Rabu, 30 Juli 2014

MJIB - 42. Mengenal Beberapa Kampung Muslim di Kab. Karangasem Bali

______________________
Oleh : Dhurorudin Mashad


Asal Usul Kampung Muslim di Kabupaten Karangasem

 Pagi sekali,  pak Hasan Bick mengajak kami meninggalkan Bangli. Suasana sangat sejuk,  atau bahkan cenderung dingin.  Dedaunan masih menggigil.  Dahan-dahan juga menggigil.  Bahkan,  pepohonan ikut menggigil.  Kedinginan. Maklum,  semalaman hujan mengguyur bumi Bangli. Namun,  saya tidak terperangkap pada situasi serba dingin ini. Hati saya telah menghangat akibat dibakar keinginan untuk segera menapaki bumi Karangasem yang keberadaannya selama ini hanya ku dengar dari berbagai kabar.
Sekitar jam 11 siang,  pak Hasan membelokkan mobil langsung ke lokasi kantor Departemen Agama (KUA Islam dan Penyelenggara Haji) Karangasem. Di tempat inilah  saya dkk mendapatkan informasi awal tentang enclave-enclave komunitas muslim di Kabupaten Karangasem. “Kabupaten Karangasem memiliki penduduk muslim berjumlah 19 ribu Jiwa.  Mereka hidup tersebar di 6 dari 8 kecamatan di seluruh wilayah Karangasem.  Namun, mereka terutama terkonsentrasi di 4 kecamatan, yakni: Kecamatan Karangasem (11.729 jiwa),  kecamatan Bebandem (4.438 jiwa),  kecamatan Sidemen (820 jiwa),  dan Kecamatan manggis (465 jiwa).  Sisanya sekitar 2000 jiwa tersebar, terutama di kecamatan Kubu dan kecamatan Rendang”,   kata pimpinan Depag urusan Islam,  sambil menyodorkan data tertulis kepada kami.
Muslim di Kecamatan Kubu terutama tinggal di wilayah Galian C.  Sedangkan, muslim di Kecamatan Rendang jumlah muslimnya hanya sekitar 13 KK.   Mereka memang memiliki musholla an Nur, yang sempat dipakai presiden SBY sholat ketika ke Karangasem. Namun,  musholla ini tak boleh dipasang papan nama,  dengan alasan  bertentangan dengan aturan adat setempat.
Komunitas muslim terbesar pertama  berada di kecamatan Karangasem,  yang tersebar di wilayah perkotaan dan pegunungan.  Pertama,  Muslim di perkotaan terutaman ada di kelurahan Karangasem, yang tersebar di 13 dusun/kampung,  antara lain : Kampung Telaga Mas (memiliki kepala dusun muslim),  Dusun Ujung Desa,  Dusun Segara Katon, Karang Tohpati, Karang Langkung, Bangras, Grembeng (atas dan bawah),  Karang Ampel, Jeruk Manis (dikenal dengan Jerman), Karang Tebu, Karang Bedil, Tiing Tali, Dangin Sema (komunitas Muslim terbesar setelah Dusun Kecicang Islam).  Selain itu ada pula di Desa Tegal Linggah,  yang memiliki dua kampung muslim yakni: Karang Cengen dan Kampung Nyuling.  Berikutnya di Kelurahan Subagan, terdapat di dua kampung yakni:  kampung Karang Sokong dan Telaga Mas (bahkan kepala kampungnya muslim).  Kedua,  muslim di pegunungan terdapat di sebelah timur  yakni di Kelurahan/Desa Bukit tersebar di 6 dusun/kampung,  yakni: Bukit Tabuan,  kampung  Anyar, Karang Sasak, Tibulaka Sasak, Tiing Jangkrik,  dan Dangin Kebon.  Selain itu di Desa Tumbu juga ada,  tepatnya di Dusun Ujung Pesisi karena letaknya memang di ujung laut.
Kantong Muslim terbesar kedua terdapat di Kecamatan Bebandem,  yakni di dusun Kecicang Islam (kampung Islam terbesar di Karangasem) yang terdapat di Banjar Kangin,  Banjar Lebah  Sari, dan  Dusun Saren Jawa.  Adapun kecamatan dengan komunitas muslim terbesar ketiga ada di Sidemen,  yakni di dusun Sinduwati yang mencakup kampung Sindu, Buu dan Tegal. Selain ketiga kecamatan tadi,  kecamatan Manggis sebagai tempat komunitas muslim terbesar keempat, yang terdapat: di Buitan, Padang Bai,  dan Pertamina Manggis.  Di Buitan meski muslim hanya 27 KK, namun telah memiliki masjid.   Di Padang Bai  ada pula masjid milik pelabuhan,  dan kaum muslimnya pun umumnya para pegawai kapal  (yang transit). Begitu pula di Pertamina Manggis  kaum muslimnya adalah para pekerja dan pemili usaha kecil (warung) di lokasi itu.
Setelah mendapatkan data kuantitatif, pak Hasan Bick mengantarkan saya dkk menemui tokoh-tokoh Islam dan Hindu untuk mendapatkan informasi seputar sejarah dan konteks hubungan sosial komunitas muslim di kabupaten Karangasem ini. Keberadaan Muslim Karangasem mula-mula dibawa oleh raja Bali (era Kerajaan Karangasem) dari daratan Lombok.   Waktu itu Lombok memang berada dibawah pendudukan kerajaan Karangasem.  Secara historis,  penguasaan Bali atas Lombok sebenarnya terjadi jauh sebelum kerajaan Karangasem,  yakni sudah terjadi di sekitar abad 16  oleh kerajaan Gelgel era kepemimpinan Watu Renggong.  Waktu itu Watu Renggong (pasca runtuhnya Majapahit oleh Demak) berhasil menguasai  Blambangan (1512),  bahkan meluas sampai ke Lombok (1520),  Sumbawa.  Tujuan Waturenggong kala itu memang untuk membendung pengaruh Islam Demak memasuki Bali. Logika Waturenggong ini dapat dipahami sebab kala itu Bali memang menjadi tempat pelarian  orang-orang yang pintar dan kuat-kuat akidah kehinduannya. Era keruntuhan Mojopahit memang pangeran-pangeran yang tak mau masuk Islam lari ke Bali.  Sebagian ada juga yang lari ke gunung Bromo yang kala itu rombongan dipimpinan Pangeran Seger dan istrinya Roro Anteng.  Walhasil,  anak keturunan mereka pun akhirnya disebut suku Tengger (baca: Gabungan dari Roro AnTeng dan Joko SeGer).
Lombok memang menjadi target strategis penguasaan Watu Renggong (berkuasa sejak 1460-1550) untuk menghadang Islam Demak,  sebab Lombok kala itu sudah terpengaruh Islam. Artinya,  Islam sudah masuk dan menyebar ke wilayah itu.  Kedatangan Islam ke Lombok terjadi sekitar 450 tahun lalu atau sekitar tahun 1500 an.  Islam semula masuk dari arah utara (baca: Lombok utara),  lantas untuk mengefektifkan pengaruh,  wilayah penyebaran sengaja dibagi dua sesuai dengan dua tokoh utama pelaku penyebaran, yakni: Raden Mas pengging dan Raden Mas Prapen alias Sunan Mas Ratu Pratikel (hidup tahun 1548-1605). Raden Mas Prapen  tidak lain adalah buyut dari Sunan Giri (hidup tahun 1487-1506),  sehingga dia sering disebut sebagai Sunan Giri ke IV. Sedangkan Raden Mas Pengging  atau Ki Ageng Pengging tidak lain adalah Ki Kebo Kenongo (ayah Joko Tingkir alias Mas Karebet). Raden Mas Pengging ini menjadi murid Syekh Siti Jenar. Melalui misi kedua orang itulah akhirnya Lombok menjadi penganut Islam,  meski dengan ciri dan watak yang belum murni.  Istilah Islam Wetu Telu misalnya,  refleksi dari adanya kerancuan Islam itu.
Wilayah Lombok muslim inilah yang berhasil ditaklukkan Gelgel pimpinan Waturenggong.  Namun,  Gelgel pasca Watu Renggong ”berantakan” sendiri terutama akibat konflik internal.  Banyak wilayah akhirnya mendeklarasikan sebagai kerajaan sendiri,  serta menempatkan Gelgel hanya sebagai pusat kultural belaka. Dengan rontoknya kekuatan Gelgel,  Lombok tentu lepas pula dari penguasaan Bali.  Namun,  pada perkembangan waktu Karangasem berhasil menaklukkan dan meluaskan kerajaannya ke Lombok.
Sebelum Karangasem melebarkan kekuasaan ke Lombok, untuk penjajakan raja menjalin lawatan (perkenalan-persahabatan) politik dengan beberapa raja. Di kerajaan Pejanggi Lombok Tengah, raja berkenalan dengan  Datuk Pejanggih yang memiliki anak muda  bernama Mas Pakel.  Sebagai tanda perasudaraan, raja Bali mengundang Mas Pakel datang dan tinggal di Bali alias  diangkat menjadi keluarga kerajaan Karangasem.
Mas Pakel adalah seorang pemuda gagah, ganteng, dan sangat sopan, sehingga para putri raja bahkan istri raja sangat menyukainya.  Akibatnya,  keluarga lingkungan kerajaan banyak yang merasa iri atau sakit hati.  Mereka lantas membuat fitnah bahwa: Mas Pakel merusak pagar ayu, merusak istri raja, merusak putri-putri raja,    yang mestinya dijaga. Gencarnya profokasi menyebabkan raja termakan oleh cerita ini,  sehingga membuat rekayasa untuk menyingkirkan pemuda Pakel. Pakel ditunjuk menjadi panglima,  dan seolah dikirim  untuk melawan musuh.  Namun,  di wilayah yang kini  ada di kawasan  Tohpati Mas Pakel berusaha untuk dibunuh. Mas Pakel sangat sakti,  sehingga tidak bisa mati. Meski demikian,  Pakel yang sendirian juga tidak bisa selamat dari pengeroyokan.  Konon ia lantas mengambil sikap, ”Saya sekarang tahu bahwa saya direkayasa untuk dibunuh. Kalau mau membunuh saya bawalah saya ke Pantai Ujung”. Proses berikutnya ada tiga  versi:Pertama,  Di pantai  Mas Pakel tetap gagal dibunuh, sehingga akhirnya diusir balik ke Lombok dengan memakai perahu kecil (perahu pancing). Adapun makam yang ada di dekat Panjai Ujung, Karangasem itu,  bukan makam Ratu Mas Pakel (yang dikenal dengan sebutan Sunan Mumbul) tetapi makam Raja Pejanggi yang ditawan Raja Karangasem hingga meninggal. Kedua,  ketika patih yang ditugaskan untuk membunuh mengayunkan pedang,  Mas Pakel tiba-tiba menghilang dari pandangan dan berlari di atas air.  Patih lantas membuat rekayasa untuk lapor pada raja,  dengan membunuh seekor anjing dan hatinya diserahkan pada raja sebagai bukti bahwa dia telah menjalankan perintah.  Namun,  beberapa hari setelah peristiwa itu,  tiba-tiba muncul seberkas sinar tempat Mas Pakel menghilang,  dan tanah yang semula rata berubah menjadi gundukan menyerupai kuburan.  Sejak itulah Mas Pakel dijuluki dengan sebutan Sunan Mumbul.  Ketiga,  Pakel akhirnya memang dibunuh,  karena dia telah melepaskan kesaktian. Mayatnya dikubur di Pantai itu.  Namun,  ketika hendak dibunuh dia mengeluarkan kutukan: ”siapapun yang membunuh, semua keturunannya kalau lewat lokasi ini akan sakit jika tak bisa kencing di sekitar sini”.  Perkataan Pakel ini dipercaya menjadi tuah oleh komunitas Hindu setempat. ”Saya kenal I Gede Gusti Putu. Dia nunggu dulu nggak mau lewat kalau belum kencing. Kalau belum kencing ndak berani lewat katanya. Dan itu cerita dari orang itu sendiri”,   kata H. Hasyim seorang tokoh muslim Karangasem yang sudah sepuh  menjelaskan. Makam yang dipercaya sebagai kuburan Mas Pakel ini  kini biasa diziarai terutama pada 15 hari pasca lebaran Iedzul Fitri.
Terkait Mas Pakel dalam konteks sejarah penaklukan Lombok oleh Karangasem,  terdapat dua interpretasi  sejarah.
Pertama,  Pengangkatan Mas Pakel sebagai saudara kerajaan dan dipersilahkan tinggal di Karangasem,  sejak awal telah dirancang untuk wahana penjajakan kekuatan:  Ingin tahu berapa kekutannya, dan berapa prajuritnya. Jadi dengan adanya Datuk Mas Pakel atau disebut juga Datuk Pemuda Mas diambil sebagai saudara,  kerajaan Karangasem bisa  leluasa kesana-kemari untuk menyelidiki kekuatan lawan. Setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan Lombok,  Mas Pakel yang tidak lagi “dibutuhkan” disingkirkan,  sedangkan penaklukan atas Lombok segera dilakukan. Jadi, pengusiran/pembunuhan Pakel dengan alasan ”merusak pagar ayu keraton”,  hakekatnya sengaja direncanakan untuk  mencari alasan permusuhan alias pengabsah bagi Karangasem untuk melakukan penyerangan terhadap Lombok.
Kedua,  kemungkinan lain raja Karangasem memang tidak melakukan rekayasa, tetapi murni ingin membangun persahabatan dengan Lombok termasuk dengan mengangkat saudara Mas Pakel.  Tetapi,  raja akhirnya termakan fitnah  yang dibangun elemen kerajaan yang anti Islam dan anti Mas Pakel .   Akibatnya,  raja Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem benar-benar marah,  mengusir/membunuh Mas Pakel,  bahkan akhirnya melampiaskan kemarahan dengan melakukan perang penaklukan terhadap Lombok (Selaparang dan Pejanggi).
Walhasil,   Lombok akhirnya berhasil ditaklukkan Karangasem (Bali) pada tahun 1692 M,  sebagai tanda penaklukan kedua setelah sebelumnya pernah ditaklukkan Gelgel era Waturenggong. Banyak hal memberi bukti terkait dengan penaklukkan ini.  ”Kampung-kampung di Lombok setelah diduduki Karangasem harus ditambah namanya dengan nama Karang. Makanya kalau ke Lombok nama kampung-kampung (kecuali yang baru) pasti pakai nama Karang. Yang dulu kampung Jangkong menjadi Karang Jangkong. Yang namanya kampong Meranggi menjadi Karang Meranggi. Semua pake Karang, Karang Gentel,  hampir seluruhnya”,    tambah H. Hasyim Ahmad.  Selain itu,  raja Karangasem juga berusaha mempersaudarakan antara Hindu dan Islam dengan cara mengakulturasi bahasa.  Maka diadopsilah bahasa Lombok, Beraye, sementara bahasa Bali yang dibawa adalah Menyame. Maka jadilah Menyame Braye. ”Awalan bahasa Bali pasti Me,  kalau tidak berteman. Sementara Beraye adalah bahasa Lombok, dengan awalan Be. Ketika menjadi bahasa Bali misalnya: Paling tiang Bebatur. Hasil akulturasi itu dijadikan satu bahasa Bali dan Lombok.  Jadi,  awalnya Menyama Braye itu di Puri Karangasem,  lantas menyebar ke seluruh Bali”,  tandas H. Hasyim yang ahli membaca lontar peninggalan generasi lampau.
Selain itu,  setelah penaklukan, orang-orang Lombok yang dianggap sakti lantas dibawa raja ke Karangasem dengan maksud agar membantu keraton.  “Menurut cerita kakek saya, mereka yang didatangkan kebanyakan orang-orang bertuah. Orang-orang yang artinya mempunyai power, tentu sesuai zaman itu. Kalau menurut saya istilahnya ndak sakti, nabi saja dilempar patah giginya. Kalau menurut saya mereka itu orang-orang yang saya anggap mempunyai power dan keberanian, mempunyai pengaruh, mempunyai kepemimpinan karismatik begitulah. Orang-orang seperti itulah yang dibawa kemari”,  tandas H. Hasyim.
Mereka inilah cikal bakal komunitas-komunitas Muslim Karangasem,  yang mayoritas berasal dari Lombok.  Orang-orang sakti ini ditempatkan sepasang-sepang (baca: suami istri) dengan:  memakai strategi mengelilingi Puri Kanginan sebagai tempat raja. Di sebelah selatan  ada Banjar Kodok, di sebelah selatannya lagi kampung Islam Dangin Seme. Di sebelah barat ada desa Hindu, sebelah baratnya lagi Kampung Islam Bangras.  Intinya,  penempatan dilakukan secara selang-seling Islam-Hindu, mengelilingi puri.  ”Itu  strategi raja untuk mempersatukan rakyat Karangasem, sekaligus mengamankan puri”,  tambah H. Hasyim.  Namun,  logika itu juga memberikan arti bahwa puri tampaknya tidak terlalu merasa aman jika hanya dikelilingi rakyat Hindu,  serta memerlukan  pengawalan dari rakyat yang justru beda agama.  Pada kenyataannya memang kalangan Islam dapat dipercaya raja untuk menjadi ”pengawal puri”. Inilah yang menjadi satu sebab kenapa Umat Islam Karangasem dengan Puri menjadi sangat akrab.
Selain Dangin Seme,  kampung-kampung kuno Islam  lain di Karangasem sejarahnya juga sama. Mereka sengaja ditaruh sepasang-sepasang (baca: kira-kira suami istri),  dengan posisi mengelilingi Puri.  Posisi mengelilingi puri dibuat dua lapis. Seperti Dangin Seme termasuk lapisan pertama. Lapisan kedua seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak Kesasak, Bukit Tabuan, dengan formasi juga mengelilingi puri. Lapis kedua bahkan sampai Saren Jawa dan Kecicang.
Adapun muslim yang ditempatkan di Sindu, spesifik untuk menghadang kerajaan Klungkung. Yang ditaruh di Sidemen untuk menghadang dan memata-matai gerak-gerik kerajaan Klungkung.  Dengan kata lain,  komunitas muslim Sindu –yang jaraknya sekitar 30 km dari Dangin Seme– dulunya memang spesial  untuk memata-matai Klungkung.
Selain Shindu ada kampung Islam lain yang kala itu mempunyai posisi super spesial,  sehingga nama kampung pun memiliki nama yang mencerminkan posisi dan fungsi yang super spesial.  Kamunitas Kampung Karang Tohpati,  adalah contohnya.  Toh itu artinya mempertaruhkan, sedangkan pati atinya jiwa.   “Kala itu kaum Muslim sebenarnya bukan tinggal di Karang Tohpati, tetapi mereka memang tinggal di lokasi Tohpati di wilayah Bebandem di Saren Jawa. Di situlah ada namanya Tohpati, di situlah dulunya dia tinggal,  untuk menjaga kalau ada musuh. Di lokasi itu Tohpati mempertaruhkan Jiwa”,  jelas H. Hasyim. “Kasus ini sama dengan orang-orang  Subagan yang asalnya dari Sekar Bela.  Sekar artinya kembang,  bela maknanya membela.  Jadi dia suka membela raja sampai  namanya wangi seperti kembang karena membela”.
”Makanya,  di sini orang-orang Hindu yang ndak tahu, terutama anak-anak muda, ngomong macam-macam: Kami penumpang. Kami pendatang. Saya katakan kami ke sini bukan cari kerja, kami datang bukan mengemis, kami datang dibawa dan  dibutuhkan oleh raja. Kami ditempatkan disini, dan (sejarah serta eksistensi) kami diakui oleh raja sampai detik ini”,  tambah H. Hasyim menandaskan dengan maksud meluruskan pemahaman.***


Membaca Akulturasi Muslim – Hindu di Karangasem


Karangasem saya rasakan panas sekali. Matahari memang sedang menyengat.  Tak ada segumpalpun  awan mau menampakkan diri.  Sesekali angin lirih memang berkelebat lewat.  Meski hanya angin sepoi, tapi keberadaannya sedikit membantu  mensirnakan gerah yang acapkali membikin hati saya gundah.
Pak Hasan Bick  saya lihat tetap lincah mengendalikan stir mobil.  Meski tetap konsentrasi,  sesekali ia menjelaskan kampung-kampung muslim yang sempat kami lewati dan atau kami hampiri.  “Wah,  tampaknya pak Hasan paham betul terhadap komunitas-komunitas Islam di Karangasem”,  kataku dalam hati.   Maklum, pak Hasan ternyata seorang asli Karangasem.  “Istri saya yang asli, lahir dan besar,  di Candi Kuning – Bedugul.  Setelah kami menikah,  kami memutuskan tinggal di kampung istri,  menetap di Candi Kuning”,  kata pak Hasan menjelaskan asal usulnya.  Apa yang dikatakan pak Hasan memang ada buktinya. Saya dkk diajak mampir ke rumah adik pak Hasan,  bahkan sempat bertemu dengan kedua orang tuanya.  Itulah bukti yang meyakinkan saya bahwa pak Hasan ternyata memang asli Karangasem.
“Kaum muslim di Karangasem ini,  umumnya keturunan Lombok,  termasuk kami.  Lombok ditaklukkan,  dan kala itu banyak orang Islam di bawa  dipekerjaan oleh kerajaan. Dan sejak itulah komunitas Muslim mulai berkembang di Karangasem”,  ayah pak Hasan bercerita,  meski singkat saja.  Namun,  jika ditelusuri sebenarnya eksistensi umat Islam dan atau Islam telah ada di Karangasem jauh sebelum era penaklukan Lombok.  Jejak Islam di tempat ini misalnya,  dapat ditelusuri dari adanya makam Syekh Yusuf Kembar atau biasa dikenal dengan Kyai Kembar  yang kini terletak di desa Subagan.  Memang tidak ada informasi tertulis tentang keberadaan riwayat Kyai Kembar. Tetapi,  berdasar cerita rakyat, Kyai Kembar ini konon berasal dari Gujarat dan hidup di abad 16.  Dengan demikian berarti keberadaan Kyai Kembar – berarti pula keberadaan muslim–  di Karangasem  sekitar era kerajaan Gelgel. 
Perlu diketahui bahwa Islam yang berkembang di Lombok saat ditaklukkan oleh kerajaan Karangasem masih berupa Islam Wetu Telu. Oleh sebab itu,   keagamaan yang berkembang di Karangasem-Bali pun kala itu memiliki karakter yang sama,  Wetu Telu,  yang masih penuh dengan  mistik dan  sinkretisme: animisme-hinduisme.  Islam Wetu Telu terbangun sebagai efek dari strategi Islamisasi yang dilakukan Raden Mas Pengging, di Dajen Gunung sampai ke selatan.  Hal ini tidak jauh berbeda dari pola Islamisasi yang dibangun Wali Songo lewat seni pewayangan yang bercampur unsur Hindu,  atau bahkan oleh Syekh Siti Jenar yang pada akhirnya berimplikasi pada berkembangnya paham Kejawen.
Konon, di Dajen Gunung tempat disebarkannya Islam oleh Mas Pengging,  adalah masyarakat petani miskin.  Oleh karena itu,  kepada mereka baru diajarkan syahadat, shalat, dan berpuasa. Adapun berzakat dan naik haji sengaja belum diajarkan,  dengan alasan mereka masih miskin: sehingga belum wajib  berzakat  dan belum mampu berhaji. Berzakat dan pergi haji rencananya diajarkan menyusul,  setelah pemahaman terhadap syahadat-sholat-puasa terbangun secara kokoh.  Setelah mengajarkan tiga rukun Islam, Raden Mas Pengging meninggalkan Dajen Gunung menuju Lombok Tengah dan Lombok Timur. Namun,  informasi alternatif menyebutkan,  bahwa pendakwah yang baru mengajarkan tiga rukun Islam itu adalah Sunan Prapen (hidup tahun 1548-1605).  Sunan itu meninggalkan lokasi,  karena memang dipanggil pulang oleh Raden Patah, penguasa Demak,  karena sesuatu alasan (katanya ada sidang para wali).  ”Sunan Prapen tidak kunjung kembali lagi, padahal rukun Islam yang diajarkan baru tiga saja. Itu masalahnya”,  tegas H. Fauzi, tokoh muda dari Kampung Sindu. Mungkin versi pertama yang benar,  atau versi kedua yang justru benar,  namun bisa pula kedua-duanya benar sebab baik Sunan Prapen maupun Mas Pengging sama-sama menjadi penyebar Islam di Lombok.
Konon,  di tengah “kekosongan” lanjutan ajaran itulah, para pimpinan komunitas Lombok Utara (Dajen Gunung) –apapun motivasinya– melakukan interpretasi sendiri terhadap Islam. Mereka menghitung jari,  bahwa:”Setiap manusia memiliki lima jari,  tetapi yang tinggi hanya tiga.  Dari lima rukun Islam, yang dianggap utama —sehingga diajarkan Raden Mas Pengging — juga tiga.  Oleh karena itu, tokoh-tokoh Dajen Gunung memiliki rembetan interpretasi sendiri,  bahwa sholat yang benar pun bukan lima waktu,  melainkan  Wetu Telu,  yakni:  Shalat Iedzul Fitri, Iedzul Adha dan Shalat Jenazah.  Untuk shalat 5 waktu mereka cukup membayar fidyah kepada kyainya. Jadi Kyainya yang menshalatkan (5 waktu), dan dia dibayar sejumlah uang atau barang. Itulah konon asal-usul Islam Wetu Telu,  meskipun seiring perkembangan waktu ada beberapa versi lain lagi .
Logika Wetu Telu ini juga menjadi corak keagamaan komunitas Lombok yang ditempatkan di karangasem kala itu. Karena karakteristiknya yang masih sangat sinkretis animisme- hinduisme,  maka meskipun beda agama,  tetapi eksistensi mereka diterima dengan baik oleh komunitas Hindu lokal. Apalagi kaum Wetu Telu juga percaya dan atau memiliki pura.  “Ada keluarga kami dari Karang Ciremai memiliki kepercayaan seperti itu. Akhirnya bisalah kita dakwahi sehingga  menjadi masuk Islam secara benar.  Setelah berubah kesadaran dari Wetu Telu menjadi Islam yang benar,  pura yang semula ia miliki lantas diberikan kepada seorang Hindu untuk merawatnya. Nah, itulah bapaknya pak Bagiarte  diserahi (pura) karena dia orang hindu dan diberikan tanah 20 are untuk memelihara pure itu. Dia masih ada rasa waswas, kalau pura dibuang begitu saja,  takut kalau tidak diupacarakan.  Jadi (pura itu) masih diupacarakan oleh  pak Bagiarta sama pak Bagiadada. Peninggalan dari yang Wetu Telu tadi”,  cerita H. Hasyim tentang Islam Wetu Telu.  Karena factor pura ini,  H. Hasyim dengan Baghiarta dan bapaknya (seorang tokoh Hindu)  memiliki hubungan istimewa.
Realitas corak Wetu Telu memang menjadi satu sebab pola hubungan yang akrab dengan komunitas Hindu,  baik di Lombok sendiri maupun di Karangasem.  Bahkan,  rakyat muslim Lombok waktu lampau dapat menerima eksistensi penguasa Hindu yang memiliki kultur tidak jauh beda dari mereka, meski agamanya tak sama. Apalagi  komunitas muslim yang di datangkan ke Karangasem mendapat perlakuan istimewa dari raja,  karena mereka pada umumnya dianggap orang-orang bertuah dengan kesaktian yang dimilikinya. Memang,  terutama karena membawahi juga wilayah Lombok yang berpenduduk Muslim raja Karangasem akhirnya mengembangkan kebijakan multikultur dalam arti memperlakukan Islam dan umat Islam secara “terhormat”.  Bahkan,  Raja Karangasem konon mengijinkan Sunan Mas Prapen melakukan pembinaan kepada komunitas Islam di Karangasem (Bali),  termasuk ide mendirikan masjid Ampel, yang berdiri hanya sekitar 500 meter dari Puri Karangasem Masjid tersebut dibangun di atas tanah seluas 4.500 meter  persegi dengan arsitektur serupa dengan masjid Ampel, di Surabaya Jawa Timur.
Oleh karena itu,  secara histories hubungan antara komunitas kampung-kampung kuno Islam di Karangasem dengan kaum Hindu terjalin harmonis. Kalau pun di era kekinian ada sedikit problema,  biasanya terjadi antara anak-anak muda yang mabuk. “Kita sering diundang dalam upacara-upacara manusa nyadnye. Dan kita memang sudah menyampaikan kalau  kami jangan diundang kalau upacara-upacara dewa nyadnye, berupa sembahyangan, karena akan menjadi salah di dalam ajaran Islam. Kalau ada upacara manusa nyadnye seperti kawin, potong gigi umpamanya,  itu kan keduniaan ndak apa-apa”,  jelas H. Hasyim.
“Jika kita mengundang,  mereka juga datang. Saya menikahkan anak sampai 16 orang,  mereka diundang, ndak pernah ndak datang.   Bupati, camat, puri, semua yang saya undang  pasti datang”,   tambah H. Hasyim memperlihatkan  harmoni hubungan antar dua komunitas. Puri dan masyarakat Hindu Karangasem memahami terkait hal-hal sensitive dalam Islam,  termasuk dalam soal makanan.  Ketika mengundang umat Islam,  mereka biasanya mencari tukang masak muslim. Begitu juga, ketika acara dimulai,  pemilik hajat menyiarkan (melalui pembawa acaranya) kepada undangan muslim bahwa tuan rumah sudah menyediakan makanan prasmanan di posisi tertentu yang diolah seorang muslim bernama bapak atau ibu X. “Saya sendiri sering memasakkan di puri Gede. Pedande Gede Tianyar  mengundang orang Islam, dan saya diminta masak.  Saya mohon pak Haji Hasyim supaya menyiapkan piring, segalanya agar tidak dari saya.  Semuanya,  sampe potong kambing disini. Jadi,  sampai demikian”,  jelas H. Hasyim memberi bukti realitas toleransi.
Sejarah toleransi  di Karangasem ini memang tak diajarkan di sekolah. Namun,  tiap tahun puri Karangasem mengadakan  buka puasa bersama,  dengan mengundang semua kampung  Islam.  Karena kini jumlah Kampung Islam sangat banyak, sekitar 50 kampung, akhirnya diundang secara perwakilan: sekitar lima orang dari tiap kampung, ditambah dari kalangan hindunya. Dalam moment seperti inilah  antar komunitas bisa bertemu, bisa saling menyampaikan informasi dan permasalahan.  “Saya sudah tiga kali diminta memberi tausiah ceramah buka puasa semacam ini”,  kata H. Hasyim lagi.
Dalam acara seperti ini,  tema yang diangkat adalah seputar: mencari persamaan agama dalam konteks hablum minannas (hubungan sosial), yang dalam agama hindu terformulasi dalam Trihitakarana.  Dalam Islam misalnya,  ada ajaran: Segala sesuatu dimulai dengan niat (Innamal a’malu binniyat). Didalam hindu juga ada, yakni:  apa yang dikatakan oleh hati itulah yang dikerjakan. Berbagai realitas persamaan itu yang digali,  dan bukan mencari-cari perbedaan yang dapat mempertentangkan. Tokoh-tokoh Islam (termasuk H. Hasyim) di Karangasem tentu tetap meyakini:  bahwa antar agama tidak ada yang sama,  tetapi tidak otomatis harus membentrokkannya dengan cara mengeksploitasi perbedaan dan pertentangan. Melalui cara inilah,  problema-problema yang dihadapi umat Islam Karangasem dalam konteks posisi minoritasnya terkadang dapat terpecahkan. Ketika ada masalah, komunitas Islam biasanya berinisiatif mengadakan silaturahim  yang dalam bahasa Hindunya sime krame,  dengan mengundang banyak tokoh dari kedua belah pihak.
Terkait arti penting komunikasi untuk menjembatani perbedaan dan mencegah perpecahan, tokoh Islam Karangasem, H. Hasyim memiliki beberapa pengalaman. ”Saya pernah diundang datang ke Denpasar untuk memberikan ceramah khusus pada orang hindu yang melarang mendirikan mesjid, padahal kita sudah beli tanah segala.  Saya cerita tentang masalah Menyama Braya, bahwa : sesungguhnya kita ini bersaudara meski beda agama. Dalam Hindu kita disebut Me Semeton.  Dalam Al Quran juga disebutkan manusia itu pada dasarnya berasal dari satu kemudian dijadikan bersuku dan berbangsa. Ketika komunitas tertentu sudah banyak : Allah menurunkan seorang nabi untuk memberi kabar gembira dan memberikan peringatan kalau mereka melenceng.  Tapi, intinya manusia itu asalnya satu. Ini sama dengan ajaran Hindu,   seperti dalam konsep Me Semeton. Me itu awalan, Se itu satu, metu/meton itu keluar, Wan itu tempat keluar. Jadi satu tempat keluar. Dalam konteks ini,  manusia pada dasarnya sama : dari sana juga.  Biar dia Brahmana, anak agung, raja, raden,  toh semua tetep dari sana. Nah ,  setelah kita kupas akhirnya  diberikan ijin mendirikan mesjid.  Di Denpasar dan Jembrana, itu. Yang mendengarkan ceramah saya bupati, ketua kerukunan antar umat agama, juga ada ribuan yang dengar”.
Hubungan harmonis antar umat ini memang sempat terkendala,  terutama awal pasca bom Bali.  Kala itu muncul “pemboikatan” ekonomi terhadap orang Islam,  apapun etnisnya.  Bakso Pakraman  dan logika Ajeg Bali merupakan realisasi dari pemboikatan itu.  Namun,  dalam perkembangan waktu orang-orang hindu sendiri yang justru merasa keberatan. Ada dua hal kenapa fenomena aneh ini terjadi: Pertama,  mereka sehari-hari memiliki hubungan harmonis dengan kaum muslim,  sehingga perilaku beberapa orang muslim yang keliru, akibatnya tak pantas ditimpakan kepada semua komunitas Muslim Bali.  Kedua, akibat pemboikotan, kaum Hindu juga mengalami kesulitan. Berbagai kebutuhan sehari-hari yang biasa mereka dapatkan dari orang Islam,  dengan pemboikatan mereka sulit mendapatkan gantinya.  Kaum Hindu mau beli bayam atau kebutuhan makan lain kesulitan, karena yang jual orang Lombok, orang Jawa. “Aturan apa ini ?, sing ade nyiwe, sampe jadi ga ada yang nyewa saya punya rumah ini. Gara-gara ini, apalah ini”,  begitulah ungkapan yang muncul dari kalangan Hindu sendiri.   Disharmoni semacam itu berlangsung kira-kira hanya dua tahun,  terutama di Denpasar dan ada pengaruhnya sampai Gianyar. ****


Dangin Sema, Kecicang, dan Saren Jawa : Kampung Lama Islam di Karangasem – Bali

Adalah H. Hasyim, pria sepuh berusia 78 yang sampai kini memiliki kepedulian luar biasa terhadap toleransi dan harmonisasi hubungan antar umat di Karangasem khususnya dan Bali pada umumnya. Dari kakek yang telah memiliki 38 cucu dan 13 cicit inilah saya dan teman-teman mendapatkan banyak sekali informasi tentang apa dan bagaimana muslim dan Islam,  bukan saja di Karangasem tetapi juga di Bali pada umumnya.
Lelaki beranak 16 dari tiga istri ini  mampu membaca lontar sebagai sumber kultural dari kaum Hindu Bali.  Beliau memiliki banyak koleksi lontar, beberapa diantaranya malah sempat dibaca di hadapan saya dkk.  Bahkan,  teman saya, mas Hamdan dan Indri sempat memotret beberapa. Lontar-lontar itu sebagian berbahasa Bali sebagian lagi berbahasa Jawa Kawi.  ”Kakek saya dahulu seorang pujangga.  Dan saya disuruh belajar lontar oleh bapak saya.  Tujuan saya adalah untuk menjembatani pengertian antara kaum Hindu dan Muslim,  melalui sumber-sumber historis ini”,  kata H. Hasyim.   Pria mantan ketua MUI Karangasem ini tinggal di salah satu kampung kuno komunitas Islam peninggalan generasi pertama Muslim Lombok. Kampung Dangin Sema,  itulah tempat tinggal kakek tua tapi masih jauh dari kesan renta.
Dangin berasal dari bahasa Bali, artinya timur.  Sedangkan Sema artinya kuburan.  Lokasi ini dahulunya memang kuburan, tempat orang-orang di hukum mati oleh raja. Setiap orang yang dihukum mati di lokasi ini kepalanya dipenggal. Karena itu,  tidak ada yang berani tinggal di lokasi yang dianggap simbit, angker ini.  ”Kakek moyang saya yang namanya Raden Nangglung Baye, yang mau tinggal di sini.  Dia berkata pada raja:  Ya tuanku,  kalau tidak ada yang berani tinggal di sini biarlah saya  yang  tinggal di sini”,  jelas H. Hasyim menceritakan leluhurnya yang berasal dari Lombok.  H. Hasyim adalah generasi ke delapan, sedangkan dia telah memiliki buyut.  Berarti sampai di tahun 2010 setidaknya muslim Lombok yang tinggal di Karangasem sudah pada generasi kesebelas.
Hal yang unik dari kampung Dangin Seme,   termasuk kampung kuno Islam lainnya,  setiap generasi kepadanya diajarkan garis silsilah leluhur,  sebagai wujud ”kebanggaan” bahwa mereka merupakan keturunan orang-orang bertuah yang keberadaanya di Bali bukan datang (untuk mencari penghidupan) tetapi sengaja di datangkan oleh Raja Karangasem, karena kehebatan mereka memang dibutuhkan. ”Saya diajari bapak saya, bapak saya diajar oleh kakek saya,  begitu seterusnya  untuk menghafal keturunan. Seperti orang Arab kalau ndak hafal sampai 21 keturunan kan ndak diakui. Nama saya Hasyim, orang tua saya Ahmad, makanya Hasyim bin Ahmad, bin H. Tahir, bin Ratnimah, bin Arkane, bin Arkani, bin Artine, bin Nanglung Baye”,  jelas H. Hasyim dengan nada bangga.
Kampung kuno Dangin Seme ini dihuni sekitar 400 KK. Mata pencahariannya dahulu 80 persen adalah penjahit.  namun di era sekarang,  bermacam profesi.  Khusus untuk PNS, terhitung sangat sedikit.  Dari 400 KK yang ada,  jika dikalkulasi secara umum, bahwa satu KK terdiri dari seorang ayah, ibu,  dan dua orang anak maka total penduduknya bisa sekitar 1.600 ribu Jiwa.  Tetapi angka itu sebenarnya hanya kalkulasi minimal,  sebab pada kenyataannya setiap KK memiliki lebih dari dua putra. Bahkan,  H. Hasyim sendiri memilik 16 anak. Dari 16 anak melahirkan 38 cucu, yang berarti rata-ratanya melampaui angka dua.
Satu hal yang menarik perhatian saya selama menuju dan atau menyusuri kampung Dangin Seme ini adalah banyaknya masjid yang berhasil kami temui. Bahkan,  tepat di depan rumah H. Hasyim terdapat masjid yang luar biasa megahnya,  tentu saja untuk ukuran Bali.  Hal ini tentu saja sempat kami tanyakan:  “Pak Hasyim,  disini begitu banyak mesjid. Apa itu tradisi dari Lombok  yang terkenal dengan pulau seribu menara ?
“Ah,  itu yang mau saya ceritakan”, jawab H. Hasyim tangkas.   “Dahulu,  para leluhur kampung muslim ketika awal datang di Karangasem melihat bahwa di setiap rumah ada sangga kecil. Berikutnya, di setiap kampung ada dadya  (pura) yang  besar.  Realitas ini menumbuhkan ghirah alias semangat dari para leluhur muslim Karangasem untuk memperlihatkan identitas aslinya,  agar keberadaan mereka juga mendapat perhatian dari lingkungannya. Walhasil,  walaupun komunitas muslim di setiap kampung kecil saja jumlahnya,  tetapi mereka tetap membangun musholla. Bahkan,  kala itu meski hanya ada lima orang muslim saja,  mereka membikin mushola.  Apalagi,  musholla akhirnya tidak hanya berfungsi untuk shalat saja, tetapi dimanfaatkan untuk silaturrahmi membahas berbagai persoalan secara bersama. Awalnya begitu. Akhirnya setiap kampung ada mushola. Sekarang di Karang Asem ada 60 an”,  tandas  H. Hasyim.  Padahal umat Islam di Karangasem angkanya tidak lebih dari 16.000,   yang hidup secara terpecah-pecah dalam sekitar 50 komunitas.  Dan di setiap kampung hampir pasti dibangun sebuah mushola.
Di Dangin Sema di era sekarang corak keislamannya sudah jauh terpisahkan dari kultur Wetu Telu.  Dapat dikatakan,  meski generasi pertama ada pengaruh Wetu Telu,  tetapi di era kekinian pengaruh itu dapat dikatakan telah terkikis habis. Bahkan,  kultur yang terbangun tampaknya tidak lagi tersekat oleh isu khilafiah,  melainkan semua umat menempatkan diri sebagai orang Islam.  Tak ada NU atau Muhammadiah,  sebagaimana masih tampak dalam komunitas muslim di Sudihati-Kintamini, Kabupaten Bangli. ”(Antar aliran) ndak ada apa-apa. Kita sama-sama Jum’atan. Di sini sudah ndak ada NU –  Muhammadiyah. Siapa yang mau baca qunut,  dia tetep di sini. Jadi ndak ada masalah. Kalau (taraweh) di mesjid kebanyakan 11 rakaat. Tapi ada juga yang 23 rakaat”,  kata H. Hasyim.
Di Dangin Seme dan Karangasem pada umumnya,  pembinaan umat Islam dilakukan oleh masjid-masjid. Di setiap mesjid, setiap ba’da asyar ada yang membacakan satu dua hadits. Selain itu ada pula yang mengadakan pengajian bulanan. Juga ada yang mengajarkan kultum alias kuliah tujuh menit setiap habis maghrib.  Di Karangasem,  termasuk Kampung Dangin Seme juga telah memiliki banyak taman kanak-kanak Islam, taman baca alqur’an alias TPA dan TK Islam, baik yang TK Muhammadiyah maupun  TK NU.
Selain Dangin Sema,   kampung Kecicang juga patut untuk diceritakan eksistensinya.  Sebab,  pertama,  baik Kecicang maupun Dangin Sema sama-sama perwujudan dari kampung kuno Islam di Karangasem.  Kedua,  keduanya saat ini merupakan sentra komunitas Islam terbesar di perkotaan. Asal usul cerita berawal dari salah seorang muslim bertuah asal Lombok yang didatangkan raja Karangasem,  yang bernama Balok Sakti yang memiliki nama asli K.H. Abdul Rahman.  Sampai di Karangasem,  Balok Sakti ditugaskan menjaga perbatasan di wilayah  Karang Tohpati,  tetapnya di perbatsan kecamatan Bebandem dan Selat.  Balok Sakti ini mengambil istri seorang wanita muallaf dari Sibetan dan dikarunia dua orang anak, namun meninggal semua.  Balok Sakti lantas menikah lagi dengan wanita muallaf dari Karang Telu serta mendapatkan 11 orang keturunan.  “Dari kesebelas anak ini beranak pinak yang lantas membentuk kantong-kantong muslim di Karangasem,  seperti Kecicang Islam, Karang Tohpati,  hingga ke Buitan”,  jelas Kasi Urais Depag Kabupaten Karangasem.
Tidak semua komunitas Islam “tua” di Karangasem berasal dari Lombok,  tetapi ada pula yang berasal dari Jawa,  seperti Kampung Saren Jawa. Kisah Saren Jawa ini bermula dari seorang  muslim utusan raja Mataram bernama Raden Kyai Jalil. Ketika  berada di Karangasem,  kebetulan ada seekor sapi  besar (wadak) mengamuk membuat kekacauan kesana-kemari di wilayah Karangasem.  Konon, Kyai Jalil yang berhasil membunuh wadak di lokasi yang bernama Sare (Tidur).  Atas jasanya itu,  wilayah Sare akhirnya dihadiahkan kepada Kyai Kholil sebagai tanah pelungguhan.  Dia kemudian menetap serta beranak cucu di wilayah Sare,  yang karena penghuninya berasal dari Jawa,  maka akhirnya dikenal sebagai Saren Jawa.  Saren Jawa inilah yang di era kekinian telah menjadi salah satu sentra komunitas Muslim disamping Dangin Seme. Di Saren Jawa terdapat sebuah masjid tertua yang disebut santreng oleh warga setempat,  yang dahulu bentuknya konon menyerupai pura dengan meru puncak pitu.  Kini,  santreng yang diberi nama Fathul Jalil ini,  tidak lagi difungsikan.
Selain Lombok dan Jawa,  ada pula komunitas kuno Islam yang berasal dari  pedagang dan hasil pengungsian dari Bugis-Makasar menyusul kekalahan kerajaan Gowa oleh Belanda. Salah satu komunitas ini ada di desa Bungaya Timur, kecamatan Bebandem.  Di tempat itu bahkan ada bukti arkeologis berupa makam perintis Islam bernama Habib Ali bin Zainal Abidin Alaidrus yang berasal dari Sulawesi.  Makam ini berdampingan dengan pemakaman umat Hindu setempat,  sekaligus sebagai bukti telah adanya toleransi Islam-Hindu sejak dahulu.
Sejarah kampung-kampung Islam di Karangasem memang telah lama usianya.  Tapi tak ada satu pun sekolah yang memiliki Kurikulum khusus membahas sejarah ini.  Akibatnya,  baik dari kalangan Islam maupun Hindu di Karangasem banyak yang tidak tahu tentang asal usul Muslim dan sejarah akulturasi yang harmonis antara dua komunitas.  Di kalangan generasi muda Islam,  sejarah Islam Karangasem atau Bali pada khususnya,  menurut H. Hasyim,  biasanya disebarluaskan melalui  ceramah-ceramah dalam berbagai acara bahkan termasuk acara perkawinan. “Kalau kawinan saya pake bahasa Bali Kromo Inggil, sehingga umat Hindu pun lain penerimaannya,  dan menganggap bapak Hasyim (yang muslim) ini adalah orang Bali asli.  Sesungguhnya kami sudah 8 turunan,  sehingga  kami bukan Lombok lagi.  Bagaimana saya bilang saya orang Lombok ?,  padahal bahasa yang saya kuasai bahasa Bali  ?”,   tandas H. Hasyim. Problemnya,  dewasa ini jarang sekali anak-anak muda Muslim –bahkan juga kaum muda Hindu– yang mampu berbahasa Bali halus (kromo Inggil), padahal bahasa itu menjadi salah satu sarana penghubung emosional antara umat Islam dan Hindu di Bali.
Singkat kata,  penguasaan bahasa  Bali halus saat ini sebenarnya menjadi tantangan bagi generasi muda muslim Bali.  Dengan memakai bahasa Bali kromo Inggil  penerimaan umat Hindu atas orang-orang  Islam akan jauh lebih positif.  Apalagi ditambah dengan penguasaan kultural dan sejarah,  bahkan meskipun sejarah kedatangan Islam lengkap dengan pola hubungan muslim – puri, tentu akan membangun penerimaan bahkan penghormatan dari komunitas Hindu.   Hal semacam ini sering dialami H. Hasyim sendiri.  ”Saya bicara di Denpasar,  kurang lebih 450 pendengarnya. Ceramah  saya tentang Bali, sejarah dan kultur Bali. Di Bali kalau tidak kenal Bali dan tidak tahu Bali ndak akan sukses, atau  malah akan dibenci”,  jelas H. Hasyim.  ”Mereka malah heran, kok pak Haji lebih tahu (tentang Bali). Saya ngomong melebihi (waktu),  saya mohon maaf pada panitia karena bicara melebihi ketentuan (waktu).  Tetapi orang-orang Hindu justru bica: Terus pak, terus pak. Saya bertanya: Bagaimana pak panitia ? Akhirnya ditambah 10 menit”.  Pengalaman-pengalaman H. Hasyim ini memberi bukti bahwa bahasa dan pemahaman kultural ternyata dapat membuka pintu penerimaan,  ternyata dapat mempererat tali persaudaraan.
Di kampung Dangin Seme memiliki peninggalan kesenian yang dibawa leluhur dari Lombok, yang sampai kini masih bisa dinikmati bukan saja oleh komunitas Islam tetapi juga kaum Hindu.  Yaitu kesenian Rebana.  Rabbana tetapi lagunya lagu angklung,  perpaduan lagu Islam dan Bali.  Kesenian itu,  di Karangasem biasa dimainkan untuk menghibur dalam acara perkawinan.  Sedangkan, di Kampung Kecicang dan Kampung Sindu  kesenian yang masih hidup adalah rudat. Dahulu kesenian rudat ada pula di Dangin Seme,  tetapi dewasa ini sudah tidak ada. Kesenian itu menghilang sejak  generasi keenam.  « Disini ndak ada (ruddat). Dulu ada,  tapi setelah kakek saya sudah tidak ada »,  jelas H. Hasyim nadanya mencerminkan penyesalan.
Khusus Magibung,  tradisi ini masih bisa ditemui baik di Kampung Dangin Seme,  maupun di Kampung Kecicang.  Tradisi makan bersama ini juga masih bisa ditemukan di Gelgel,  sebagai cikal bakal komunitas muslim tertua di tanah Bali.  « Memang asalnya Tradisi ini lahir dan berkembang di kalangan Hindu.   Magibung itu makan berhadapan. Orang hindu magibung itu, bekas nasinya, bekas suapnya, ndak boleh dibawa (ke nampan lagi, tetapi) harus dibuang”,  jelas H. Hasyim dengan mengibas-ngibaskan tangan kanan ke samping, sebagai tanda mempraktekkan apa yang ia ucapkan. ”Makanya, di sampingnya (orang-orang) banyak nasi dibuang. Kalau (yang nempel di tangan dimasukkan lagi) diketahui,  bisa perang saudara. Karena disebut carekan, disebut sisa,   sehingga  ndak boleh dibawa kesini lagi. Jadi tangan harus bersih”,  jelas H. Hasyim,  lengkap sekali infonya. Menurut H. Hasyim, Magibung seperti itu biasanya terjadi intra umat. Artinya Magigung antara muslim –  hindu tidak pernah ada, khususnya di Kampung Dangin Seme. ***


Kampung Muslim Sindu Sidemen, Karangasem

Pada tulisan sebelumnya telah saya uraikan bahwa seiring dengan penaklukan Lombok oleh kerajaan Karangasem,  raja mengambil orang-orang bertuah di Lombok untuk ditempatkan sebagai pasukan pertahanan di berbagai wilayah Karangasem.  Ada yang ditempatkan mengelilingi Puri Kanginan seperti Kampung Dangin Seme, Kampung Bangras, namun ada yang ditempatkan untuk mematai-matai dan atau menjaga wilayah perbatasan seperti Segar Katon, Ujung Pesisi, Kebulak Kesasak, Bukit Tabuan,  Saren Jawa, Kecicang,  serta di Kampung Sindu.
Pada tulisan ini saya ingin menjelaskan tentang apa dan bagaiman sejarah dan eksistensi kampung Islam ini, salah satu dari sekian kampung lama Islam yang sempat saya kunjungi. Ceritanya dimulai, ketika raja Karangasem mengalahkan kerajaan Selaparang,  Lombok, dimana raja Karangasem akhirnya membawa orang-orang sakti Selaparang untuk dijadikan “beteng” kerajaan Karangasem. Sebagian dari mereka di tempatkan di wilayah Sindu-Buu-Tegal,  termasuk yang ada di Kecicang, dan di Ujung,  yang bukti sejarahnya dapat ditelusuri misalnya dari adanya makam-makam kuno di daerah-daerah ini.
Mereka yang ditempatkan di Kampung Sindu, Kampung Bueu, dan Kampung Pidade semula hanya tiga orang,  tanpa istri,  sehingga mereka akhirnya mengambil istri dari lokasi.  Keturunan dari ketiga pasang keluarga itulah itulah yang menjadi cikal bakal komunitas  muslim Sindhu Sidemen. Tanah yang diberikan kepada mereka berasal dari Griya Sindu (Brahmana),  bukan hadiah dari Puri. Kenapa yang memberi Griya dan bukan Puri ? Alasannya, kala itu memang Griya yang memiliki tanah lokasi. Karena itu puri Karangasem lantas kirim surat ke Ida Prada Gede di griya.  Pada saat itu siapapun yang memiliki tanah melebihi aturan yang ditentukan, dimintakan oleh raja untuk sebagian diberikan kepada “kaum muslim”  yang sengaja didatangkan tadi. “Akhirnya,  di kasihlah tanah di kampung sini. Dan itupun tiga orang yang ngasih, yakni dari Griya Sindu, Griya Buu, dan Griya Tegal –kini masuk wilayah Sindu Sidemen– yang masing-masing diberikan kepada satu orang asal Lombok”, jelas  H. Fauzi, Tokoh Muslim Kp. Sindu Sidemen, Karangasem.
Karena itu,  meski Puri yang membawa mereka ke Bali,  tetapi penghormatan kepada Griya juga terbangun,  mengingat mereka yang memberikan tanah. Apalagi dalam keseharian akhirnya tiga orang muslim tadi ngayah ke griya. “Ngayah artinya tiap hari “membantu/beraktivitas” di Griya,  dan kebutuhan sehari-hari termasuk makan juga ditanggung Griya. Ngayah bukan berarti bekerja di griya, sebab tugas utama orang-orang bertuah tadi adalah membentengi Karangasem.  “Nongkrong saja,  tidak ngapa-ngapain juga bisa, karena makan sudah dari griya. Namun, mereka tampaknya ingin memiliki aktivitas lain,  sehingga mereka akhirnya juga menggarap tanah dari Griya”.
Orang Griya yang semua kaya,  juga bersikap sama alias tanpa perhitungan dalam soal materi.  Semula kepada orang Islam diberi tanah di Bueu,  tapi setelah berketurunan ditambah lagi di Sindu,  dan belakangan melebar ke Pidade. Oleh karena itulah, hubungan Muslim – Griya menjadi sangat dekat. Kalau di griya ada upacara, umat Islam diundang.  Umat Islam dikasih dikasih mentahnya, lalu mereka memasak sendiri untuk memastikan kehalalan hidangan.
Dari tiga pasang keluarga akhirnya berkembang menjadi 12 KK. Satu anak bernama Kupi Winarse (Datuk Winarse) tetap tinggal di Sindu Sidemen menjadi cikal bakal komunitas di kampung tersebut. Selain itu ada pula Kupi Parti yang akhirnya oleh raja Karangasem dikirim  ke Bedugul (sekarang masuk kabupaten Tabanan) dengan tujuan untuk memata-matai kerajaan Mengwi. Mereka babat hutan Bedugul serta menjadi cikal bakal komunitas Islam di sana.  Anak yang lain ada yang dikirim ke Kampung Kramas (sekarang masuk kabupaten Gianyar) juga untuk tugas yang sama. Makanya,   ketika gunung Agung meletus di Karangasem tahun 1970 an,   banyak orang Sindu Sidemen mengungsi ke Bedugul dan  keKeramas,  karena di kedua kampung itu mereka memiliki hubungan kekerabatan.
Ditinjau dari garis ibu,  komunitas Sindu Sidemen semua sebagai keturunan wanita Hindu lokal.  Oleh karena itu dapat dipahami jika toleransi antar komunitas keagamaan (terutama dengan Griya) di wilayah itu sangat luar biasa, akibat adanya jalinan genealogis tadi. “Termasuk datuk saya (baca: Datuk Nuruddin) ngawini wanita Hindu juga. Makanya kita punya sepupu di Hindu,  di Brahmana”,  tandas H. Fauzi.
Rumah kaum Griya kala itu umumnya berpagar tembok tinggi.  Anak gadis pedanda pun sangat terhormat, tidak boleh pergi sendirian, bahkan mandi pun harus dikawal. Di kalangan Griya ada kepercayaan,  ketika seorang anak gadis/perawan keluar rumah sendirian –dengan alasan apapun–,  dia dianggap terbuang. Tetapi,  sebagai orang tua para pedanda tadi tentu tetap memperhatikan nasib anak gadisnya yang terbuang tadi.  Mereka berpandangan,  lebih baik menikahkan anak gadisnya yang terusir tadi kepada kaum Muslim dibandingkan membiarkan merana apalagi kawin dengan kaum Sudra. Sebab,  mereka  mengakui agama yang suci,  istilah yang dirujukkan pada agama Islam. Oleh karena itu,  terhadap anak gadis terbuang ini,  bapaknya biasanya  membuat “rekayasa” agar mereka dikawini kaum muslim saja dengan cara “mengarahkan” mereka menuju kampung (Islam). Bahkan, untuk tujuan itu biasanya semua keperluan perkawinan ditanggung pihak Griya. “Kan malu kalau anaknya terbuang tak ada yang mengawini”,  kata H. Fauzi lagi. Walhasil, kawin mawin Islam – Hindu (keturunan Griya) cukup banyak kejadiannya.
Sampai kini kawin lintas komunitas ini juga terjadi,  hanya sebab dan prosesnya yang berbeda.  Umumnya,  dengan cara: pihak pria muslim membiarkan wanita Hindu (yang lagi jatuh cinta) yang datang ke kampung Islam.  Dengan cara itu,  maka pria Islam dan kampung Islam tidak melakukan kesalahan adat, sebab yang datang adalah pihak wanita Hindu.  “Kalau putrinya datang kesini biarkan. Kalau dia  minta kawin, tinggalkan dia sini, biarkan. Ndak salah kita”,  kata H. Fauzi.  Berikutnya, pihak pria datang ke keluarga wanita di desa adat,  memberi tahu soal anak gadisnya. “Kalau ke Griya ngomongnya harus dengan bahasa Bali asli, apalagi Bali halus. Dengan cara itu, biasanya berjalan lancar tanpa persoalan”.  Sampai kini komunitas Kampung Sindu Sidemen memang fasih berbahasa Bali halus,  termasuk anak-anak mudanya. Oleh karena itu,  keberadaan mereka oleh kaum Hindu diakui sebagai orang Bali (asli).  Biasanya,  kalau sudah ada sinyal positif dari  pihak wanita (Hindu),  proses pengislamannya langsung oleh MUI. Kaum mualaf  ini berikutnya dibina di Kampung Lebah,  Klungkung.  Namun,  setelah ada Yayasan Annisa,  mereka cukup dibina di tempat ini.  Pengajian ibu-ibu Annisa,  sebenarnya dilakukan sebulan sekali,  tetapi khusus untuk pembinaan muallaf bisa dilakukan pertemuan tiap hari, sesuai kebutuhan.
Proses perkawinan yang terjadi umumnya tidak menimbulkan persoalan.  Bahkan,  karena banyaknya jalinan genealogis tadi akhirnya membangun sikap toleransi bahkan harmoni. Mereka saling saling undang di acara pernikahan,  atau bahkan kematian. Intinya,  saling datang mendatangi.  Harmoni tersebut terbangun berdasar kesadaran masing-masing pihak. Ketika nyepi misalnya,  lampu di rumah-rumah orang Islam tetep nyala,  tetapi azan di masjid otomatis tidak memakai pengeras suara.  Ketika nyepi bersamaan dengan hari jum’at misalnya,  biasanya pecalang yang justru mengantar umat Islam yang ingin jum’atan. “Kampung Buu kan disini (baca: di Sindu) jum’atannya, sekitar satu setengah kilo jaraknya. Dijemput. Dikawal.  Itu bagusnya. Kalau deket-dekat mesjid masih jum’atan. Ada acara apapun pecalang sangat membantu.  Kasih minum saja. Mereka kalau kasih uang gak mau. Karena sudah merasa pecalang kita (juga).  Sebab, di sini kan kalau ada orang meninggal kita pasti kesana. Kerukunan”,  jelas H. Fauzi.
Harmoni juga terlihat dalam acara hari besar Islam. Ketika Idul Fitri umat Islam biasa melakukan takbir keliling. Ketika Maulid nabi  umat Islam juga melakukan pawai,  dengan arak-arakan rudat dan  hadrah. Beda antara hadrah dan rudat adalah: Kalau hadrah memakai rebana,  sedangkan rudat memakai gendang besar. Kesenian rudat dan hadrah ini memang pernah berhenti,  karena Muhammadiyah pernah mem bid’ahkan. Namun,  sekarang kesenian ini muncul kembali, bahkan akhirnya dilombakan. Rudat di Sindu Sidemen menceritakan sesuatu dengan bahasa hikayat,  dengan cara dilagukan. Pakai lampahan, pakai tari-tarian. Intinya berupa tari-tarian, ada nyanyiannya yang berbahasa  Arab tetapi kebanyakan sudah berbahasa Indonesia. Secara substansi menceritakan Sejarah Hasan dan Husen dalam pertempurannya melawan Yazid, yang ditampilkan dengan iringan rebana. Rudat di Sindu oleh H. Fauzi disebut sebagai kesenian dari Lombok, meski sampai di Sindu lantas dirubah-rubah namun tetap mempertahankan nilai sejarah, yakni: kisah Hasan dan Husen. Mode busananya semula diadop dari Istambul lengkap dengan memakai pedang.  Namun,  di era sekarang pedang tidak lagi digunakan.
Pada setiap pawai takbiran dan maulid Nabi orang-orang Hindu ikut menikmati. “Kalau ndak keliling, marah mereka.  Gak ngundang , marah mereka.  Jadi,  Harus (diarak) kesana. Mereka yang akhirnya jaga jalan,  biar (arakan) sampai selesai itu. Malahan peserta dikasih aqua, minuman. Hanya Idul Fitri sama maulid nabi. Hanya dua itu. “,   jelas H.  Fauzi.
Bahkan,  untuk subak saja kampung Islam Sindu Sidemen tidak dikenai biaya aliat gratis,  bukan saja untuk keperluan masjid,  tetapi juga untuk pengairan sawah.  Memang,  dulu ada inisiatif dari kalangan Hindu agar komunitas dimintai sumbangan adat,  mengingat mereka berada di wilayah desa adat puseh. Berarti  tiap ada acara di puseh, setiap KK muslim juga terkena iuran. Namun,  inisiatif itu tampaknya tidak diteruskan,  sebab H. Fauzi yang kala itu hadir dalam rapat mewakili komunitas Islam juga mengajukan permintaan sebaliknya.Artinya, pada setiap acara hari besar Islam,  setiap KK Hindu ganti memberikan sumbangan.  Padahal,  jumlah warga Hindu jauh lebih besar  (ada 18 banjar dan sekian ratus KK),  oleh karena itu logikanya jumlah sumbangan yang akan diberikan warga Hindu kepada kegiatan umat Islam jauh lebih besar dibanding jumlah sumbangan warga muslim (yang hanya 190 KK) yang akan diberikan pada acara adat Hindu di Pure. “Mungkin karena kalkulasi untung rugi,  maka ide ini akhirnya tidak pernah ditindaklanjuti”,  kenang H. Fauzi.
Memang,  sesekali terjadi konflik kecil,  tetapi umumnya  karena pemuda minum. “Biasanya,  antara mereka yang minum kita ajak keluar kampung, lantas kita adu sekalian: silahkan berkelahi di luar.  Akhirnya mereka tidak jadi berkelahi”,  kata H. Fauzi yang menjadi ustadz di Yayasan La Roiba, Klungkung.  Bahkan, peristiwa bom Bali pun pengaruhnya tidak mampu merasuk ke tempat ini.
Komunitas Islam kampung Sindu saat ini kebanyakan berprofesi sebagai pedagang. Dagang tahu, tempe, atau apapun  dagangan bahan pangan.  Ada pula yang berdagang kain, ayam,  bahkan dagang sapi.  Mereka umumnya berdagang di pasar-pasar Sidemen, di Pecangkram, dan pasar-pasar lain.  Tradisi berdagang ini sudah berlangsung ratusan tahun sejak terbangunnya komunitas Islam di kampung itu. “Sudah 450 tahun. Tapi memang betul-betul orang sakti para orang tua dulu. Buktinya waktu mau jualan, mereka dirampok, dibacok tembus tapi nggak berdarah.  Makanya perampok-perampok akhirnya gak berani. Itulah saktinya orang dulu”,  terang H. Fauzi dengan nada bangga.
Saat ini,  banyak warga kampung Islam Sindu memiliki sawah.  Namun demikian,  untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka tetap beraktivitas sebagai dagang, profesi keturunan. Oleh karena itu,  umumnya penggarap sawah milik kaum muslim Sindu justru dari kalangan Hindu. “Kita tetep dagang. Tanah kita diolah orang hindu.  Artinya terbalik lah (baca: dibanding era dahulu”,  kata H. Fauzi mengakhiri penjelasannya.
Di Kampung Islam Sindu terdapat sebuah masjid kuno, yang dibangun di era generasi pertama Muslim.  Sayang sekali,  sama dengan hampir di semua masjid kuno di kabupaten lain di seluruh Bali,  masjid Sindu pun bangunannya sudah tidak lagi memiliki sisa-sisa kelampauan.  Fisik bangunan,  semuanya  sudah merupakan bangunan baru sama sekali.  Hanya tempat wudlu saja yang masih memperlihatkan nuansa era lama,  tapi itupun dibangun sudah di era tahun 1970an, dan bukan peninggalan leluhur kaum Sindhu.
Satu-satu yang tidak berubah dari lingkungan masjid kuno itu adalah air wudlu yang terus menggelontor tanpa henti,  karena air disuplai dari subak secara gratis tanpa bayar sama sekali. Sebab, pada dasarnya air subak tidak berkurang,  tetapi hanya mampir sejenak ke masjid,  lantas dialirkan kembali.  Sebelum meninggalkan kampung Islam Sindu, saya menyempatkan diri mengambil air wudlu dari tempat ini.  Nyess… dingin sekali,  bahkan rasa sejuknya menjalar sampai ke ulu hati. Subhanallah.***
DHURORUDIN MASHAD


------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/15/asal-usul-kampung-muslim-di-kabupaten-karangasem-bali-tulisan-7/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/25/membaca-akulturasi-muslim-hindu-di-karangasem-bali-tulisan-8/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/05/05/dangin-sema-kecicang-dan-saren-jawa-kampung-lama-islam-di-karangasem-bali-tulisan-9/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/05/15/silaturrahmi-ke-kampung-muslim-sindu-sidemen-karangasem-bali-tulisan-10/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar