__________________________
Oleh : Achmad Suchaimi
Pawai dalam rangka Nyama Selam di Pegayaman |
ALUNAN nyanyian sekelompok
lelaki terdengar seperti tembang kidung Wargasari, sebuah lagu pujaan yang
biasa dilantunkan oleh umat Hindu. Namun syairnya dalam bahasa Arab, bukan
bahasa Bali atau Jawa Kuno. Musik pengiringnya
juga bukan tetabuh gong atau gamelan Bali, melainkan rebana yang
bentuknya mirip dengan kendang Bali.
Seni Burdah Muslim Pegayaman |
Lirik lagunya berisi salawat
dan kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Inilah kesenian khas Desa Pegayaman,
yang disebut burdah. Untuk mengiringi lagu ini, seorang pria menari
dengan pakaian adat Bali. Kepalanya diikat udeng
dengan memakai kamben mekancut, yakni kain yang melilit pinggang dan
ujungnya terjurai dengan ujung meruncing sampai di bawah lutut.
Penari itu meliak-liukkan
badan, dan memainkan mata serta jemarinya, seperti lazimnya dalam tarian Bali. Tapi, dalam gerakannya terbaca kombinasi antara
tari Bali dan pencak silat. Inilah tari taman,
satu di antara sejumlah tarian khas desa ini. Ada juga tari perkawinan, yang khusus digelar
pada upacara pernikahan.
Lagu dan tarian ini memang
sangat Islami, tapi kental dengan nuansa Bali.
Sebab, para pelaku-nya memang umat Islam yang bermukim di Desa
Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Sebagian besar
penduduk desa ini muslim. Mereka disebut Nyama Slam atau Saudara
Islam oleh warga Hindu Pegayaman dan sekitarnya.
Pegayaman terhampar di lereng
Bukit Gigit, satu di antara jajaran perbukitan yang memagari Bali Utara dengan
daerah bagian selatan. Jaraknya sekitar 70 km dari Denpasar, di tengah jalur
menuju Singaraja. Wilayah seluas 1.584 hektare ini dihuni oleh 999 kepala
keluarga dengan 4.821 jiwa. Hampir
seluruh warganya adalah muslim meski berada di Bali
yang sangat identik dengan Hindu. Hanya 477 orang penghuni desa ini beragama
Hindu.
Pegayaman dibagi menjadi empat
banjar atau dusun: Banjar Dauh Rurung (Barat Jalan), Banjar Dangin Rurung
(Timur Jalan), Banjar Kubu dan Banjar Mertasari. Tidak berbeda dengan desa adat
di seluruh Bali, setiap banjar dipimpin oleh
seorang kelian alias kepala banjar.
Tak sulit mencari lokasi desa
ini, meskipun ia berada di lereng bukit dan dikelilingi kebun cengkeh dan kopi.
Menjelang jalan masuk ke Pegayaman, dipasang papan penunjuk arah yang cukup
mencolok. Jalan raya menuju desa
seluruhnya diaspal mulus. Sedangkan jalan-jalan yang lebih sempit
diperkeras dengan semen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar