Suasana Kampung Melayu Muslim di Loloan Negara (Jembrana) Bali |
Kampung
Loloan yang berada di Kabupaten Jembrana Bali (ujung Barat Bali) merupakan
sebuah perkampungan muslim Melayu, yang dihuni suku Melayu dengan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar pergaulan keseharian, walaupun kampung itu berada di
Bali. Bukan hanya itu, pakaian, bentuk rumah dan tata cara adat pun masih
merujuk pada akar budaya Melayu. Hal ini
dapat dilihat dari adanya sebuah perkampungan yang rumah-rumahnya tidak
memiliki pura, seperti halnya kebanyakan rumah di Bali. Justru, rumah-rumah itu
merupakan rumah panggung, ciri khas perumahan orang Melayu.
Penduduk
Melayu muslim baik yang tinggal di kecamatan Loloan Timur dan Loloan Barat (batas
keduanya dipisah oleh sungai dan dihubungkan jembatan Syariftua) adalah berasal
dari beberapa daerah : Bugis, Kalimantan dan Trengganu. Saat ini, jumlah
penduduk Melayu muslim sekitar 15.000 orang, dari sekitar 45.000 muslim yang
tinggal di Kabupaten Jembrana.
Jembatan Syarif tua, penghubung kec. Loloan Barat dan Loloan Timur |
Berdasarkan
buku kecil “Sejarah Masuknya Islam di Bali II”, setelah Makassar jatuh ke
tangan VOC pada tahun 1667, keturunan Sultan Wajo ditetapkan sebagai lawan yang
harus dibasmi. Di bawah tekanan Belanda tersebut, serombongan laskar Sultan
Wajo yang dipimpin Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi hingga
akhirnya bermukim di suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Bajo.
Masjid Al-Gadry : peninggalan Syarif Abdullah bin Yahya Al-Gadry |
Dua
ratus tahun kemudian, orang-orang Melayu datang dari Pontianak seiring dengan
kedatangan Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry pada abad ke-18 masehi. Dalam
rombongan tersebut terdapat seorang Melayu asal Terengganu bernama Ya’qub, yang
kemudian menikah dengan penduduk setempat. Ya’qub inilah yang disebut-sebut
dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Al-Qadim (dibangun + 1600-an) di
Loloan, yang isinya:
“Satu
Dzulqa’dah 1268 H, hari Itsnin. Encik Ya’qub orang Terengganu mewaqafkan akan
barang istrinya serta mewaqafkan dengan segala warisnya yaitu al-Qur’an dan
sawah satu tebih (petak) di Mertosari. Perolehannya 40 siba’ (ikat) dalam
Masjid Jembrana di Kampung Loloan ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak
Mustika menjadi Perbekel. Saksi: Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib
Abdul Hamid.”
Setelah
masa itu kemudian datang Syekh Ahmad
Bawazir dari Yaman untuk berdakwah. Mereka mengajar agama Islam kepada warga
Loloan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu, sesuai bahasa
sehari-hari di Loloan saat itu. Hal inilah yang kemudian membuat bahasa Bugis
lambat laun tersisih, hingga akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di
Loloan.
Kini,
setelah 500 tahun berselang, ada juga unsur bahasa Bali yang terserap dalam
kosakata Melayu yang dipergunakan oleh masyarakat Loloan. Oleh karena itu, tak
salah jika mereka menyebut dirinya sebagai Melayu Bali. Seperti halnya, orang
Melayu kebanyakan, Melayu Bali di Loloan juga gemar berpantun. Namun,
sepertinya hanya generasi tua saja yang masih piawai melafazkannya.
Dari
segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga sangat tampak dalam desain bangunan
rumah-rumah asli masyarakat Melayu Loloan, terutama di daerah sekitar Masjid
Al-Qadim. Juga, simbol keislaman seperti tulisan “اَللَّه” (Allah) dan “
مُحَمَّد” (Muhammad) pada
dinding rumah-rumah itu. Simbol inilah yang membuat Loloan tampak seperti bukan
di Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura itu.
KH S. Ali Bafaqih, salah satu walipitu Bali |
TRADISI NGERUWAH
Umat Islam di Bali memang minoritas, namun mereka mampu mempertahankan tradisi-tradisi Islam seperti tradisi Ngeruwah yang dilakukan oleh masyarakat muslim di desa Loloan Kabupatren Jembrana.
Tradisi
Ngeruwah merupakan tradisi kirim doa ampunan ataupun kirim pahala amal sholeh
seperti pahala bacaan kalimat thoyyibah dan shadaqah yang ditujukan kepada para
arwah leluhur, semacam tradisi “selamatan” atau “haul akbar” dalam rangka
memohonkan ampunan kepada Alloh untuk para arwah leluhur.
Masyarakat
Islam Loloan biasa mengadakan tradisi Ngeruah pada bulan Ruwah atau Sya‘ban,
bertepatan dengan menyongsong bulan suci Ramadhan yang dipercaya sebagai
bulan penuh berkah dan ampunan.
Tradisi
Ngeruwah merupakan warisan dari para ulama sejak ratusan tahun lalu yang dapat
dilaksanakan secara individual oleh masing-masing keluarga ataupun dilakukan
secara berjamaah. Namun masyarakat Islam di desa Loloan Timur Jembrana
melakukannya secara berjamaah (bersama-sama) dan besar-besaran, yang
pelaksanaannya dipusatkan di Pondok Pesantren Roudhotul Ulum dan diikuti oleh
ribuan dari ahli waris. Tradisi ini lebih dikenal dengan istilah “Ngeruwah
Akbar”.
Tradisi
Ngeruah Akbar tersebut baru dilaksanakan beberapa tahun belakangan ini, seiring
dengan perkembangan kondisi kehidupan masyarakat Loloan yang semakin sulit
untuk melakukannya secara indivual disebabkan terbentur masalah biaya. Di
samping juga disebabkan oleh faktor kesibukan dari masing-masing warga. Dengan
Ngeruwah Akbar ini, mereka dengan mudah dapat melakukan kirim doa dan pahala
amal sholeh kepada arwah leluhurnya tanpa harus mengganggu kesibukan mereka dan
tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak.
Kegiatan
inti Ngeruah Akbar antara lain : pembacaan Al-Fatihah yang pahalanya ditujukan
kepada arwah leluhur masyarakat Loloan yang jumlahnya lebih dari 1900 orang,
disertai dengan menyebut nama mereka satu persatu; diteruskan membaca beberapa
ayat suci Al-Qur’an, dzikir istighotsah dan kalimat thoyyibah (tahlilan), kemudian diakhiri dengan pembacaan doa mohon ampunan
kepada Allah untuk para arwah leluhur yang diselameti. Pembacaan
tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh ahli waris yang hadir.
___________________________________
*). Diolah dari berbagai sumber :
A.A. Wirawan, Islam di Bali: Sejarah
Masuknya Agama Islam di Bali, Pemda Tk.I
Bali, Proyek Peningkatan Sarana &
Prasarana Kehidupan Beragama, Denpasar
1997/1998
Alwi Sofwan, Kerajaan Islam, PN.Pustaka
Al Alawiyah, Semarang, 1991
Ginarsa
& Suparman. H.S, “Umat Islam di Buleleng”, dalam Saleh Saidi (ed.), Sejarah
Keberadaan Ummat Islam Di Bali.
Denpasar: Majelis Ulama Indonesia Bali.
I Wayan Reken, Islam di Bali, Pemda
Bali, PPSPKB, 1997/1998
Solichin Salam, Sekitar Wali Songo, PN.
Menara Kudus, 1960
Toyib Zaen Arifin, Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul
Auliya Wali Pitu di Bali, PP
Al- Khoiriyah, Denpasar, 1998
http://emka.web.id/ke-nu-an/2012/kyaipedia-kh-ahmad-al-hadi-jembrana/
http://regional.kompas.com/read/2012/08/10/16311253/Nyama.Kampung.Menyama.di.Loloan
http://rozikeane.wordpress.com/sejarah-loloan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar