuhan.
Proses perkawinan yang terjadi umumnya tidak menimbulkan persoalan.
Bahkan, karena banyaknya jalinan genealogis tadi akhirnya membangun
sikap toleransi bahkan harmoni. Mereka saling saling undang di acara
pernikahan, atau bahkan kematian. Intinya, saling datang mendatangi.
Harmoni tersebut terbangun berdasar kesadaran masing-masing pihak.
Ketika nyepi misalnya, lampu di rumah-rumah orang Islam tetep nyala,
tetapi azan di masjid otomatis tidak memakai pengeras suara. Ketika
nyepi bersamaan dengan hari jum’at misalnya, biasanya pecalang yang
justru mengantar umat Islam yang ingin jum’atan. “Kampung Buu kan disini
(baca: di Sindu) jum’atannya, sekitar satu setengah kilo jaraknya.
Dijemput. Dikawal. Itu bagusnya. Kalau deket-dekat mesjid masih
jum’atan. Ada acara apapun pecalang sangat membantu. Kasih minum saja.
Mereka kalau kasih uang gak mau. Karena sudah merasa pecalang kita
(juga). Sebab, di sini kan kalau ada orang meninggal kita pasti kesana.
Kerukunan”, jelas H. Fauzi.
Harmoni juga terlihat dalam acara hari besar Islam. Ketika Idul Fitri
umat Islam biasa melakukan takbir keliling. Ketika Maulid nabi umat
Islam juga melakukan pawai, dengan arak-arakan rudat dan hadrah. Beda
antara hadrah dan rudat adalah: Kalau hadrah memakai rebana, sedangkan
rudat memakai gendang besar. Kesenian rudat dan hadrah ini memang pernah
berhenti, karena Muhammadiyah pernah mem bid’ahkan. Namun, sekarang
kesenian ini muncul kembali, bahkan akhirnya dilombakan. Rudat di Sindu
Sidemen menceritakan sesuatu dengan bahasa hikayat, dengan cara
dilagukan. Pakai lampahan, pakai tari-tarian. Intinya berupa
tari-tarian, ada nyanyiannya yang berbahasa Arab tetapi kebanyakan
sudah berbahasa Indonesia. Secara substansi menceritakan Sejarah Hasan
dan Husen dalam pertempurannya melawan Yazid, yang ditampilkan dengan
iringan rebana. Rudat di Sindu oleh H. Fauzi disebut sebagai kesenian
dari Lombok, meski sampai di Sindu lantas dirubah-rubah namun tetap
mempertahankan nilai sejarah, yakni: kisah Hasan dan Husen. Mode
busananya semula diadop dari Istambul lengkap dengan memakai pedang.
Namun, di era sekarang pedang tidak lagi digunakan.
Pada setiap pawai takbiran dan maulid Nabi orang-orang Hindu ikut
menikmati. “Kalau ndak keliling, marah mereka. Gak ngundang , marah
mereka. Jadi, Harus (diarak) kesana. Mereka yang akhirnya jaga jalan,
biar (arakan) sampai selesai itu. Malahan peserta dikasih aqua,
minuman. Hanya Idul Fitri sama maulid nabi. Hanya dua itu. “, jelas
H. Fauzi.
Bahkan, untuk subak saja kampung Islam Sindu Sidemen tidak dikenai
biaya aliat gratis, bukan saja untuk keperluan masjid, tetapi juga
untuk pengairan sawah. Memang, dulu ada inisiatif dari kalangan Hindu
agar komunitas dimintai sumbangan adat, mengingat mereka berada di
wilayah desa adat puseh. Berarti tiap ada acara di puseh, setiap KK
muslim juga terkena iuran. Namun, inisiatif itu tampaknya tidak
diteruskan, sebab H. Fauzi yang kala itu hadir dalam rapat mewakili
komunitas Islam juga mengajukan permintaan sebaliknya.Artinya, pada
setiap acara hari besar Islam, setiap KK Hindu ganti memberikan
sumbangan. Padahal, jumlah warga Hindu jauh lebih besar (ada 18
banjar dan sekian ratus KK), oleh karena itu logikanya jumlah sumbangan
yang akan diberikan warga Hindu kepada kegiatan umat Islam jauh lebih
besar dibanding jumlah sumbangan warga muslim (yang hanya 190 KK) yang
akan diberikan pada acara adat Hindu di Pure. “Mungkin karena kalkulasi
untung rugi, maka ide ini akhirnya tidak pernah ditindaklanjuti”,
kenang H. Fauzi.
Memang, sesekali terjadi konflik kecil, tetapi umumnya karena
pemuda minum. “Biasanya, antara mereka yang minum kita ajak keluar
kampung, lantas kita adu sekalian: silahkan berkelahi di luar. Akhirnya
mereka tidak jadi berkelahi”, kata H. Fauzi yang menjadi ustadz di
Yayasan La Roiba, Klungkung. Bahkan, peristiwa bom Bali pun pengaruhnya
tidak mampu merasuk ke tempat ini.
Komunitas Islam kampung Sindu saat ini kebanyakan berprofesi sebagai
pedagang. Dagang tahu, tempe, atau apapun dagangan bahan pangan. Ada
pula yang berdagang kain, ayam, bahkan dagang sapi. Mereka umumnya
berdagang di pasar-pasar Sidemen, di Pecangkram, dan pasar-pasar lain.
Tradisi berdagang ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak terbangunnya
komunitas Islam di kampung itu. “Sudah 450 tahun. Tapi memang
betul-betul orang sakti para orang tua dulu. Buktinya waktu mau jualan,
mereka dirampok, dibacok tembus tapi nggak berdarah. Makanya
perampok-perampok akhirnya gak berani. Itulah saktinya orang dulu”,
terang H. Fauzi dengan nada bangga.
Saat ini, banyak warga kampung Islam Sindu memiliki sawah. Namun
demikian, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tetap
beraktivitas sebagai dagang, profesi keturunan. Oleh karena itu,
umumnya penggarap sawah milik kaum muslim Sindu justru dari kalangan
Hindu. “Kita tetep dagang. Tanah kita diolah orang hindu. Artinya
terbalik lah (baca: dibanding era dahulu”, kata H. Fauzi mengakhiri
penjelasannya.
Di Kampung Islam Sindu terdapat sebuah masjid kuno, yang dibangun di
era generasi pertama Muslim. Sayang sekali, sama dengan hampir di
semua masjid kuno di kabupaten lain di seluruh Bali, masjid Sindu pun
bangunannya sudah tidak lagi memiliki sisa-sisa kelampauan. Fisik
bangunan, semuanya sudah merupakan bangunan baru sama sekali. Hanya
tempat wudlu saja yang masih memperlihatkan nuansa era lama, tapi
itupun dibangun sudah di era tahun 1970an, dan bukan peninggalan leluhur
kaum Sindhu.
Satu-satu yang tidak berubah dari lingkungan masjid kuno itu adalah
air wudlu yang terus menggelontor tanpa henti, karena air disuplai dari
subak secara gratis tanpa bayar sama sekali. Sebab, pada dasarnya air
subak tidak berkurang, tetapi hanya mampir sejenak ke masjid, lantas
dialirkan kembali. Sebelum meninggalkan kampung Islam Sindu, saya
menyempatkan diri mengambil air wudlu dari tempat ini. Nyess… dingin
sekali, bahkan rasa sejuknya menjalar sampai ke ulu hati.
Subhanallah.***
DHURORUDIN MASHAD
------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/15/asal-usul-kampung-muslim-di-kabupaten-karangasem-bali-tulisan-7/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/25/membaca-akulturasi-muslim-hindu-di-karangasem-bali-tulisan-8/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/05/05/dangin-sema-kecicang-dan-saren-jawa-kampung-lama-islam-di-karangasem-bali-tulisan-9/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/05/15/silaturrahmi-ke-kampung-muslim-sindu-sidemen-karangasem-bali-tulisan-10/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar