Masuknya Islam ke
Jembrana diperkenalkan oleh orang-orang Bugis
Makasar. Peristiwanya sejak Makassar berselisih dengan Kompeni Belanda
pada tahun 1653-1655 M. ini mengakibatkan banyak nelayan Bugis pindah ke Bali,
dan pasukan Gowa pun juga banyak yang mampir ke Bali. Banyak masyarakat
Jembrana yang masuk Islam setelah Arya Pancoran, yakni salah satu dari keluarga
penguasa Jembrana, I Gusti Ngurah Pancoran, menyatakan masuk Islam. Hal ini kemudian diikuti oleh
banyak penduduknya.
Hubungan antara
kedua masyarakat tersebut semakin akrab. Terbukti, ketika terjadi pertempuran
antara penguasa Den Bukit Singaraja yang bernama I Gusti Ngurah Panji Sakti
melawan pasukan Jembrana pimpinan Arya Pancoran pada tahun 1690 M, orang-orang
Bugis dan Melayu membantu pasukan Jembrana dengan meriam-meriamnya. Sebagai
imbalannya, mereka diberikan hadiah berupa tanah seluas 200 hektar untuk
pemukiman khas bagi orang Melayu-Bugis tersebut.
Pada tahun 1715 M,
I Gusti Agung Alit Tekung yang saat itu menjadi penguasa di Jembrana banyak
bekerjasama dengan umat Islam Bugis seperti Daeng Ma’rema dan daeng Kudadempet.
Keduanya adalah ahli silat yang dianggap sakti dan menjadi guru silat di
Jembrana.
Al-Qur'an Tua tulisan tangan di Masjid Baitul Qodim Loloan |
Sumber lain
mengungkapkan, bahwa penyebaran agama Islam di Jembrana semakin semarak dengan
datangnya Syarif[1]
Abdulloh Bin Yahya Bin Yusuf Bin Abu Bakar Bin Habib Hussain Al-Gadri5)[2]
dari Pontianak
pada tahun 1790. Di Loloan Bali, beliau terkenal dengan sebutan “Syarif Tua”,[3]
karena beliaulah anak tertua dari ke-5 bersaudara putra Syarif Yahya bin Yusuf
bin Abu Bakar bin Habib Husain Al-Gadri. Kakek buyut beliau, yakni Syarif Abu
Bakar bin Habib Husein Al-Gadri, adalah adik Sultan Pontianak I, Syarif Abdurrahman Bin Hussain
Al-Gadri.
Menurut
Catatan tua (prasasti)[4] dan catatan Belanda
tertanggal 18-07-1818, bahwa “Syarif Tua” Abdullah bin Yahya Al-Gadri
meninggalkan kerajaan Islam Mempawah Pontianak pada awal tahun 1800-an dengan
membawa rombongan terdiri dari orang-orang Bugis, Banjar dan Melayu. Mereka
berlayar menaiki 4 kapal besar. Desa
Loloan di Jembrana Bali merupakan persinggahan terakhir, setelah singgah di
Trengganu (Malaysia),
pulau Natuna (Kepri) dan pulau Sembilan. Missi utamanya adalah berdakwah
menyebarkan agama Islam secara damai dan santun di daerah-daerah yang
disinggahi.
Masjid Jami' Al-Gadri di Jembrana |
Selain catatan
tersebut, juga dijumpai informasi sahih tentang datangnya orang-orang
Melayu-Bugis di Bali di seputar tahun itu,
bahwa ulama-ulama dari negeri Kucing dan Serawak (sekarang masuk wilayah
Malaysia Timur) juga berdatangan ke Loloan. Setelah masa itu kemudian
datang Syekh Ahmad Bawazir dari Yaman
untuk berdakwah. Mereka mengajar agama Islam kepada warga Loloan dengan
menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu, sesuai bahasa sehari-hari di Loloan
saat itu. Hal inilah yang kemudian membuat bahasa Bugis lambat laun tersisih,
hingga akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di Loloan.
KH Sayid Ali Bafaqih |
Meski jumlah umat Islam di pulau Bali sangat kecil bila dibanding dengan umat Hindu yang mayoritas, namun mereka juga ikut serta dalam mewarnai khazanah kebudayaan Bali. Pengakuan atas mereka teraktualisasikan pada beberapa Pura di Bali. Mereka membangun Masjid di Air Kuning yang sampai sekarang masih berdiri. Inilah peninggalan arkeologi tertua tentang Islam di Bali, sekalipun sekarang bentuknya berubah karena pemugaran.
Jejak-jejak Islam
di pulau Bali Barat dan Utara ini dapat dilihat dari terbentuknya komunitas
muslim di Jembrana seperti desa Loloan, Palasari dan Yen Sumbul, serta di Buleleng
seperti desa Pegayaman, Bedugul, dan desa-desa sepanjang pantai utara Buleleng
(seperti desa Temukus, Banjar Jawa, sampai Kampung Bugis). Di samping itu
ditemukannya makam tua “Walipitu Bali”, diantaranya makam keramat Karang Rumpit
milik Syekh Abdul Qodir Muhammad (The Kwan Lie) di desa Temukus, makam keramat
KH Sayyid Ali Bafaqih dan makam keramat “Syarif Tua” Abdullah bin Yahya
Al-Qadri di Loloan, serta makam keramat Habib Umar bin Maulana Yusuf
al-Maghribi di bukit Bedugul dan lain-lain.
[1] ) Sebutan “Syarif” merupakan nama gelar
bangsawan Hadhramaut keturunan para Raja atau Ahlu Bait.
[2] ) Al Habib Hussain Bin Ahmad Bin Hussain Bin
Muhammad AlQadri adalah seorang waliyyulloh kelahiran Hadramaut Yaman yang mengajar di
kerajaan Mempawah Pontianak atas undangan sang Raja waktu itu, hinnga diangkat
menjadi mufti besar Negeri Mempawah. Dari Habib Husain Al-Qadri inilah
nasab-keturunan Raja-raja Pontianak
bermuara.
[3] ) Makam “Syarif Tua” Abdullah bin Yahya
Al-Qadri saat ini berada di kampung Loloan Timur, kurang lebih setengah km dari
makam keramat Sayyid Arif (Habib Ali Bafaqih).
[4] ) “Prasasti Melayu” yang disimpan di Masjid
Al-Qadim Loloan Barat kabupaten Jembrana - Bali.
Didalam prasasti itu dituliskan, bahwa salah seorang rombongan Syarif Abdullah
Yahya al-Qadri bernama Ya’qub asal Trengganu, pada tanggal 1 Dzulqa’dah
1268 H mewaqafkan barang-barang milik
istrinya dan mewaqafkan semua warisannya berupa al-Qur’an (tulisan tangan) dan
sawah satu petak di Mertosari. Saksinya
adalah Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid. Makam kuburan
Ya’qub saat ini masih ada, yakni di pelataran Masjid Al-Qadim .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar