A. MANUSIA ADALAH
MAKHLUK BERBUDAYA
Kelebihan
manusia diatas makhluk lain terletak pada kemampuannya dalam menciptakan
kebudayaan dan perada-bannya.
QS
At-Tin ayat 4 dijelaskan, bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik bentuk
ciptaannya (Ahsanu Taqwim), baik dari segi fisik (raga) maupun psikhis
(jiwa). Secara kejiwaan, Allah me-lengkapi manusia dengan akal dan nafsu secara
seimbang, sehingga muncul dari diri manusia tiga daya atau potensi yang
meliputi cipta, rasa dan karsa. Dengan ketiga potensi / daya tersebut, manusia
mampu melahirkan kebudayaan dan peradabannya, sehingga mengantarkan-nya menjadi
makhluk yang terunggul dan terhormat diatas makhluk Allah lainnya.
Jadi,
kelebihan manusia atas makhluk lainnya terletak pada ke-mampuannya dalam
menciptakan kebudayaannya sendiri, sehingga paslah jika manusia disebut sebagai makhluk berbudaya.
Allah
menyinggung kelebihan manusia atas makhluk lainnya dalam QS Al-Isro’,[17] : 70
Artinya : “Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.”
Oleh
karena itu, kehidupan manusia tidak dapat
dilepaskan dari kebudayaan dan
peradabannya.
Kebudayaan
dan peradaban manusia berbeda-beda. Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara
lain oleh faktor lingkungan hidup dan agama atau kepercayaan yang dianut.
Diantara bentuk kreasi-karya manusia dalam bidang ini
berupa tradisi-tradisi.
Terjadinya
Akulturasi Budaya
Sejak
dulu, bangsa Indonesia kaya dengan kreasi budaya (tradisi), baik yang berupa
karya seni (seni budaya) maupun upacara adat. Agama Islam masuk ke Indonesaia
pada akhir abad ke-7 dan pesat berkembang sejak abad ke-13, atas peran para
pedagang muslim dan muballigh dari bangsa arab, gujarat dan persia. Sementara
itu, budaya dan tradisi lokal bangsa kita tersebut tetap berjalan seiring
dengan budaya dan tradisi Islam.
Setidaknya, budaya dan tradisi Islam yang dibawa oleh ketiga bangsa
tersebut sedikit banyak turut mewarnai budaya dan tradisi lokal (Indonesia),
sehingga terjadinya akulturasi
(pembauran) di bidang budaya dan tradisi ini tidak dapat dihindari.
Tidak menutup kemungkinan bahwa budaya dan tradisi yang satu mendominasi
(menguasai) yang lain, yang pada akhirnya lahirlah budaya dan tradisi baru, yakni budaya
dan tradisi Islam Indonesia, atau Budaya dan Tradisi Lokal yang
Bernafaskan Islam.
B. SENI BUDAYA LOKAL BERNAFASKAN ISLAM
Yang
dimaksud dengan Seni Budaya Lokal yang Bernafaskan Islam ialah segala bentuk kesenian yang berasal dari
dan berkembang di daerah-daerah di Indonesia yang dipengaruhi oleh Islam dan
memiliki nilai-nilai keislaman. .
1. Keterkaitan Seni Budaya dengan Islam.
Islam
adalah agama yang paling sempurna. Selain mengatur hubungan manusia dengan
Alloh swt (Ibadah), Islam juga mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya (Muamalat).
Di
bidang mu’amalat, Islam mengatur tata kehidupan kaum muslimin dalam
berbudaya, baik dalam aspek kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara (sosial-politik), berekonomi, berkesenian, maupun dalam aspek
kehidupan lainnya.
Kesenian identik dengan keindahan. Sebagai
pendorong kaum muslimin dalam aspek kehidupan berkesenian adalah Hadis Nabi saw
:
اِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
Artinya :"Alloh swt itu Maha Indah. Dia
menyukai keindahan". (HR Muslim).
Dengan
kata lain, orang yang menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya, maka segala
aspek kehidupan berbudayanya, tentu akan diwarnai dan dipengaruhi oleh
nilai-nilai keislaman yang diyakininya itu. Dengan begitu, seni budaya yang
diciptakan kaum muslimin tersebut tentu terkandung nilai-nilai keislaman, di
samping juga ada nilai-nilai lokal / kedaerahan, karena kehidupan manusia tidak
dapat lepas dari pengaruh lingkungan dimana ia hidup.
2. Berbagai Macam Seni Budaya Lokal yang
Bernafaskan Islam
Seni
budaya banyak cabang dan macamnya. Diantaranya adalah seni suara, seni musik,
seni tari, seni sastra, pertunjukan, seni lukis, seni pahat dan ukir, seni
pakaian, seni kaligrafi, seni
arsitektur-bangunan, dan lain-lain.
a.
Wayang dan Tembang Mocopat
Asal
usul Wayang berasal dari India yang digunakan untuk menceritakan ajaran Hindu
yang diambilkan dari kitab Mahabarata. Pada abad -15, seni ini diperbaiki dan
dikembangkan dalam bentuk baru oleh Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, untuk
dijadikan sebagai metode dakwah yang cukup efektif saat itu. Sumbangan Sunan
Kalijaga antara lain menambah perangkat debog (batang pisang), keber,
blencong atau dian, dan penyusunan cerita-cerita carangan, dan
lain-lain.
Cerita-cerita
(lakon) wayang yang tadinya diambil dari
kitab Mahabarata dan Ramayana, lalu diselipi nilai-nilai simbolik yang
bernafaskan islam. Bahkan diganti dengan cerita atau lakon carangan buatan
sendiri. Misalnya lakon Dewa Ruci, Jimat kalimosodo, Petruk dadi Ratu, Semar
ambarang Jantur, Mustaka Weni, Pendowo Limo, dan lainnya. Lima merupakan simbol dari Rukun Islam. Tokoh Puntadewa
(simbol Syahadat), Wrek
5
orang tokoh dalam lakon Pandawa udara atau Bima (simbol Shalat),
Arjuna (simbol zakat), dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (simbol
Puasa dan Haji).
Lakon
wayang Jimat Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan
ketauhidan, Kalimat Syahadat.
Para
“Dewa” dalam dunia wayang tidak dipandang sebagai Dewa setingkat
Tuhan, akan tetapi sebagai “manusia istimewa” yang silsilahnya
sampai kepada Nabi Adam.
Nama
dan istilah dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman. Misalnya istilah “Dalang”
diambil dari bahasa arab “Dalla”, artinya yang menunjukkan.
Demikian pula nama “Petruk”, berasal dari kata “Fatruk”,
artinya maka tinggalkan. “Bagong”,
dari kata “Baghoo” artinya lacut, durhaka, zhalim. “Semar” dari
kata “Syimar”, artinya arif dan waspada.
(Ismunandar, K., 1988 ; 95-103).
Dalam pementasan wayang, biasanya dselilingi
dengan melagukan Tembang Mocopat. Seni suara
muncul di Jawa sekitar abad ke-15 dan 16 sebagai kreasi dari Walisongo.
Syair yang dilagukan berisi ajaran Islam, terutama tauhid, akhlak dan tasawwuf.
Diantaranya: tembang Dandanggula (karya S. Kalijaga), Asmaradana dan Pucung (S.
Giri), Durma (S. Bonang), Maskumambang dan Mijil (S. Kudus), Sinom dan Kinanti
(S. Muria), Pangkur (S. Drajat).
Selain
itu, ada tembang dolanan bocah, yaitu nyanyian untuk anak-anak,
diantaranya karya Sunan Giri, seperti tembang Lir-Ilir, Sluku-Sluku Bathok,
Cublak-cublak Suweng, Gendi Gurit, Jamuran, Jitungan, dll,
b. Gambus, Kasidah, Hadhrah, Al-banjari, dan
Qiro’ah
Musik gambus berasal dari arab.
Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair-syair arab, terkadang juga syair
bahasa Indonesia. Alatnya meliputi : kecapi petik, gambus, rebana kecil, dan
marawis.
Qosidah artinya puisi. Dalam hal ini dipahami
sebagai seni suara yang bernafaskan Islam yang lagunya diambil dari syair-syair
arab, dari kitab qasidah Barzanji, dan kitab qasidah lainnya, terutama yang berisi
sholawat Nabi, dan diselipi ajaran moral. Alat musiknya seperti gambus.
Bahkan,
group Qosidah Modern seperti Group
Nasida Ria dari Semarang, melengkapi dengan peralatan musik elektronik
modern. Syair lagunya pun bervariasi,
selain sholawat Nabi adalah syair-syair
berbahasa Indonesia yang berisi ajaran keislaman, terutama akhlak.
Hadhroh
dan Al-Banjari sebagian
besar alatnya dari rebana. Syairnya diambil dari qasidah barzanji, diba;iy, dan
sya'ir sholawat Nabi.
Hadhroh,
gambus, qosidah dan Al-Banjari biasa
dimainkan dalam acara semecam khitanan, pernikahan, pengajian, dan acara
keislaman lainnya.
Di
Banyuwangi ada seni Kuntulan: perpaduan antara musik dan tari Banyuwangi
dan Hadhroh.
Sedangkan
tentang seni melagukan bacaan Al-Qur’an dengan suara merdu atau Qiro’ah,
merupakan seni budaya Islam yang memiliki
7 versi lagu sebagai kreasi dari orang Hijaz, Mesir, Persia, Turki, dan
arab lainnya, meliputi lagu Bayati,
Shoba, Hijaz, Nahawand, Rost, Sikah dan Jiharkah. Seni ini semakin
terkenal luas setelah adanya event MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur'an).
c.
Tari Zapin dan Tari Sufi Seudati
Tari
Zapin diperagakan dengan gerak kaki dan tangan yang indah dan lincah. Tari ini
muncul di daerah Riau Sumatera untuk mengiringi irama musik gambus, kasidah dan
hadhroh. Penarinya semuanya lelaki.
Tari
Sufi Seudati berasal dari tarian para sufi di Aceh. Penarinya semua lelaki.
Bunyi musiknya dari tubuh penari sendiri seperti menepuk tangan, dada, dan
mengertakkan jari.
d. Lukis, Pahat, Ukir, Batik, Busana
Sebelum datangnya Islam, ketiga seni tadi sudah berkembang,
demi kepentingan agama Hindu Budha dan diwarnai dengan corak gambar binatang,
manusia, dewa. Diantara hasilnya berupa: Patung dewa, ukiran / patung binatang,
relif di candi, ukiran di gapura, dll.
Setelah Islam masuk, lalu diubah dengan bercorak/motif
tetumbuhan, pepohonan, benda mati, dan ukiran kaligrafi arab (ayat Al-Qur’an-
Hadis).
Pakaian asli penduduk di Indonesia biasanya membuka aurat,
misalnya di Jawa, wanitanya memakai Kemben. Setelah Islam masuk, seni
berbusana menjadi terpengaruh, yakni sopan dan menutup aurat. Maka, muncul mode
pakaian seperti Baju Takwa, Baju Teluk
Belanga, Kerudung, Jilbab, Songkok atau Kopiah, blangkon,
baju surjan, serban dan
lain-lain.
Dari
kalangan Walisongo, Sunan Kalijaga cukup kreatif dalam menciptakan beberapa cabang kebudayaan,
terutama bidang kesenian yang sangat kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat
kreatif merubah corak dan bentuk seni yang sudah lama berkembang di masyarakat
setelah terlebih dahulu dimuati nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir,
yang pada jaman pra Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa
(manusia dan binatang), kemudian diubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan
dan lainnya yang tidak bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan bentuk atau
mode baju yang lebih dikenal dengan baju Takwa. Seni batik yang
pada jaman pra Islam diwarnai dengan motif illustrasi gambar burung,
yang dalam bahasa kawinya disebut kukila, lalu diberi makna sesuai
dengan yang dikehendaki Islam. "Ku" berasal dari bahasa arab Qu
yang berarti jagalah, dan "kila" dari bahasa arab Qila,
berarti yang diucapkan. Dengan demikian, gambar burung
"kukila" mengandung pesan, bahwa seseorang hendaklah mampu menjaga
lisannya.
e. Sastra Bercorak Tasawwuf
Di
Luar Jawa
Antara
abad 15-17, di Sumatra berkembang karya sastra dan ilmiah bercorak tasawwuf
dari ulama besar masa kesultanan Aceh Darussalam yang sangat besar pengaruhnya
dalam perkembangan corak pemikiran keislaman (tasawwuf) di Indonesia.
1). Karya Hamzah Fansuri : Asrorul ‘Arifin fi Bayani
as-Suluk wat Tauhid, dan Syair Perahu. Keduanya berisi ajaran ilmu
kalam (teologi) dan tasawwuf menurut faham
Wahdatul Wujud. Karya lainnya: Syair Dagang, Syair Jawi,
Syarabul ‘Asyikin.
2). Karya Syamsuddin as-Sumatrani: Mir’atul Mu’minin,
berisi tanya jawab soal ilmu kalam.
3). Karya Nuruddin ar-Raniri (ulama’ Ahlis-Sunnah
abad 17) : As-Shirotul Mustaqim (fiqih), Bustanus-Salatin (politik,
tuntunan bagi Raja), Tibyan fi Ma’rifatil Adyan (bantahan terhadap faham
Wahdatul Wujud-nya Hamzah Fansuri Cs).
4). Abdurrauf Singkel : pengembang tarekat Syattariyah,
ia menghidupkan kembali faham Hamzah Fansuri, terutama teori Martabat Tujuh.
Pengaruhnya sampai ke Jawa melalui muridnya, yakni syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan
Tasikmalaya Jawa Barat.
Karya
dan ajaran keempat ulama tersebut mempengaruhi faham tasawwuf di Jawa, yakni
faham ahlussunnah ala Walisongo,
dan faham manunggaling kawulo-gusti ala Sekh Siti Jenar.
Di
Sulawesi, muncul Syekh Yusuf Makassar (abad 17) dengan 20 buah judul karya
tulis bercorak tasawwuf faham Ahlussunnah.
Di
Kalimantan, muncul syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (abad 19), penulis kitab
fiqih : Sabilul Muhtadin.
Di Jawa : Suluk, Wirid, Primbon
Dalam
bidang sastra, di Jawa pada abad 16-18, muncul tiga kitab karya sastra yang
berisi ajaran Islam bercorak tasawuf, yakni
Kitab Suluk, Wirid dan Primbon, yang diduga terkait dengan karya
ulama Sumatera.
Kitab
Suluk, yaitu karya tulis berbentuk puisi, berbahasa jawa-tengahan,
berisi ajaran tasawuf, sebagiannya terpengaruh oleh Syair-syair karya
Hamzah Fansuri. Misalnya kitab Suluk Wujil, suluk Malang
Sumirang, suluk Syekh Malaya, suluk Sukarso, dll.
Kitab
Wirid, yaitu karya tulis dalam
bentuk ulasan bebas (prosa), berisi ajaran tasawwuf dan akhlak. Misalnya Het
Book van Bonang (kitab Sunan Bonang), Serat Wirid Hidayat Jati
(karya Ronggowarsito) .
Sedangkan
Kitab Primbon yaitu karya tulis berbentuk ulasan bebas (prosa), berisi
kumpulan dari berbagai aspek ajaran Islam (tauhid, syariat, akhlak-tasawwuf,
pengobatan, ramalan dan lain-lain. Misalnya buku Primbon Abad ke-16 (Een
Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw)
yang diduga peninggalan Sunan Bonang.
Pada perkembangan selanjutnya, di abad 19, muncul Syekh Muhammad Nawawi al-Banteni yang menjadi ulama besar di jazirah Arab saat itu. Karyanya berjumlah 26 buah judul, yang terkenal berjudul Tafsir Al-Munir, ‘Uqudul Lujain, dll.
f. Arsitektur :
Bangunan Masjid
Bangunan
Masjid-masjid khas Indonesia, terutama yang dirancang para Walisongo, merupakan
bentuk akulturasi (pembauran) dengan bangunan candi, pura, stupa. Memiliki
ciri-ciri dan corak khusus, antara lain :
1).
Atap Masjid
Atapnya bersusun (tumpang) dan berbentuk ,eruncing ke atas.
Ada yang bersusun tiga sebagai simbol tingkatan dalam beragama: Iman, Islam,
Ihsan, atau syari'at, thariqot, dan haqiqat. Di atasnya ada mustoko,
sebagai simbol Ma’rifat. Seperti
di Masjid Agung Demak, masjid Agung Kraton (Jogjakarta, Surakarta, dll), dan
masjid-masjid kuno di Jawa. Ada yang beratap seperti tumpeng, seperti
masjid-masjid di daerah Banten.
Masjid beratap Kubah (asal bangunan Arab) tidak
ditemukan pada masjid kuno khas Indonesia, tetapi perkembangan modern. Seperti
masjid Baiturrahman di kota Banda Aceh, masjid Syuhada’
Jogjakarta, Istiqlal di Jakarta. dll. Tetapi puncaknya tetap berbentuk
runcing mengarah ke atas.
Atap atau kubah yang meruncing ke atas terkandung makna
mengarah ke satu tujuan. Sebagai simbol bahwa segala bentuk usaha dan
ibadah agar diarahkan kepada yang “Tunggal” yang di atas, yakni Alloh I.
2). Mihrob
Di bagian barat ada
bangunan menonjol ke luar mengarah ke kiblat berfungsi sebagai mihrob
(pengimaman). Terkandung makna persatuan umat Islam, yakni meskipun berbeda
dari berbagai penjuru, hendaknya tetap
berkiblat/berpedoman pada satu akidah Tauhid (dilambangkan Baitulloh).
3). Menara Masjid
Menara berfungsi sebagai tempat mu’adzzin menyuarakan adzan
dan iqomat, juga tempat memukul kenthongan dan bedug, pada
awalnya tak ditemui di masjid-masjid Jawa, kecuali masjid di Kudus dan di
Banten.
Bentuk bangunan Menara Kudus mirip Candi di Jawa Timur dan
Pura di Bali.
4). Bedug dan Kentongan.
Selain Adzan-Iqomat, Bedug dan Kenthongan
dimaksudkan sebagai alat memanggil sholat, terutama bagi yang rumahnya jauh
dari masjid. Mengingat saat itu belum ada pengeras suara, speaker.
Menurut kisah, untuk memanggil orang sholat, Sunan
Kalijaga memerintah-kan Sunan Pandanarang agar membuat bedug dan
kentongan. Kentongan jika ditabuh berbunyi tong tong tong,
sebagai lambang "Masjid masih kosong" (bahasa jawanya kothong)
dan Bedug berbunyi deng deng deng, sebagai simbol "Masjid masih muat"
(bahasa jawanya sedheng).
5). Lokasi Masjid
Letaknya di ibukota kerajaan atau kadipaten,. Biasanya
didirikan sedekat mungkin dengan istana (kantor pemerintahan), menghadap alun-alun
Kraton. Makna simbolik (filosofi)-nya : Alun-alun adalah tempat
bertemunya rakyat dan Rajanya, sedangkan Masjid adalah tempat
bersatunya rakyat dan Rajanya dengan Tuhannya. Yakni rakyat (makmum)
bersama-sama dengan Raja (imam) menghadap kepada Alloh.
6). Makam
Bangunan makam biasanya terletak di sebelah barat masjid
dan sekitarnya. Fungsinya sebagai Dzikrul maut (mengingatkan bahwa
setiap orang hidup pasti akan mati, dan setelah hidup di dunia ini ada
kehidupan lagi di akhirat yang lebih langgeng). Untuk itu, perlu memperbanyak ibadah dan amal sholih, sebagai
“Sangu” di alam akhirat.
C.
APRESIASI TERHADAP UPACARA TRADISI LOKAL
1. Mensuriteladani
Dakwah Walisongo
Sebelum
Islam datang, berbagai tradisi, upacara dan adat istiadat sebagai pengaruh dari
ajaran hindu, buda dan aliran kepercayaan berkembang subur secara turun temurun
dan sulit dihilangkan. Mulai dari urusan
kelahiran, aktifitas sehari-hari (usaha, panen, khitanan, perkawinan,
pembangunan, dll) sampai urusan kematian, selalu ada upacara dan kenduren-nya,
lengkap dengan ubo rampe (sesajen) dan pembacaan mantera-mantera.
Tradisi
dan upacara tersebut, jika dipandang dari segi agama Islam, tentu ada yang
sesuai dan ada yang bertentangan dengan aqidah Islam. Melihat kenyataan seperti
ini, para muballigh Walisongo, terutama kelompok Sunan Kalijaga, sungguh sangat
cerdas dan bijaksana. Mereka berdakwah dengan pendekatan budaya.
Mereka tidak antipati terhadap tradisi dan adat istiadat lama yang nampak
bertentangan dengan aqidah islam dan sudah mendarah daging itu. Jika
diberantas, masyarakat akan membenci dan semakin menjauh.
Tradisi,
adat istiadat dan upacara yang nampak bertentangan itu tidak diberantas
seketika, tetapi tetap dilestarikan, sambil diubah sedikit-demi sedikit dengan
disisipi nilai-nilai keislaman. Misalnya upacara adat atau kenduren
istilahnya diganti dengan “Selamatan”; pembacaan mantera diganti
dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, kalimat thayyibah (tahlilan) dan doa-doa
Islam; sesajen untuk roh halus atau roh nenek moyang diganti dengan makanan
atau berkat yang disajikan/disuguhkan sebagai shodaqoh kepada orang
hidup yang mengikuti upacara tersebut. Adapun sesajen penting yang
berupa aneka ragam jajan pasar
diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem, dengan
diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang
diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata ketan dari bahasa
arab Khatha-an yang berarti kesalahan atau dosa. Kata Kolak
dari bahasa arab qaala yang berarti berkata atau berdoa; dan kata
Apem dari kata Afwun yang
berarti ampunan. Dari ketiga nama makanan tersebut terkandung suatu
ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa dan salah. Oleh karena
itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan-Nya.
Dengan
metode dakwah seperti itu, maka masyarakat dan budayanya secara tidak sadar
dapat diislamkan. Itulah rahasianya, kenapa mayoritas penduduk Jawa, terutama
yang tinggal di daerah basis hindu-budha, berduyun-duyun masuk Islam dalam
jangka waktu yang sangat singkat.
Atas
dasar pengalaman dakwah Walisongo di atas, kita seharusnya mencontoh mereka
dalam mensikapi berbagai upacara tradisi dan adat istiadat lokal di daerah
kita. Kita tidak boleh langsung bersikap antipati dan berkepala batu,
lalu menuduhnya bid’ah, syirik, kafir, haram, masuk neraka, sesat
dan sejenisnya, tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan dampaknya atau
untung-ruginya bagi kesuksesan dakwah Islamiyah jangka panjang. Akan tetapi,
kita harus bersikap cerdas dan bijaksana, antara lain dengan
pedoman berikut:
a. Jika upacara, tradisi, atau adat istiadat lokal yang
nampak tidak bertentangan dengan unsur aqidah Islam, hendaknya disikapi dengan
penuh penghormatan, dan kalau perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai aset
budaya bangsa. Bahkan dapat dijadikan sarana berdakwah.
b. Jika hal itu nampak bertentangan dengan unsur aqidah
Islam, baik secara terang-terangan maupun sembunyi, hendaknya tidak disikapi
secara reaktif, antipati, bertindak destruktif (merusak) dan main hakim
sendiri. Akan tetapi tetap bersikap toleran dan simpatik, sambil dicarikan
jalan keluarnya agar tidak bertentangan dengan Aqidah Islam, dengan menggunakan
metode, pendekatan dan cara halus seperti yang dilakukan oleh Walisongo.
Misalnya dipandang sebagai bagian dari kreasi budaya bangsa dan bukan merupakan
bagian dari ajaran Islam, lalu disisipi nilai-nilai keislaman, diubah sedikit
demi sedikit, ditafsiri dan dimaknai secara baru, dicarikan dalil-dalil naqli
dan aqli, sehingga tradisi tersebut menjadi sebuah tradisi lokal yang
bernafaskan Islam
2. Beberapa Contoh
Tradisi Lokal Yang Bernafaskan Islam
a. Selamatan / Kenduren setiap ada hajat seperti ingin
pindah rumah, pembangunan, panenan (sedekah bumi), naik pangkat, pelantikan, wisuda, serah-terima jabatan,
sembuh dari sakit, mengadakan pertunjukan, dan lain-lain. Acaranya antara lain
: pembacaan istighotsah, tahlilan, yasinan, dzibaan, khataman Al-Qur’an, dan
doa-dzikir lainnya.
b. Berkaitan dengan kehamilan : upacara hamil 3 bulan;
hamil 4 bulan; hamil 7 bulan (mitoni/tingkepan); hamil 9 bulan (mrocoti). Acaranya antara lain
pembacaan surat Yusuf dan Maryam, khataman, tahlilan, pengajian, dan doa-dzikir
lainnya.
c. Berkaitan dengan kelahiran : menanam ari-ari, mengadzani
telinga kanan dan meng-iqomati telinga kiri, Brokahan (selamatan kelahiran
bayi), sepasaran, selapanan, puputan (copot puser), jagong bayen, pemberian
nama, aqiqoh, khitanan, mandap siti (turun tanah).
d. Berkaitan dengan pernikahan: lamaran, peningsetan,
midodareni (mandi calon penganten), akad nikah, resepsi, sepasaran (ngunduh
mantu).
e. Berkaitan dengan kematian : tahlilan 1-7 hari, 40 hari,
100 hari, 1000 hari, haul, ziarah kubur, kirim pahala/doa, nyadran bulan ruwah,
dll.
f. Berkaitan dengan PHBI : Maulid Nabi, Isro’-Mi’roj,
Nuzulul Qur’an, Unjung-unjung (shilaturrahmi hari raya), syawalan, Qurban,
Muharrom (syuro), Nisfu Sya’ban, Sekaten, Grebeg (mengarak nasi tumpeng
gunungan dalam rangka maulud Nabi,
besar, poso, syawal).
g. Berkaitan dengan Majlis dzikir yang ditradisikan
misalnya sholawatan (dzibaan, berjanjen, nariyah), yasinan, istighotsahan,
manaqiban, majlis semaan Al-Qur’an, dan sejenisnya.
Dan
masih banyak tradisi-tradisi lain seperti peringatan ulang tahun, upacara
bendera, rebo kasan, dan sejenisnya.