Setelah memperhatikan uraian
sejarah dan informasi keberadaan Walipitu di atas, ada beberapa temuan yang
menarik untuk direnungkan, dikaji dan dikembangkan lebih lanjut dalam kaitannya
dengan kemungkinan adanya Waliyulloh selain Walipitu sebagai berikut :
1. Kemungminan Adanya Waliyulloh lain diluar Walipitu
Istilah “Walipitu” (sab’atul auliya’) yang berarti tujuh orang Waliyyulloh Bali dan proses penemuan
makam mereka adalah didasarkan pada suara hatif, ilham, kontak batiniyah atau
semacam inspirasi yang diperoleh dari hasil riyadhoh Bapak KH Toyib Zaen
Arifin bersama timnya.
Hal ini melahirkan sikap pro
dan kontra di tengah masyarakat, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non
muslim. Bagi orang-orang yang tidak setuju dengan penggunaan suara hatif, ilham
atau semacamnya sebagai “sumber pengetahuan” atau sebagai alat untuk mendeteksi
keberadaan makam seorang waliyulloh, tentu mereka akan menolak dan menentang
dengan berbagai alasan, misalnya: tidak ilmiah, irrasional,
mengada-mengada, tidak masuk akal dan komentar-komentar miring lainnya.
Namun bagi yang setuju, bisa
jadi mereka akan menerima apa adanya tanpa banyak komentar. Apalagi hal itu
dilakukan oleh seorang ahli riyadhoh, atau bisa jadi dipandangnya
sebagai sesuatu yang sah-sah saja dan dalam hal ini, KH Toyib bukanlah
satu-satunya orang yang ahli, karena kenyataannya banyak diantara para ahli
riyadhoh yang mampu menemukan makam seorang “Waliyulloh” yang
sebelumnya tidak diperhitungkan oleh masyarakat umum, dengan metode dan cara
yang berbeda-beda. Sebut saja misalnya KH Hamim Jazuli (Gus Miek dari Ploso
Kediri), KH Mas Nur (Branjangan), KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur), KH Ali
Muhammad (Pembina semaan Qur’an Al-Ittihad), KH Ahmad Asrori Usman
(Al-Khidmah), dan lain-lain. Dengan demikian, di masa-masa mendatang mungkin
saja ada ahli-ahli riyadhoh lain yang mengungkap keberadaan
Waliyulloh selain Walipitu
tersebut dengan cara atau metode yang berbeda-beda, sehingga jumlahnya tidak
sekedar tujuh orang (“Walipitu”), malahan bisa lebih dari itu, misalnya delapan
orang (“Waliwolu”), sembilan orang (“Walisongo”), sepuluh (“Walisepuluh”)
dan seterusnya. Pendek kata, dipandang dari sudut ini, istilah “Walipitu”
bukanlah harga mati, tetapi bisa ditawar (berubah). Apalagi menurut keyakinan
di kalangan kaum sufi, bahwa setelah wafatnya seorang Wali tertentu, Alloh akan
memunculkan seorang Waliyulloh yang baru untuk menggantikan posisi mereka,
sehingga di bumi ini tidak ada kekosongan Wali.
2. Konsep “Walipitu” di Bali
nampaknya lebih dipahami sebagai tujuh orang suci atau orang sholeh yang
menjadi kekasih Allah dan dianugerahi karomah tertentu. Pemahaman konsep “Walipitu”
seperti ini jelas berbeda dengan pemahaman konsep “Walisongo” di Jawa
dalam beberapa hal, diantaranya sebagai berikut :
a. Konsep “Walisongo” tidak sekedar dipahami
sebagai sembilan orang suci/sholeh yang menjadi kekasih Allah dan dianugerahi
karomah tertentu, akan tetapi juga sekaligus dipandang sebagai penyebar
terpenting agama Islam di daerahnya masing-masing. Misalnya Sunan Giri yang
tinggal di perbukitan Giri Gresik dan berdakwah di wilayah sekitarnya; Sunan
Kudus tinggal di kota Kudus dan berdakwah di kota Kudus dan sekitarnya,
dan seterusnya. Sedangkan konsep “Walipitu” tidak dikaitkan dengan peranan
mereka sebagai penyebar agama Islam terpenting di daerahnya masing-masing.
Kalaupun ada yang dipercayai sebagai muballigh, itupun terbatas pada beberapa
orang seperti Sayyid Ali Bafaqih di Loloan Barat; Habib Ali bin Abu Bakar
Al-Hamid; Habib Ali Zainal Abidin Alydrus. Bahkan beberapa tokoh yang
dipercayai telah berjasa dalam dakwah Islamiyah di Bali justru tidak dimasukkan
dalam hitungan “Walipitu”, sebut saja : Raden Modin dan Kyai Abdul Jalil yang
dipandang sebagai cikal bakal keberadaan masyarakat Islam di desa Banjar Lebah
dan desa Saren Jawa di Kabupaten Karangasem Bali; Syarif “Tua” Yahya bin Yusuf
bin Abu Bakar bin Habib Husain Al-Gadri; dan tokoh-tokoh dari Bugis - Makassar.
b. Menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA
didalam bukunya, Kisah Wali Songo, yang dinukil dari kitab Kanzul
Ulum, karya Ibnu Bathuhah, bahwa istilah Walisongo adalah nama dari
lembaga Dakwah atau Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan sembilan
orang pengurus, yang didirikan atas
inisiatif dan kepedulian Sultan Muhammad I dari kerajaan Turki Usmani terhadap
perkembangan dakwah Islamiyah di pulau Jawa. Dengan begitu, istilah ini muncul
sejak abad ke-15 masehi. Sementara itu, istilah Walipitu muncul pada era
1990-an yang “ditemukan” dan diperkenalkan pertama oleh KH Toyyib beserta
jama’ahnya.
c. Para anggota yang ditokohkan dalam
“Walisongo” sudah jelas sejarah hidupnya dan diakui oleh para ahli sejarah,
serta nama mereka dan perannya disebut-sebut dalam literatur atau kepustakaan
jawa terutama tulisan orang jaman dahulu seperti buku Babad Tanah Jawa, Suluk
Wujil, Het Boek van Bonang, Kitab Walisono,
dan lain-lain. Sementara para anggota Walipitu yang sudah
dipopulerkan oleh penemunya ada yang masih samar-samar sejarahnya dan
masih terus dilakukan penelusuran sejarahnya sampai saat ini, kecuali beberapa
orang Waliyulloh yang sudah jelas.
Jika istilah Walipitu tersebut
seandainya disepakati oleh berbagai kalangan tidak sekedar dipahami sebagai
orang suci kekasih Alloh dan memiliki karomah, tetapi juga berperan
besar dalam penyebaran Islam di pulau Bali, bisa jadi personalianya akan
berubah (tambal sulam) dan bahkan
bertambah lebih dari tujuh orang
![]() |
Tahlilan di makam Pangeran Mas Sepuh Pante Seseh |
Lepas dari pro dan
kontra di atas, penemuan istilah
“Walipitu di Bali” yang saat ini sudah kadung (terlanjur) populer
ini merupakan langkah positif yang perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan
dari berbagai pihak, mengingat dampak positifnya yang begitu besar, terutama
bagi kemajuan dan perkembangan industri
pariwisata di pulau Bali. Terbukti bahwa akhir-akhir ini banyak rombongan
wisatawan muslim ke Bali dengan tujuan
menziarahi makam Walipitu, sekaligus juga mengunjungi obyek-obyek wisata
yang menjadi icon pulau Bali seperti pantai Kuta, pantai Sanur, istana Tampak
Siring, dan lain-lain. Minimal membangun
suatu citra bahwa di tengah kehidupan masyarakat Bali
yang mayoritas Hindu ternyata ada Waliyulloh-nya dan juga ada komunitas
muslim yang dapat hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi dengan
umat Hindu.
Wallohu A’lam
bis-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar