________________________
Oleh Dhurorudin Mashad
Pagi hari. Udara terasa dingin. Mentari masih belum bisa
menampakkan diri. Maklum, beberapa hari ini bumi Tabanan diguyur
hujan. Setelah dua hari menyusuri kantong-kantong komunitas Muslim
Tabanan kota, esuk harinya saya dkk diantar pak Hasan Bick ke komunitas
Muslim Candi Kuning, Bedugul. ”Sekalian nengok anak istri, pak”, kata
pak Hasan girang. Maklum, Candi Kuning memang tempat tinggal
keseharian pak Hasan.
![]() |
Masjid Al-Hidayah Bedugul Candikuning Tabanan Bali |
Saya sendiri juga sangat girang menuju wilayah Baturiti. Sebab,
saya langsung membayangkan keindahan lokasi, yang di tahun sebelumnya
memang sudah sempat saya singgahi. Bedugul alias Baturiti memang elok
panoramanya. Posisinya ada di pegunungan. Namun, kontras dengan
ketinggian tempat ini, di dalamnya menyimpan pesona dua danau yang
sedemikian genit di pandang mata. Di Baturiti ada pula air terjun
dengan lokasi masih perawanan ting ting. Hups… yang tak kalah penting,
tempat ini juga menyimpan sebuah kebun raya yang luar biasa: Kebun Raya
Purwodadi yang dimiliki LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Singkat kata, setiap lekak-lekuk lokasi ini, memantulkan aura keindahan
bidadari. Subhanallah.
Setelah dua setengah jam perjalanan dari Tabanan, akhirnya sampai
juga ke lokasi super indah ini. Dibanding kampung-kampung muslim lain
di pulau Bali, Komunitas Muslim Kuno di desa Candi Kuning Bedugul
Kabupaten Tabanan sebenarnya terhitung lebih muda. Namun demikian,
eksistensinya tetap terjadi di era kelampauan juga.
Data tahun 2007 menyebutkan bahwa muslim di Candi Kuning tercatat
2.123 jiwa atau 670 KK. Komunitas muslim di lokasi ini asal muasal
nya adalah penduduk Sindhu dari Kabupaten Karangasem. Mereka beretnis
Lombok, sebab di era lama Lombok memang berada di bawah kekuasaan
kerajaan Gelgel dan akhirnya dikuasai kerajaan Karangasem sebagai salah
satu pecahan dari kerajaan Gelgel.
Muasal penempatan Muslim di Candi Kuning ini ada dua versi :
Pertama, kaum muslim sengaja ditempatkan oleh raja Karangasem untuk
menjaga keamanan wilayah ujung dekat Mengwi, seiring dengan tradisi
perang antar kerajaan Bali kala itu. Kedua, kaum Muslim sengaja diberi
tanah palungguhan di tempat ini sebagai penghargaan raja Karangasem atas
jasa dan atau bantuan mereka dalam perang melawan Belanda yang ingin
menduduki Bali.
Perlu diketahui bahwa Belanda berusaha menaklukkan Bali sejak 8 Juni
1848 dengan menyerang Buleleng (Singaraja). Kala itu terjadi
pertempuran sengit, apalagi raja Jembrana (Negara) Anak Agung Putu
Ngurah ikut mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Pan Kelap. Bahkan,
kepala perang Jembrana Anak Agung Made Rai juga memperkuat pertahanan
kerajaan Jembrana, termasuk dengan pasukan-pasukan Islam di benteng
Fatimah walaupun umat Islam kala itu sedang sibuk membangun masjid
pertama di Loloan Timur. Segenap rakyat diperintahkan siap untuk perang
melawan Belanda. Kala itu Jembrana memang telah ”disatukan” dengan
Buleleng oleh patih Raja Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik.
Meskipun kala itu antar kerajaan di Bali sering bermusuhan alias
perang, namun kerajaan Mengwi dan Karangasem ikut pula mengirim bala
bantuan. Alasannya satu: Belanda dianggap sebagai musuh bersama.
Melalui kerjasama antar kerajaan dimana umat Islam dari setiap wilayah
menjadi salah satu pasukan utama, kolonial Belanda akhirnya dapat
dipukul mundur dan sisa pasukannya kembali ke kapal. Keterlibatan aktif
kaum muslim inilah yang mendorong Raja Karangasem memberi penghargaan
berupa tanah pelungguhan di Kembang Marta Bedugul.
Memang, terdapat dua versi sejarah asal usul lahirnya perdikan alis
pelungguhan Muslim Bedugul ini. Tetapi dalam logika sejarah,
kedua-duanya bisa juga sama benarnya. Artinya, Muslim di tempatkan di
wilayah itu oleh raja Karangasem terjadi karena dua peristiwa itu,
sehingga penempatan muslim pun terjadi dalam dua periode peristiwa.
Terlepas dari persoalan dua versi tadi, yang pasti kedatangan Muslim
kala itu sebenarnya tidak eksklusif, sebab penempatan mereka dilakukan
bersama-sama kaum Hindu juga. Dari 24 KK yang ditempatkan di Kembang
Marta-Bedugul ini, sebagian kaum Hindu dan sebagian lainnya kaum
Muslim. Kepada setiap KK masing-masing diberi tanah 5 hektar. Singkat
kata, cikal bakal wilayah Kembang Merta ini sebenarnya dibangun oleh dua
komunitas keagamaan yang sama-sama pendatang. Mereka bekerjasama
membuka wilayah baru, serta bersama pula untuk
membangun-mengembangkannya.
Kembang Marta kuno saat ini telah dipecah menjadi tiga, yakni:
Kembang Marta dan Candi Kuning I dengan mayoritas Hindu, serta Candi
Kuning II dengan mayoritas Muslim. Tetapi antara dua komunitas ini
sebenarnya telah lebih seabad melakukan kawin mawin, sehingga komunitas
Muslim di era kekinian hakekatnya memiliki hubungan kekerabatan dengan
komunitas tetangga yang beragama Hindu. Kaitan geneologis yang kuat
antara dua komunitas, akhirnya tidak terhindarkan melahirkan pula
bangunan kekerabatan lintas kepercayaan.
Sebenarnya, ada informasi alternatif bahwa kedatangan Islam di
Baturiti jauh melampaui era kedatangan Muslim di kampung Candi Kuning
tadi. Hal ini dapat dibuktikan dari keberadaan dua makam kuno. Makam
pertama berada di puncak pegunungan, dipercaya sebagai kuburan Syekh
Hasan. Makam kedua berada di bagian lereng, dipercaya sebagai kuburan
kuno Syekh Husein. Lokasi terakhir ini biasa disebut langgar alias
jangkar emas atau candi emas. Konon kedua tokoh muslim yang kini
makamnya dirawat dan dihormati secara bersama antara komunitas
Muslim-Hindu adalah dua bersaudara penyebar Islam. Karakteritik nisannya
mirip dan atau seusia dengan sunan Gresik alias Maulana Malik Ibrahim.
Dua makam itu kini masuk dalam ”obyek wisata religius” yang dikenal
sebagai dua orang dari wali pitu di Bali.
Betapapun kecil kuantitas Muslim di Bali saat ini, termasuk di
Tabanan, tetapi eksistensi leluhur Muslim diakui bahkan ikut mewarnai
khazanah kultur Bali. Pengakuan akan keberadaan tokoh-tokoh muslim era
lama ini bahkan teraktualisasi dalam pendirian tempat pemujaan
(pesimpangan betara di Mekah) pada beberapa pura di Bali (Mengwi,
Badung, dan Bangli), atau Pura Emas/Jangkar Emas di Bedugul. Jejak
interaksi Islam – Hindu Bali teraktulaisasi pula dalam karya-karya
sastra, seperti: krama selam (witaning selam), tatwa berawa, Seh Umbul
Brahim (Kitab Tasaup Cara Bali), Sejarah Jawa lan Sejarah Arab, Jajaluk
Selam ing Mekah, Ana Kidung, Geguritan Amad Muhammad Raden Saputra,
Geguritan Siti Badariah. Beberapa teks sastra Islam di Bali bahkan ada
pula yang mempunyai fungsi religius sebagaimana khazanah sastra yang
mengandung ajaran Hindu. Teks Ana Kidung misalnya, bahkan dibacakan
semalam suntuk oleh masyarakat Hindu secara bergantian dalam upacara
kepus pungsed (lepasnya tali pusar) seorang bayi (Remmy Silado, ”Tradisi
“Ngejot” Jelang Idul Fitri di Bali”, Jumat, 2008 Oktober 03\Denpasar
(ANTARA News) .
Sebaliknya, kultur Hindu sedikit banyak juga mempengaruhi kehidupan
komunitas lama Muslim Bali. Pembauran itu misalnya terlihat dari lembaga
adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat
masyarakat Hindu. ”Secara kasat mata, mereka adalah muslim yang taat
beribadah Mereka lahir dan besar di Bali, karenanya dengan bangga
melekatkan nama-nama khas Bali seperti Kadek Syarifuddin. Itulah
nama-nama paduan khas Bali dan nama Arab Islam ”, kata Haji Ali salah
satu tokoh tua di Bedugul.
Fenomena akulturasi bahkan sinkretisme ini terjadi pula di Tabanan,
apalagi di Candi Kuning sampai era 1970 an akhir. Komunitas Muslim di
Candi Kuning, karena memang secara geneologis telah terjadi kawin
mawin dengan kaum Hindu Bali, maka kendati bernama muslim, tetapi
ketika mereka berkunjung ke kerabat Hindu mereka akan dipanggil dengan
nama Bali nya : Made, Kadek, Nengah, sesuai urutan kelahiran. Panggilan
ini sebagai wujud pengakuan bahwa mereka adalah orang Bali, seperti :
Kadek Syarifudin. ”Bahkan, orang Islam di Candi Kuning dulu juga
menjalankan tradisi metatah (potong gigi), pakai kemenyan setiap
kegiatan ritual, bahkan diinformasikan sampai di abad 21 ini masih ada
yang memakai daksina. Di tempat-tempat orang terjatuh misalnya, lokasi
itu lantas ditaruh menyan gringsing sebagai sesajen”, jelas Kadek
Syarifuddin memberi bukti.
Semua tadi merupakan bukti bahwa Islam dan komunitas Muslim bukanlah
fenomena kekinian di Bali, bukan gejala baru di Baturiti. Mereka telah
menjadi entitas yang berusia ratusan tahun silam, sama tuanya dengan
komunitas muslim di daerah-daerah lain di Indonesia. Realitas ini juga
menunjukkan bahwa konteks sosio kultural era lama, entitas Muslim dan
Hindu Bali memperlihatkan eksistensi harmoni terefleksi dari akulturasi
tadi. Entitas pembauran kultur bahkan acapkali nyerempet ke arah
keagamaan ini merefleksikan bahwa semangat persaudaraan sangat kuat
menggejala di kala itu. Sebutan nyame slam (saudara Islam) tampaknya
bukan sekedar basa-basi .***
DHURORUDIN MASHAD
________________________________
Sumber Tulisan :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/09/25/indahnya-kampung-islam-candi-kuning-di-baturiti-tabanan-bali-tulisan-14/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar