Rabu, 30 Juli 2014

MJIB - 33. Mengenal Kampung Muslim Candi Kuning di Baturiti, Tabanan – Bali


________________________
Oleh Dhurorudin Mashad




Pagi hari.  Udara terasa dingin.  Mentari  masih belum bisa menampakkan diri.  Maklum,  beberapa hari ini bumi Tabanan diguyur hujan.  Setelah dua hari menyusuri kantong-kantong komunitas Muslim Tabanan kota, esuk harinya saya dkk diantar pak Hasan Bick  ke komunitas Muslim Candi Kuning, Bedugul.  ”Sekalian nengok anak istri, pak”,  kata pak Hasan girang.  Maklum,  Candi Kuning memang tempat tinggal keseharian  pak Hasan.

Masjid Al-Hidayah Bedugul Candikuning Tabanan Bali
Saya sendiri juga sangat girang menuju wilayah Baturiti.  Sebab,  saya langsung membayangkan  keindahan lokasi,  yang di tahun sebelumnya memang sudah sempat saya singgahi. Bedugul alias Baturiti  memang elok panoramanya. Posisinya ada di pegunungan. Namun,  kontras dengan ketinggian tempat ini,  di dalamnya menyimpan pesona dua danau yang sedemikian genit di pandang mata.  Di Baturiti ada pula air terjun dengan lokasi masih perawanan ting ting. Hups…  yang tak kalah penting,  tempat ini juga menyimpan sebuah kebun raya yang luar biasa: Kebun Raya Purwodadi yang dimiliki LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).  Singkat kata, setiap lekak-lekuk lokasi ini,  memantulkan aura keindahan bidadari. Subhanallah.
Setelah dua setengah jam perjalanan dari Tabanan,  akhirnya sampai juga ke lokasi super indah ini.  Dibanding kampung-kampung muslim lain di pulau Bali,  Komunitas Muslim Kuno di desa Candi Kuning Bedugul Kabupaten Tabanan sebenarnya terhitung lebih muda.  Namun demikian,  eksistensinya tetap terjadi di era kelampauan  juga.
Data tahun 2007 menyebutkan bahwa muslim di Candi Kuning tercatat 2.123 jiwa atau 670 KK.   Komunitas muslim di lokasi ini asal muasal nya  adalah penduduk Sindhu dari Kabupaten Karangasem. Mereka beretnis Lombok,  sebab di era lama Lombok memang berada di bawah kekuasaan kerajaan Gelgel dan akhirnya dikuasai kerajaan Karangasem sebagai salah satu pecahan dari kerajaan Gelgel.



Muasal penempatan Muslim di Candi Kuning  ini ada dua versi : Pertama, kaum muslim sengaja ditempatkan oleh raja Karangasem untuk menjaga keamanan wilayah ujung dekat Mengwi, seiring dengan tradisi perang antar kerajaan Bali kala itu. Kedua,  kaum Muslim sengaja diberi tanah palungguhan di tempat ini sebagai penghargaan raja Karangasem atas jasa dan atau bantuan mereka dalam perang  melawan Belanda yang ingin menduduki Bali.
Perlu diketahui bahwa Belanda berusaha menaklukkan Bali  sejak 8 Juni 1848 dengan menyerang Buleleng (Singaraja). Kala itu terjadi pertempuran sengit, apalagi raja Jembrana (Negara) Anak Agung Putu Ngurah ikut mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Pan Kelap. Bahkan, kepala perang Jembrana Anak Agung Made Rai juga memperkuat pertahanan kerajaan Jembrana, termasuk dengan pasukan-pasukan Islam di benteng Fatimah walaupun umat Islam kala itu sedang sibuk membangun masjid pertama di Loloan Timur. Segenap rakyat diperintahkan siap untuk perang melawan Belanda.  Kala itu Jembrana memang telah ”disatukan” dengan Buleleng oleh patih Raja Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik.
Meskipun kala itu antar kerajaan di Bali sering bermusuhan alias perang,  namun kerajaan Mengwi dan Karangasem ikut pula mengirim bala bantuan.  Alasannya satu: Belanda dianggap sebagai musuh bersama. Melalui kerjasama antar kerajaan dimana umat Islam dari setiap wilayah menjadi salah satu pasukan utama,  kolonial Belanda akhirnya dapat dipukul mundur dan sisa pasukannya kembali ke kapal.  Keterlibatan aktif kaum muslim inilah yang mendorong Raja Karangasem memberi penghargaan berupa tanah pelungguhan di Kembang Marta Bedugul.
Memang,  terdapat dua versi sejarah asal usul lahirnya perdikan alis pelungguhan Muslim Bedugul ini.  Tetapi dalam logika sejarah, kedua-duanya bisa juga sama benarnya. Artinya, Muslim di tempatkan di wilayah itu oleh raja Karangasem terjadi karena dua peristiwa itu,  sehingga penempatan muslim pun terjadi dalam dua periode peristiwa.
Terlepas dari persoalan dua versi tadi, yang pasti kedatangan Muslim kala itu sebenarnya tidak eksklusif,  sebab penempatan mereka dilakukan bersama-sama kaum Hindu juga.  Dari 24 KK yang ditempatkan di Kembang Marta-Bedugul ini,  sebagian kaum Hindu dan sebagian lainnya kaum Muslim. Kepada setiap KK masing-masing diberi tanah 5 hektar. Singkat kata, cikal bakal wilayah Kembang Merta ini sebenarnya dibangun oleh dua komunitas keagamaan yang sama-sama pendatang. Mereka bekerjasama membuka wilayah baru,  serta bersama pula untuk membangun-mengembangkannya.
Kembang Marta kuno  saat ini telah dipecah menjadi tiga,   yakni: Kembang Marta dan Candi Kuning I dengan mayoritas Hindu,  serta Candi Kuning II dengan mayoritas Muslim.  Tetapi antara dua komunitas ini sebenarnya telah lebih seabad melakukan kawin mawin,  sehingga komunitas Muslim di era kekinian hakekatnya memiliki hubungan kekerabatan dengan komunitas tetangga yang beragama Hindu. Kaitan geneologis yang kuat antara dua komunitas, akhirnya tidak terhindarkan melahirkan pula bangunan kekerabatan lintas kepercayaan.
Sebenarnya,  ada informasi alternatif bahwa kedatangan Islam di Baturiti jauh melampaui era kedatangan Muslim di kampung Candi Kuning tadi. Hal ini dapat dibuktikan dari keberadaan dua makam kuno. Makam pertama berada di puncak pegunungan, dipercaya sebagai kuburan Syekh Hasan.  Makam kedua berada di bagian lereng, dipercaya sebagai kuburan kuno Syekh Husein. Lokasi terakhir ini biasa disebut langgar alias jangkar emas atau candi emas. Konon kedua tokoh muslim yang kini makamnya dirawat dan dihormati secara bersama antara komunitas Muslim-Hindu adalah dua bersaudara penyebar Islam. Karakteritik nisannya mirip dan atau seusia dengan sunan Gresik alias Maulana Malik Ibrahim.  Dua makam itu kini masuk dalam ”obyek wisata religius” yang dikenal sebagai dua orang dari wali pitu di Bali.
Betapapun kecil kuantitas Muslim di Bali saat ini, termasuk di Tabanan, tetapi eksistensi leluhur Muslim diakui bahkan ikut mewarnai khazanah kultur Bali.  Pengakuan akan keberadaan tokoh-tokoh muslim era lama ini bahkan teraktualisasi dalam pendirian tempat pemujaan (pesimpangan betara di Mekah) pada beberapa pura di Bali (Mengwi, Badung, dan Bangli), atau Pura Emas/Jangkar Emas di Bedugul. Jejak interaksi Islam – Hindu Bali teraktulaisasi pula dalam karya-karya sastra,  seperti: krama selam (witaning selam), tatwa berawa, Seh Umbul Brahim (Kitab Tasaup Cara Bali), Sejarah Jawa lan Sejarah Arab, Jajaluk Selam ing Mekah, Ana Kidung, Geguritan Amad Muhammad Raden Saputra, Geguritan Siti Badariah. Beberapa teks sastra Islam di Bali bahkan ada pula yang mempunyai fungsi religius sebagaimana khazanah sastra yang mengandung ajaran Hindu. Teks Ana Kidung misalnya,  bahkan dibacakan semalam suntuk oleh masyarakat Hindu secara bergantian dalam upacara kepus pungsed (lepasnya tali pusar) seorang bayi (Remmy Silado, ”Tradisi “Ngejot” Jelang Idul Fitri di Bali”, Jumat, 2008 Oktober 03\Denpasar (ANTARA News) .
Sebaliknya,  kultur Hindu sedikit banyak juga mempengaruhi kehidupan komunitas lama Muslim Bali. Pembauran itu misalnya terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Hindu. ”Secara kasat mata, mereka adalah muslim yang taat beribadah   Mereka lahir dan besar di Bali, karenanya dengan bangga melekatkan nama-nama khas Bali  seperti  Kadek Syarifuddin. Itulah nama-nama paduan khas Bali dan nama Arab Islam ”,  kata Haji Ali salah satu tokoh tua di Bedugul.
Fenomena akulturasi bahkan sinkretisme ini terjadi pula di Tabanan,  apalagi di Candi Kuning sampai era 1970 an akhir.    Komunitas Muslim di Candi Kuning,  karena memang secara geneologis telah terjadi kawin mawin dengan kaum Hindu Bali,  maka kendati bernama muslim,  tetapi ketika mereka berkunjung ke kerabat Hindu mereka akan dipanggil dengan nama Bali nya : Made, Kadek, Nengah,  sesuai urutan kelahiran. Panggilan ini sebagai wujud pengakuan bahwa mereka adalah orang Bali,  seperti : Kadek Syarifudin.  ”Bahkan, orang Islam di Candi Kuning dulu juga menjalankan tradisi metatah (potong gigi), pakai kemenyan setiap kegiatan ritual, bahkan diinformasikan sampai di abad 21 ini masih ada yang memakai daksina.  Di tempat-tempat orang terjatuh misalnya, lokasi itu lantas ditaruh menyan gringsing sebagai sesajen”,  jelas Kadek Syarifuddin memberi bukti.
Semua tadi merupakan bukti bahwa Islam dan komunitas Muslim bukanlah fenomena kekinian di Bali, bukan gejala baru di Baturiti. Mereka telah menjadi entitas yang berusia ratusan tahun silam,  sama tuanya dengan komunitas muslim di daerah-daerah lain di Indonesia.  Realitas ini juga menunjukkan bahwa konteks sosio kultural era lama, entitas Muslim dan Hindu Bali memperlihatkan eksistensi harmoni terefleksi dari akulturasi tadi. Entitas pembauran kultur bahkan acapkali nyerempet ke arah keagamaan ini merefleksikan bahwa semangat persaudaraan sangat kuat menggejala di kala itu.  Sebutan nyame slam (saudara Islam) tampaknya bukan sekedar basa-basi .***

DHURORUDIN MASHAD


________________________________
Sumber Tulisan :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/09/25/indahnya-kampung-islam-candi-kuning-di-baturiti-tabanan-bali-tulisan-14/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar