____________________________
oleh : Achmad Suchaimi
PERKAWINAN BEDA AGAMA.
Dalam
masalah perkawinan, sepertinya ada kesepakatan tak tertulis di antara penduduk
muslim dan Hindu di Pegayaman. Bila
pihak pria beragama Islam, istrinya mengikuti agama suaminya. Begitu pula
sebaliknya. Perkawinan di Bali memang menganut sistem patrilinial.
Proses ke jenjang perkawinan di Pegayaman berbeda dengan masyarakat desa
sekitar.
Bila seorang pemuda bertandang
ke rumah gadis, mereka tak boleh bertemu langsung face to face. Sang cewek
tetap berada di dalam kamar, sedangkan si pria di luar. Keduanya ngobrol
lewat sela-sela daun pintu atau jendela yang tetap tertutup. Tapi, pasangan
yang tak punya hubungan asmara
malah boleh bertemu langsung. “Kencan”
tak boleh dilakukan di malam hari. Sebab ada aturan, bahwa gadis atau remaja
putri tidak boleh keluar rumah setelah maghrib. Tidak disebutkan hukuman bagi
pelanggar aturan itu.
Bentuk
akulturasi lain di Pegayaman adalah pada urutan perayaan hari besar. Umat Islam
di desa ini punya tradisi Penyajanan (membuat jajan), Penapean
(membuat tape), dan Penampahan (memotong hewan) menjelang hari raya Idul
Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi. Sebagaimana tradisi ini juga dilakukan oleh
umat Hindu dalam menyambut hari raya dan upacara ritual mereka tertentu,
Tradisi-tradisi tersebut, selain untuk menambah semangat saat berhari raya juga
untuk saling berinteraksi antar warga. Misalnya Penampahan, tradisi ini
dilakukan dengan memotong sapi yang dibeli secara urunan, disebabkan harga sapi
per ekornya cukup mahal. Dengan cara urunan ini warga muslim dapat saling
berbagi beban, sekaligus belajar membagi secara adil.
Tradisi Male di Pegayaman |
Maulid Nabi di Pegayaman : Pawai Mengarak Sokok Talu |
Di Pagayaman ada semacam
tradisi masyarakat setempat yang menunjukkan adanya toleransi
yang kuat dalam masayarakat Bali, yang
disebut Male. Male adalah bentuk ritual ketika masyarakat
muslim Bali memperingati hari Maulid Nabi
Muhammad SAW. Sebelum membaca Shalawat Nabi (Diba’ / Barzanji) di masjid,
masyarakat Islam di Bali mengadakan pawai berkeliling kampung dengan membawa “sokok”,
yaitu hiasan dari telur atau bunga, yang dihias sesuai dengan keinginan
pemiliknya, Sokok Basa terbuat dari bunga sedangkan Sokok Taluh
dari telur. Sokok ini mirip pajangan dalam upacara umat Hindu Bali. Beragam bentuk akan ditemukan, mulai dari
bentuk Pura, Perahu, Masjid dan lain-lain.
Membuat Sokok Taluh |
Sokok berupa telur atau bunga yang
ditusuk bambu dan dihiasi kertas warna menyala ini kemudian diusung keliling
kampung secara berombongan yang dikawal dengan pasukan khusus dari adat Bali yang disebut Pager Uyung, yaitu kaum ksatria
adat baik muslim maupun Non Muslim.
Dalam pawai ini, ada hadrah, pencak silat, drum band, ogoh-ogoh (patung
raksasa) dan berakhir di masjid. Sesampainya di masjid ada pembacaan kitab Al-Barzanji
yang berisi riwayat kelahiran Nabi Muhammad dan doa bersama. Setelah itu ada
khotbah singkat. Terakhir, setelah dibacakan doa, sokok-sokok itu kemudian
dibagi-bagikan kepada anak-anak yang datang. Saat pembagian sokok hampir sama
seperti saat pembagian apem Gerebegan Suro di Solo dan Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar