______________________________
oleh : Achmad Suchaimi
I Gusti Ngurah Panji Sakti |
Asal Usul Penduduk Muslim
Pegayaman
Ada beberapa versi. Menurut satu versi, seperti
yang diceritakan oleh salah satu tetua desa Pegayaman (Bapak Ibrahim), bahwa
umat Islam di Pegayaman sudah ada sejak zaman kekuasaan Raja Buleleng, I Gusti
Ngurah Panji Sakti, yang berkuasa pada abad ke-15. Menurut versi ini, Raja dari Solo pernah
menghadiahkan seekor gajah dan 80 prajurit kepada Raja Panji Sakti sebagai
tanda persahabatan. Para prajurit dari Solo ini kemudian ditempatkan di Desa
Pegayaman untuk membentengi Puri Buleleng dari serangan raja-raja Bali Selatan,
yaitu Raja Mengwi dan Badung. Mereka
hidup menetap dan berbaur dengan penduduk desa lainnya.
Cerita Ibrahim tersebut memang
tidak didukung oleh bukti tertulis. Dalam berbagai lontar sejarah Bali yang
tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, tidak ada catatan khusus mengenai
sejarah Islam Pegayaman. Dalam Babad Dalem, dokumen tentang raja-raja di
Bali pun hanya tertulis masuknya Islam ke Bali secara umum, bahwa pada abad
ke-15, di masa pemerintahan Raja Gelgel, Klungkung (sekitar 32 km sebelah timur
kota Denpasar), Sang Raja mendapat
bantuan 40 prajurit dari Raja Majapahit yang mayoritas muslim, sepulangnya
mengikuti konferensi Raja-raja se Nusantara di ibukota Majapahit atas undangan
Hayam Wuruk.
Pada masa-masa selanjutnya,
kedatangan para prajurit Majapahit ini
lalu diikuti arus migrasi dari Jawa, Madura, Bugis, Sasak, dan Lombok. Beberapa dari mereka
inilah yang kemudian menetap di Pegayaman.
Ada juga catatan dalam sebuah
lontar tentang sekelompok imigran Islam yang datang ke Buleleng pada masa
pemerintahan I Gusti Ketut Jelantik, tahun 1850. Rombongan ini diduga berasal
dari Bugis, Sulawesi Selatan. Sebab, sampai sekarang beberapa tetua desa
Pegayaman masih mengaku keturunan Bugis. Imigran ini menetap di Desa Pegayaman,
yang hanya berjarak 9 km di selatan Singaraja, ibu kota Buleleng. Di desa ini
mereka kemudian berbaur dan terjadilah kawin campur.
Memeluk agama Islam tidak
membuat tata cara kehidupan penduduk Pegayaman harus berbeda dengan penduduk yang menganut Hindu.
Perbedaan mencolok hanya tampak dari hiasan rumah. Umat Islam Pegayaman tidak
memakai hiasan ukir-ukiran yang pada bangunan milik warga Bali seakan wajib
hukumnya. Juga tidak ada bangunan sanggah, tempat pemujaan keluarga yang
umum terdapat di setiap rumah penduduk Hindu Bali.
Penduduk muslim Pegayaman
memang penduduk “asli” Bali. Bukan “orang Islam pendatang” yang dikonotasikan
sebagai pedagang sate, bakul jamu, atau sejenisnya. Seperti penduduk desa
sekitarnya, pekerjaan pokok mereka berkebun dan bertani.
Perbedaan itu pun tak membuat mereka mengambil
jarak, apalagi menjadi eksklusif. Bila warga Hindu menyongsong hari suci Nyepi,
warga muslim beramai-ramai membantu mengusung ogoh-ogoh, boneka gergasi
yang dibuat sehari menjelang Nyepi.
Mengarak Ogoh-ogoh |
Mereka juga ikut
menghentikan kegiatan sehari-harinya dan hanya berdiam di rumah pada hari
Nyepi. Pada hari raya Galungan, umat
Hindu juga tetap ngejot, yakni tradisi mengantarkan makanan ke rumah
tetangga, meskipun tetangganya muslim.
Sebaliknya, pada Idul Fitri dan Idul Adha, umat Islam Pegayaman ngejot
ke para tetangga Hindu.
|
Penjor |
Pada waktu Idul Adha, penduduk
yang beragama Islam membuat penjor, yaitu bambu berhias yang
ditancapkan di depan rumah. Tentu saja tanpa disertai sesajen. Dalam
pembuatannya, warga Hindu ikut membantu menghias sampai menancangkannya. Umat
Islam hanya membuat penjor saat Idul Adha yang perayaannya lebih
meriah ketimbang Idul Fitri. Mereka menggelar tari-tarian khas daerah itu,
memasak makanan lebih banyak, dan anak-anak memakai baju baru. Pada saat Idul
Fitri, mereka hanya menjalankan salat id dan bersilaturahim. Tidak ada
kemeriahan lainnya.
Ketika memberikan nama,
misalnya, mereka tetap mengikuti tradisi. Sebagaimana orang Bali, umat Islam
Pegayaman menggunakan nama depan Wayan (anak pertama), Nengah
(anak kedua), Nyoman (anak ketiga), dan Ketut (anak keempat).
Namun nama belakang mereka biasanya menggunakan nama Islam yang berbahasa Arab.
Misalnya Nengah Ulul Azmi, Ketut Sholahuddin, Ketut Asghor Ali, Nengah
Maghfiroh dan seterusnya.
Ketika mereka saling
memberikan salam, terdengarlah “bunyi” yang unik: “Assalamu’alaikum, Pak
Ketut Ibrahim”, kemudian dibalas “Wa’alaikumsalam, Wayan Arafat!”
Ketika datang bulan Ramadhan, menjelang malam,
sekitar pukul 6 sore itu, suasana desa mulai terlihat ramai di jalan, terutama
oleh anak-anak yang sedang bermain. Mereka menunggu waktu berbuka puasa. Di
antara anak-anak tersebut, sebagian anak terlihat berjalan sambil membawa
makanan dalam tas plastik. Mereka membawanya ke rumah paman, bibi, atau
keluarganya yang lain, dan tetangga dekat. Mereka sedang Ngejot.
Ayo, Ngejot! |
Tradisi Ngejot setiap datangnya bulan
Ramadhan adalah salah satu bentuk akulturasi antara tradisi Hindu dan Islam di
Desa Pegayaman. Ngejot menunjukkan bahwa umat Islam di Pegayaman masih
melakukan tradisi yang sama dengan umat Hindu di Bali. Selama tradisi tidak
melanggar batas keyakinan agama (aqidah), hal ini sah-sah saja untuk dilakukan.
Apalagi kalau sekedar berbagi dengan orang lain.
Makanan yang diberikan umat Islam saat Ngejot
tidak jauh berbeda dengan yang diberikan umat Hindu Bali, antara lain berupa
jaja uli, buah, rengginang, dodol, dan semacamnya.
Tradisi Ngejot tidak hanya dilakukan umat
Islam di Pegayaman. Sebagian muslim di daerah lain seperti di Denpasar pun
melakukan hal yang sama. Biasanya tradisi Ngejot di daerah yang
masyarakatnya plural malah diberikan kepada umat agama lain, termasuk umat
Hindu.
Tradisi Ngejot, mengantar makanan |
Selain tradisi Ngejot, masih banyak tradisi
lain yang menunjukkan bentuk akulturasi antara tradisi-budaya Hindu dan Islam
di Bali. Dalam hal ini, umat Hindu dan Islam saling mengisi dan tanpa harus
menimbulkan ketegangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar