__________________________
Ida Bagus Sugianto
ABSTRAK
Geguritan adalah salah satu karya sastra yang populer di
Bali. Suatu bentuk karya sastra yang berkembang di Kabupaten Jembrana, Bali
adalah Geguritan Ahmad Muhammad, yang merupakan geguritan perpaduan antara dua
kebudayaan yaitu, kebudayaan Hindu dan Islam. Karya ini merupakan suatu varian
budaya yang unik, yang terbentuk dari dua kebudayaan tadi. Geguritan yang
bernafaskan Islam yang berkembang di Jembrana ini, tidak terlepas dari masuknya
suku-suku pendatang seperti Bugis dan Pontianak ke Jembrana. Kebudayaan Plural
yang berkembang kemudian menciptakan suatu karya budaya yang dapat mengembangkan
varian yang unik dan digunakan dalam upacara siklus hidup baik masyarakat
Bali-Hindu maupun masyarakat Bali-Islam.
Kata Kunci: kebudayaan
plural, karya sastra unik.
ABSTRACT
Geguritan
is one of the popular literary works in Bali. Geguritan Ahmad Muhammad is a
form of literature that develops in Jembrana District, Bali, it is blended
Geguritan among two cultures those are, Hindu and Islamic culture. This
literary work is a unique cultural variant, which is formed from two those
cultures. Islamic Geguritan develops in Jembrana, not apart from the entry of
immigrant ethnics to Jembrana, such as Bugis and Pontianak. The develop plural
culture then creates a work culture that can develop a unique variant and it
used in the life cycle ceremony both for Balinese Hindu and Balinese Moslem.
Keywords:
plural culture, unique literary work.
A. PENDAHULUAN
Keberadaan orang-orang Bugis di Jembrana tidak terlepas
dari situasi politik yang terjadi di Nusantara pada abad
ke-16. Penyebaran orang-orang Bugis ini selain dikarenakan oleh budaya maritim
orang-orang Bugis, juga dikarenakan perlawanan orang-orang Bugis terhadap
Belanda. Hal ini dapat dilihat dengan kedatangan orang-orang Bugis di Jembrana
yang menurut informasi dari sumber-sumber lokal dan pada tulisan Datuk Haji
Sirad mengatakan bahwa orang-orang Bugis datang dari Makassar sewaktu terjadi
peperangan antar kerajaan di Sulawesi Selatan bersamaan dengan datangnya
Belanda (VOC) untuk merebut Makassar. Belanda baru berhasil merebut Makassar
setelah diadakannya perjanjian Bungaya pada tahun 1667 (Farid, 1980: 80).
Pada awalnya, orang-orang Bugis memasuki
wilayah Jembrana pada tahun 1653, tepatnya di pantai selatan di desa Air Kuning
dengan menggunakan perahu perang jenis pinisi dan lambo (Tim Penulis, 1983: 119). Kedatangan dari orang-orang
pendatang ini ke Jembrana sudah barang tentu menyebabkan pluralnya komposisi
penduduk yang ada di Jembrana. Sebagai daerah dengan penduduk pluralnya,
Jembrana termasuk sebagai wilayah yang berhasil mengakomodasi hubungan antar kelompok
penduduk yang beragam. Keberhasilan akomodatif dalam peluluhan budaya ini
berimplikasi terhadap kehidupan sosial budaya setempat secara kondusif.
Berkembangnya afinitas kultural yang dapat mengakomodasi perbedaan yang ada
memungkinkan akulturasi kebudayaan dapat berkembang secara positif di Jembrana
(Arsana, 1997: 6). Afinitas kultural dapat mengarah pada pembentukan
variasi-variasi dan terintegrasi sebagai suatu konfigurasi sistem kebudayaan
serta mampu mengisi baik infra maupun supra struktur kebudayaan di Jembrana,
seperti aspek fisik, perilaku, maupun nilai. Bidang-bidang kebudayaan yang memperlihatkan kaitan dengan
itu diantaranya bahasa dan kesenian.
Dalam seni sastra, geguritan sebagai
salah satu bagian seni sastra yang dikenal luas di seluruh Bali, ternyata mampu
dikembangkan dalam varian yang agak khusus di Jembrana. Tembang dalam
melagukannya memakai irama Bali, sedangkan tema lagunya diambil dari
hikayat-hikayat Melayu, seperti misalnya Seh Ahmad Muhammad, Siti Bagdab, dan
Johan
Sah. Jenis kesenian ini biasanya dipentaskan dalam acara-acara selamatan
seperti pernikahan, kelahiran bayi, dan tiga bulanan (Nyambutin, Bahasa Bali).
Dalam perkembangannya geguritan Ahmad
Muhammad sampai sekarang masih digunakan dalam acara-acara pernikahan, tiga bulanan,
sunatan, atau dalam upacara Mauludan di Jembrana. Dalam upacara pernikahan dan
tiga bulanan baik itu dilaksanakan oleh penduduk Bali-Hindu maupun Bali-Islam
(terutama di Loloan), geguritan Ahmad Muhammad selalu didendangkan. Dalam
geguritan ini banyak terdapat petuah dan pesan-pesan terutama bagi mereka yang
memasuki kehidupan baru (menikah), dan tentang bagaimana seseorang seharusnya
menjalani kehidupannya setelah melalui masa pernikahan.
Dalam Geguritan Ahmad Muhammad terdapat
berbagai nilai-nilai yang dapat dipelajari sebagai bekal untuk seseorang dalam
menjalani kehidupan berumahtangga serta bagaimana seharusnya sikap seseorang
baik sang suami maupun istri dalam bersikap dan bertindak setelah tiba waktunya
bagi mereka memasuki masa untuk berumah tangga. Sikap seorang suami sebagai
kepala rumah tangga
dan sikap istri sebagai pendamping, sikap mereka dalam mendidik anak dan
nilai-nilai yang hendaknya dituruti sehingga kehidupan keluarga dapat dijalani
dengan baik dan bahagia.
Dari
pemaparan singkat tentang salah satu
bentuk kesenian (karya sastra) yang berkembang di Jembrana sebagai
implikasi dari afinitas plural masyarakat di Jembrana dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana munculnya
Geguritan Ahmad Muhammad di Jembrana?
2. Nilai dan Makna apa saja yang terdapat dalam Geguritan
Ahmad Muhammad?
3. Bagaimana pengaruh Geguritan Ahmad Muhammad terhadap
kehidupan masyarakat plural di Jembrana?
Adapun tujuan dari penggarapan sejarah budaya yang berwujud kesenian (karya
sastra), dan merupakan hasil dari akulturasi masyarakat plural yang ada di
Jembrana, adalah untuk memahami perkembangan dari suatu karya seni yang
menjadi landasan bagi kehidupan masyarakat plural di Kabupaten Jembrana, Bali;
Untuk mengungkap keberadaan masyarakat pendatang di kabupaten Jembrana; Untuk
memahami pola akomodasi kehidupan yang multi etnik di Jembrana; serta
Mengidentifikasi karya budaya unik yang terbentuk dari afinitas masyarakat
plural (Hindu-Islam) ditengah semakin maraknya pengakuan budaya bangsa oleh
bangsa lain.
Untuk dapat mengungkap sejarah budaya dalam hal ini
sejarah karya sastra berupa Geguritan yang merupakan hasil akulturasi dari
beragamnya masyarakat Jembrana, diperlukan suatu kerangka konseptual seperti
yang relevan dengan objek yang akan dikaji. Untuk dapat membedah nilai sejarah
dari Geguritan Ahmad Muhammad akan digunakan beberapa teori, diantaranya teori
semiotik (pemahaman terhadap simbol), yaitu teori dari F. W. Dillistone
yang menyebutkan simbol sebagai suatu
kata atau benda atau tindakan yang mewakili atau menggambarkan sesuatu yang
lebih besar atau sebuah makna, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan,
masyarakat, konsep, dan realitas . Benda
atau kata atau tindakan adalah simbol dan makna, realitas, cita-cita,
nilai, kepercayaan, masyarakat, dan konsep, adalah refren (Dillistone, 2002: 21). Budaya
manusia terwujud karena perkembangan lingkungan serta norma-norma hidupnya.
Norma hidup ini terwujud dalam bentuk alam pikiran, alam budi, karya, tata
susila, dan seni. Alam seni terbagi menjadi beberapa bagian yakni; seni rupa
(pahat dan lukis), sastra, suara, tari, musik, drama, olah raga dan sebagainya.
Menurut Clifford Geertz, kebudayaan adalah pola dari
makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.
Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan
diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi,
mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap
terhadap kehidupan ini. Titik sentral rumusan kebudayaan Geertz terletak pada
simbol bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol
terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang
kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai; dan di sisi lain
simbol merupakan acuan wawasan yang memberi petunjuk bagaimana warga budaya
tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi, dan representasi
realitas sosial (Sobur, 2003: 178).
Sesuai dengan objek penelitiannya, penelitian ini
menggunakan metode sejarah. Proses penelitian sejarah tidak terlepas dari
definisi sejarah secara umum. Sejarah adalah ilmu yang mempelajari dinamika dan
perkembangan kehidupan manusia sebagai mahluk sosial pada masa lampau (Taufik Abdullah,
1990: 6), mengaitkan dan merekonstruksikannya dalam bentuk tulisan yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai karya tulis sejarah. Hasil penulisannya adalah
sejarah sebagaimana dikisahkan, yang menerangkan dan memahami peristiwa
sebagaimana terjadi.
Untuk memenuhi standar penulisan sejarah digunakan metode
sejarah yang pada pokoknya terdiri dari beberapa bagian yaitu; 1.Heuristik, 2.
Kritik Sumber, 3. Interpretasi atau Auffasung, 4. Historiografi atau
Darstellung (Gottschalk, 1986: 18). Heuristik adalah bentuk teknik menemukan
sumber sejarah, baik di perpustakaan, koleksi pribadi, museum maupun dilokasi
peristiwa, sumber-sumber tersebut terdiri dari dua jenis yaitu sumber primer
(relevan dengan permasalahan) dan skunder (sumber pendukung). Heuristik dapat
dilakukan pula dengan lisan, dan untuk mendapatkan sumber lisan dilakukan
wawancara. Kebenaran suatu fakta sangat tergantung pada kemampuan untuk
mempergunakan teknik kritik sejarah baik itu ekstern maupun intern.
Interpretasi pada pokoknya selalu digunakan dalam setiap penulis sejarah
seperti halnya sejarawan, harus mempunyai suatu pandangan sejarah baik itu
sejarah lokal maupun sejarah Indonesia.
Kajian
pustaka mempunyai fungsi ganda, yaitu di satu pihak untuk memperdalam dan
memperluas wawasan tentang masalah yang akan dibahas atau relevan terhadap
masalah-masalah yang akan dipecahkan (dapat dikatakan sebagai sumber primer). Di pihak lain, kepustakaan merupakan
sumber sekunder yang memberikan data sebagai pembanding terhadap data di
lapangan. Sumber Primer yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah
Geguritan Ahmad Muhammad yang dialih aksarakan oleh I Gusti Kade Arka – Antap.
Alih aksara geguritan Ahmad Muhammad ini kemudian disalin oleh I Gusti Agung
Komang Widana.
Selain kajian pustaka untuk dapat
melengkapi sumber juga dilakukan wawancara. Jenis-jenis wawancara yang dipakai
adalah wawancara terpimpin dan wawancara mendalam (Koentjaraningrat, 1977 :
162-171). Dalam pelaksanaan
metode ini telah pula disiapkan pula satu pedoman wawancara atau interview guide bagi si peneliti.
Pedoman wawancara ini memuat pokok-pokok permasalahan dari substansi
penelitian. Dengan demikian pewawancara mempunyai kebebasan untuk menggunakan
caranya sendiri dalam mengajukan pertanyaan, sepanjang tidak menyimpang dari
pokok permasalahan yang dimuat dalam pedoman wawancara. Karena dalam penelitian ini periodesasinya
mengambil abad ke-19, maka jenis pengumpulan data dengan cara wawancara hanya
digunakan sebagai pembanding (Sumber Sekunder).
B. PEMBAHASAN
Munculnya
Geguritan Ahmad Muhammad Dalam Kehidupan Masyarakat Plural di Jembrana
Manuskrip peninggalan dari masa lampau dapat
ditemui di hampir semua daerah di Indonesia. Teks-teks itu adalah curahan jiwa
orang masa lampau dan dapat dijadikan sumber untuk membina kebudayaan dan mengembangkannya,
karena dari manuskrip tersebut dapat dipelajari falsafah, kepercayaan dan
masalah yang bersangkutan dengan kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh.
Pernyataan ini senada dengan pandangan Ikram (1980:76) yang menyatakan
manuskrip adalah sumber yang tidak ternilai harganya karena ia mengandung
gambaran mengenai pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan, dan sistem nilai
masa lalu.
Dalam khasanah Sastra Bali, Geguritan telah terkenal pada kerajaan Klungkung sekitar awal abad
ke-18. Karya sastra yang berbentuk puisi itu menggunakan bahasa Bali Kawi
(identik dengan bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan) dan
bahasa Bali Kepara (bahasa Bali Lumrah - bahasa Bali yang digunakan
sehari-hari) untuk keserasian tembang atau irama dalam bait.
Manuskrip Geguritan yang bernuansa
Islam di Bali tidak dapat dipisahkan dari masuknya suku bangsa seperti Jawa,
Bugis, Sasak, Madura dan Melayu ke daerah ini. Dari cerita turun-temurun itu
terdapat keterangan bahwa sebanyak 40 orang Islam yang mula-mula datang ke Bali
sebagai pengiring kepada Dalem Ketut Ngelesir (Raja Gegel) ketika pulang dari
kunjungannya ke Majapahit. Semasa pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel,
sekitar tahun 1460, datanglah utusan dari Demak, namanya Kyai Jalil, yang
selanjutnya mengembara ke arah timur di daerah kabupaten Karangasem (Wirawan
dalam Saidi 2002:13). Tetapi, menurut Ginarsa dan Suparman (Saidi 2002:73-74),
umat Islam datang ke Buleleng pada sekitar tahun 1587, ketika Raja I Gusti
Ngurah Panji Sakti dan tentaranya berjaya menaklukan Blambangan. Lama kelamaan,
banyak orang Jawa dari Blambangan, Pasuruan, Probolinggo, Ponorogo, Mayong,
selain orang Bugis (akibat dikejar kapal-kapal Kompeni) bermukim di Buleleng,
sebuah tanah jajahan.
Interaksi antara penduduk Bali (yang beragama
Hindu) dengan orang Islam yang datang ke Bali sejak beberapa abad yang lalu itu
memungkinkan mereka saling mempengaruhi, baik dari segi sosial maupun budaya.
Hal itu dibuktikan dengan masyarakat Kampung Muslim di desa Pegayaman
(Buleleng) sampai kini masih menggunakan nama depan khas Bali, termasuk I Wayan
Ibrahim, I Made Shaleh Saad, I Nyoman Nurcholis Jamal dan I Ketut Imanuddin
(Kusuma, Geguritan Nabi muhammad: Cermin
Akulturasi Budaya Hindu-Islam di Bali, lihat www. kemuning bali. com, akses
tanggal 20 Juni 2010).
a. Lintasan Sejarah Masuknya Umat Islam di Jembrana
Keberadaan Umat Islam di Jembrana diawali dengan
kedatangan orang-orang Bugis di Desa Air Kuning. Setelah perang Makassar 1667
banyak pedagang-pedagang Bugis yang meninggalkan tanah kelahirannya karena
terdesak oleh Belanda dan melihat Bali (Sunda Kecil) masih belum terjamah oleh
Belanda pada saat itu. Kedatangan pelaut-pelaut Bugis di bawah pimpinan Daeng
Nachoda di pelabuhan Air Kuning dalam usaha mereka menghindar dari kejaran
Belanda. Keberadaan orang-orang Bugis yang pernah berlabuh di pelabuhan Air
Kuning dibuktikan dengan adanya sebuah sumur air tawar yang sekarang masih ada
yaitu Sumur Wajo. Sumur Wajo
dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan Semer Bajo,
lokasi sumur tersebut terletak di Kuala Perancak sebelah barat (Reken: 2002, 45). Dalam
perkembangannya orang-orang Bugis memegang peranan penting di kerajaan Jembrana
baik itu dalam bidang perekonomian, politik, militer, sosial dan budaya.
Di bidang perekonomian perahu-perahu orang Bugis berperan
dalam mengangkut hasil pertanian dan perkebunan kerajaan Jembrana dalam
memperdagangkannya ke daerah lain. Kebanyakan orang-orang Bugis di Jembrana
bermatapencaharian sebagai nelayan, perahu yang digunakan untuk melaut
menggunakan kontruksi dasar tradisional perahu pinisi. Dalam memajukan kerajaan
Jembrana orang-orang Bugis sangat berperan terutama melancarkan perekonomian
kerajaan Jembrana dengan memanfaatkan kepiawaian mereka dalam berdagang dan
mengarungi lautan. Mereka berhubungan dengan pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur,
bahkan sampai Palembang dan Sumbawa, Daeng Nachoda beserta anak buahnya juga
melebarkan sayap perdagangannya sambil menyebarkan agama Islam. Pada awal abad
ke-18, kerajaan Jembrana mulai dikenal berkat aktivitas perahu-perahu dagang
Bugis-Makassar (Suwitha: 1985, 166).
Di bidang sosial dan budaya dapat dilihat dari
keikutsertaan orang Bugis dalam keanggotaan subak, organisasi banjar dan gotong
royong (Yuliani: 1993, 2). Dalam kehidupan
berkesenian terdapat kesenian diantaranya seni tari dan nyanyi serta kesenian
bela diri silat. Melalui seni tari dan nyanyi serta silat inilah kemudian
dakwah dilakukan yang mengundang banyak peminat, dan agama Islam menyebar
sampai di desa Banyubiru. Dalam bidang sastra berkembang Bahasa Melayu Loloan
dan karya sastra berupa Geguritan yang dapat dikembangkan melalui suatu varian
yang beda dan unik diantaranya Geguritan Ahmad Muhammad (Masyarakat di Jembrana
melafalkannya/menyebutnya dengan Geguritan
Amad).
Kedatangan Islam ke Jembrana selanjutnya adalah datangnya
perahu layar bersenjatakan meriam dari arah timur yang ternyata mereka ini
adalah sisa eskuadron Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al-Qodery. Kedatangan
mereka merupakan bentuk ketidaksetujuan adik sang Sultan yaitu Syarif Abdullah
bin Yahya Maulana Al-Qodery atas tindakan kakaknya (Syarif Abdurrahman Al- Qodery), yang
menyerahkan kedaulatan negerinya pada Kompeni Belanda pada tahun 1799 (Reken: 2002, 52).
Dengan bantuan
Syahbandar, Syarif Abdullah bin Yahya Maulana Al-Qodery diantar ke daerah yang
sedang dibangun oleh raja Jembrana keempat (Anak Agung Putu Seloka). Daerah
tersebut dinamakan ”Negara”, terletak di pinggiran sungai Ijogading. Beliau
kemudian menawarkan bantuan kepada raja Jembrana dalam membangun kerajaan
Jembrana (Reken: 2002, 54).
b. Pengenalan Beberapa Kesenian oleh Masyarakat
Islam
Dalam bidang kebudayaan, terutama di bidang kesenian,
masyarakat Bugis memperkenalkan seni silat kepada masyarakat lokal. Beberapa
kesenian yang dapat membaur dalam kehidupan masyarakat plural di Jembrana
diantaranya seni silat Bugis. Kesenian silat
dengan tabuhan genderang gaya Bugis (Makassar), di Jembrana pertama kali
diajarkan oleh Daeng Marema dan Daeng Si Kuda Empat. Kedua tokoh Bugis ini
menarik simpati rakyat yang beragama Hindu, kemudian makin banyak pengikutnya
yang memasuki agama Islam (Reken: 2002, 50). Selain seni silat juga
diperkenalkan seni musik yang berupa kesenian dengan menggunakan Rebana dan
dikenal dengan sebutan seni Burdah.
Kedua kesenian masyarakat Bugis ini
dapat berkolaborasi dengan seni masyarakat lokal yaitu seni Jegog. Kolaborasi antara seni masyarakat
Bugis dengan masyarakat lokal Jembrana dikenal dengan nama Joged Janturan (Reken: 2001).
Dalam seni sastra, geguritan sebagai
salah satu bagian seni sastra yang dikenal luas di seluruh Bali, ternyata mampu
dikembangkan dalam varian yang agak khusus di Jembrana. Tembang dalam
melagukannya memakai irama Bali, sedangkan tema lagunya diambil dari
hikayat-hikayat Melayu, seperti misalnya Seh Ahmad Muhammad, Siti Bagdab, dan
Jon Sah. Dalam perkembangannya geguritan Ahmad Muhammad sampai sekarang masih
digunakan dalam acara-acara pernikahan, tiga bulanan, sunatan, atau dalam
upacara Mauludan di Jembrana. Dalam upacara pernikahan dan tiga bulanan baik
itu dilaksanakan oleh penduduk Bali-Hindu maupun Bali-Islam (terutama di
Loloan), geguritan Ahmad Muhammad selalu didendangkan. Dalam geguritan ini
banyak terdapat petuah dan pesan-pesan terutama bagi mereka yang memasuki
kehidupan baru (menikah), dan tentang bagaimana seseorang seharusnya menjalani
kehidupannya setelah melalui masa pernikahan.
c. Identifikasi Naskah Geguritan Ahmad
Muhammad
Naskah Geguritan Ahmad Muhammad berupa lontar, merupakan
koleksi pribadi dan saat ini tersimpan di Banjar Antap, Desa Mendoyo Dangin
Tukad, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Naskah geguritan ini telah dialih aksarakan oleh I
Gusti Kade Arka pada tanggal 17 – 5 – 1997, dan dituliskan kembali oleh I Gusti
Agung Komang Widana pada hari Umanis Galungan (sehari setelah hari raya
Galungan) pada tanggal 25 – 4 – 2002.
Lontar Geguritan Ahmad Muhammad (para kelompok nyanyi
atau sekaa santi di Jembrana lebih mengenal dengan sebutan Geguritan Amad atau Geguritan
Amad Muamad) ditulis diatas daun lontar sejumlah 102 halaman bolak balik,
dengan ukuran Panjang = 49 cm, lebar 3,5 cm, dengan tebal lontar = 1 mm.
Halaman pertama dan halaman terakhir dari lontar kosong (disebut dengan pengangkep lontar), dan tiap halaman
terdiri dari empat baris (pada) atau satu bait, namun tidak setiap halaman
terdiri dari satu bait, dalam satu halaman terdapat tiga baris karena salah
satu dari barisnya panjang sehingga untuk melengkapkan satu baris terdapat di
halaman selanjutnya.
Bahasa yang digunakan dalam geguritan ini adalah bahasa
Bali Kepara/Kasar. Kulit Lontar/sampul Lontar menggunakan kayu jati dan tempat
dari lontar (keropak/kotak) menggunakan kayu jati. Seperti telah diutarakan sebelumnya, naskah Geguritan Ahmad Muhammad yang disalin dari lontar oleh I Gusti Kade Arka pada tanggal 17 – 5 – 1997, dan ditransliterasikan dalam huruf latin oleh I Gusti
Agung Komang Mudana pada tanggal 25 – 4 – 2002, pada halaman pertama terdapat
judul dari geguritan yaitu “PUNIKI GEGURITAN AMAD” (inilah geguritan ahmad),
“Pupuh Ipun Dang Dang” (tembangnya adalah dandang), terdapat penyalin dari
lontar, yaitu I Gusti Kade Arka, dari Desa Antap, selanjutnya terdapat
penterjemah dari lontar tersebut yaitu, I Gusti Agung Komang Widana, serta
terdapat pula juru ketik dari naskah yang ditransliterasikan oleh I Gusti Made
Subrata. Pada halaman naskah yang telah tertranslasikan mulai dituliskan
bait-bait pupuh dang dang Ahmad Muhammad, namun arti dari tiap-tiap baris yang
dinyanyikan tidak dituliskan langsung pada naskah yang telah
ditranslliterasikan, tugas dari juru arti
yang nantinya mengartikan baris yang ditembangkan (dalam menembangkan geguritan
di Bali, terdapat dua orang, satu orang bertugas untuk menyanyikan baris-baris
dari geguritan dan satu orang bertugas sebagai orang yang
mengartikan/menyampaikan arti dari tembang yang dinyanyikan tersebut).
Setelah dibaca naskah dari geguritan Ahmad Muhammad ini,
dapat diungkapkan secara singkat sebagai berikut: Tersebutlah dua orang
bersaudara yang terkenal sangat sakti, yang lebih tua bernama Bagenda Ali
Sulaiman, dan yang lebih muda bernama Bagenda. Keduanya sangat sakti dan sangat
terkenal di seluruh jagad, namun walaupun sakti, terdapat juga sifat
kemanusiaan yang ada. Selanjutnya diceritakan di daerah lain terdapat seorang
yang sangat miskin bernama Tuan Abit, dan kekayaannya hanyalah mempunyai
seorang putri.
Putri dari Tuan Abit bernama Diah Sukaseni yang berparas
sangat cantik. Suatu hari saat Diah Sukaseni yang berparas sangat cantik namun
sangat miskin berjualan minyak dan mengalami musibah yaitu terjatuh. Guci yang
dibawa sebagai tempat minyak pecah, dan seluruh minyak yang terdapat di
dalamnya tumpah dan terhisap oleh tanah.
Saat Diah Sukaseni menangis meratapi kenyataan yang ada,
datanglah Bagenda Ali Sulaiman. Beliau terpesona akan kecantikan Diah Sukaseni,
beliau lalu bertanya kepada gadis yang menangis di depannya apa yang telah
terjadi. Setelah Diah Sukaseni menceritakan apa yang dialaminya, Bagenda Ali
Sulaiman menawarkan bantuan dengan syarat Diah Sukaseni mau untuk menjadi
istrinya. Diah Sukasenipun dengan serta merta menyanggupi apa yang diminta oleh
Bagenda Ali Sulaiman.
Bagenda Ali Sulaiman kemudian memunguti pecahan guci
tempat minyak yang dijajakan oleh Diah Sukaseni, dan dengan kesaktiannya guci
tersebut dapat kembali seperti semula. Tanah tempat jatuhnya minyak diambil
kemudian diperas oleh Bagenda Ali Sulaiman, minyakpun keluar dan ditempatkan
lagi ke guci yang telah dikembalikan bentuknya seperti semula. Dengan melakukan
semua ini Bagenda Ali Sulaiman telah melakukan pengingkaran terhadap Shang
Hyang Pertiwi, karena telah berani memeras tubuhnya. Bagenda Ali Sulaiman
kemudian dikutuk kelak apabila telah meninggal nanti, kelak tubuhnya tidak akan
diterima di tanah, atau tidak akan diterima oleh Hyang Pertiwi.
Bagenda Ali Sulaiman kemudian meminta maaf kepada Hyang
Pertiwi, dengan alasan bahwa semua itu dilakukan untuk menolong Diah Sukaseni.
Namun hal tersebut dipandang sebagai sifat congkak dari Bagenda Ali Sulaiman,
karena pertolongan yang diberikan Bagenda Ali Sulaiman menyertakan syarat yang
harus dipenuhi oleh Diah Sukaseni. Pertolongan itu dilakukan tidak dengan
keikhlasan, namun lebih dikarenakan ketertarikan Bagenda Ali Sulaiman terhadap
kecantikan paras dari Diah Sukaseni.
Singkat cerita, Bagenda Ali Sulaiman kemudian datang
bertamu ke rumah Diah Sukaseni, disambut dengan baik oleh kedua orang tua Diah
Sukaseni. Mereka menerima Bagenda Ali Sulaiman, yang merupakan orang yang telah
membantu putri mereka dalam menghadapi permasalahan, sementara mereka merasa
bersalah telah meragukan kesaktian dari Bagenda Ali Sulaiman. Bagenda Ali
Sulaiman sendiri memohon maaf kepada kedua orang tua dari Diah Sukaseni, karena
baru dapat berkunjung.
Sementara Bagenda Ali Sulaiman berbincang dengan Tuan
Abit beserta istrinya, Diah Sukaseni bekerja di dapur untuk menyiapkan makanan
dan minuman.Setelah siap, tanpa sengaja Diah Sukaseni bertabrakan dengan
ibunya. Semua makanan dan minuman yang ada di atas nampan jatuh dan gelas serta
piring pecah berantakan. Mendengar hal tersebut, Tuan Abit sangat terkejut dan
melihat apa yang terjadi. Bagenda Ali Sulaiman kemudian menolong untuk
mengatasi apa yang telah terjadi. Sekali lagi dengan kesaktiannya Bagenda Ali
Sulaiman kembali menyatukan seluruh barang (piring dan gelas) yang pecah, dan
mengembalikan makanan serta minumannya.
Tuan Abit kemudian memohon maaf kepada Bagenda Ali Sulaiman,
Tuan Abit juga mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Bagenda Ali Sulaiman
karena sudi membantu dirinya dan keluarganya yang miskin. Tuan Abit juga
menyatakan bahwa orang-orang seperti Bagenda Ali Sulaiman inilah yang sangat
diperlukan oleh dunia ini, untuk dapat menyatukan perbedaan-perbedaan yang
dapat memicu peperangan.
Bagenda Ali Sulaiman berkata kepada Tuan Abit untuk tidak
terlalu mengagungkan dirinya, karena untuk melakukan apa yang telah
dilakukannya untuk menolong beliau harus menanggung dosa, dan beliaupun
mengakui bahwa dirinya tetaplah mempunyai dosa sama layaknya seperti manusia
kebanyakan. Bagenda Ali Sulaiman kemudian menceritakan kembali apa yang telah
dialaminya bersama Diah Sukaseni, beliau juga mengatakan bahwa Diah Sukaseni
telah bersedia menjadi istrinya, dan sekarang kedatangan beliau juga untuk
meminta kepada Tuan Abit untuk bisa melepas putrinya diperistri oleh dirinya.
Lanjut cerita, pernikahan Bagenda Ali Sulaiman dengan
Diah Sukaseni berjalan dan dari pernikahan tersebut lahir dua orang anak.
Keluarga tersebut menjadi lengkap, dengan Bagenda Ali Sulaiman sebagai suami
yang memimpin rumah tangga, Diah Sukaseni sebagi istri yang mendampingi suami
dalam menjalankan bahtera rumah tangga, dan dua orang anak sebagai pelengkap
dan pelanjut kehidupan selanjutnya.
Singkat cerita, tiba saatnya keadaan dimana Bagenda Ali
Sulaiman telah mangkat/meninggal. Seperti kutukannya pada saat beliau menolong
Diah Sukaseni, maka tubuhnya tidak diterima oleh Sang Hyang Pertiwi. Saat
dilaksanakan upacara penguburan oleh Rsi Sulaiman, dan adik Bagenda Ali
Sulaiman yang bernama Bagenda, turunlah Hyang Pertiwi dan melarang jasad dari
Bagenda Ali Sulaiman untuk dikubur, karena Bagenda Ali Sulaiman telah berani
memeras tubuhnya untuk mengembalikan minyak yang telah tumpah pada saat
menolong Diah Sukaseni. Apabila jasadnya tetap akan dikubur, maka jasadnya
tidak akan diterima oleh tanah dan akan menghilang.
Rsi Sulaiman dan Bagenda sangat bingung akan hal yang
terjadi, kemudian meminta bantuan kepada Sang Hyang Surya. Hyang Suryapun
hendak menolong dengan memohonkan kepada Hyang Pertiwi agar jasad Bagenda Ali
Sulaiman dapat dikuburkan. Karena apabila tidak dikuburkan maka dunia akan
porak-poranda, karena akan tidak terjadi keseimbangan di dunia, setelah
mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Hyang Surya akhirnya luluh juga hati
Hyang Pertiwi dan mengijinkan tubuh atau jasad Bagenda Ali Sulaiman untuk
dikubur. Hyang Pertiwi hanya mengijinkan tubuh Bagenda Ali Sulaiman saja untuk
dikubur, dan beliau memberikan pesan nantinya apabila tubuh seorang pemimpin
agama atau pembimbing dalam kehidupan telah meninggal maka tubuh beliau
tidaklah boleh menyentuh tanah.
Sekarang Diah Sukaseni harus menghidupi hidupnya dengan
kedua anaknya dari pernikahan dengan bagenda Ali Sulaiman. Kedua anak itu
adalah Si Ahmad dan Muhammad. Sekarang kedua anaknya, telah bersekolah. Bagenda
Ali Sulaiman yang menyaksikan keduanya dari surga sangat sedih melihat apa yang
dialami oleh Diah Sukasesni di dunia. Beliau kemudian meminta kepada Hyang Guru
untuk memberikannya agar kembali ke dunia dan membantu kehidupan istrinya, Diah
Sukaseni. Hyang Guru tidak dapat memenuhi permintaan dari Bagenda Ali Sulaiman,
namun Hyang Guru memberikan jalan kepada Bagenda Ali Sulaiman agar dapat kembali
menemani keluarganya tetapi sebagai seekor burung perkutut.
Diceritakan sekarang Diah Sukaseni hendak pergi ke pasar.
Setelah kedua anaknya telah datang dari sekolah, Diah Sukaseni kemudian
berangkat ke pasar, di tengah perjalanan Diah Sukaseni bertemu dengan seseorang
yang sudah tua, yang menawarkan burung perkutut. Diah Sukaseni merasa bimbang,
namun akhirnya Diah Sukaseni mau membeli burung tersebut, namun dia harus ke
pasar dahulu untuk berdagang agar uang yang diperlukan untuk membeli burung
tersebut genap jumlahnya.
Orang tua pedagang burung tersebut bertanya mengapa
sangat lama Diah Sukaseni berjualan. Dan dijawab dengan kasar oleh Diah
Sukaseni bahwa sangat sulit mencari uang. Mendengar jawaban kasar dari Diah
Sukaseni, orang tua pedagang burung itu sangat marah dan mengutuk Diah Sukaseni
tidak akan menemukan apa yang diinginkan karena telah bersikap kasar kepada
orang yang sudah tua.
Diceritakan sekarang, burung yang dibeli sangat banyak
orang yang menginginkannya. Suara burung tersebut sangat merdu dan keras.
Hingga suatu saat ada seorang saudagar Bugis yang baru saja berdagang datang
untuk berlabuh. Dia terpesona mendengar suara burung perkutut yang sangat merdu
sekali, dan serta merta menyuruh anak buahnya untuk mencari asal suara merdu
burung tersebut.
Lalu, ditemukanlah rumah tempat burung tersebut berada,
yaitu di rumah Ahmad dan Muhammad. Burung tersebut ingin dibelinya seharga
seribu ringgit, namun Ahmad dan Muhammad tidak berani untuk menjualnya. Karena
sangat ingin memiliki burung tersebut, sang saudagar mengguna-gunai Diah
Sukaseni. Diah sukaseni menjadi sangat suka kepada sang saudagar itu, dan
gampang sekali marah kepada anak-anaknya, dan sudah tidak perduli lagi kepada
anak-anaknya. Melihat keadaan ibunya seperti itu, Ahmad dan Muhammad terus
berdoa dan berharap kepada Tuhan agar ibunya diselamatkan.
Suatu hari saat Ahmad dan Muhammad sedang bersekolah,
saudagar Bugis itu menyuruh Diah Sukaseni untuk menyembelih burung perkutut
itu, kemudian memanggangnya. Diceritakan sekarang Ahmad dan Muhammad telah
pulang dari sekolah, Ahmad menanyakan kepada ibunya, dimana burungnya ditaruh.
Diah Sukaseni mengatakan bahwa burungnya telah diserang kucing, namun tubuhnya
masih tersisa dan dipanggangnya untuk lauk. Ahmad dan Muhammad sangat sedih akan
hal tersebut, namun karena merasa lapar lalu keduanya memakan burung panggang
itu.
Setelah selesai makan datanglah saudagar Bugis itu
kembali, dan menanyakan dimana burung perkutut panggang disimpan kepada Diah
Sukaseni. Diah Sukaseni kemudian menanyakan kepada kedua anaknya dimana burung
panggang itu, dan dijawab bahwa mereka telah memakannya. Mendengar hal itu sang
saudagar sangat marah. Ahmad dan Muhammad kemudian berlari dari rumahnya dan
dikejar oleh sang saudagar. Mereka kemudian menemukan gua dan masuk kesana, dan
bertemu dengan seorang Rsi bernama Dukuh Emas. Sang saudagar tetap menunggu di
mulut goa.
Ahmad dan Muhammad kemudian diberikan senjata oleh Dukuh
Emas, dan mereka keluar untuk bertarung dengan saudagar Bugis yang telah
mengejarnya. Akhirnya sang saudagar berhasil dilumpuhkan. Ahmad kemudian
mengajak kakaknya Muhammad untuk pulang. Ajakan tersebut ditolak oleh Muhammad
karena ia merasa tidak diterima lagi di rumahnya. Muhammad kemudian mengajak
adiknya untuk melanjutkan pengembaraan di dalam hutan. Setelah melakukan
perjalanan menelusuri hutan, Muhammad merasa sangat lelah dan meminta untuk
istirahat, Muhammad juga merasa haus dan meminta adiknya Ahmad untuk mencarikan
air minum. Ahmad pun menyanggupi kakaknya, dan meminta kakaknya menunggu dibawah
pohon sementara ia akan mencarikan kakaknya air.
Tidak diceritakan bagaimana Ahmad mencarikan air untuk
kakaknya. Sekarang diceritakan bahwa di suatu daerah yang bernama Mesir, telah
terjadi huru-hara di kerajaan sepeninggal dari Raja. Kemudian diadakan
pertemuan untuk mencari seorang Raja yang akan memimpin jagat Mesir. Pertemuan
tersebut antara seluruh permaisuri, selir, punggawa kerajaan, mahapatih, dan
lainya berlangsung sangat alot. Tidak diceritakan bagaimana perjalanan
pencarian raja oleh mahapatih dan punggawa kerajaan Mesir. Diceritakan sekarang
patih dan punggawa telah sampai di tempat Muhammad yang sedang istirahat dan
menunggu adiknya membawakan air minum. Melihat seorang anak yang tampan dan
tampak gagah berwibawa walaupun sedang kelelahan, salah satu punggawa kerajaan
melaporkan kepada patihnya. Kemudian sang patih menemui Muhammad dan meminta
kepadanya untuk ikut serta ke Jagat Mesir.
Ahmad yang mendapati kakaknya tidak ada, merasa sedih dan
berjalan menuju laut dan tertidur di tepi laut dan berpindah ke bawah pohon
pisang di sebuah kebun. Diceritakan sekarang hari telah pagi, yang punya
perkebunan dengan pembantunya telah terbangun. Si empunya (Siti Begedab) kebun
menyuruh pembantunya untuk menyediakan kebutuhan untuk mandi. Setelah mandi,
Siti Begedab meminta kepada pembantunya untuk memetik pisang yang telah matang,
maka pergilah pembantunya itu untuk memetik buah pisang. Baru akan memetik buah
pisang, sang pembantu menemukan seorang anak lelaki tertidur di bawah pohon
pisang, hal ini dilaporkannya kepada tuannya.
Siti Begedab kemudian menuju ke perkebunannya, dan dia
menemukan Ahmad (seorang anak lelaki) tertidur di bawah pohon pisang di
kebunnya. Dibangunkannya anak lelaki tersebut, dan ditanyakannya siapa dirinya
dan darimanakah asalnya. Lelaki tersebut menjawab bahwa dirinya bernama Ahmad,
dan dia tidak tahu dari manakah dirinya berasal. Akhirnya Siti Begedab meminta
pada Ahmad agar mau menjadi anaknya, karena ia tidak mempunyai anak laki-laki,
yang akan mewarisi apa yang dimilikinya. Ahmad mau untuk diangkat menjadi anak
oleh Siti Begedab, namun dia tetap minta izin agar diperbolehkan suatu saat
nanti untuk mencari kakaknya yang terpisah dengan dirinya.
Sementara itu, apa yang terjadi di jagat Mesir, Muhammad
telah diangkat menjadi raja disana. Kedatangannya disambut dengan meriah dan
pengangkatannya telah disetujui oleh seluruh rakyat. Dalam upacara
pengangkatannya Muhammad berjanji akan tetap menjalankan hal-hal yang dapat
memakmurkan rakyatnya, namun ia akan tetap
unuk mencari adiknya yang terpisah dengan dirinya, karena Muhammad dan adiknya
Ahmad, adalah saudara kandung yang tetap tidak akan bisa terlepas satu sama
lain. Dan untuk itu Muhammad akan terus berjuang sampai ia akan menemukan
kembali adiknya Ahmad.
Nilai dan Makna yang terkandung
dalam Geguritan Ahmad Muhammad
Menurut Sedyawati, untuk dapat memahami manuskrip maka
dilihat nilai-nilai yang terkandung di dalam manuskrip tersebut, untuk kemudian
dihayati. Nilai – nilai tersebut dapat dijadikan pedoman dalam hidup kita, selai
dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang(Sedyawati, 1995:65).
Nilai-nilai tersebut biasanya tersamarkan dalam bait-bait yang dinyanyikan, dan
terselubung dalam suatu kalimat yang harafiah. Untuk dapat memahami nilai-nilai
tersebut serta makna yang terkandung di dalamnya diperlukan intepretasi yang
sangat mendalam. Seperti halnya dalam memahami makna dalam suatu babad, sangat
diperlukan kritik yang sangat mendalam sehingga apa yang terkandung dalam babad
dapat ditranslasikan dalam kehidupan harafiah. Hal yang sama juga hendaknya
dilakukan dalam memahami nilai-nilai yang terkandung dalam manuskrip
tradisional.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa walaupun nilai yang
terkandung dalam manuskrip tradisional tersamar dalam bait-bait kata tertentu,
apabila dipahami secara mendalam dan telaten maka akan dapat dimengerti. Dalam
kerangka intepretasi itulah, maka karya sastra, termasuk manuskrip boleh
dijadikan suatu sistem nilai yang penting kepada manusia dan masyarakat pada
saat yang tertentu (Koentjaraningrat, 1990: 11).
Nilai yang terkandung dalam Geguritan Ahmad Muhammad
melekat pada kepribadian setiap tokohnya yang mempunyai perwatakannya
tersendiri. Melalui prilaku tokoh-tokoh itu dapat dibentuk nilai-nilai luhur
yang menjadi pedoman dan juga sumber rujukan kehidupan, utamanya nilai agama,
etika, sosial, kekerabatan, dan lain sebagainya.
a. Nilai dan Makna Agama.
Nilai Keagamaan dengan jelas dapat terlihat dari
nama-nama tokoh yang digunakan dalam geguritan Ahmad Muhammad adalah mengambil
nama-nama tokoh dari agama Islam, walaupun dalam ceritanya mengambil pemahaman
dalam agama Hindu. Nama-nama seperti Bagenda Ali Sulaiman, Tuan Abit, Muhammad,
Ahmad, Rsi Sulaiman, Siti Begedab, adalah nama-nama yang identik dengan umat
Islam. Setting kejadian dalam geguritan inipun menyebutkan Jagat Mesir, yang
tentunya merujuk kepada negara Mesir, daerah yang berdekatan dengan Timur
tengah, sebagai daerah yang berbasis Islam yang kental.
Makna yang dapat diambil dari pemaparan di atas adalah
seluruh agama dalah mengajarkan kedamaian dilihat dari dapat digunakannya
nama-nama tokoh dan tempat yang identik dengan umat Islam dalam cerita yang
menceritakan tentang kehidupan orang-orang Hindu. Toleransi antar umat beragama
terlihat jelas di sini, perbedaan keyakinan tidak mempengaruhi pola kehidupan
masyarakat yang plural di Jembrana, dan semua itu tergambarkan dalam suatu
karya sastra dengan varian yang unik seperti geguritan Ahmad Muhammad ini.
Selain itu terdapat pula kepercayaan dalan Agama Hindu
sampai sekarang seorang pendeta apabila telah meninggal maka prosesi ngaben
tidak akan dilaksanakan menyentuh tanah, dan akan dipergunakan lembu dalam
pembakaran jenazah seorang pendeta di Bali. Selain itu, Hyang Pertiwi juga
tidak bisa menerima alasan Bagenda Ali Sulaiman yang menolong tanpa keikhlasan
karena mau menolong dengan disertai syarat, yaitu Diah Sukaseni harus mau
menjadi istrinya. Makna yang dapat diambil adalah, untuk menjadi pendeta di
bali tidaklah orang sembarangan, namun orang tersebut harus dapat menempatkan kesalahan
orang lain menjadi kesalahannya dan siap menanggung penderitaan dari orang
lain, serta apabila menolong orang lain haruslah dengan keikhlasan (Suryanto,
2006: 43 - 44).
b. Nilai dan Makna Etika.
Nilai-nilai yang ada dalam etika kehidupan bermasyarakat
juga dapat dilihat adalah nilai kejujuran. Maknanya adalah untuk dapat
menjunjung nilai kejujuran memang sangatlah sulit dan penuh dengan rintangan.
Namun untuk dapat mencari kebenaran yang hakiki dengan kejujuranlah semua itu
bisa didapatkan, dan seberat apapun rintangan-rintangan itu menghalangi
kejujuran untuk dapat menunjukkan kebenaran, niscaya akan dapat dilalui dengan
keteguhan hati, karena kebenaran akan selalu menang dan terungkap pada
waktunya.
Nilai kesopanan juga terdapat dalam geguritan ini.
Maknanya apabila kita berbicara kepada orang yang lebih tua, sebagai orang yang
memegang adat ketimuran haruslah dengan sikap yang sopan dan sabar.
Bagaimanapun suasana hati kita apabila berhadapan dengan orang tua haruslah
bersifat sopan. Permasalahan akan dapat dengan cepat apabila diselesaikan
dengan kepala yang dingin, dan sebaliknya permasalahan yang seharusnya dapat
diselesaikan dengan mudah akan menjadi sulit dan justru tidak dapat terpecahkan
apabila dalam penyelesaiannya kita emosi, justru yang muncul kemudian adalah
dendam.
c. Nilai dan Makna Sosial
Nilai sosial tergambar dalam geguritan Ahmad Muhammad
adalah, untuk dapat mengambil seseorang menjadi pasangan hidup haruslah
mendapat restu dari orang tua. Hal ini juga sebagai legalitas dalam masyarakat
sebagai kelengkapan dalam menjadi anggota masyarakat. Dalam adat Bali seseorang
dapat dikatakan syah menjadi anggota masyarakat suatu daerah apabila telah
menikah. Makna yang dapat diambil adalah dalam melengkapi siklus dalam kehidupan agama Hindu mempunyai pemahaman
bahwa seseorang akan menjalani empat tahapan dikenal dengan nama Catur Ashrama,
yaitu Brahmacari (masa menuntut ilmu), Grahasta (masa berumah tangga),
Wanaprasta (masa menjauhkan diri dari nafsu keduniawian), Bhiksuka/Sanyasin
(masa mengabdikan diri pada nilai-nilai dari keutamaan Dharma dan hakekat hidup
yang benar). Untuk dapat memenuhi keempat hal tersebut seseorang harus
menyiapkan diri secara betul-betul, terutama pada saat akan menjalani kehidupan
berumah tangga, karena pada masa kehidupan inilah, rintangan dan hambatan akan
kehidupan yang sebenarnya akan dihadapi.
d. Nilai dan Makna Kekerabatan
Nilai kekerabatan terlihat jelas di sini. Kebersamaan
sebagai suatu keuarga sangatlah penting. Makna yang dapat diambil adalah kita sebagai
saudara kandung sangat perlu kebersamaan dan saling menolong, karena tidak akan
ada mantan adik atau mantan kakak. Garis darah telah mengikat seseorang dengan
keluarganya. Kebiasaan saling menolong diterapkan dulu dalam kehidupan di
keluarga dahulu, selanjutnya diterapkan pula dalam kehidupan bermasyarakat.
Pertalian darah antar saudara tidak dapat diputuskan,
walaupun seseorang telah menjadi orang yang sukses ataupun menjadi orang yang
telah berkuasa. Rasa persaudaraan akan tetap ada walaupun kondisi kehidupan
telah berbeda atau terpisah jauh. Seperti yang diceritakan pada Geguritan ahmad
Muhammad ini walaupun Muhammad telah menjadi seorang raja di jagat Mesir dan
ahmad telah dipungut oleh seseorang yang mempunyai kebun yang luas dan kaya,
namun keduanya tidak dapat menutupi keinginan masing-masing untuk dapat bertemu
kembali.
Keberadaan
Geguritan Ahmad Muhammad dalam Upacara Siklus Hidup Masyarakat Jembrana dan
Perannya dalam kesatuan plural di Jembrana
a. Geguritan
Ahmad Muhammad dalam Upacara Siklus Hidup Masyarakat Jembrana.
Upacara dalam siklus hidup masyarakat Jembrana biasanya
diawali dengan upacara tiga bulanan (bahasa Bali nyambutin), dalam upacara ini
bayi yang berumur tiga bulan diupacarai dan dalam prosesi upacara tiga bulanan ini
biasanya dinyanyikan geguritan Ahmad Muhammad sebagai pelengkap dari
upacaranya. Dalam menyanyikan Geguritan Ahmad Muhammad ini biasanya
ditembangkan pada malam hari sebelum besok paginya prosesi upacara tiga bulanan
dilaksanakan secara keseluruhan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh umat Muslim di wilayah
Loloan Timur, mereka juga melaksanakan upacara yang disebut Aqiqah. Upacara potong rambut untuk anak
yang berusia 3 bulan. Biasanya upacara ini dilaksanakan pada bulan Maulid,
upacara aqiqah ini biasanya dilanjutkan dengan upacara Maleh, prosesi acara aqiqah dan maleh adalah seorang anak yang
dibawa ke masjid dikelilingi oleh para kerabat dan tetangganya secara
bergantian dan kemudian sedikit demi sedikit rambutnya dipotong. Pada saat
pemotongan rambut inilah prosesi diiringi oleh kesenian Burdah dengan Geguritan Ahmad Muhammad dipakai untuk tembangnya.
Pada upacara ini juga dihiasi dengan telur-telur yang
disusun di sebuah batang pisang. Telur digunakan dalam upacara ini mempunyai
pengertian bahwa tidak akan mungkin terjadi kelahiran apabila tidak ada telur
terlebih dahulu (Panitia KKL IKIP Jakarta, 1996: 68). Pada upacara masyarakat
muslim lainnya, yaitu upacara sunatan,
Geguritan Ahmad Muhammad juga dinyanyikan dengan iringan kesenian adrah ataupun
burdah.
Upacara selanjutnya dalam siklus hidup masyarakat
Jembrana adalah Metugtug Kelihan (Upacara
untuk anak yang telah menginjak masa remaja). Dalam prosesi upacara ini juga
ditembangkan Geguritan Ahmad Muhammad. Seorang anak yang telah menginjak usia
13 – 15 tahun diupacarai sebagai penanda bahwa ia memasuki masa remaja. Hal
yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Muslim di Jembrana, mereka mengenalnya
dengan sebutan upacara Menek Trun/Menek
Truna. Sesaji yang dipersembahkan adalah nasi tumpeng dan sayur yang
berhiaskan bunga, sedangkan lauknya adalah daging untuk laki-laki dan telur
untuk perempuan. Pada masa lampau upacara ini merupakan masa awal pingitan bagi
anak perempuan, dan masa untuk kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dalam
keluarga bagi anak laki-laki. Dari sudut keagamaan, setelah ini para remaja
dibebani tugas-tugas keagamaan dan dikenai kaidah-kaidah yang menyangkut dosa
dan pahala (Soemarsono, 1993: 66).
Selanjutnya adalah upacara Potong Gigi (bahasa Bali, Mepandes), yang dalam prosesinya juga
ditembangkan Geguritan Ahmad Muhammad. Dalam upacara ini seorang akan
diupacarai untuk membersihkan sifat-sifat kemanusiawian yang ada dalam dirinya.
Dalam Agama Hindu dikenal enam musuh dalam kehidupan manusia atau dikenal
dengan sebutan Sad Ripu, yaitu Kama (hawa nafsu yang tidak
terkendalikan), Lobha (ketamakan,
ingin selalu mendapatkan lebih), Krodha (kemarahan
yang melampaui batas dan tidak terkendalikan), Mada (kemabukan yang membawa kegelapan pikiran), Moha (kebingungan, tidak dapat
berkonsentrasi yang berakibat individu tidak dapat menyelesaikan tugas dengan
sempurna), dan Matsarya (iri
hati/dengki yang dapat menyebabkan permusuhan) (lihat, www.babadbali.com, akses tanggal 22 Juni 2010).
Upacara siklus hidup masyarakat Jembrana selanjutnya yang
menggunakan Geguritan Ahmad Muhammad dalam prosesinya adalah upacara
pernikahan. Maksud dan tujuan dari ditembangkannya Geguritan Ahmad Muhammad ini
adalah agar mempelai berdua dapat mengambil nilai-nilai dan makna kehidupan
yang terangkum dalam Geguritan Ahmad Muhammad itu sendiri, dan diharapkan keluarga
yang dibina dapat menjadi bahagia. Nilai-nilai yang ada dalam Geguritan Ahmad
muhammad juga nantinya akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, karena
upacara pernikahan merupakan pengesahan bagi suatu pasangan untuk dapat
selanjutnya terjun dalam kehidupan masyarakat dalam kehidupan sosialnya.
b. Peran Geguritan
Ahmad Muhammad dalam menjaga kesatuan masyarakat Plural di Jembrana
Keberagaman etnik dari masyarakat Jembrana yang telah
hidup rukun selama berabad-abad telah menciptakan pola hubungan atau interaksi
baru yang menambah kasanah budaya. Bentuk-bentuk terjadinya akulturasi dari
keberagaman etnik yang ada di Jembrana dapat dilihat dari keberadaan Pan
Nyoling, seorang tokoh muslim dari desa Mertasari, mendirikan sekaa gending
yang anggotanya bukan saja dari orang Bali Islam tetapi juga orang Bali Hindu,
dan lewat sekaa gending yang diasuhnya ini Pan Nyoling juga melakukan dakwah
dan memperluas agama Islam sampai dengan desa Banyubiru.
Geguritan yang
merupakan salah satu bagian dari seni sastra yang dikenal luas di seluruh
pelosok Bali, mampu dikembangkan di Jembrana dalam varian khusus. Tembang dalam
melagukannya memakai irama Bali, sedangkan tema lagunya diambil dari
hikayat-hikayat Melayu, seperti misalnya Seh Ahmad Mohammad, Siti Baghdad, dan
Johan Syah.
Geguritan Ahmad Muhammad terbukti telah mampu menjaga
persatuan dan kesatuan dari keberagaman penduduk yang mendiami Jembrana. Memang
keterkaitan dari penduduk yang beragam di Jembrana telah terjadi pada masa
kerajaan, sehingga memberikan kesempatan pada karya-karya seni dapat berkembang
baik karya seni dari masyarakat Bali-Hindu, maupun dari masyarakat Bali-Islam.
Geguritan Ahmad Muhammad yang digunakan pada upacara
siklus hidup masyarakat Jembrana baik yang beragama Hindu, maupun beragama
Islam menunjukkan betapa berperannya karya sastra ini dalam menjaga kerukunan
antar umat beragama yang ada di Jembrana. Selain keterikatan sejarah yang
menjaga kerukunan agar tetap terjaga, karya sastra yang memang dikenal unik
karena memiliki varian baru dengan menyatukan dua unsur keagamaan juga berperan
dalam menjaga kelestarian dan kesinambungan kesatuan dan persatuan masyarakat
plural di Jembarana, Bali.
C. PENUTUP
Geguritan Ahmad Muhammad merupkan suatu karya sastra yang
bernafaskan Hindu, yang terkolaborasikan dengan nafas Islami. Tokoh-tokoh Hindu
dituliskan dengan menggunakan nama-nama yang bercirikan Islam, dan settingnya
juga banyak mengambil daerah-daerah islam seperti Jagat Mesir. Geguritan Ahmad
Muhammad ini sampai saat ini masih digunakan dalam upacara-upacara siklus hidup
masyarakat di Jembrana, baik masyarakat Hindu maupun masyarakat Islam.
Upacara-upacara itu misalnya tiga
bulanan, metugtug kelihan, mepandes/potong gigi, pernikahan oleh masyarakat
Hindu dan upacara aqiqah, maleh, menek
truna, dan sunatan oleh
masyarakat Islam.
Keberadaan Geguritan Ahmad Muhammad ini, yang digunakan
dalam upacara siklus hidup baik oleh masyarakat Hindu dan masyarakat Islam di
Jembrana merupakan perpanjangan akan pemahaman identitas diri dari masyarakat
plural di Jembrana. Pemahaman sejarah yang menggambarkan kesatuan dari
masyarakat berbeda latar belakang namun dapat hidup rukun berdampingan dapat
tetap terjaga dengan berkembangnya karya sastra yang dikembangkan dengan unik
ini. Apabila karya sastra ini dapat dijaga kelestariannya maka persatuan dan
kesatuan masyarakat akan tetap terjaga dan kehidupan menjadi damai selalu.
Salah satu karya sastra yang adiluhung ini hendaknya dapat dijaga
kelestariannya karena bukan hanya dapat berkembang dengan keunikannya, tetapi
juga dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat pendukungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah
Lokal Di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Arsana, I G N. 1997. “Pola Hubungan
Antar Suku Bangsa (Kasus Afinitas Kultural di Jembrana)”, Paper, Disampaikan pada Widyakarya Nasional Antropologi dan
Pembangunan, dan Kongres Antropologi Indonesia di Jakarta, tanggal 26 Agustus
1997.
Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan
Simbol: The Power of Symbols.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Farid, Andi Zainal Abidin. 1980.
“Penyebaran Orang-orang Bugis di Wilayah Pasifik”, dalam Lontara No. 7. Ujung Pandang: Universitas Hassanudin.
Ginarsa & Suparman. H.S, “Umat Islam
di Buleleng”, dalam Saleh Saidi (ed.), Sejarah Keberadaan Ummat Islam Di
Bali. Denpasar: Majelis
Ulama Indonesia Bali.
Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti
Sejarah (Trans, Nugroho Notosusanto), Jakarta: Universitas Indonesia.
Ikram, Achadiati. 1980. ”Perlunya Memelihara Sastra Lama”,
Analisis Kebudayaan, Jakarta: Universitas indonesia.
Koentjaraningrat.
1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
----------------------.
1982, Kebudayaan Mentalitet dan
Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Panitia Pelaksana Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Jurusan
Pendidikan Sejarah. 1996. Laporan
Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan. Jembrana: IKIP Jakarta.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman.
2004. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana.
Reken,
I Wayan. 2001. ”Janturan, Adaptasi Adrah Loloan Oleh Nyama Bali”, disunting
oleh: Nanoq da Kansas, dalam Jembrana
Post.
---------------------. 2002. “Umat Islam Di Jembrana”, dalam
Saleh Saidi (ed.), Sejarah Keberadaan Ummat Islam Di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia
Bali.
Sedyawati, Edi. 1995. “Pewarisan Nilai
Sastra Antar Zaman”, dalam Kirana:
Persembahan Untuk Prof. Dr. Haryati Soebadio. Jakarta: Pt Internusa.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sumarsono,
“Bahasa Melayu Loloan di Bali: 1991. Struktur dan
Unsur-unsur Bahasa Lain di Dalamnya”, Laporan
Penelitian. Denpasar: Universitas Udayana.
-------------------------. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu
Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Suryanto. 2006. Hindu Dibalik Tuduhan dan Prasangka, Yogyakarta: Narayana Smrti
Press.
Suwitha. I Putu Gede. 1984. “Islam Dan Perahu Pinisi Di
Selat Bali”, dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: LIPI.
-------------------------. 1985. “Hubungan Antar Suku Bangsa Dalam Masyarakat
Majemuk di Jembrana, Bali”, dalam Masyarakat Indonesia Jakarta: LIPI.
-------------------------. 1988. “Politik dan Perdagangan Pada Abad XVIII – XIX:
Kasus Bali”, dalam Widya Pustaka,
Tahun Ke IV, Edisi Khusus. Denpasar:
Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Wirawan,
A.A.B. 2002. “Umat Islam di Klungkung”, dalam Saleh Saidi (ed.), Sejarah
Keberadaan Ummat Islam Di Bali.
Denpasar: Majelis Ulama Indonesia Bali.
Yuliani, Ni Putu. 1993. “Kerukunan Antar Umat Beragama Di
Jembrana Dan Buleleng 1856 – 1990: Suatu Tinjauan Sejarah”, Skripsi S-1,
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar