Penulis : Achmad Suchaimi
Orang Bugis mudah ditemukan di mana-mana. Mereka membentuk
perkampungan di pesisir pantai, juga menjadi roda penggerak sentra ekonomi di
berbagai daerah.
Perjanjian Bongaya pada tahun 1667 yang melarang warga Bugis memiliki kapal berukuran besar, menjadi pemicu banyaknya orang Bugis yang merantau ke pulau Serangan Denpasar. Perantau yang datang ke Serangan ini umumnya berasal dari Bugis Wajo dan ada pula dari Soppeng atau Bone.
Pulau Serangan adalah sebuah pulau kecil yang terpisah dari daratan Pulau Bali, berjarak sekitar 17 Km arah selatan kota Denpasar. Pada tahun 1995 telah dibangun sebuah dermaga kecil dan jembatan yang menghubungkan kedua pulau ini.
Jembatan penghubung P. Serangan dan Denpasar (P. Bali) |
Luas Pulau Serangan sebelum direklamasi hanya 101 hektare, sementara
setelah direklamasi luasnya menjadi 491 hektar. Dari 491 hektare luas
pulau itu, hanya 101 hektar yang menjadi milik masyarakat dan ummat
Islam tinggal di areal seluas 2,5 hektare. Pulau ini berjarak sekitar 250 meter dari pantai sebelah
tenggara Pulau Bali. Pulau ini tepatnya terletak di sebelah selatan Pantai
Sanur. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kota Denpasar dan
dihuni oleh sekitar 3 ribu penduduk.
Penangkaran penyu di P. Serangan |
Menurut
penduduknya, asal nama “Serangan” diyakini berasal dari kata “sira angen” yang
artinya perasaan sayang atau kangen. Munculnya nama ini didasari oleh sebuah
cerita para pelaut Bugis. Ketika mendarat di pulau ini untuk minum, mereka
terkena “sira angen”. Mereka merasa betah berada di pulau ini dan tidak mau
pergi meninggalkannya. Para pelaut Bugis yang beragama Islam ini bahkan memilih
tinggal di pulau ini dan hidup rukun bersama penduduk setempat yang beragama
Hindu.
Selanjutnya, mereka pun membentuk pemukiman yang dikenal dengan Kampung Bugis yang masih ada hingga saat ini. Karena banyak dihuni oleh perantau Bugis yang mayoritas beragama Islam, maka pulau ini kemudian dikenal sebagai kampung Islam Bugis. Konon, asal mula kampung ini hanya dibangun 40 orang perantau Bugis yang dipimpin oleh Syeikh Haji Mu’min akibat tak sefaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya.
Selanjutnya, mereka pun membentuk pemukiman yang dikenal dengan Kampung Bugis yang masih ada hingga saat ini. Karena banyak dihuni oleh perantau Bugis yang mayoritas beragama Islam, maka pulau ini kemudian dikenal sebagai kampung Islam Bugis. Konon, asal mula kampung ini hanya dibangun 40 orang perantau Bugis yang dipimpin oleh Syeikh Haji Mu’min akibat tak sefaham dengan Belanda sebagai efek dari perjanjian Bongaya.
Makam Tua H. Mukmin di Serangan |
Pada awal keberadaan mereka di sana justru dicurigai oleh pihak
Kerajaan Badung Bali sebagai mata-mata Belanda. Kecurigaan yang wajar tentunya.
Selama ditawan, rombongan ini menunjukkan sikap kebencian mereka terhadap
Belanda dan mampu meyakinkan Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan III. Akhirnya,
rombongan itu diberi kebebasan tinggal di istana untuk sementara waktu,
kemudian mendiami kampung Gelagi Gendong di sebelah barat Puri (istana) kerajaan
Pemecutan.
Kebiasaan melaut para perantau Bugis membuat mereka tak betah
menetap di tengah daratan. Atas persetujuan Raja Badung yang mengetahui
sepenuhnya bahwa perantau Bugis memiliki keahlian di bidang pelayaran, maka
mereka diberi tempat di Pulau Serangan yang waktu itu masih berupa hutan. Haji
Mu’min dan pengikutnya membuka pemukiman di bagian selatan pulau. Hubungan ini
terus terjalin dengan baik. Diceritakan, ketika
Kerajaan Badung merasa terdesak menghadapi Kerajaan Mengwi, Raja Badung tidak segan-segan minta bantuan
kepada para perantau dari Bugis tersebut.
Pura Sakenan : salah satu Pura Hindu di P. Serangan Bali |
Kampung seluas 2,5 hektar ini dihuni oleh sekitar 280 warga muslim
dan mereka dikelilingi perkampungan Hindu, dengan sejumlah pura. Kendati
demikian, warga di sini hidup rukun dan dapat menjalankan ibadah maupun
aktivitas sehari-hari sebagai nelayan. Kampung ini memiliki tradisi unik yang
disebut Ngejot, yakni membawa jajanan atau makanan untuk
diberikan kepada tetangga non-muslim atau sebaliknya. Adapula tradisi membaca Diba’
dan catatan sejarah kekerabatan Bugis dan Bali
setiap selesai shalat Id di Hari Raya Idul Fitri. Tradisi inilah yang
memperkuat kerukunan hidup beragama. Dan hingga kini, tradisi tersebut masih
dipelihara. Selain pura, di kampung ini terdapat pula Masjid As-Syuhada’
yang diperkirakan didirikan pada abad ke-17 masehi.
Masjid Asy-Syuhada' di kampung Bugis Serangan Bali |
Di Kabupaten Tabanan, kampung
Bugis juga bisa ditemukan di pesisir pantai Soka. Di Kabupaten Buleleng, mereka
dapat ditemukan di kampung Sumber Kima, Lovina, Grokgak, Singaraja, Celuk
Bawang dan Seririt. Di Kabupaten Jembarana, mereka bermukim di kampung Loloan,
Cupel, dan Yeh Sumbul. Adapula yang tinggal di pesisir Ujung dan Buitan
Karangasem.
Kerukunan Umat Islam dan Hindu
di Bali menjadi bukti, bahwa perbedaan agama dan suku bukanlah alasan untuk
saling menghindari dan berselisih paham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar