_____________________________
Oleh : DHURORUDIN MASHAD
Al-Qur’an Kuno di Masjid Baitul Qodim Loloan |
Hari masih pagi, tetapi sinar
mentari sudah terang benderang menyinari bumi. Tetapi di sepagi itu saya dkk
sudah sampai di wilayah Loloan, tempat komunitas Islam yang telah sangat
lama keberadaannya. Sangat tepat jika eksistensi kampung itu disebut
sebagai kampung kuno saja.
Sejarah keberadaan komunitas
muslim Loloan merupakan keturunan dari tanah Melayu (Kuala Trengganu) dan
kaum Bugis yang sudah beberapa abad lalu masuk Bali. Eksistensi
mereka ini juga menjadi bukti historis bahwa Islam telah lama masuk di wilayah
Jembrana ini. Hingga kini mereka bertahan dengan agama Islam dan adat-istiadat
Melayu. Bahkan, berbeda dengan komunitas muslim yang juga tergolong kuno
di lokasi lainnya yang umumnya memakai bahasa Bali sebagai alat komunikasi
seharí-hari, komunitas di tempat ini ternyata tetap menggunakan bahasa
melayu sebagai bahasa keseharian di kalangan mereka.
Daerah Lolohan terbagi menjadi
tiga wilayah: Lolohan Selatan, Timur, dan Barat. Masyarakat setempat
biasa menyebut Lolohan Selatan dengan Markesari. Penduduk Markesari
95 persennya memeluk agama Hindu. Adapun Lolohan Barat dihuni
penduduk Muslim dan non Muslim. Dengan perbandingan 50 persen Muslim dan 50
persen lainnya non Muslim, campuran antarai: Hindu, Budha, Kristen dan lainnya
Dengan dibatasi sebuah sungai
yang membentang dan atau membelah wilayah, di sebelah timur lokasi ini
membentang wilayah yang disebut Loloan Timur. “Sungai itu dahulu banyak sekali
buayanya”, kata sesepuh kampung yang sempat kami jumpai. Lolohan Timur
adalah sebuah kawasan penduduk di pulau Bali yang hampir 96 persen penduduknya
memeluk agama Islam. Lolohan Timur masuk wilayah Negara (baca: Negare),
Kabupaten Jembrana, Bali. Tempat ini berada kurang lebih 25 km. dari Pelabuhan
Gilimanuk, dan berjarak sekitar 84 km. dari Kota Denpasar. Lolohan Timur
merupakan desa yang hijau. Bermacam-macam tanaman tumbuh subur disana.
Penduduk Lolohan Timur sebagian besar bekerja sebagai nelayan yang tidak
mencari ikan di laut, tetapi di pengambengan. Pengambengan menyerupai danau
kecil yang banyak dihuni ikan. Pengambengan mungkin lebih tepat disebut
rawa. (Ali Romdhoni,, ”Mengintip Aktifitas Masyarakat Muslim Lolohan
Timur Bali”, AMANAT, Edisi 101/ Agustus 2004).
Di Loloan Timur yang dominan
Muslim inilah terdapat beberapa pesantren, termasuk Pondok Pesantren Manbaul
Ulum. Usia pesantren ini tergolong paling tua. Pondok ini didirikan KH Ahmad
Dahlan Al-Hadi (tahun 1935) yang asal-usulnya dari Semarang. Pondok ini pernah
besar dan santrinya mencapai ribuan orang. Namun sejak terjadi gempa tahun
1976, yang meruntuhkan seluruh bangunan pondok, jumlah santri tersisa 11 orang.
Selang beberapa waktu dari peristiwa gempa itu, KH Ahmad Dahlan Al-Hadi wafat.
Kemudian tampuk pimpinan pondok diteruskan menantunya, KH Zaki Abdurrahman,
suami Hj Musyarofah, putri tertua dari istri ke-2 KH Ahmad Dahlan.
Masyarakat Muslim Lolohan timur
mendapat perlakukan istimewa termasuk dalam hal mendirikan tempat ibadah. Bagi
masyarakat Muslim Bali, mendirikan bangunan rumah ibadah (mushola apalagi
masjid) tidaklah mudah. Namun, khusus untuk Lolohan Timur hal itu tidak
lagi menjadi masalah. Khusus daerah ini, mendirikan masjid tidak perlu melalui
prosedur yang berbelit-belit sebagai mana yang terjadi di daerah lainnya.
Hingga sekarang, Loloan dikenal
sebagai daerah muslim terbesar di Bali. Menariknya, peninggalan Islam tersebut
masih terpelihara dengan baik. Seperti prasasti dari ukiran kayu dan Al-Qur’an
hasil tulisan tangan yang saat ini disimpan di Masjid Jami’ Baitul Qadim,
Loloan Timur. Al Qur’an dan ukiran kayu yang berusia lebih dari dua ratus
tahun, berbunyi, Hijrah Nabi S.A.W 1268 tahun Wau (arab) kepada tahun Ha (Arab)
sehari bulan Zulhijah hari Senin. Masjid di Loloan Timur usianya juga
sama tuanya dengan keberadaan masyarakatnya. Hanya saja bangunannya sama
sekali sudah tidak meninggalkan bekas-bekas aslinya, karena semua sudah dirubuhkan
diganti total dengan bangunan modern. ”Namun, beberapa sisa kayu
belandar masih tersimpan di lantai dua”, kata seorang pengurus masjid
yang saya temui, sekaligus mengantarkan ke atas untuk menunjukkan
sisa-sisa kayu blandar yang ada.
”Tapi apalah artinya sisa
onggokan kayu yang digeletakkan begitu saja. Pasti tak akan lama
lagi kayu itu akan terbuang juga”, kata hatiku menyayangkan
pembongkaran ini. Sekali lagi, inilah bukti bahwa bangsa kita
dimanapun lokasinya, apapun pangkat dan derajadnya, rakyat ataupun
pejabat, tampak kurang menghargai segala hal berbau sejarah.
Mereka umumnya silau terhadap imitasi kemodernan termasuk dalam segi bangunan.
Hanya ketika mereka melancong ke mancanegara dan memperhatikan
bangunan-bangunan kuno yang terawat baik, mereka berdecak kagum tanpa
kesadaran mendalam untuk merawat koleksi sejarah yang ada di negaranya.
Selain Loloan, saya dkk
diantarkan pula ke komunitas Muslim tua lainnya yakni di Desa Air Kuning. Desa
Air Kuning ini bersebelahan dengan Desa Yeh Kuning yang juga berarti air
kuning. Bedanya, jika Air Kuning komunitas penghuninya adalah
muslim, maka Yeh Kuning ditempati oleh komunitas Hindu. Pada masa
perjuangan 1945 desa Air Kuning ini dijadikan tempat persinggahan pejuang yang
tergabung dalam Pasukan Sunda Kecil yang dipimpin Kol (Anumerta) I Gusti Ngurah
Rai, yang sekarang namanya diabadikan sebagai nama Bandara Internasional di
Bali.
Komunitas Muslim Loloan dan Air
Kuning di Jembrana alias Jimbarwana ini yang pertama ada berasal dari
Bugis. Mereka datang dalam dua tahap, pertama tahun 1653-1655, dan
kedua tahun 1660-1661 menyusul berakhirnya perang Makasar antara kerajaan Gowa
vs. VOC. Kaum Bugis/Makasar ini umumnya merupakan
pelarian menyusul perjanjian Bungaya setelah kekalahan Gowa oleh
Belanda. Kaum pelarian ini sempat beberapa kali pindah
tempat, sebab mereka memang dikejar-kejar Belanda. Mereka
nomaden di sekitar daerah pantai timur dan utara Sumatera,
pantai barat dan selatan Kalimantan (disebut orang Bugis Pegatan), Jawa
Barat (Banten), Pasuruan (Jawa Timur), dan terakhir Badung
dan Air Kuning -Jembrana (Bali).
Pelarian asal Sulawesi Selatan
itu memang terus dikejar-kejar serdadu VOC (pasukan Spelman) dan Arung Palaka
karena sebagian perahu sisa sekuadron Bugis/Makassar itu masih memiliki senjata
meriam. Kala itu VOC kepada masyarakat sengaja membangun image negatif
bahwa kaum pelarian itu adalah perompak, karena mereka memang kerap
melakukan serangan terhadap kapal-kapal VOC. Bahkan, setelah Makassar
jatuh di tahun 1667 Belanda membuat sayembara bahwa siapapun yang dapat
menangkap sekuadron perahu-perahu keturunan sultan Wajo (berjumlah 4 buah) yang
disebut Iinun alias perompak ini akan diberi hadiah sepuluh ribu ringgit.
Sebelum ke Bali pelarian dari
Gowa itu sempat bersembunyi di teluk Panggang Blambangan, dan bertahan
hidup sebagai nelayan. Sebagian dari mereka berikutnya kemudian pindah ke
Buleleng (pantai Lingga), namun ada pula yang ke Jembrana. Kala itu, baik
Blambangan maupun Jembrana memang berada di bawah pengaruh kekuasaan
Buleleng. Daeng Nachoda misalnya, tertarik untuk pindah ke
Jembrana tahun 1669. Semula mereka mendarat di Air Kuning dan memasuki
Kuala Perancak, serta tinggal untuk sementara di lokasi yang disebut
kampung Bali. Peninggalannya sampai kini masih ada berupa sumur yang jernih,
yang oleh warga disebut sumur Bajo. Akhirnya mereka diberi ijin penguasa
Jembrana, yakni marga Arya Pancoran (Gusti Ngurah Pancoran), untuk
menetap. Tempat mereka itu kini dikenal sebagai pelabuhan Bandar
Pancoran (pelabuhan lama di Loloan Barat) (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat
Islam di Bali, Denpasar: MUI, 2002.)..
Eksistensi kaum pengungsi ini
dalam kenyataannya tidak menjadi beban melainkan justru menjadi berkah bagi
Jembrana dan wilayah-wilayah Bali lainnya. Untuk di wilayah lain,
saya telah menguraikan bahwa mereka akhirnya menjadi kekuatan keamanan
utama. Khusus untuk di Jembrana ada manfaat khusus yang didapatkannya,
yakni: masyarakat muslim asal Sulawesi Selatan itu akhirnya berhasil membangun
simpul ekonomi baru berupa pelabuhan.
Berkat perahu-perahu
pedagang jelmaan sekuadron keturunan Sultan Wajo itu, Jembrana
akhirnya menjadi wilayah yang tak lagi terisolir dari dunia luar. Realitas ini
menyebabkan hubungan antara kaum Bugis/Makasar dan keraton menjadi
akrab. Apalagi, Daeng Nachoda dan penembak-penembak meriam
Bugis/Makasar ini akhirnya menjadi tulang punggung kekuatan Jembrana,
terutama ketika I Gusti Ngurah Panji Sakti (1660) raja Den Bukit, Singaraja
(Buleleng) menyerang Jembrana. Jembrana memang kalah, dan
menjadi kerajaan vasal Buleleng, namun dukungan kaum Muslim ini
tetap tertancap kuat dalam benak keraton.
Di era penguasaan Buleleng
ini, kaum Muslim memanfaatkan situasi untuk memperlebar jaringan dagang
sekaligus penyebaran Islam. Daeng Nachoda dan anak buahnya
misalkan, utuk memperlebar sayap perniagaan ke Buleleng, sekaligus
untuk menyebarkan Islam. Perahu-perahu yang mereka miliki dijadikan
penghubung logistik (perekononian) yang penting antara Buleleng-Jembrana.
Walhasil, meski secara politik berada di bawah kekuasaan Buleleng, tetapi
Jembrana kala itu justru berkembang maju terutama dalam konteks pelabuhan
dan atau perniagaan.
Ketika I Gusti Ngurah
Panji Sakti (raja Buleleng) melepaskan pengaruh kekuasaannya atas
Blambangan, sehingga dilepaskan pula pengaruhnya atas Jembrana yang
kala itu di bawah kendali Dhalem Dewa Agung Jambe (yang sangat fanatik Hindu
bahkan feodalistik). Kala itulah raja Mengwi mengambil alih
Jembrana, mengingat Mengwi memang ikut berjasa dalam penaklukan
Blambangan. Apalagi raja Mengwi adalah pula ipar Panji Sakti
sendiri.
Tahun 1697 terjadi banjir
bandang, Sungai Ijo Gading meluap, menghancurkan keraton Brambang
(pusat kerajaan Jembrana) termasuk keluarga raja I Gusti Ngurah Putu Tapa dan
rakyatnya. Meski ikut keterjang banjir, tetapi perkampungan Bugis di
Bandar Pancoran selamat. Wakil Raja (I Gusti Ngurah Made Yasa) juga
selamat, karena kala banjir bandang ia sedang berkunjung ke Mengwi untuk
mengundang Ngeluwur (Pengabenan Besar). Mengwi sebagai negara ”atasan”
membantu patih untuk membangun kembali kerajaan Jembrana, yang akhirnya
dipindahkan dari Brambang ke Jembrana. Ketika membangun istana yang
diberi nama Jero Andol ini kaum ”pelarian” asal Blambangan yang terdesak oleh
perkembangan Islam ikut membantu juga.
I Gusti Ngurah Putu Yasa
”dinilai” tak mampu memimpin negeri, oleh karena itu akhirnya diambilkan raja
pengganti, yakni putra bungsu raja Mengwi I Gusti Agung Alit Takmung
dengan gelar Anak Agung Ngurah Jembrana. Namun raja baru ini masih kecil,
sehingga ia didampingi ibu (I Gusti Ayu Ler Pacekan) dan kakeknya ( I
Gusti Ngurah Takmung) sebagai patih yang membangun puri Jeroan Pasekan.
Khusus kepada keluarga Marga Arya Pancoran (penguasa lama) diberi jabatan
sebagai kepala pasukan perang dengan dibantu Arya Bengkel dan Arya Kelaladian
yang datang dari Mengwi bersama raja. Umat Islam Jembrana menjadi inti
dalam pasukan Marga Arya Pancoran ini.
Kala itu para Arya dan umat
Islam hidup rukun, dan Jembrana mencapai puncak kemasyhuran, terutama
berkat pelayaran perdagangan kaum Bugis hingga ke Palembang. Bandar
Pancoran menjadi pelabuhan perniagaan, di tengah realitas Jembrana yang masih
tertutup hutan belantara.. Oleh karena itu, perahu-perahu Bugis pun
membawa kuda dari Sumbawa untuk keperluan transportasi darat di Jembrana.
Di era raja ketiga (Anak Agung
Putu Handul), yakni putra I Gusti Agung Lebar, kerajaan Jembrana
diserang raja Cokorde Tabanan. Namun, serangan ini berhasil dihadang pasukan
dan atau para pendekar Islam. Tahun 1670 Raja Badung, Cokorde
Pemecutan juga menyerang dari arah selatan desa Perancak, tetapi juga
gagal karena banyak yang dimakan buaya.
Ketika Anak Agung Putu Handul
digantikan putranya, Anak Agung Putu Sloka (sebagai raja keempat)
dan adiknya Anak Agung Nyoman Madangan (wakil raja) perlakuan kerajaan
terhadap umat Islam kian baik. Bahkan, untuk kian mendekatkan diri dengan
komunitas Islam, maka di tahun 1798 raja membangun puri baru di
sebelah utara Bandar perkampungan Islam, di sebelah barat sungai Ijo
Gading, yang diberi nama Negeri (Negara). Di era itulah datang lagi
beberapa perahu dari Sulawesi Selatan serta minta ijin tinggal di Air
Kuning. Mereka dipimpin para mubaligh seperti : H. Sihabuddin dan
H. Yasin (Bugis asal Buleleng), Tuan Lebai (Melayu asal Serawak) dan Datuk Guru
Syekh (0rang arab).
Selain perahu Bugis,
datang juga iring-iringan perahu pimpinan Syarif Abdullah Al Qodri yang tak
lain adik Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al Qodery. Kala itu
Sultan Pontianak takluk pada Belanda (1799). Karena, sang
adik (Syarif Abdullah Al Qodery) tidak terima realitas itu,
ia meneruskan perlawanan di Lautan, serta berpetualag dengan membawa
sekuadron bersenjata meriam. Satu perahu menetap di Lombok Timur, sisanya
sampai di Air Kuning Jembrana. Syarif Abdullah Al Qodri mengadakan
kesepakatan dengan umat Islam di Jembrana. Ketika menyusuri Sungai
Ijo Gading ke utara menuju Shah Bandar, Syarif Abdullah memberi
aba-aba pada anak buah dengan bahasa kalimantan Liloan (tikungan),
sehingga kampung di sekitarnya lantas diberi nama Loloan hingga sekarang.
Dua ekspedisi (Bugis dan
Pontianak) tadi merupakan gelombang kedua kedatangan Islam di Jembrana.
Kedatangan dua kelompok muslim ini disambut baik raja. Ada alasan
mendasar kenapa dua kelompok umat Islam ini diterima dengan tangan terbuka: Pertama,
eksistensi umat Islam di Jembrana yang telah ada ternyata mampu menjalin
hubungan baik dengan komunitas Hindu. Kedua,
umat Islam yang telah ada di Jembrana terbukti mampu menjadi tenaga pasukan
yang sangat diandalkan serta mempunyai loyalitas tinggi. Terbukti,
ketika keraton Jembrana hancur dan keluarga raja tumpas oleh banjir
bandang, komunitas Islam tak lantas membangun sebuah kerajaan tersendiri.
Mereka bahkan membantu pembentukan keraton baru yang dilakukan Patih atas
bantuan raja Mengwi. Ketiga,
kenyataannya umat Islam memiliki jasa luar biasa dalam pengembangan pelabuhan
perniagaan yang memiliki pengaruh sangat positif bagi kemajuan kerajaan. Keempat, kala
itu Blambangan telah dikuasi Belanda, sehingga dapat mengancam pula
keamanan bahkan masa depan Jembrana. Walhasil, kehadiran para
pelarian asal Kalimantan dan Sulawesi yang semuanya bekas pasukan kerajaan ini
tentu dapat menampah kekuatan kerajaan.
Menurut aturan kerajaan seluruh
meriam sebenarnya harus diserahkan ke raja, seperti telah dilakukan kaum
Bugis yang telah datang duluan pasca perang Makasar. Tetapi, Syarif
Abdullah menawarkan cara lain, yakni: meriam tetap dikuasai
sendiri, tetapi akan digunakan untuk membela Jembrana. Kesepakatan dicapai dan
kepada kaum Islam asal Kalimantan ini dipersilahkan tinggal di kanan kiri
tebing sungai Loloan seluas 80 hektar. Lokasinya ada di sebelah utara
Bandar Pancoran.
Syarif Abdullah membuat
perkampungan darurat di sebelah timur sungai yang kini disebut Loloan Timur.
Perahu perang yang dimiliki diubah menjadi kapal perniagaan, bahkan
akhirnya menjelajah hingga Singapura. Kala itu Loloan Timur dan Loloan Barat
akhirnya menjadi desa administratif konsesi untuk umat Islam di Jembrana.
Sedangkan, desa administratif yang berbentuk desa adat Hindu adalah desa
Mertasari, Lelaleng, Banjar Tengah, dan Baler Bale Ageng. Loloan
Barat dan Timur akhirnya menarik minat umat Islam dari Jawa dan
Madura untuk ikut menetap.
Seiring dengan adanya komunitas
Islam yang baru tadi, Jembrana kian mengalami kemajuan terutama dalam
perekonomian. Raja Buleleng (Anak Agung Gde Karangasem) tertarik pada
kemakmuran Jembrana, sehingga di tahun 1828 Buleleng menyerang: ingin
menaklukkan Jembrana untuk kedua kalinya. Raja Jembrana, Anak Agung
Putu Seloka dan adiknya (yang tak lain wakil raja) diungsikan dengan perahu
Bugis ke Banyuwangi. Pada penyerangan pertama, pasukan Jembrana yang
diperkuat pasukan Bugis-Pontianak ini berhasil mengalahkan Buleleng,
bahkan panglima Buleleng Anak Agung Gde Karang tewas. Namun, pada
penyerangan yang kedua, pasukan Jembrana dapat dikalahkan,
meskipun perang gerilya tetap berlanjut (Saleh Saidi & Yahya Anshori (eds), Sejarah Keberadaan Umat
Islam di Bali, Denpasar: MUI, 2002.)..
Umat Islam Jembrana kembali
memperlihatkan kesetiaan, tetap memegang teguh janji persahabatan dengan
kerajaan Jembrana. Terbukti, meskipun sampai tahun 1832 selama 4 tahun ada
kekosongan (karena raja dan wakil raja mengungsi), umat Islam tak
lantas melepaskan diri (apalagi mengambil alih kekuasaan) dari
Jembrana. Mereka bahkan terus membantu rakyat Hindu yang susah karena
perang. Baru pada tahun 1835 terjadi kesepakatan damai antara Jembrana –
Buleleng, menyusul penguasaan Buleleng atas Jembrana untuk kedua kalinya.
Intinya: raja Jembrana tetap diberi hak memerintah, tetapi dibawah
pengaruh/supremasi Buleleng.
Di era ini hubungan harmonis
umat Islam-Hindu (termasuk dengan kerajaan) tetap berlanjut. Itulah realitas
seluk beluk Kerajaan Jembrana (Negara) yang sangat erat hubungannya dengan umat
Islam. Hingga kini panji-panji Islam bertuliskan kalimat “La Illaha Ilallah”
misalnya, masih disimpan di Puri Negara, sebagai penghargaan atas
perjuangan pengikut Syekh Syarif Al Qodri (pemuka Islam) menghadang serangan
dari kerajaan lain
Kebersamaan kaum Hindu dengan
komunitas lama kampung Islam ini juga terjalin hingga pada sektor sosial dan
ekonomi. Orang Islam ada yang menggarap tanah pemeluk agama Hindu, begitu juga
sebaliknya. Bahkan, diantara dua komunitas juga terbangun sebuah
akulturasi. Bentuk lain akulturasi umat Islam dengan masyarakat Hindu
di lokasi ini dapat dilihat melalui kesenian Rebana. Kesenian ini
dimainkan oleh beberapa orang yang semuanya mahir memainkan Rebana besar. Lirik
dan syairnya bernafaskan Islam menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa Melayu.
Namun, agar mudah diterima masyarakat sekitar, para seniman Rebana ini
mengaransemen lagu-lagu yang mereka mainkan dengan irama khas Bali. Dengan
begitu, masyarakat akan lebih menyukai kesenian ini dan makna syiar yang
menjadi tujuan utama dapat tersampaikan dengan efektif. ***
SUMBER : http://dhurorudin.wordpress.com/2013/03/02/kampung-islam-loloan-dan-air-kuning-di-jembrana-bali-sebuah-entitas-lama-tulisan-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar